Share

4. Pulau

Angin berhembus dengan kencang seiring dengan suara debur ombak yang memecah karang. Aldebaran beranjak dari tempatnya duduk di samping ranjang Kania untuk menutup jendela yang terus terbuka dan tertutup karena tertiup angin. Saat ini dirinya sedang berada di pulau pribadi milik keluarga Blackstone. Sebuah tempat yang aman untuk menyembunyikan Kania sementara waktu.

Sejak tiba di pulau sampai menjelang tengah malam, Kania belum juga bangun. Gadis itu masih lelap tak terganggu oleh keributan suara angin, debur ombak, dan juga jendela yang terus menabrak daun pintu dengan keras.

Aldebaran khawatir dan sempat menghubungi kakak sulungnya, bertanya kapan efek obat bius itu hilang atau jangan-jangan kakaknya itu telah memberikan dosis di luar batas wajar. Namun, sang kakak tidak memberi jawaban memuaskan.

"Kalau mau dia cepat bangun, tampar saja wajahnya. Lagipula, ini kan salahmu sendiri kenapa memilih menjadi pecundang dan tidak segera mengikat gadis yang kau suka ke dalam sebuah hubungan resmi. Merepotkan semua orang saja!"

Jawaban sang kakak membuat Aldebaran mendengus kesal, tapi Alde tahu dibalik kata-kata sinis kakaknya, kakaknya itu sangat peduli akan kebahagiaannya. Selain ayahnya, kakak sulungnya itu pun menjadi sosok yang sangat ia puja dan idolakan. Tegas, berani, dan tangguh. Berbanding terbalik dengan dirinya yang mengatakan cinta pada gadis ia suka saja tidak mampu.

Aldebaran mengusap wajah dengan kedua telapak tangan. Hatinya gelisah menanti apa yang akan terjadi ke depannya. Ia tak tahu apakah Kania akan marah atau justru gembira karena diculik tepat di hari pernikahannya. Selain itu, Sulthan dan keluarganya pasti akan terus mengusut dan mencari siapa pihak yang bertanggung jawab atas batalnya pernikahan yang sudah direncanakan dengan matang dan akan dilaksanakan secara besar-besaran itu. Namun, apa pun itu, dirinya harus siap menerima setiap risiko yang ada.

Ia mendesah berat, kemudian berdiri dan berjalan ke jendela untuk mengganjal jendela itu dengan tisu yang ia temukan di kamar. Setelahnya, ia kembali duduk di samping tempat tidur dan mengamati wajah lelap Kania.

Wajah itu selalu menghantui mimpinya setiap malam selama tujuh tahun belakangan. Kini, wajah itu berada sangat dekat dengannya dan tidak lama lagi ia pun akan meng-klaim wajah itu sebagai miliknya, tak perduli apa pun yang terjadi. Namun, sebelum itu dirinya harus bisa membereskan kekacauan yang telah ia timbulkan.

Aldebaran belum mendapat pesan dari salah satu saudaranya tentang kondisi terkini di kota. Kegagalan pernikahan Sulthan-putra salah seorang pengusaha terkaya di kota-pasti menjadi sebuah berita besar. Namun, Alde berharap dirinya dan saudara-saudaranya tidak meninggalkan bukti penculikan kemarin.

Sekarang, ketika ia berpikir lagi dengan lebih tenang, dirinya baru menyadari bahwa aksinya kemarin bisa menimbulkan banyak sekali dampak buruk bila sampai ketahuan-dan lambat laun pasti ketahuan. Selain kerja sama bisnisnya dengan Sulthan akan hancur, keluarga Sulthan pun pasti tidak akan bisa menerima penghinaan yang telah ia berikan. Mereka akan membalas entah dengan cara apa karena sudah pasti keluarga Blackstone bukan tandingan yang bisa diremehkan.

