Share

Menyingkap Tabir
Menyingkap Tabir
Penulis: Ynurnun

After Honeymoon

“Bagaimana bulan madunya, Na?” tanya Mama tanpa menoleh ke arah lawan bicaranya. Ia masih berfokus dengan bahan-bahan dapur yang tengah dieksekusi dan akan disulap menjadi makan malam nanti bersama seisi rumah.

Ayana yang sedang membantu Bi Asih—asisten rumah tangga keluarga Ahmad—mencuci piring menatap ke arah ibu mertuanya. “Alhamdulillah, Ma. Lancar, aman, dan terkendali,” jawabnya sambil tertawa kecil.

“Syukurlah, Sayang. Meskipun kalian bulan madunya telat. Tapi, Mama senang akhirnya kalian bisa meluangkan waktu untuk honeymoon.”

Ya. Setelah usia pernikahan empat bulan-lah Ayana dan Zayn memilih untuk pergi berbulan madu. Sebenarnya, bukan tidak ingin. Hanya saja pekerjaan Zayn dan juga Ayana yang sedang fokus menyelesaikan skripsinya-lah yang membuat pasangan pengantin baru itu harus menunda dulu untuk bepergian. Mereka tidak ingin kehilangan fokus dalam menyelesaikan tugas masing-masing.

“Tidak apa-apa, Ma. Lagipula Ayana dan Zayn yang memilih untuk tidak honeymoon dulu kemarin-kemarin. Karena, ingin fokus dengan pekerjaan masing-masing.”

Tiba-tiba Mama teringat akan kondisi tubuh Zayn. Karena, dua hari sebelum keberangkatan Zayn dan Ayana berbulan madu. Tanpa sepengetahuan Ayana, ia menemukan anak sulungnya itu mengerang kesakitan. Ia tentu sangat tahu apa yang terjadi. Ia  ketakukan lagi.

“Selama di sana apa kalian baik-baik saja, Na?”

“Iya, Ma. Hanya saja kemarin hari ke tiga Zayn sempat mengeluh dadanya sakit. Katanya asam lambungnya naik.”

Mama terdiam. Ia tahu pasti Zayn lagi-lagi membohongi Ayana. Ia sudah tidak tahu lagi bagaimana caranya bicara dengan Zayn agar anaknya itu bisa jujur pada istrinya. Ada hal yang sangat ia takutkan jika Zayn terus menunda memberitahu Ayana. Adalah Ayana yang tak bisa terima dibohongi selama ini. Kendati ia yang paham alasan atas Zayn. Namun, yang tidak bisa ia benarkan adalah Zayn yang belum terbuka pada Ayana. Empat bulan usia pernikahan mereka bahkan tak menyadarkan Zayn. Mama hanya berpikir dampak negatif yang terbayang-bayang di benaknya. Padahal, itu hanyalah sebuah praduga yang kebenarannya masih dipertanyakan.

“Na, Mama mau bicara denganmu.”

“Boleh, Ma.”

Mama membawa anak menantunya itu menuju meja makan di dapur. Sebuah tempat yang disediakan untuk makan para asisten rumah tangga, sopir, dan beberapa pekerja lainnya. Ia tak langsung angkat bicara. Namun, tatapannya intens menatap Ayana yang duduk di kursi sebelahnya. Tangannya menyentuh tangan Ayana yang belum kering.

“Ada apa, Ma?” Ayana merasa takut-takut. Tatapan Mama begitu serius memandangnya. Apakah ada hal buruk yang sedang terjadi?

“Kamu sayang ‘kan pada Zayn?”

“Mama kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu? Kalau Ayana tidak  sayang pada Zayn, tidak mungkin Ayana mau menikah dengannya.”

“Jika ada sesuatu yang terjadi pada Zayn, apa kamu akan selalu mendampingi dia, Na?”

