Share

3. Pelarian

"Siapa?"

Jantung Aldebaran berdebar ketika mendengar suara itu. Listrik belum menyala hingga suasana kamar pengantin itu masih remang-remang dari lampu emergency yang terpasang di setiap kamar hotel itu. Tidak sepenuhnya terang benderang, tapi cukup untuk memberikan pencahayaan di kamar itu.

"Kania." Suara Alde terdengar parau. Ia pun menggigit bagian dalam pipinya untuk mengurangi rasa gugup. Debaran di dadanya semakin tak terkendali. Kakinya pun mulai gemetar hingga rasanya lemas seperti tak memiliki tulang. Keringat dingin membasahi wajah dan telapak tangannya.

Alde menahan napas ketika Kania berdiri sambil berjalan lambat ke arahnya. Raut wajah gadis itu pun terlihat terkejut dan tak percaya dengan kehadirannya.

"Kak ... Aldebaran?" Ia menutup mulut dengan kedua tangannya, sementara matanya membelalak lebar.

Bukan hanya Kania yang terkejut, Aldebaran pun sama. Kania terlihat cantik dengan baju pengantinnya. Hal itu membuatnya terdiam selama beberapa saat, mengagumi kecantikan gadis itu.

"A-apa yang kamu lakukan di sini?" Kania yang sudah pulih dari rasa terkejutnya pun bertanya. Kedua tangannya masih memegang dadanya karena kejutan ini masih membuatnya tak percaya.

"Hhggrrrmm." Alde menggeram tertahan, membuat Kania menatapnya semakin heran.

Haish bodoh! Alde mengumpati dirinya sendiri dalam hati. Maksud hatinya ingin memuji kecantikan Kania. Namun, apa daya suaranya malah tersendat di tenggorokan dan berubah menjadi geraman menyeramkan seperti terompet rusak. Sungguh memalukan. Apalagi itu terjadi di hadapan gadis yang ia suka.

Kania memiringkan kepala, menunggu penjelasan Alde, tapi nyatanya lelaki itu masih diam sama seperti dulu. Ia pun menghela napas lelah, kemudian memalingkan wajah, sebisa mungkin tidak memandang ke arah Aldebaran-lelaki yang telah sukses mencuri hatinya sejak bertahun-tahun lalu, lelaki yang selalu memberikan perhatian padanya secara diam-diam, mengawasinya secara diam-diam, dan lelaki yang hanya memberikan kebingungan padanya baik itu status, perasaan, juga kepastian.

Lalu, apakah sekarang cintanya untuk lelaki itu sudah pergi? Tidak! Sampai kapan pun nama Aldebaran akan tersimpan apik di dalam hatinya. Tidak akan mudah bagi Kania untuk menghapus nama itu dari hati dan pikirannya. Perempuan mana yang bisa dengan mudah melupakan lelaki yang selalu memberikan bunga dan coklat setiap hari tanpa absen selama enam tahun berturut-turut? Perempuan mana yang sanggup membuang bayangan lelaki yang selalu diam-diam menjaganya kemana pun ia pergi, kemudian muncul ketika dirinya berada dalam situasi berbahaya, seperti dilecehkan, dijambret, atau diganggu orang di jalan. Saat itu terjadi, Aldebaran akan muncul menolongnya, kemudian bergegas pergi tanpa mengatakan apa pun.

Kania memejamkan mata mengingat apa saja yang telah Aldebaran lakukan untuknya. Bahkan orang bodoh pun tahu jika semua itu dia lakukan karena cinta. Namun, ada satu hal yang selalu Kania tunggu yang tak pernah Alde bisa lakukan untuknya, yaitu memberikan kepastian tentang hubungan mereka. Jangankan mengatakan cinta, Aldebaran bahkan tidak pernah menyapanya. Lelaki itu selalu menghindar dan menjauh begitu berpapasan dengannya, membuat Kania bingung setengah mati.

Aldebaran mengamati Kania memejamkan mata seperti menahan rasa sakit. Dirinya tidak suka melihat itu dan ingin mengucapkan kalimat penghiburan, tapi seperti biasa otaknya selalu berhenti berfungsi setiap berhadapan dengan gadis itu. Kemudian, terdengar suara ketukan di pintu kamar—isyarat dari saudaranya untuk bergegas.

Ia pun menarik napas panjang, lalu berjalan mendekati Kania dengan langkah berat seperti robot.

"Pe-pe-per gilah bersamaku!" Alde mengembuskan napas lega ketika sudah berhasil mengutarakan maksudnya.

