Share

2. Misi Rahasia

Aldebaran duduk sendiri di bawah pohon mangga di belakang rumahnya, menjauh dari anggota keluarganya yang lain. Dirinya sedang tidak ingin terlibat obrolan atau interaksi dengan mereka karena pada setiap detik yang berjalan hatinya semakin merasa tak tenang. Hidupnya terasa seperti di ujung tanduk dan untuk tetap bertahan dirinya harus segera bertindak atau semua akan terlambat dan Kania akhirnya menjadi milik lelaki lain.

"Kenapa tidak gabung dengan yang lain?"

Alde tidak menoleh untuk melihat siapa yang datang. Dari suaranya saja Alde sudah tahu jika itu adalah kakak sulungnya. Sesaat dirinya terpikir untuk meminta bantuan kakaknya yang serba bisa itu, tapi mengingat sang kakak baru saja menikah, dirinya membatalkan niatnya itu. "Lagi cari angin."

"Jangan bohong! Dari nada suaramu saja, Kakak tau kau sedang ada masalah. Ada apa?"

Alde menghela napas berat. Sulit untuk berpura-pura bahwa dirinya baik-baik saja karena hatinya rasanya sudah remuk. Namun, dia memutuskan untuk menjawab bahwa dirinya baik-baik saja. Dia tahu sang kakak tidak memercayai jawabannya, terlihat dari cara kakaknya memicing dan mengamati dirinya.

"Ya sudah, bilang Kak Ale jika butuh bantuan."

Alde mengangguk singkat sambil mengucapkan terima kasih, tapi tidak menoleh untuk menatap wajah kakaknya. Bukan bermaksud tidak sopan, dia hanya takut jika pertahannya runtuh dan akhirnya harus menangis di hadapan sang kakak. Sampai akhirnya Aleron bangkit dan kembali meninggalkan dirinya sendiri, barulah Aldebaran menoleh untuk melihat punggung sang kakak kebanggaannya itu.

Aldebaran sendiri merupakan putra kedua dari pasangan Aidan Blackstone dan Carmila. Dia memiliki saudara kembar bernama Aldevaro, dua adik laki-laki yang bernama Alden dan Aaro, serta seorang adik perempuan bernama Alea. Dia tahu jika dirinya meminta bantuan kepada kelima saudaranya itu, mereka tidak akan pernah menolak dan mereka akan tetap berdiri di sisinya apa pun yang terjadi. Namun, dirinya masih ragu untuk membicarakan perihal Kania ini kepada mereka semua.

Alde teringat pembicaraannya dengan sahabat ayahnya di kantor tadi. Haruskah dirinya menjadi seperti Om Azka yang hanya diam tidak melakukan apa pun ketika melihat gadis yang dicintai bersama dengan laki-laki lain?

Kepala Alde menggeleng dengan cepat. Dirinya tidak mau membayangkan Kania bahagia dengan laki-laki selain dirinya. Gadis itu sudah menjadi miliknya sejak pertemuan pertama tujuh tahun atau sampai kapan pun dan dirinya tidak akan pernah rela menyerahkan Kania untuk siapa pun.

Semangatnya pun terbangun dan sudah bertekad untuk memberi tahu saudara-saudaranya yang lain tentang masalahnya kali ini. Saat dirinya bangkit berdiri untuk mendatangi kakak sulungnya dan meminta saran, dirinya justru melihat keempat saudaranya yang lain sedang berkumpul di gazebo tanpa ada orang tua atau kakek neneknya. Dia pun berpikir bahwa itu waktu yang tepat untuk berbicara dengan mereka.

Alde pun menghampiri keempat saudaranya dan bertanya mereka sedang apa untuk basa-basi.

"Nah, ini orangnya datang," celetuk si bungsu Alea.

"Kenapa?" Alde kembali bertanya dengan wajah bingung.

"Kita lagi membahas tentang seseorang yang sedang bermuram durja." Aaro memasang raut wajah serius.