Tiba-tiba saja rasa bersalah bercokol dalam dada Alde karena dirinya telah menyeret keluarganya ke dalam bahaya. Untuk kakak dan adik-adiknya, Aldebaran yakin sekali mereka bisa menjaga diri, tapi bagaimana bila Sulthan mengincar bundanya yang bahkan tak tahu cara membunuh semut. Ohh, bukan hanya keluarganya. Mungkin keluarga Kania pun saat ini berada dalam tekanan Sulthan.

Mengingat fakta itu membuat Aldebaran bergegas bangkit dan melangkah cepat keluar dari kamar yang ditinggali Kania. Ia harus menghubungi salah seorang dari anggota keluarganya dan tak ingin membangunkan Kania dengan suara telponnya.

Aldebaran berdiri di teras samping dan langsung menghubungi saudara kembarnya, Aldevaro. Ia mengatakan kekhawatirannya dengan cepat dan berharap saudara kembarnya itu bisa mengantisipasi kemungkinan apa saja yang bisa terjadi pada keluarga mereka.

"Besok, aku akan mengadakan rapat bersama para direksi via zoom. Jadi, bisakah kau mengatur tempat dan waktunya?"

Aldebaran mengerutkan dahi mendengar penjelasan saudara kembarnya yang berkata bahwa untuk sementara waktu mungkin perusahaan akan diambil alih ayahnya. Jadi, dirinya diminta untuk tenang dan tidak panik.

"Tapi, bagaimana bisa Ayah ...?"

"Kau seperti tidak tahu Ayah saja. Bisakah kami mengelak dari interogasinya?"

"Tidak, tapi apakah Bunda ju—"

"Ayah tidak cukup bodoh hingga membuat Bunda ikut panik dan menangisimu terus-menerus."  Aldevaro berusaha menenangkan Aldebaran. "Kita tidak tahu dan tidak bisa menebak langkah apa yang akan diambil oleh keluarga Sulthan. Yang jelas kita tak boleh lengah dan harus terus waspada."

"Kita tidak meninggalkan bukti. Jadi, Sulthan mungkin tidak akan tahu bahwa aku yang membawa pergi mempelai wanitanya. Tidak! Dia mempelai wanitaku!" geram Aldebaran sambil mengatupkan rahang. Dirinya tidak suka memikirkan kemungkinan Kania-nya menikah dengan Sulthan. Bahkan, membayangkan Sulthan menyentuh seinci saja tubuh Kania rasanya membuat Aldebaran ingin mematahkan tangan Sulthan saat itu juga.

"Mungkin kita tidak meninggalkan bukti, tapi dengan kau yang tiba-tiba menghilang seperti itu, mereka bisa saja berspekulasi." Aldevaro mengingatkan. "Tapi, itu kita pikirkan nanti. Yang jelas untuk saat ini, kita harus meningkatkan kewaspadaan dan keamanan anggota keluarga kita dan Kania. Aku akan merundingkan hal itu dengan yang lain. Kau ... Nikmatilah waktumu dengan gadis-mu itu."

"Trims." Hanya itu yang bisa Aldebaran ucapkan pada saudara kandungnya sebelum menutup panggilan. Setelah itu, ia tidak langsung kembali ke kamar Kania, tapi ke dapur. Dirinya harus menyiapkan makanan supaya ketika Kania sadar nanti, gadis itu bisa langsung makan.

Aldebaran menggaruk pelipisnya sambil melihat ke sekeliling dapur. Ia tidak tahu apa yang harus ia masak atau yang perlu dilakukan karena memang dirinya tidak terlalu menyukai bergelut di dapur dan lebih menyukai hal-hal yang praktis seperti memesan delivery atau pergi ke kafe ketika menginginkan sesuatu dan tidak ingin merepotkan bundanya. Akan tetapi, kali ini mau tak mau dirinya harus, karena Kania-nya butuh makan.

Ia pun membuka pintu lemari pendingin. Di dalam freezer hanya ada sosis, nugget, dan beberapa makanan beku lain yang Aldebaran tak tahu apa namanya. Ia mengambil sosis dan kentang. Seperti itu cukup bisa membuat Kania kenyang untuk sementara waktu. Tadi, adik perempuannya sudah berjanji untuk mengemas banyak makanan dan mengirimnya ke pulau. Jadi, untuk saat itu ia pun hanya bisa makan apa yang ada di freezer itu saja.

