Rachel berjalan cepat di belakang Pram karena langkah dosennya itu lebar sekali.
"Pak! Kita nggak dikejar setan!" ujar Rachel pada akhirnya karena lelah mengikuti jejak Pram.
Pria dengan kemeja hitam dan celana cokelat susu itu berhenti lalu menoleh ke arah Rachel yang terlihat berada di belakang beberapa langkah.
Pria itu mengangguk, lalu berjalan santai sembari melihat ponselnya.
Rachel mendekat dan menyamai langkah Pram. Mereka saat ini berada di area parkiran menuju lantai di mana big mart berada. Berjalan bersama memasuki gedung betingkat-tingkat itu.
"Ambil yang dibutuhkan aja," peringat Pram sembari mendorong troll yang baru dia ambil.
Rachel merotasikan bola matanya mendengar itu. Ketika dosennya itu tak melihatnya, Rachel berkata lirih, "Nyenyenyenye." Sembari mencakar angin.
Pram tahu Rachel bertingkah aneh di belakangnya, tetap
Setelah dari market meski dengan wajah masam, Pram masih mau mengantar Rachel ke mal untuk membeli skincare. Mungkin dosennya itu malas berhadapan dengan drama-drama yang akan dibuat Rachel."Ambil sebutuhnya aja," peringat Pram yang membuat Rachel merotasikan bola matanya."Iya, iya Pak! Harus berapa kali lagi sih ngomong gitu.""Kamu orangnya boros! Makanya harus diingetin terus biar nggak kalap."Semakin dilarang, maka seperti suruhan bagi Rachel. Tenang, Pram akan merasakan jengkel jilid dua untuk hari yang sama."Dih, kalo nggak percaya yaudah ikut masuk aja," celetuk Rachel.Pram mengangguk, lalu segera melangkahkan kakinya ke dalam kios serba pink itu.Lah, benaran masuk. Padahal Rachel berkata asal saja.Akhirnya Rachel membuntuti Pram. Dia mengambil keranjang sebelum akhirnya berjalan memburu barang skincare
Pertemuan tadi mengantarkan Pram pada suasana pembulian di antara teman-temannya. Namanya yang terus suci—meski dia tak sesuci itu, jadi tercoreng. Di sana rasanya Pram ingin melahap Rachel hidup-hidup. Apalagi ketika melihat wajah mahasiswanya itu yang terlihat tanpa dosa setelah mengatakan hal fitnah.Kini, Pram dan Rachel beserta enam pria dewasa tadi memilih untuk berkumpul di salah satu kios restoran untuk mengisi perut mereka di siang hari itu."Ketemu di mana sama ini om-om renta?"Raka, sahabat Pram dengan kemeja biru dan celana putih tadi yang bersuara.Pram tak terima dituakan, meski memang umurnya hampir menuju angka empat. "Gue renta, lu apaan? Fosilnya renta? Inget, baru kepala empat lo. Jan belagak masih kepala tig
Rachel membersihkan dirinya setelah dipaksa Pram menata segala belanjaannya. Tak hanya itu, Pram sekaligus menyuruh Rachel membersihkan kamarnya. Tentu dengan pengawasan dosennya itu karena jika tak begitu, maka seluruh area kamarnya tak sebersih itu sekarang. Lihat, bahkan keranjang baju kotornya saja bersih karena Pram ingin Rachel mencuci bajunya detik itu juga.Setelah selesai membersihkan diri, Rachel menatap jam di dinding. Sudah pukul tujuh malam. Tak terasa, ternyata Rachel menghabiskan satu jam sendiri untuk memanjakan tubuhnya.Sembari menelepon Bayu, Rachel sembari memakai skincare malamnya. Katanya, rangkaian perawatan wajah lebih efektif saat dipakai pukul sembilan malam. Namun, jika nanti-nanti maka Rachel akan malas. Jadi, Rachel memakai skincare-nya se-mood hatinya saja. Untung saja tetap memberi efek bagus pada kulitnya."Bi, nginep sini, yuk. Besok aku libur k
Di pagi hari, seperti biasa Rachel akan dibangunkan oleh Pram untuk olahraga, bersih-bersih dan memasak.Hari ini Pram berangkat kerja siang, jadi Pram sedikit lembut pada Rachel dan tak memburu-burunya."Pak, hari ini beli McD, ya?"Rachel berucap ketika mereka telah selesai membersihkan seluruh penjuru apartemen itu. Pram merupakan orang yang teliti, di waktu seperti ini, pria itu biasa membersihkan apartemennya lebih intens daripada hari-hari biasanya, apalagi ketika hari libur, membuat Rachel jengkel setengah mati. Dia yang selalu ogah-ogahan mengerjakan sesuatu dituntut untuk ikut bersifat teliti dan sungguh-sungguh seperti dosennya itu. Jika tidak, you know-lah apa yang akan terjadi. Sangunya diancam akan semakin menipis. Ya ... meskipun selama beberapa hari itu ancaman Pram tak pernah terjadi. Namun Rachel tetap berhati-hati, uangnya tak cukup untuk apa pun, tetapi masih akan dipotong. Ke lau