Untuk pertanyaan kali ini. Ayana tak langsung menjawab. Justeru pertanyaan itu memunculkan pertanyaan-pertanyaan lain yang berseliweran di benak Ayana. Ada apa ini? Apa yang terjadi pada Zayn?

“Na, itu hanya seandainya saja kan, Sayang.” Mama berusaha menenangkan. Seperti janjinya pada si sulung. Ia tidak akan membongkar rahasia yang sudah ditutup rapat oleh anaknya. Bukan berarti itu pertanda ia mendukung penuh keputusan Zayn. Namun, ia hanya tidak ingin mencampuri urusan rumah tangga anaknya.

“Ma, apa ada sesuatu yang terjadi pada Zayn? Apa ada yang Ayana tidak tahu tentang Zayn?”

Seperti biasa dan seperti sebelum-sebelumnya. Mama tak menjawab langsung pertanyaan itu. Ia hanya menghela napas panjang. “Ya, mungkin nanti akan ada sesuatu yang terjadi. Siapa yang tahu, Nak?”

Rasanya ingin sekali Ayana marah. Apa pertanyaannya itu terlalu susah untuk dijawab? Namun, ia tak punya daya apapun untuk memaksa Mama menjawab. Untuk kemudian ia hanya bisa menghela napas pasrah. 

“Ayana tidak akan pernah meninggalkan Zayn, Ma. Apapun yang terjadi. Karena, Zayn adalah bagian dari diri Ayana,” ucapnya setelah beberapa saat terdiam. Ia tidak berbohong. Kalimat yang terucap dari bibir ranumnya itu benar-benar tercipta dari hati. Baginya, Zayn adalah sebagian dirinya. Jika Zayn tidak ada, dia tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi dengan hidupnya.

Mendengar kalimat Ayana membuat hati wanita itu terasa menghangat. Setidaknya, kalimat yang diucapkan menantunya itu membuatnya sedikit lega. "Na, Mama hanya bisa berdo'a yang terbaik untuk kalian. Atas apapun yang akan terjadi di depan nanti semoga tidak akan membuat kalian berubah dan saling meninggalkan." Mama menyentuh lengan Ayana dan mengelusnya pelan.

°°°°°

Ruang makan keluarga Ahmad itu terasa hangat. Kendati seisi ruangan tak ada yang membuka suara. Namun, tetap saja. Sebuah kebersamaan adalah hal yang sangat diidamkan siapa saja.

Akan tetapi, hal berbeda dirasakan oleh Zayn. Tidak ikut sertanya sang adik lelaki—Ezran—membuat kehangatan itu tetap saja tak utuh. Meski tidak adanya lelaki yang bertaut enam tahun dengannya itu adalah sudah menjadi hal biasa. Dalam satu pekan lamanya keberadaan Ezran di sana hanya bisa dihitung dengan jari. Padahal, Zayn selalu berharap semakin hari akan ada perubahan baik. Namun, katakan saja harapan hanya sebatas harapan. Buktinya, keadaan tetap sama.

"Kamu kenapa?" Ayana menyentuh punggung tangan Zayn yang hanya bergerak mengaduk-aduk makanan di piring tidak karuan. Ia melihat lelaki yang sudah menjadi suaminya empat bulan lalu itu seperti kehilangan selera makan. Yang tak luput dari tangkapan indera penglihatannya juga adalah wajah Zayn yang terlihat pucat. Bukan kali ini saja. Namun, sejak dua minggu terakhir ia kerapkali melihat pahatan sempurna itu tampak tanpa rona. Tubuh tegap itupun seakan perlahan kehilangan bobot.

Zayn mengangkat wajah dan menoleh ke samping, mendapati perempuan cantik yang masih setia menyentuh punggung tangannya. Bibir yang tak mampu menyembunyikan kepucatannya itu terangkat menciptakan sebentuk garis lengkung yang tipis. Sebuah isyarat bahwa ia baik-baik saja. Meskipun, hal itu tentu saja kontras dengan apa yang dirasakannya.