Aldebaran menggoreng satu pak sosis dan satu pak kentang kemasan satu kiloan. Untuk ukuran normal semua itu mungkin bisa dijadikan lima porsi makan bahkan lebih, tapi karena perutnya pun sudah menjerit kelaparan, sementara porsi makannya pun banyak, itu semua masih pasti tidak akan membuatnya kenyang.

Setelah meletakkan sosis dan kentang itu di sebuah nampan besar, ia membuka lemari penyimpanan di dapur dan menemukan beberapa buah-buahan kaleng dan sup jamur dan kacang polong. Wajahnya berbinar cerah melihat tumpukan makanan itu. Ia pun mengambil dua kaleng sup jamur dan satu kaleng sup kacang polong, lalu membukanya, menumpahkan isinya dalam wadah, dan memanaskan semua itu di microwave.

Setelah semua siap, Aldebaran membawa nampan dan mangkuk kaca berisi sup itu ke dalam kamar Kania. Gadis itu belum bangun. Jadi, Aldebaran meletakkan semua itu tanpa menimbulkan suara ke atas meja yang ada di sudut kamar, samping jendela. Setelah itu, ia kembali ke dapur untuk mengambil piring, garpu, dan juga sendok.

Kuah sup masih mengepul ketika Alde menyendok sup ke dalam mangkuk untuk Kania. Ia sendiri akan makan langsung dari wadahnya. Ia juga menyisihkan sepuluh potong sosis dan satu porsi kentang goreng untuk Kania. Kemudian, langsung makan dengan lahap. Ternyata, dugaannya benar. Sepuluh potong sosis, satu piring kentang goreng, dan satu wadah sup belum membuatnya kenyang. Matanya melirik jatah makan Kania, tergoda untuk mengambil beberapa potong sosisnya. Namun, ia tidak melakukan itu karena ingat Kania seharian ini belum makan apa pun. Ia pun menutupi jatah makanan Kania dengan tisu dan pindah duduk ke kursi di samping tempat tidur Kania.

Gadis itu terlihat gelisah dalam tidurnya dan sesekali terdengar mengerang pelan. Mungkin efek obat biusnya sudah hilang, pikir Alde. Dan itu seketika membuat tubuh Aldebaran kaku. Dirinya belum siap berhadapan dengan Kania.

Alde melirik ke arah tempat tidur di mana Kania masih mengigau dalam tidurnya. Seketika jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Sepertinya kali ini kakak sulungnya itu benar, bahwa dirinya harus mempergunakan waktu yang ada untuk berlatih bicara di hadapan Kania. Bagaimana bisa meminta gadis itu menikah dengannya, jika berhadapan dengan Kania yang sedang tidak sadar saja sudah membuat jantungnya seakan ingin melompat keluar dari rongga dadanya.

Alde gelisah. Waktu terus berjalan dan efek obat bius yang kakaknya berikan pun akan semakin memudar, tapi dirinya belum siap. Dia tidak tahu harus memulai pembicaraan dari mana, apa yang harus ia katakan, atau setidaknya tidak gemetar seperti pecundang menyedihkan. Apakah sebaiknya dirinya menelpon ayahnya dan meminta nasihat?

Baru saja ia mempertimbangkan untuk menelpon Aidan Blackstone ketika mendengar rintihan dari arah tempat tidur. Hal itu membuat Alde terkejut dan buru-buru menoleh-membuat lehernya sakit-untuk melihat ke arah tempat tidur.

Seketika jantung Alde rasanya berhenti berdetak begitu tatapan Kania terarah padanya. Tanpa sadar ia pun menahan napas sambil balas menatap terkejut gadis itu.

"K-kau s-sudah bangun?" Alde bertanya gagap. Ia batuk-batuk kecil untuk menutupi kegugupan dan kegagapannya.

