Share

Rasa Sakit

Seorang perempuan dengan balutan gamis hijau tosca yang dipadukan jilbab berwarna abu itu menyapu setiap jengkal ruangan CEO dengan pandangan setelah ditinggal oleh suaminya. Ia memperhatikan dengan begitu seksama setiap benda yang ada di ruangan yang baru kali pertama ini didatanginya. Sepasang bola matanya terhenti pada sebuah bingkai kecil di sudut meja kerja yang ada dalam ruangan dengan desain dominan kaca itu.

Tubuhnya yang sempat mendarat di sofa berwarna cokelat tua bangkit. Ia beranjak dan menggerakkan sepasang tungkainya mendekati meja. Tangannya meraih bingkai tersebut. Menatap dengan begitu lekat foto yang terpasang di sana. Ia tersenyum geli melihatnya. Kamu terlihat begitu polos, Ayana, pikirnya. Lantas terkekeh kecil.

Ya. Perempuan berjilbab itu adalah Ayana. Ia memutuskan dan memantapkan hati untuk menutup mahkota indahnya sebelum berangkat berbulan madu. Hal itu tentu saja sangat didukung penuh oleh suaminya.

 "Astaga, Zayn," ucapnya sedikit tak percaya, "Bahkan foto zaman di mana aku tampak sepolos ini saja masih kamu simpan." Ayana kembali terkekeh. Ia ingat betul. Potret dalam bingkai yang ia pegang saat ini adalah foto ketika ia pertama kali diajak menikmati matahari tenggelam. "Apa kamu tidak mau jika fotoku seperti ini kamu pahang di sudut meja kerjamu? Bagaimana jika orang-orang nelihatnya." Ia bicara sendiri seakan-akan ada Zayn yang tengah membersamai.

Ayana kembali meletakkan bingkai yang berisikan fotonya saat masih duduk di bangku SMA. Foto dengan dirinya yang berdiri membelakangi cahaya dan tersenyum lebar membingkai wajah polosnya kala itu.

Dengan lembut Ayana mendaratkan tubuhnya di kursi kebesaran milik Zayn. Ia menatap secara bergantian deretan bingkai yang ditata rapi di sudut meja kerja suaminya itu. Ujung bibirnya tertarik ke atas membentuk lengkungan saat netranya menangkap sebuah potret foto pernikahannya dengan lelaki yang Tuhan kirimkan sebagai pendamping hidupnya. Dengan gaun putih bersih yang membalut tubuh dan dengan senyum kebahagiaan yang terpancar di antara keduanya.

"Zayn, semoga setiap jejak yang kita tapaki selalu dalam lingkar ridha Allah dan selalu dalam keberkahan, ya, Suamiku," ucapnya lagi-lagi seolah Zayn tengah berdiri di sampingnya. Sebentuk kurva terbit menghias paras ayunya.

Untuk kemudian ia mencoba merapikan meja kerja suaminya. Merapikan sisa-sisa kertas yang berserakan di sana. Menumpuk menjadi satu beberapa berkas dalam map berupa warna.

Sebelum semua yang Ayana rapikan terselesaikan. Tiba-tiba sepasang indera pendengarannya menangkap suara decit pintu yang terbuka. "Kamu sudah sele—"

Ucapan Ayana menggantung setelah melihat ke arah pintu dan yang ia dapati memasuki ruangan bukanlah suaminya. Melainkan seorang perempuan dengan tubuh jenjang dan seksi berbalut pakaian yang sangat pas di tubuhnya. Hingga setiap lekuk tubuh itu tampak sangat jelas. Rambut hitam bergelombang yang tak terikat dan juga wajah ayu dengan polesan make up tebal.

"Oh, maaf. Sepertinya aku sudah mengganggu pekerjaanmu. Kupikir Zayn sedang berada di sini. Sebab itulah aku langsung masuk," ucap perempuan itu dengan santai dan duduk di sofa tanpa permisi.

Alis Ayana terangkat sebelah. Ia hanya heran kenapa perempuan itu begitu biasa saja. "Mbak mencari Zayn?" tanyanya dengan sopan. Sebisa mungkin ia bersikap biasa-biasa dan tersenyum manis.