"Bukan hanya bermuram durja, tapi juga tolol." Aldevaro menambahkan. Sama seperti Aaro, dia juga memasang wajah seolah-olah hal yang sedang mereka bahas merupakan masalah yang sangat serius dan rahasia.

"Bodoh dan tolol," koreksi Alden. "Dia lupa kalau masih punya sodara dan keluarga sampai harus menyendiri di bawah pohon mangga buat cari wangsit."

Si bungsu Alea menepuk tempat duduk di sampingnya. "Kak Deb duduk sini." Kemudian dia menatap saudaranya yang lain dan meminta agar mereka berhenti menyindir Kak Deb-nya. Kak Deb adalah panggilan kesayangan Alea untuk Aldebaran.

Aldebaran duduk di samping Alea. Sambil merangkul pundak adik bungsunya itu dia pun berkata bahwa memang dirinya sedang menghadapi masalah yang sangat serius.

"Seserius apa, sih?" Alden mengerutkan dahi, "Sampai kayak dunia kiamat aja."

"Tepat." Aldebaran mengangguk setuju dengan istilah yang Alden sebutkan. "Rasanya memang seperti dunia bakal kiamat besok."

"Ya, sudah. Buruan ceritain masalah apa yang bikin duniamu sampai berasa kiamat gitu." Aldevaro menepuk pundak saudara kembarnya tak sabar.

Tanpa menunggu lama karena memang waktu yang dia miliki tidaklah banyak, Aldebaran pun akhirnya menceritakan tentang Kania secara singkat pada keempat saudaranya.

"Tujuh tahun?" Aaro bergidik ngeri membayangkan kakaknya tahan untuk memendam perasaan terhadap seorang gadis. "Hah! Bucin kali kau, Kak? Sampai tujuh tahun? Ckckck!"

"Ya namanya perasaan, kan nggak bisa diatur-atur, Aa." Aldebaran membela diri.

"Mana mungkin. Kakak aja tuh yang dasarnya bucin. Kalau Aaro, mah, ogah banget."

"Kau masih bocil, tau apa soal cinta?!" Aldebaran yang semula bersemangat untuk meminta bantuan saudara-saudaranya pun menjadi jengkel melihat reaksi Aaro. Ia memukul kepala Aaro sambil mendelik.

"Sudah, sudah." Aldevaro menenangkan saudara kembarnya. Ia pun memberi isyarat kepada adiknya, Aaro supaya tidak lagi menggoda Aldebaran karena sepertinya situasi yang sedang dihadapi saudara kembarnya itu benar-benar sulit. "Jadi, masalahnya di mana?"

"Besok Kania mau menikah dengan Raden Sulthan Mangkubumi."

"Demi Tuhan!" Aaro memukul lantai gazebo dengan keras. Di antara enam Blackstone bersaudara memang dia yang terkenal paling emosional dan nekat. "Apa sekarang kita harus menyerang keluarga Mangkubumi?"

"Wah, gawat." Alden yang pembawaannya lebih tenang dan pendiam menggelengkan kepala beberapa kali. "Cari mati bener-bener, lu, Kak. Ngapain naksir calon bini orang?"

"Selama ini dia tidak pernah dekat dengan siapa pun. Dia juga tahu jika aku yang selalu menaruh coklat dan bunga di lokernya."

"Coklat?" Alea menatap Kak Deb-nya dengan manja sambil merengek meminta coklat.

"Ya, nanti kalau rencana Kakak berhasil, baru Kakak kasih Lee coklat sepuasnya."

"Beneran?"

Aldebaran mengangguk sambil mencium puncak kepala adik bungsu kesayangannya itu.

"Apa rencananya?" Aldevaro mulai was-was karena menyerang keluarga Mangkubumi merupakan hal yang cukup serius. Bukan mereka tidak mampu, tapi lebih kepada dampak yang akan ditimbulkan. Apalagi keluarga mereka memiliki kerja sama bisnis dengan keluarga Sulthan Mangkubumi . "Kita tidak mungkin mengibarkan bendera perang dengan Sulthan. Ayah akan marah. Apalagi jika hanya karena seorang perempuan."