Kania tidak menjawab. Dia bangun, kemudian bersandar ke kepala ranjang sambil memegang kepalanya yang terasa berkunang-kunang.

Beberapa saat kemudian ketika rasa pusing di kepalanya sedikit reda, Kania kembali membuka mata dan mengedarkan pandangan ke sekitar. Matanya membelalak melihat suasana yang ada di sekitarnya begitu asing baginya. Kemudian dia pun teringat jika hari ini adalah hari pernikahannya.

Kania tersentak dan buru-buru turun dari tempat tidur. "Jam berapa ini? Apa yang terjadi? Ya Tuhan!"

"Kau mau ke mana?" Alde terkejut karena tiba-tiba Kania berlari ke arah pintu. Ia mengejar Kania dan berdiri menghadang pintu.

"Jam berapa sekarang?!" jerit Kania panik.

"Sudah hampir tengah malam."

"Tidak! Pernikahanku ...." Kania mendorong lengan Aldebaran agar menyingkir dari pintu, sementara wajahnya berurai air mata. "Aku seharusnya sudah berada di-"

Hati Aldebaran trenyuh melihat gadis yang begitu ia cintai menangis histeris. Tiba-tiba saja keberaniannya muncul. Ia pun menarik Kania ke dalam dekapannya. "Kau tidak akan menikah dengan Sulthan atau dengan lelaki mana pun," bisiknya di telinga Kania.

"Kenapa?"

Aldebaran bisa merasakan tubuh Kania yang bergetar akibat tangis, juga nada suara gadis itu yang terdengar putus asa hingga ia pun mengeratkan pelukannya. "Karena kau akan menikah denganku." Kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibir Alde. Ia sendiri bahkan terkejut mendengarnya.

"Apa?" Kania berusaha melepaskan diri dari dekapan Aldebaran. "Aku harus kembali. Aku akan menikah dengan Sulthan."

Mendengar ucapan Kania, dada Aldebaran bergemuruh oleh api cemburu. Kemudian dengan tatapan mata yang membara oleh emosi, ia pun mengangkat tubuh Kania dan menjatuhkannya ke atas tempat tidur. "Kau hanya boleh menikah denganku!"

Kania berhenti terisak karena terkejut dengan sikap kasar Alde padanya. Namun, dirinya tetap berusaha untuk bersikap tenang dan bertanya apa maksud Aldebaran mengatakan itu, padahal di antara mereka tidak pernah ada hubungan apa pun.

"A-ku," ucap Alde ragu, "Aku janji kita akan menikah secepatnya."

"Tidak!"

"Aku satu-satunya orang yang boleh menikahimu, Kania!"

"Aku harus menikah dengan Sulthan!" Kania balas berteriak. Matanya yang sudah mengering kembali berkaca-kaca saat dirinya dengan berani membalas tatapan tajam Aldebaran.

Aldebaran naik ke atas tempat tidur, kemudian memegang kedua lengan Kania dan mengguncang tubuh gadis itu. "Apa lebihnya dia dibanding aku?"

"Lepaskan! Sakit!" Kania berusaha melepaskan diri dari cekalan Aldebaran.

"Katakan! Kenapa kau lebih memilih dia dibanding aku, padahal aku sudah memintamu untuk menunggu!" Emosi Aldebaran belum juga surut.

"Karena dia berkata bahwa dia sangat mencintaiku," jawab Kania pelan, tapi penuh penekanan di setiap suku katanya.

"Aku pun-" Aldebaran tak mampu meneruskan ucapannya karena tiba-tiba saja rahangnya terasa berat untuk digerakkan, padahal baru saja dirinya sangat yakin untuk mengatakan bahwa dirinya begitu mencintai Kania dengan keras agar gadis itu bisa mendengarnya dengan jelas. Namun, lagi-lagi seperti baru saja terkena kutukan, suaranya tercekat di tenggorokan. Kemudian secara perlahan ia melepaskan cengkeramannya di tangan Kania sambil bergumam meminta maaf dan duduk bersila di hadapan Kania.