Kania membelalak lebar, kemudian mendengus pelan. "Tidak ada alasan kuat untuk melakukan itu."

Alde menatap Kania dengan tatapan memohon. Satu tusukan ia rasakan begitu menyakitkan di hati tatkala melihat sorot mata Kania yang berbeda dari yang selalu gadis itu tunjukkan padanya dulu. Dia tidak lagi tersenyum ramah padanya atau menatapnya dengan penuh kelembutan seperti dulu. Kali ini wajah Kania seakan menyiratkan kebencian padanya. Apakah itu berarti sekarang Kania membencinya?

"Aku ... aku ...." Alde kesulitan untuk melanjutkan ucapannya. Padahal, dirinya begitu ingin mengatakan bahwa dirinya sangat mencintai gadis itu melebihi apa pun di dunia ini, tapi itu sulit sekali untuk dilakukan, membuatnya frustrasi.

"Tidak. Aku tidak akan ke mana-mana. Beberapa menit lagi, pernikahan akan dimulai. Pergilah!" Kania mengusir Alde yang masih berdiri mematung di hadapannya. Ia memalingkan wajah, khawatir tekadnya untuk merelakan Aldebaran dan membuka hati untuk laki-laki lain runtuh.

Memang menyakitkan melihat Aldebaran begitu berantakan dan putus asa seperti sekarang, tapi beberapa waktu lalu dirinya sudah memutuskan untuk menerima lamaran dari seorang pria baik hati yang selalu membantu mengembangkan bisnis orang tuanya.

"Kau tidak menginginkan pernikahan ini, bukan?" Alde maju lagi beberapa langkah. "Jangan," ujarnya saat melihat Kania mundur menghindarinya. Itu membuat hatinya pedih. Selama ini, Kania tidak pernah menunjukkan penolakan yang nyata padanya.

Kania tertawa gemetar. Apakah penting, dirinya menginginkan pernikahan itu atau tidak? batinnya bertanya pilu. Toh, hidup harus terus berjalan.

Belakang lututnya menabrak kursi meja rias, membuatnya hilang keseimbangan dan jatuh terduduk di kursi itu. Kepalanya mendongak dengan raut ngeri melihat Aldebaran terus mendekat ke arahnya.

"Stop!" Kania mengangkat telapak tangannya ke arah Aldebaran, memintanya berhenti. Namun, lelaki itu seolah tidak mendengar karena dia terus maju hingga lutut mereka saling bersentuhan.

"Aku akan membawamu lari." Alde berkata mantap sambil memegang kedua lengan Kania, tapi langsung melepaskannya karena terkejut oleh sensasi seperti tersengat aliran listrik yang ia rasakan di sekujur tubuhnya ketika kulitnya dan Kania saling bersentuhan. Ia terpana sekaligus tak menyangka bahwa sensasi seperti itu ada.

Kemudian suara ketukan di pintu kembali terdengar yang itu berarti Aldebaran harus keluar saat itu juga.

"Tidak!" Kania menolak. "Tidak ada alasan bagiku untuk kabur."

"Kau penting bagiku, kita pergi sekarang!" Alde berteriak tepat di depan wajah Kania, gusar karena gadis itu tidak juga mau mengerti perasaannya. "Aku bisa hancur jika tak ada kau."

"Lepas!" Kania menghempaskan tangan Alde. Matanya menatap tajam lelaki yang sudah mengacaukan hidupnya itu.

"Percayalah ... Aku bisa mati kalau kau tak ada." Alde memelas.

Kania memejamkan mata seraya menggeleng pelan. "Aku lelah. Sudah terlalu lama aku menunggu sampai akhirnya aku sadar, aku memang tidak ada artinya untukmu." Pedih hati Kania saat mengatakan itu. Ia tahu persis meski Alde tak pernah mengatakan apa pun, tapi perhatian yang diberikan pria itu sangat membuatnya merasa dicintai. Namun, tetap saja hidup harus berjalan realistis. Dirinya tak bisa terus hidup dalam khayalan bahwa Aldebaran begitu mencintai dirinya. Tidak! Karena Alde sendiri tak pernah mengatakan itu.

"Itu tidak benar! Kau sangat berarti bagi-"

"Berarti dalam artian apa, Kak?" Kania memotong ucapan Alde.

"I-itu ... A-aku c-ci," gagap Alde. Ia mengusap keringat dingin di wajahnya. Ya Tuhan, mengapa mulut ini terasa kaku sekali? rintihnya dalam hati.