Aldebaran memukul lengan Aldev. "Kania bukan hanya sekedar perempuan. Dia sudah seperti nyawa bagiku."

"Hmph." Aaro menutup mulutnya dengan kuat, menahan agar tawanya tidak meledak keluar. "Sumpah, lo bucin banget, Kak."

"Lagian, kenapa sih nggak melamar duluan sebelum gadis itu dilamar cowok lain?" Aldevaro heran mengapa saudara kembarnya itu bersikap sangat tolol. "Sumpah, bodoh bener lo jadi orang."

"Nggak semudah itu, dodol!" Aldebaran menatap wajah saudaranya satu per satu. "Nanti kalau kalian jatuh cinta bakal tahu rasanya. Lutut rasanya lemes banget kalau sudah papasan sama dia. Belum lagi jantung rasanya kek mau melompat keluar."

"Separah itu?" Alden bergidik ngeri membayangkan sensasi jatuh cinta yang dijabarkan oleh kakaknya. "Semoga Den nggak bakal ngerasain itu. Grrrr."

"Lemah!" Aaro mencibir sang kakak. "Masak tinggal bilang 'Kania, gue suka sama, lo. gitu aja nggak bisa?"

Sekali lagi Aldebaran memukul kepala Aaro. "Sudah dibilang nggak segampang itu, masih aja ngeyel ni anak."

Aldev, Alden, dan Alea menahan tawa melihat wajah frustrasi Aldebaran, tapi mereka tetap bersimpati dengan tidak mengejek kakaknya itu.

"Ya sudah. Apa rencananya?" Aldev meminta yang lain untuk kembali membahas rencana yang akan mereka jalankan. "Besok gadis itu akan menikah, lalu kau mau apa?"

"Kita akan menculik Kania sebelum acara pernikahan dimulai." Aldebaran mengangkat tangan melihat Aaro hendak menyela ucapannya. "Aku tau ini rencana gila, tapi pilihannya aku harus mendapatkan Kania atau aku akan mati perlahan jika harus hidup tanpa dia."

"Mati perlahan?" Aaro memutar bola matanya menganggap hal yang diucapkan sang kakak itu snagat tidak masuk akal. Mati hanya karena tidak bisa mendapatkan gadis yang dicinta, benar-benar konyol. Namun, dia tetap menahan umpatan itu di dalam kepalanya sendiri dan tetap menunjukkan kepeduliannya pada sang kakak. "O-oke, ayuk kita berangkat sekarang juga." Aaro sudah setengah berdiri ketika Alden menarik tangannya dan meminta agar dirinya duduk lagi.

"Tidak bisa grusa-grusu, Aa!" Aldev menegur adiknya yang memang suka 'bondo nekat' itu. "Kita harus memikirkan strategi dan memahami medan atau gagal total.

"Setuju." Alden mendukung pendapat kakaknya. "Dan sebaiknya kita harus berhati-hati supaya jangan sampai ketahuan karena bisa fatal akibatnya."

"Lee boleh ikut, kan?"

"Tidak!" Aldebaran, Aldevaro, Alden, dan Aaro serempak menjawab.

"Kamu masih kecil, Lee," tegur Alden.

"Ini terlalu berbahaya buatmu adik kecil." Aldev mengusap kepala Alea.

Alea memajukan bibirnya sambil bersedekap. "Oke, tapi apa kalian nggak takut kalau nanti Lee kelepasan bicara terus ngomong ke ayah dan bunda kalau-"

"Oke, kamu bisa ikut!" Aldebaran memotong ucapan adik bungsunya itu karena membujuk Alea memerlukan waktu dan proses yang lama, sementara waktunya tidaklah banyak.

Pada akhirnya mereka tidak punya pilihan dan memasukkan Alea ke dalam misi rahasia yang akan mereka jalankan. Malam itu mereka mematangkan rencana yang akan dilaksanakan esok hari dan mempersiapkan semua, termasuk mencari tahu kamar Kania di hotel dan rute-rute yang akan mereka lalui untuk kabur.