Kania mendesah pelan, kecewa dengan sikap Alde yang lagi-lagi tidak memberikan kejelasan padanya dan tekadnya untuk tidak terus berhubungan dengan laki-laki PHP ini pun semakin kuat. Mungkin memang benar cintanya pada Aldebaran sudah telanjur dalam, tapi dirinya harus bisa terus melangkah ke depan agar tidak terus terkurung oleh harapan palsu semata.

"Aku tahu betul bagaimana rasanya dipermainkan. Oleh karena itu, aku tidak ingin mempermainkan perasaan Sulthan. Biarkan aku kembali dan bahagia bersama Sulthan." Kepala Kania menunduk saat mengatakan itu karena dirinya tak ingin goyah ketika berhadapan dengan Alde.

Aldebaran memejamkan matanya rapat-rapat sambil mempertimbangkan banyak langkah yang akan ia ambil ke depannya dan risiko apa saja yang akan ia tanggung. Dia sadar bahwa yang telah ia lakukan ini-menculik pengantin wanita rekan bisnisnya-sangat tidak bisa dibenarkan, tapi ia pun tidak menyesal telah melakukannya. Sekarang yang harus dia pikirkan adalah bagaimana cara menjelaskan hal ini kepada Sulthan agar tidak memengaruhi hubungan bisnis mereka juga agar tidak menimbulkan aib bagi orang tuanya. "Tetaplah di sini. Aku janji tidak akan pernah membuatmu menunggu lama lagi."

"Aku ingin pulang. Tolonglah."

"Kita akan pulang setelah rencana pernikahan kita sudah dibereskan." Secara refleks Alde mengulurkan tangan untuk mengusap dengan lembut pipi Kania. Namun, setelahnya ia sedikit menyesal karena begitu kulit tangannya bersentuhan dengan hangat dan lembut pipi Kania, tubuhnya seperti tersengat aliran listrik. Tidak menyakitkan, hanya membuatnya terkejut dan selama beberapa saat harus menahan napas untuk membiarkan tubuhnya beradaptasi dengan rasa yang baru saja ia rasakan.

"Aku sudah menerima lamaran Sulthan dan harus bertanggung jawab atas keputusan itu!" Kania berkata frustrasi. Hatinya senang mendengar rencana Alde menikahinya, tapi sekaligus sedih karena itu semua sudah terlambat. Jika saja Alde mengatakan hal itu dua bulan lalu, tentu dirinya akan menerima dengan senang hati.

"Setiap keputusan bisa diubah." Alde bersorak dalam hati karena perlahan-lahan dirinya sudah mulai bisa mengatasi kegugupannya ketika berhadapan dengan Kania. Yah, setidaknya percakapan mereka bisa berlangsung dengan lancar.

"Tapi tidak dengan urusan perasaan."

"Jangan khawatir. Biarkan aku yang akan menyelesaikan semuanya termasuk untuk urusanmu dengan Sulthan." Alde tersenyum menenangkan.

Bahu Kania terkulai. "Tidak. Aku harus kembali sekarang!" Dan ia pun bangkit dari tempat tidur. Hatinya sudah mantap untuk tidak lagi berharap dan percaya pada Aldebaran. Tujuh tahun bukan waktu yang sebentar untuk menunggu dan tetap setia. Namun, tetap saja sampai detik ini laki-laki itu tidak mau memberikan kepastian tentang perasaan dan juga hubungan mereka.

Alde terkejut dengan gerakan tiba-tiba Kania dan ikut melompat dari atas tempat tidur. "Kau tidak akan pernah bisa kabur dariku atau dari tempat ini. Kita sedang berada di tengah lautan, berkilo-kilo meter jauhnya dari daratan."

Kania menatap Alde sengit. "Tidak masalah jika aku tidak bisa kabur ke mana pun karena aku lebih memilih tenggelam di lautan dan dimakan lumba-lumba daripada harus terus berada di sini!" Kania tidak sabar lagi menghadapi Alde. "Tolong jangan lagi mempermainkan hidupku, Kak."