Alde menampar pipinya sendiri, berharap dirinya bisa mengatakan sesuatu yang bisa membuat Kania bersedia ikut pergi bersamanya, tapi sekali lagi ia hanya mengeluarkan dengkur mengerikan dari tenggorokannya yang membuat mata Kania menyorotnya dengan pandangan terluka.

"Pergilah, Kak! Jangan lagi menggangguku. Biarkan aku menempuh hidup baru bersama Sulthan." Kania berkata getir. Hatinya patah seiring dengan ucapannya itu. Alde adalah lelaki yang sangat ia inginkan, bahkan selalu ia mimpikan setiap malam untuk menjadi pasangan hidupnya. Sangat menyakitkan rasanya harus melepaskan padahal sudah ada di depan mata.

Alde menggeleng. Pembicaraannya bersama Kania membutuhkan banyak waktu dan sementara itu, Kania tidak boleh menikah dengan siapa pun. Tangannya merogoh sapu tangan yang ada di saku celananya. Sapu tangan itu telah dibubuhi obat bius dengan dosis yang tidak membahayakan-tentu saja ia mendapatkannya dari kakak sulungnya yang seorang dokter spesialis bedah.

"Sampai kapan pun aku tidak akan membiarkan siapa pun memilikimu!" Alde membekap Kania, menangkap tubuh Kania yang roboh, dan memanggulnya di pundak, kemudian berderap pergi meninggalkan kamar pengantin itu. Ia sama sekali tidak memikirkan resiko yang akan ditanggungnya setelah ini. Ohh, dirinya bahkan tak peduli akan risiko yang harus ia hadapi setelah ini. Baginya yang terpenting saat ini adalah menyembunyikan Kania karena gadis itu tidak boleh menjadi milik pria lain.

"Kau milik-ku Kania," bisiknya lirih."Aku mencintaimu, sangat mencintaimu."

***

Aaro langsung menginjak pedal gas begitu Alde sudah masuk ke dalam mobil bersama Kania. Di belakangnya Alden mengikuti bersama Aldev dan Alea. Suasana basement gelap gulita karena sekali lagi ia dan Alden harus membuat listrik di hotel itu padam total agar tidak ada yang memergoki mereka. Petugas yang menjaga portal pun tertidur di dalam posnya karena Alden tadi memberikan minuman yang sudah dibubuhi obat tidur. Jejak bekas minuman itu pun telah mereka singkirkan agar tidak bisa terlacak oleh siapa pun.

"Sial!" Aaro mengumpat dengan keras sambil memukul stir kemudi ketika jalanan di depan hotel sedikit macet. Hal itu tentu menghambat pelarian mereka.

Ponsel Alde berbunyi tanda pesan masuk. Ia terkejut karena ternyata pesan itu berasal dari sang Ayah yang saat ini pun sedang berada di dalam hotel, menghadiri undangan pernikahan Kania bersama bundanya.

Point 12 lurus utara kosong!

Alde tertawa tertahan bercampur terkejut ketika membaca pesan dari sang ayah. Ada kelegaan luar biasa yang ia rasakan. Ayahnya tahu apa yang telah ia dan adik-adiknya lakukan dan tidak marah. Terbukti dari pesan yang baru saja ia terima.

"Lurus utara, point 12 kosong." Alde memberitahu adiknya yang sedang mengemudi.

"Kakak yakin? Bukankah di sana biasanya macet?" Aaro ragu.

"Sepertinya Ayah sudah mengosongkan jalan untuk kita." Alde tertawa lebar.

"Ayah?" Aaro terkejut.

"Siapa lagi?"

Mereka berdua terbahak bersama. Mana tahan sang Ayah tidak ikut dalam aksi heroik anak-anaknya. Segila apa pun hal yang dilakukan oleh putra-putrinya, Aidan Blackstone akan tetap menjadi garda terdepan yang mendukung dan melindungi mereka. Tentu saja semua itu tanpa sepengetahuan sang istri.

Aaro menghubungi Alden yang ada di mobil belakang melalui sambungan yang sengaja ia keraskan agar Alde bisa ikut mendengar percakapan mereka. Ia memberi tahu sang kakak rute jalan yang harus mereka lalui. Tak lupa Aaro juga menyampaikan jika pengosongan jalan itu adalah ulah sang Ayah.

"Kau yakin itu bukan jebakan?" Alden bertanya dari seberang sambungan.