***

"Kalian siap?" Alde menatap adiknya satu per satu. "Karena misi ini terlalu berisiko, kalian bisa mundur kapan saja. Aku tidak akan memaksa." Sekali lagi Alde memberi kebebasan kepada keempat adiknya memilih untuk tetap ikut beraksi atau mundur.

"Mulai lagi deh!" Si bungsu Alea mendengus dengan keras. "Kan, semua sudah sepakat, kita tetap bersama-sama apa pun yang terjadi?!" Kedua tangannya ia tekuk di pinggang, sementara matanya mendelik menatap sang kakak, membuat sang kakak terpaksa tertawa dan merasa sedikit rileks.

"Terima kasih semua." Alde tak bisa menutupi rasa haru dalam suaranya. "Aku tidak akan melupakan bantuan yang sangat berarti ini."

"Apaan, sih! Inilah gunanya sodara." Aaro berdecak tak sabar. "Seperti janji yang selalu kita ucapkan, Kak, apa pun yang terjadi, kita akan tetap bersama dan saling mendukung."

Aldebaran mengangguk. Raut wajahnya tegang dan kaku. Beberapa menit lagi dirinya harus berhadapan dengan Kania dan ketika saat itu tiba dirinya berharap agar seluruh tubuhnya bisa diajak bekerja sama dengan baik karena seperti yang sudah-sudah, dirinya selalu mati kutu setiap berhadapan dengan Kania. ia harus bisa membujuk Kania untuk kabur, untuk itu diperlukan kelancaran bicara yang bagus. Namun, jika ternyata tidak bisa, dirinya sudah memiliki rencana cadangan. Semalam kakak sulungnya yang merupakan seorang dokter membekali dirinya obat bius hisap yang bisa ia pergunakan untuk membuat Kania tidak sadarkan diri sehingga dirinya bisa membawa gadis itu kabur lebih mudah.

"Dua puluh menit lagi acaranya dimulai." Alea mengingatkan sembari mengecek jam digital di pergelangan tangannya.

Ucapan Alea menyadarkan Alde dari lamunan. Ia menghirup napas panjang, kemudian membuangnya perlahan. "Kita mulai sekarang?"

"Siap!" Aldev, Alden, Aaro, dan Alea menjawab serempak.

"Go!" Begitu Alde mengatakan itu, keempat adiknya langsung bergerak sesuai dengan tugas yang sudah mereka bagi semalam.

Alea bersama Cheche-Cheeta peliharaannya—akan berjaga di lorong yang menuju ke kamar pengantin Kania. Tugasnya untuk menakut-nakuti siapa saja yang berniat melewati lorong itu. Hal itu dimaksudkan agar tidak ada saksi mata yang memergoki aksi penculikan sang kakak di kamar pengantin.

Aldev akan mengawal Aldebaran sampai di depan pintu kamar pengantin Kania. Ia akan berjaga di sana, siap melawan siapa pun yang berusaha menghalangi Alde, jika sampai Alea gagal melakukan tugasnya dan mereka ketahuan.

Aaro akan masuk ke dalam ruang listrik untuk memutuskan supply listrik di hotel, kemudian standby di basement dalam Ferarri berwarna hitam legam yang akan membawa Alde dan Kania pergi. Mobil itu merupakan pinjaman dari kakak sulung mereka. Dengan semua bodi dan kaca yang berwarna hitam, mereka berharap tidak ada yang bisa melihat siapa saja yang ada di dalam mobil ketika Aldebaran harus berada dalam pelarian.

Alden akan membantu Aaro sebentar di ruang listrik, sebelum bersiap di posisinya. Ia akan mengemudikan mobil yang mengangkut Alea dan kakaknya Aldevaro.