“Makanannya dimakan, Zayn. Jangan hanya diaduk begitu saja," ucap Ayana dengan sangat lembut.

“Aku sudah kenyang,” balasnya dengan senyum yang belum kunjung tanggal.

Ayana mengernyit. Kerutan tersusun rapi dan jelas di kening. Baginya jawaban Zayn adalah sebuah keanehan. Kendati ia yang tidak melihat Zayn secara langsung, bukan berarti ia tidak memperhatikan lelaki itu. Dan sejak tadi yang bisa ia ketahui adalah nasi itu masuk ke mulut suaminya hanya beberapa sendok saja. Lantas, Zayn mengatakan bahwa ia sudah kenyang. Bukankah itu aneh?

“Kamu lanjut makan saja, Na. Aku ke kamar duluan, ya.”

“Aku temani,” sahut Ayana dengan cepat dan nada suara lebih tinggi dari biasanya. Hal itu berhasil mengundang perhatian Papa dan Mama yang sejak tadi fokus dengan makanan di hadapan mereka.

“Ada apa?” Papa menatap bergantian pasangan suami istri yang duduk bersebelahan di samping kirinya itu. Ia merasa pasti ada suatu perbincangan yang sebelumnya sudah terjadi. Akan tetapi, nyatanya bukan hal itu yang membuat atensinya kini tersita. Seperti halnya Ayana, Papa juga lebih memperhatikan raut wajah si sulung yang terlihat tanpa rona. Sebagai seseorang yang sudah membersamai Zayn sejak kecil, tentu membuat Papa tahu betul apa yang kini terjadi pada putranya.

Pasangan suami istri yang baru menginjak usia pernikahan empat bulan itu serentak menatap ke arah Imran yang sudah meletakkan sendok dan garpu di atas piring.

“Tidak apa-apa, Pa.” Suara lemah Zayn terdengar menjawab pertanyaan ayahnya. Senyumnya yang belum luntur dan tatapannya yang sayu mengarah kemudian ke arah Mama. Ia mendapati raut wajah khawatir yang tak mampu terelakkan. “Zayn ke kamar duluan, ya, Ma, Pa.”

“Habiskan makananmu, Sayang. Jangan membantah.” Meskipun terdengar pelan. Namun, kalimat itu mengandung sebuah ultimatum yang tak boleh dilanggar oleh Ayana. Zayn mengelus lembut pundak Ayana yang hanya terdiam menatapnya aneh.

Tanpa menunggu persetujuan siapapun lelaki itu bangkit dan berlalu dengan langkah pelan. Dengan sekuat tenaga ia berusaha baik-baik saja. Padahal, ribuan belati kini tengah mengkoyak habis-habisan dan tanpa ampun jantungnya. Namun, ada seseorang yang masih ia jaga agar tidak tahu tentang sebuah keadaan yang masih ia rahasiakan dengan sangat apik. Siapa lagi jika bukan Nazura Ayana Albirru? Seorang perempuan yang ia persunting empat bulan lalu. Alasan lelaki itu belum juga angkat bicara tentang keadaannya hanya sebuah alasan klasik. Hanya takut jika Ayana tahu yang sebenarnya, maka perempuan itu akan meninggalkannya begitu saja. Padahal, itu hanya sebuah praduga semata.

Menaiki anak tangga yang biasanya terasa singkat kini justru terasa sangat melelahkan. Hingga pasokan oksigen terasa semakin menipis. Berulangkali Zayn meraup udara sebanyak-banyaknya melalui mulut. Namun, yang ia dapatkan hanya sedikit saja. Hal itu benar-benar menyakitkan. Terlebih rasa sakit yang sudah coba ia tahan sejak di ruang makan tadi sudah tak mampu lagi terelakkan. Tangannya refleks meremat kuat dada sebelah kiri dengan erangan yang ia coba tahan agar tak lolos dari bibir pucatnya.