"Mempermainkan hidupmu?" Alde bertanya dengan raut bingung bercampur tersinggung. "Kapan aku pernah begitu?"

Desah Kania terdengar berat, tapi ia tidak ingin menjawab pertanyaan Aldebaran. Hanya saja kepalanya kembali memutar kenangan setiap kali Aldebaran menaruh coklat dan bunga ke dalam lokernya diam-diam, mengirim kado ulang tahun untuknya tanpa nama pengirim, berpura-pura menjadi supir taxi agar bisa mengantarnya pulang. Kania tahu itu semua dari Aldebaran karena pernah suatu kali ketika dirinya berangkat ke sekolah lebih pagi, dirinya melihat Aldebaran berdiri di depan lokernya, tapi ketika ia bertanya apa yang sedang Alde lakukan, lelaki itu tidak menjawab.

Ada satu kenangan yang begitu berkesan dan membekas dalam ingatan Kania. Di mana saat itu dirinya sedang mendapatkan haidnya di sekolah dan tidak membawa pembalut serta baju ganti. Celana dalam dan rok seragamnya bernoda darah. Ia pun akhirnya mengurung diri di dalam toilet dengan maksud menunggu sampai sekolah sepi baru keluar dan mengambil jaket di loker. Namun, tiba-tiba saja pintu toilet diketuk dari luar dan ada suara yang bertanya apakah dirinya baik-baik saja?

"Ya, aku baik-baik saja," jawabnya saat itu.

"Tapi kau sudah hampir dua jam di dalam sana."

Kania terkejut mendengar jawaban itu. Bagaimana mungkin ada yang tahu bahwa dirinya sudah mengurung diri di dalam bilik toilet selama itu, kecuali memang ada yang mengawasi dan sengaja menunggunya.

"Apa kau diare? Tak usah malu katakan saja!"

"Tidak, tapi aku sedang mens dan tidak membawa baju ganti atau pembalut. Bisa tolong panggilkan temanku Wanda di kelas 11.8?" Kania tidak peduli bahwa saat itu yang bicara padanya adalah seorang cowok. Yang ia butuhkan adalah dipanggilkan teman sekelasnya agar dirinya bisa meminta tolong dibelikan pembalut dan baju seragam.

"Baiklah, tunggu sebentar."

Setelah percakapan itu, selang beberapa lama tiba-tiba saja sebuah kresek besar dijatuhkan dari atas pintu bilik toilet, membuat Kania terkejut dan refleks berteriak.

"Sst! Jangan berteriak. Nanti kalau ada yang datang, gimana?"

Kania membelalakkan mata. Itu suara cowok yang tadi, tapi bagaimana bisa dia .... "Sedang apa kau di toilet perempuan!? Jangan macam-macam atau aku akan lapor pada guru."

"Baiklah. Aku keluar sekarang. Kau cepatlah ganti dan keluar dari sini sebelum gerbang dikunci."

Kania tidak menjawab karena bingung, tapi kakinya tetap melangkah mendekati kresek berukuran besar yang dilemparkan cowok tadi ke dalam bilik. Belum reda rasa terkejutnya, ia pun kembali dibuat terkejut saat melihat isi kresek itu. Berbagai merk pembalut ada di dalamnya, mulai dari yang bersayap hingga yang berbentuk seperti celana sekali pakai. Tidak hanya itu, di dalam juga ada satu box celana dalam dengan ukuran yang sesuai dengannya dan juga jaket.

Kania tidak tahu siapa pengirim semua itu, tapi ia tetap merasa bersyukur dan segera membersihkan diri. Karena tidak memiliki baju ganti, ia menggunakan jaket itu untuk menutupi roknya. Jaket itu berbahan kaus yang bisa dengan mudah ia lingkarkan di sekeliling pinggang dan mengikat lengannya seperti pita.

Setelahnya, Kania keluar dari dalam toilet sambil menyeret kresek yang penuh dengan berbagai merk pembalut itu. Ia bermaksud memasukkan semua pembalut itu ke dalam loker untuk persediaan di sekolah atau mungkin nanti jika ada yang membutuhkan.