Masing-masing sudah membawa alat komunikasi berupa HT kecil yang berbentuk seperti kancing baju. Siapa pun yang melihatnya tidak akan curiga jika itu adalah alat komunikasi rahasia. Tentu saja alat itu merupakan salah satu alat komunikasi rahasia temuan ayah mereka sendiri.

Aldebaran melirik jam di pergelangan tangannya. "Kalian harus berhati-hati dan jika ketahuan, kalian harus langsung menyelamatkan diri. Tak perlu mempedulikan aku!"

"Sudahlah! Bicaramu ini seolah kita baru pertama kali saja menjalankan misi penting dan rahasia!" Alden menepuk pundak sang kakak yang terlihat tegang itu. "Jangan khawatir, semua pasti beres." Ia mengacungkan ibu jarinya sebelum melesat pergi bersama Aaro menuju ruang listrik.

Rencana pertama mereka adalah memutus pasokan listrik di dalam hotel agar mereka bisa naik ke atas kamar Kania tanpa ada yang melihat. Mereka semua sudah memakai softlens anti gelap yang itu berarti mereka tetap bisa melihat meski dalam keadaan gelap.

Sebelum masuk ke ruang listrik, Aaro akan membuat keributan di luar ruang listrik agar petugas yang berjaga di sana keluar, setelah itu Alden yang memang lebih paham mengenai jaringan listrik yang akan masuk untuk memutus pasokan listrik ke dalam hotel.

Sementara Aaro dan Alden bergerak, Alde, Aldev, dan Alea mengendap-endap di tempat gelap bassement hotel. Mereka akan menunggu sampai listrik padam sebelum masuk menerobos ke dalam hotel melalui pintu darurat yang langsung terhubung ke tangga darurat. Pagi tadi Aldev sudah mengecek kondisi di sana, berpura-pura menjadi tamu hotel yang tersesat jalan.

Debar jantung Alde berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia merasa begitu tegang. Bukan hanya karena memikirkan rencana mereka, tapi juga bingung bagaimana cara menghadapi Kania nanti. Sejak dulu Alde sangat yakin bahwa Kania memiliki rasa yang sama padanya. Gadis itu selalu tertawa lebar ketika berpapasan dengannya dan menolak pernyataan cinta cowok-cowok di sekolah, dan terakhir kali saat dirinya meminta gadis itu menunggu, gadis itu melakukannya meski saat itu tidak secara langsung mengatakan 'ya'. Alde yakin pasti ada alasan yang mendesak yang membuat gadis itu akhirnya memutuskan menikah padahal kuliahnya saja belum selesai.

"Biar aku dan Cheche yang berjalan di depan." Suara Alea membuyarkan lamunan Alde. Dirinya bahkan tidak sadar jika suasana di sekitarnya sudah menjadi gelap gulita. Jika bukan karena soflens buatan ayah mereka yang bisa melihat dalam gelap, mungkin saat ini dirinya akan seperti orang buta.

"Ayo," desis Alea dari arah depan. Sebelah tangan gadis itu masih memegang handle pintu darurat, sementara tangannya yang lain memegang kalung leher Cheche.

Alde dan Aldev mengekor di belakang Alea. Meski masih sangat muda, tapi pola pikir dan kewaspadaan Alea sudah sangat matang. Indera pendengarannya pun terbilang cukup tajam. Untuk itulah Alde memberinya tugas untuk menjadi penjaga. Ilmu bela diri yang dimiliki Alea pun sangat mumpuni untuk melawan sekitar tiga sampai empat penjaga sekaligus.

Alea masuk lebih dalam, kemudian memberi tanda aman kepada kedua kakaknya. Mereka bertiga menaiki tangga darurat dengan cepat. Cheche berada di barisan paling depan diikuti oleh Alea. Setidaknya ketika mereka berpapasan dengan orang, mereka akan lari pontang-panting karena bertemu cheetah dengan ukuran yang cukup besar.