Tubuh yang sedikit demi sedikit kehilangan bobot itu limbung. Namun, sepertinya Dewi Fortuna tengah berpihak padanya hingga tubuh itu tak berhasil menyentuh lantai. Karena, tangan seseorang berhasil menahannya dari belakang.

“Kakak. Kakak masih bisa dengar Ezran?”

Suara yang sarat dengan kepanikan itu masih terdengar jelas. Hanya saja matanya yang sayu sudah tak dapat melihat dengan jelas. Semua memburam. “Bantu Kakak ke ruang kerja,” lirihnya dengan pelan dan nyaris tak terdengar.

Beruntungnya Ezran yang sudah terlampau sering mendapati kakaknya seperti itu seketika paham. Tak perlu lagi ia bertanya tentang apapun pada Zayn. Karena, seminggu sebelum akad pernikahan Zayn dan Ayana, ia sudah mendapatkan titah dari si sulung itu memindahkan beberapa alat penting yang membantunya saat rasa sakit menyerang ke ruang kerja. Ruangan yang tentu saja Ayana sangat jarang memasukinya. Apalagi menjelajah setiap incinya. Ayana hanya akan masuk jika mengantarkan sesuatu untuk Zayn atau hanya sekedar mengingatkan suaminya untuk istirahat.

Tanpa menunggu lagi Ezran menuntun tubuh Zayn yang lemah menuju ruang kerja. Di sana ia membaringkan tubuh sang kakak di atas sofa. Lantas, ia yang begitu panik bergegas menuju belakang lemari untuk mengambil sebuah tabung oksigen portable yang biasa ia gunakan untuk membantu memperlancar pernapasan Zayn. Terlampau biasa menjadi tenaga medis dadakan saat Zayn anfal membuatnya tak merasa kesulitan sama sekali untuk memasangkan nassal canula di hidung Zayn.

“Bagaimana?”

Zayn hanya mengangguk sebagai isyarat sudah merasa baik. Hanya saja rasa sakit yang menghujam dadanya masih sangat terasa. Apalagi yang ia butuhkan selain benda kecil ajaib dan paling mujarab di dalam tabung kaca yang ia simpan di laci meja kerja.

“Obat Kakak di mana?”

“Laci,” balasnya singkat.

Dengan sigap Ezran berlari menuju meja kerja Zayn. diacaknya laci meja hingga menemukan sebuah botol transparan yang sudah tidak asing lagi baginya. Lantas, bergegas kembali dengan tak lupa membawa air putih dalam gelas yang terletak di atas meja.

“Ezran bantu, Kak.”

“Terima kasih, Zran,” ucap Zayn setelah menelan beberapa butiran kecil yang pahit itu dengan bantuan air.

“Sampai kapan—”

Ucapan Ezran terputus saat tangan kanan Zayn terangkat ke udara. Ia tahu ke mana arah kalimat adiknya itu. Ia menatap lekat Ezran dengan tatapannya yang masih sayu. “Kakak saja masih belum tahu sampai kapan Kakak bertahan menyembunyikan hal ini, Zran. Jadi, Kakak mohon jangan tanyakan hal yang sama lagi,” pintanya dengan nada memelas. Zayn tak berbohong. Ia bahkan sudah mengajak otaknya untuk berpikir keras akan hal itu. Namun, lagi-lagi sebuah ketakukan akan ditinggalkan Ayana membuatnya tak mampu lagi berbuat selain masih setia menyimpan rahasianya.

Ezran hanya bisa mengembuskan napas pasrah. Biar bagaimana pun ia tentu saja tak mempunyai hal untuk memaksa Zayn. Ia yakin bahwa Zayn pasti mempunyai alasan yang kuat hingga melakukan hal itu. “Ehm, baiklah.”

“Zran,” panggil Zayn tanpa membuka mata.

“Kenapa, Kak?”

“Jangan sampai kejadian ini diketahui Ayana, ya. Kakak belum siap.”