"Yakin seratus persen. Pesan itu berasal dari nomor ponsel pribadi, Ayah." Alde menjelaskan. Kemudian ia, Aaro dan ketiga adiknya yang ada di mobil belakang pun terbahak bersama. Mereka semua merasa aman dan tidak perlu mengkhawatirkan apa pun jika sang ayah sudah ikut campur.

Sepanjang perjalanan mereka pun membahas kemungkinan-kemungkinan mereka terlihat oleh sang ayah atau ada salah satu dari mereka yang bocor, tapi nyatanya tak ada satu pun dari mereka yang begitu bodoh mengadu pada sang ayah hingga akhirnya mereka pun menyerah memikirkan kemungkinan itu dan berpikir bahwa ayah mereka memiliki indera keenam.

Menjelang senja mereka semua sampai di pelabuhan milik keluarga Blackstone. Di sana terdapat beberapa kapal motor dan juga kapal pesiar kecil untuk keluarga mereka.

Seorang petugas berpakaian serba hitam dengan lambang Blackstone di dada sebelah kiri bergegas menghampiri begitu mereka semua turun dari dalam mobil.

"Apa sudah siap?" Aldebaran bertanya kepada petugas itu.

"Semua perintah Anda sudah dilaksanakan."

"Tidak ada yang tahu, kan?" Alde kembali meyakinkan.

"Siap, tidak ada."

"Bagus. Terima kasih banyak," ujar Alde sambil menyerahkan sebuah koper kecil untuk dibawakan ke atas kapal, kemudian ia berbalik menghadap keempat adiknya. "Aku tidak tahu bagaimana caranya berterima kasih pada kalian semua."

"Mulai lagi dia!" Aaro mendengus keras, tapi kemudian rautnya berubah sedih. "Kita saudara, kan?"

"Tentu saja kita semua saudara." Alde memukul lengan adiknya itu. "Hari sudah mulai gelap, sebaiknya aku segera berangkat," ujarnya sambil menatap adiknya satu per satu.

"Jaga dirimu baik-baik!" Aldev memeluk saudara kembarnya itu sembari menepuk-tepuk punggungnya. Ini pertama kalinya mereka akan berpisah.

"Kau juga, jaga dirimu dan juga mereka." Alde melirik ketiga adiknya yang mencibir mendengar ucapannya. Bergantian ia memeluk ketiga adiknya yang lain. Ia menamatkan wajah mereka satu per satu dan berharap mereka bisa segera bertemu dan berkumpul lagi secepatnya. "Jaga diri kalian baik-baik! Jangan bandel! Titip Ayah sama Bunda."

"Kakak juga, hubungi kita kalau ada masalah." Alden memeluk sang kakak.

"Begitu sampai tujuan, jangan lupa memberi kabar!" Aaro mengingatkan.

"Alea pasti akan merindukan Kakak." Si bungsu Alea menubruk dada sang kakak dan menangis. Sedih harus berpisah dengan cara seperti ini. Sejak kecil mereka selalu bersama, tapi jika memang hal ini bisa memberikan kebahagiaan bagi sang kakak, ia pun harus mendukung.

"Ssstt! Sudah jangan nangis, masak jagoan nangis?" Alde mengusap punggung adik perempuan kesayangannya itu. "Alea harus nurut sama kakak-kakak ya? Nggak boleh bandel, nggak boleh pacaran, dan nggak boleh keluar malam kalau nggak ditemani kakak-kakak, ngerti!"

Setelah saling mengucapkan kalimat perpisahan, Alde kembali ke mobil untuk menjemput Kania. Gadis itu masih dipengaruhi obat bius hingga ia pun harus menggendongnya saat menaiki kapal yang akan ia kendarai sendiri menuju pulau pribadi milik keluarga Blackstone. Ia melambaikan tangan ke arah keempat adiknya yang berdiri berjajar di dermaga sebelum menyalakan mesin kapal motor dan melaju ke tengah lautan, menyongsong masa depannya bersama Kania.

Ada rasa berat yang ia rasakan ketika harus meninggalkan keluarga yang selama ini telah menjadi tempatnya untuk tumbuh dan menerima begitu banyak cinta. Namun, ia pun bisa mati jika harus hidup tanpa Kania.

Dalam hati Alde berharap semoga saja Kania lebih mudah untuk dibujuk dan mereka bisa secepatnya kembali untuk mempertanggung jawabkan kekacauan yang telah ia ciptakan dan segera menikah.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status