Saat melewati koridor di pinggir lapangan basket, Kania melihat kerumunan yang melingkari tiang bendera. Sebagian dari mereka tertawa terbahak, sementara yang lainnya mengikik geli. Ia pun mencegat seorang siswa yang baru saja keluar dari dalam kerumuman itu dan bertanya apa yang terjadi. Sambil tergelak siswa itu menjawab jika salah satu dari si kembar Blackstone sedang dihukum berdiri di depan tiang bendera sambil hormat ke atas bendera karena ketahuan memasuki toilet perempuan. Kania pun merasa terkejut dan bertanya siapa.

"Aldebaran Blackstone."

Kania mendesah keras sambil menatap Aldebaran dengan raut sedih. "Terima kasih atas semua yang pernah Kakak lakukan untukku, tapi maaf, Kania harus kembali sekarang juga." Kania mengatupkan dua telapak tangannya di depan dada dengan raut memohon sekaligus sedih.

"Tidak! Aku tidak akan membiarkanmu pergi!" bentak Alde keras kepala. "Sudah susah payah aku membawamu pergi, lalu kau dengan mudahnya meminta dilepaskan? Aku sudah mempertaruhkan banyak hal untuk ini!"

Kania tersenyum lembut. "Lalu, untuk alasan apa Kakak melakukan ini semua?"

"Karena memang seharusnya kau tidak menikah dengan Sulthan!"

Kania maju beberapa langkah mendekati Aldebaran, membuat lelaki itu pun mundur beberapa langkah. Ia tersenyum geli melihat Aldebaran mengusap keringat di wajahnya. "Baik," ujarnya lembut. "Berikan satu alasan masuk akal mengapa aku tidak boleh pergi dari sini dan menikah dengan Sulthan. Aku akan tetap tinggal dengan senang hati bila alasan itu bisa diterima."

"K-karena kita akan m-menikah," jawab Alde mulai gagap.

"Benarkah?" Kania tersenyum geli. "Tapi, aku tidak melihat alasan mengapa kita harus menikah. Bisakah Kakak jelaskan mengapa kita harus menikah?"

"I-itu ...." Aldebaran bingung dengan apa yang akan ia katakan. Posturnya berubah kaku, sementara rahangnya terkatup rapat. Dirinya berusaha sebisa mungkin untuk mengontrol diri agar tidak gugup dan kembali berbicara. Namun, kata-kata yang keluar bukanlah kalimat yang diperintahkan oleh otaknya untuk disuarakan. "Kau gadis menyebalkan, Kania!"

Setelah mengatakan itu, Aldebaran berderap menyeberangi ruangan dan keluar dari dalam kamar. Ia bersandar di pintu sembari memegang dadanya yang berdebar hebat. Rasanya seperti ada yang ingin melompat keluar dari dalam rongga dadanya.

Setelah sedikit tenang, Alde menempelkan telinganya ke pintu, mendengar kalau-kalau ada langkah kaki Kania yang menyusulnya keluar. Namun, tidak ada suara langkah kaki. Hanya bunyi daun jendela yang menabrak-nabrak dinding yang menandakan bahwa saat ini Kania pasti sedang berdiri di jendela dan membuka jendelanya.

Aldebaran pun bergegas ke dapur untuk mengambil air minum. Meski debaran di dadanya sudah sedikit berkurang, tapi tubuhnya masih gemetar. Ia mengambil sebotol besar air mineral dingin dalam kulkas dan meneguknya sampai habis, berharap bahwa dengan minum banyak air bisa meredakan apa yang ia rasakan.

"Dasar gadis bodoh!" Alde mengumpat sendiri sambil membanting botol kosong ke atas meja. "Harusnya dia tahu, kalau seorang laki-laki sudah dengan serius ingin menikahinya itu sudah pasti karena cinta! Masak begitu saja harus dijelaskan dengan gamblang?"

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status