Ezran tak menjawab. Lagipula, jika pun ia ingin mendebat dengan apa yang ada di otaknya saat ini, tetap saja tak akan berpengaruh terhadap keputusan Zayn. Dan satu-satunya hal yang bisa ia lakukan hanya mengiyakan saja. Meskipun jelas saja ia memikirkan bagaimana Ayana. Bagaimana jika nanti kakak iparnya itu mengetahui semuanya. Ia bisa pastikan Ayana akan terpukul hebat.

°°°°°

“Pa, Ma, Ayana ke kamar susul Zayn, ya,” ucap Ayana berpamitan pada kedua mertuanya setelah menyelesaikan ritual makan malamnya. Sebenarnya, sudah sejak tadi ia ingin menyusul Zayn. Namun, mengingat titah Zayn yang tentu saja tidak bisa dibantah. Mau tidak mau ia harus menghabiskan sisa makanannya di atas piring.

Setelah mendapatkan anggukan persetujuan, perempuan yang baru saja menginjak usia dua puluh satu tahun itu beranjak dari kursi. Sepasang tungkainya bergerak ke depan selangkah demi selangkah, menaiki deretan anak tangga yang menghubungkan ke kamarnya di lantai dua kediaman keluarga bermarga Ahmad.

Tangannya menyentuh knop pintu kayu berwarna cokelat tua itu. Ia perlahan memasuki kamar yang biasa ia gunakan untuk melepas penat, begitu juga dengan Zayn. Di sana tak didapatinya lelaki yang ia niatkan susul tadi. Kepalanya menoleh ke segala penjuru kamar. Nihil. Tak ada satu pun manusia yang ditemukan.

Langkah kakinya mengayun ke arah balkon kamar. Berharap bisa menemukan suaminya di sana. Hal yang sama didapat. Di balkon kamar yang biasanya ia dan Zayn gunakan untuk menikmati pemandangan malam juga tak ditemukannya si suami. Lantas, ia berbalik dan berniat mencari ke luar.

Namun, gerakan kaki Ayana terhenti seketika saat suara terdengar. Tak luput juga ia terlonjak.

“Kamu mencariku?”

Kening Ayana mengkerut melihat Zayn yang berdiri di ambang pintu dengan bersilang tangan di depan dada, senyum manis menghias wajahnya yang sudah tak sepucat sebelumnya. “Dari mana?” tanyanya dengan nada kesal. Bibirnya yang ranum dimajukan ke depan.

“Ruang kerja,” balas Zayn dengan begitu santainya. Ia melangkah mendekati Ayana. “Jangan seperti itu. Jelek,” lanjutnya sebelum melanjutkan langkah menuju tempat tidur. Menghiraukan Ayana yang masih setia dengan wajah cemberutnya. Bukan maksud Zayn untuk tidak peduli. Hanya saja tubuhnya yang semakin hari sering berulah itu meronta-ronta untuk diistirahatkan.

“Kemarilah!” titahnya dari tempat tidur di mana tubuhnya sudah bersandar sempurna saat melihat Ayana membalik badan. Tangannya melambai pelan.

Masih dengan rasa kesal yang entah dari mana datangnya Ayana beranjak dari tempat berdirinya menuju tempat tidur. Ia mendaratkan tubuhnya dan berbaring di samping Zayn. Kemudian, menatap lekat wajah Zayn. “Zayn,” panggilnya dengan nada serius.

Zayn sedikit menundukkan kepala untuk kemudian ia bisa menatap Ayana yang juga tengah memandang ke arahnya. "Kenapa, Sayang?" Tangannya dengan lihai membelai lembut rambut perempuan itu.

"Apa kamu tidak sedang menyembunyikan apapun dariku?"

Pertanyaan itu membuat Zayn sukses terdiam. Gerakan tangannya sudah berhenti. Ia membuang pandang ke depan. Lalu, detik selanjutnya ia tersenyum. Kendati senyum yang ia munculkan kini tentu hanya karena sebuah keterpaksaan belaka. Sebagai satu cara untuk meyakinkan bahwa tidak ada apapun yang terjadi. "Memangnya aku terlihat seperti menyembunyikan sesuatu, Na? Tidak, 'kan?"