Tahun ajaran baru telah tiba. Seperti biasa, setelah melewati liburan panjang selama kurang lebih dua bulanan, pria dengan pekerjaan sebagai seorang dosen itu harus kembali menapaki kampus dengan tujuan tentu untuk mengajar. Memberi ilmu pada mahasiswanya agar pandangan mereka lebih luas.Namanya Pram. Gemilang Bintang Pram Santoso. Seorang dosen dari jurusan Ilmu Komunikasi di salah satu universitas swasta di Jakarta. Jangan tanya umurnya berapa karena pria dengan setelan kemeja putih dan celana gelap itu sangat sensitif jika seseorang menanyakan umurnya. Menurut pria itu, umur hanyalah angka. Tak berarti apa pun selama kualitas diri lebih oke dan jiwa terasa masih muda.Langkah lebarnya membelah lautan mahasiswa yang memenuhi lantai lobi kampus."Selamat pagi, Pak Pram," sapa salah satu mahasiswa bimbingannya yang dia kenal sebagai mantan wakil ketua HMJ.Pram tak menghentikan langkahnya, tetapi dia ters
Selesai mengajar di kelas anak-anak baru, Pram melangkahkan kakinya untuk menuju ke kelas selanjutnya. Yakni kelas para mahasiswa basi. Mata kuliah yang dia ajarkan untuk mereka adalah riset. Untuk kelas ini, Pram akan membuat kesepakatan untuk pertemuan mereka karena tak mungkin setiap minggu mereka harus berada di kelas. Mahasiswa seperti ini sudah punya kesibukan masing-masing. Ada yang magang, ada yang sudah bekerja، ada yang job sana sini, ada pula yang menunggu nasib baik di kediaman.Pram membuka pintu, tak seperti mahasiswa baru yang antusias, para mahasiswa yang berjumlah 72 orang ini menatap biasa pada Pram. Hanya tersenyum tipis jika saling berserobok mata.Pram mendudukkan diri lalu menatap pada sebagian anggota kelas yang Pram hafalnamanya karena mereka sering bolak-balik bertemu kaprodi. Apalagi di kelas itu lebih banyak pengurus himpunan yang sering mengundangnya untuk seminar.Pram memang buk
Makan malam Pram dengan Salisa harus dia tunda akibat orang tuanya ingin makan malam dengannya. Dia tak bisa menolak karena momen makan malam bersama di tahun ini bisa diingat hanya berapa kali. Tak sesering dulu karena orang tuanya sangat sibuk ke luar negeri."Papa ngundang Pak Gunawan dan istrinya juga," ujar Hilda, mamanya.Pram yang baru datang mengangguk. Dia tak keberatan siapa pun yang diundang orang tuanya."Apa kabar, Ma?" tanya Pram sembari memeluk dan mengecup pipi mamanya.Hilda tersenyum tipis. "Baik. Kamu?""Tentu saja seperti yang Mama lihat."Wanita itu tersenyum bahagia mendengar itu. Pram pun beralih menyapa papanya yang masih sibuk dengan ponsel. Setelah itu dia mengambil tempat duduk di samping mamanya."Engga ada kandidat calon buat dikenalin ke Mama, nih?"Jika biasanya orang-orang seumuran Pram yang belum menikah ak
"Esthel, sini bentar."Panggilan dari mamanya membuat wanita dengan setelan santai itu mendekat ke arah mamanya berada."Mama pulang nanti malam," ujar Ajeng pada anak tunggalnya.Wanita muda itu terlihat menahan senyum bahagianya."Mama kok cepet banget di sininya? Engga mau satu bulan gitu?" tanyanya dengan nada yang dibuat sedih.Ajeng menghela napas mendengar itu. "Yaudah, Mama sebulan di sini."Sekarang wajah wanita muda itu gelagapan. "Eh, kata Papa, kalian lagi sibuk launching produk baru. Kalo ditinggal kan nggak baik, Ma," ujarnya beralasan dan Ajeng tahu akan maksud ucapan itu. Dia hanya menggertak anaknya.Gunawan datang dari arah dapur. "Papa sendirian nge-handle bisa, tuh. Kayaknya kamu aja yang nggak mau kami di sini," ujarnya sembari membawa sepiring buah naga.Wanita muda itu melipat bibirnya ke dala