Alde mengikut di belakang Alea dan Aldev. Rencana mereka sangat minim sekali untuk gagal, tapi meski begitu mereka tetap menyiapkan rencana cadangan. Jika Alea ketahuan, Aldev dan Alde akan terus bergerak maju. Dan jika sampai Aldev pun ketahuan atau tertangkap, ia akan mengulur waktu agar Alde bisa menyelesaikan misinya sendiri.

Mereka sampai di pintu yang menuju ke arah koridor lantai teratas di mana kamar pengantin Kania berada. Tadi Alea sudah menghubungi hotel berpura-pura mencari informasi mengenai reservasi hotel untuk acara pernikahan. Alea mengatakan bahwa dirinya menginginkan kamar pengantin yang mewah dan nyaman karena itu merupakan pengalaman sekali seumur hidup dan jika bisa hari itu juga dirinya akan datang untuk mengecek kamar itu langsung. Pihak hotel pun menjelaskan bahwa mereka memiliki dua buah kamar suit dengan fasilitas mewah dan lengkap dengan tema berbeda. Jika berkenan Alea bisa melihat kamar itu, tapi hanya untuk kamar dengan tema Eropa saja karena untuk kamar dengan tema Maroko untuk hari ini sedang digunakan oleh pengantin yang menyewa hotel hari itu. Dari situ pun mereka tahu bahwa Kania berada di kamar suit tema Maroko yang ada di lantai lima, lantai teratas hotel.

Di lantai lima hanya terdapat dua suit, salah satunya adalah kamar Kania. Meski mereka tidak tahu pintu yang mana yang merupakan kamar pengantin Kania, tapi jauh mereka melihat dua orang penjaga berdiri di depan sebuah pintu dan mereka pun akhirnya yakin jika itu adalah kamar pengantin Kania.

Alea merentangkan kedua tangannya, memberi isyarat agar kedua kakak laki-lakinya berhenti. Setelah itu ia membisikkan sesuatu pada Cheche-cheetah kesayangannya-dan melepas pegangannya di kalung leher binatang itu.

Cheche melenggang dengan anggun mendekati dua bodyguard berbadan kekar itu. Bahkan, sebelum ia memamerkan taringnya, dua penjaga konyol itu sudah lari pontang-panting setelah melihat dua mata Cheche yang bersinar.

Alea pun bersiul pelan untuk memanggil Cheche kembali. Sekarang ia bertugas menjaga koridor agar tidak ada orang yang lewat, sementara Aldev dan Alde pergi ke kamar pengantin. "Semangat, Kak."

Di depan kamar pengantin, Alde sempat ragu untuk membuka pintu. Bukan karena takut, tapi karena dirinya belum siap untuk berhadapan dengan Kania. Selama beberapa detik ia hanya terpaku sambil memegang handle pintu sampai sebuah tepukan di pundak menyadarkan dirinya.

"Masuklah, aku berjaga di sini," Aldev memberi semangat saudara kembarnya. "Kita tidak memiliki banyak waktu jika kau masih ingin membawa gadis itu pergi dengan aman. Waktumu hanya lima menit dari sekarang."

Alde mengangguk mengerti. Ia menghirup napas banyak-banyak, menyiapkan mentalnya untuk berhadapan dengan Kania. Dalam hatinya terus berdoa semoga seluruh sel di dalam tubuhnya bisa di ajak bekerja sama hingga dirinya bisa bergerak cepat dan membujuk Kania untuk pergi bersamanya. Namun, jika membujuk Kania ternyata tidak semudah yang ia bayangkan, dirinya akan menjalankan rencana cadangan.

Tangannya gemetar ketika memutar handle pintu kamar pengantin itu. Kakinya pun terasa gemetar ketika mulai melangkah masuk ke dalam kamar. Ternyata kondisi di kamar itu tidak sepenuhnya gelap karena ada lampu emergency yang otomatis menyala ketika aliran listrik di dalam hotel terputus. Debaran dalam dadanya semakin menggila tatkala sosok yang sedang duduk menghadap meja rias itu berbalik balik dan menghadap ke arahnya sambil bertanya, "Siapa?"

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status