Untuk satu waktu memang Ayana tak pernah menangkap ada rahasia dalam diri suaminya. Namun, untuk sikap yang kadang aneh membuatnya mencurigai. Bagaimana tidak? Ia seringkali mendapati Zayn lebih banyak diam. Dan tak hanya itu, lelaki yang sudah mempersuntingnya empat bulan lalu itu kerapkali terlihat tanpa rona. Wajah pucat dan kadang rintihan pelan yang lolos dari bibir.

"Kamu sakit, 'kan?"

Raut yang sudah terlihat biasa saja itu kembali menegang. Kali ini pertanyaan Ayana seperti tengah menyudutkannya. Lantas, apa yang harus Zayn lakukan kini? Untuk bercerita pun ia belum siap. Untuk sebuah praduga yang kerap muncul itu membuat keberaniannya menguap.

"Zayn."

Bersamaan dengan panggilan itu. Sentuhan lembut dan terasa dingin menyentuh kulit tangan Zayn. Ia menunduk dan mendapati tangan mulus Ayana bertengger di sana.

"Jika apa yang kutanyakan tadi memang benar. Kamu sakit apa, Sayang?" Suara itu lembut seiring senyum tipis yang ikut menyungging di bibir.

Zayn masih terdiam sambil menatap wajah teduh Ayana. Apakah sudah saatnya?

Ayana meletakkan kepalanya di pangkuan Zayn. Ia tatap wajah tampan itu dengan leluasa. Menunggu jawaban yang akan dilontarkan lelaki kesayangannya.

Kepala Zayn menggeleng pelan. Untuk kemudian ia memaksa kedua sudut bibirnya terangkat dan membentuk lengkungan yang indah. "Aku baik-baik saja, Na." Tangannya yang kosong menyisir rambut wanitanya.

Barangkali untuk ke sekian kalinya Ayana harus mencoba untuk lagi-lagi terpaksa percaya. Kendati hati dan otaknya memberontak akan hal itu. Zayn tidak sedang baik-baik saja, pikirnya.

"Zayn," panggil Ayana menghentikan gerakan tangan Zayn. Ia genggam erat tangan itu. "Kalau kemudian ada sesuatu yang terjadi padamu. Percayalah! Aku akan menjadi orang pertama yang akan merengkuhmu," ucapnya sungguh-sungguh.

Zayn hanya bisa terdiam mendengar ucapan Ayana. Ia tak tahu harus merespons dengan cara apa.

"Aku mencintaimu melebihi rasa cinta yang kamu tahu. Untuk apapun yang terjadi nanti di depan, kamu cukup mempercayaiku bahwa itu bukanlah alasan untuk kita saling meninggalkan."

Kali ini Zayn benar-benar tersentuh mendengar Ayana. Ia tersenyum tipis.

"Tapi, kumohon jangan sembunyikan apapun dariku."

Untuk permohonan Ayana ini membuat bibir Zayn kembali membentuk garis lurus. Ia sudah melakukan hal yang tak seharusnya ia lakukan. Mencoba menyimpan rahasia dan melibatkan keluarganya. Zayn merasa bersalah. Ia menunduk. Matanya bertemu dengan iris hitam bersih kesukaannya.

"Jika masih ada hal yang kamu sembunyikan dariku. Ceritakan, Zayn. Aku tidak akan marah."

Helaan napas panjang keluar dari mulut Zayn. "Kita istirahat saja, ya, Sayang," ucapnya mengalihkan topik pembicaraan. Kepalanya sudah kepalang buntu untuk berpikir akan bagaimana.

Ayana tak akan pernah bisa memaksa Zayn. Tidak akan pernah. Dan jalan satu-satunya yang bisa ia lakukan adalah mengikuti saja suaminya. Ia mengangguk pasrah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status