Perempuan itu mengalihkan atensinya ke arah Ayana. "Iya. Lama sudah tak bertemu dengan Zayn. Dan sepertinya aku sudah benar-benar merindukannya," sahutnya dengan bangga dan penuh percaya diri. Lantas kembali memfokuskan diri pada gawai yang sempat ia abaikan.

Bibir tipis berpoles gincu merah muda itu terkatup sangat rapat. Gendrang dalam hatinya bertabuh hebat mendengar ucapan perempuan yang baru saja memasuki ruangan suaminya itu. Rasa bingung tak luput hinggap dalam benak atas sikap perempuan yang baru kali pertama ia temui. Pada perempuan itu ia tak sedikit pun melihat kecanggungan. Seperti perempuan itu sudah sangat terbiasa berada dalam ruangan berkaca itu.

"Siapa perempuan ini?" Mata Ayana menyipit menatap perempuan yang sudah duduk manis di sofa. "Sepertinya dia memang sering datang ke sini," pikirnya.

"Ambilkan minuman untukku!" perintah perempuan itu tanpa sedikit pun mengalihkan atensinya dari benda pipih yang tengah ia pegang. "Cuaca hari ini cukup terik dan membuatku haus."

"Hah?" Ayana sedikit kaget mendengar kalimat perintah yang dilontarkan perempuan itu. Ayana tak menemukan sopan santun sedikit pun tampak darinya.

"Apa suaraku kurang jelas?"

Ayana masih terdiam untuk mencerna apa yang terjadi.

"Kamu tidak dengar apa yang kukatakan? Aku baru saja memintamu untuk mengambil minum untukku."

Perempuan berjilbab itu kembali tersadar. Ia mengerjap beberapa kali. Menghilang rasa kagetnya. "Maaf, Mbak. Tapi, saya buk--"

Belum sempat Ayana melanjutkan kalimatnya, perempuan dengan rambut bergelombang itu lebih dulu memotong ucapan Ayana. “Kamu mau aku adukan pada Zayn karena tak mengindahkan perintahku?” Tatapannya tajam ke arah Ayana.

Bibir Ayana terkatup rapat. Berhasil dibungkam perempuan itu. Ia tak tahu harus berkata apa untuk menjawab lagi ucapan perempuan tak dikenal itu selain dengan mengikuti titahnya. Ia menghela napas panjang. “Baiklah. Mbak mau saya buatkan minuman apa?” ucapnya mengalah. Lagipula, tak ada gunanya juga mendebat manusia yang sepertinya tidak tahu bagaimana cara menghargai manusia lain.

"Buatkan saja teh manis hangat untukku," balas perempuan itu sambil membuang pandang dari Ayana. Lantas, kembali lagi fokus pada ponsel di tangannya.

Ayana hanya bisa menggelengkan kepala melihat sikap perempuan itu. Tampangnya memang rupawan dan elegan. Namun, hal itu sangat kontras dengan sikapnya. Benar-benar tidak mencerminkan kelembutan seorang perempuan.

“Tapi, saya akan menyelesaikan pekerjaan saya terlebih dulu. Nanggung jika harus saya tinggalkan meja yang sedikit berantakan ini. Setelahnya, baru saya akan membuatkan minuman untuk Mbak. Apakah Mbak bisa menunggu sebentar?” Ayana masih berbicara dengan lembut. Ia tak boleh membalas seseorang dengan hal yang sama buruknya. Jika demikian, apa bedanya ia dengan orang tersebut?

“Aku mau sekarang!” bentak perempuan itu dengan tatapan nyalang pada Ayana. Tatapan seakan siap menerkam Ayana.

Ayana yang memang dasarnya tak terbiasa atas bentakan pun terlonjak akhirnya. Tangannya bergetar dan berkeringat dingin. Air matanya menggenang di kelopak mata karena ketakutan. Astaga! Apa ini?

“Kamu tuli, ya? Apa lagi yang kamu tunggu?”

Dengan tungkai yang bergetar Ayana membawa tubuhnya ke arah pintu. Saat kaki membawanya melewati perempuan yang duduk dengan angkuh itu, tepat saat itu juga air dari matanya tumpah membasahi pipi. Ia melangkah bersama air mata dan rasa takut yang memeluk dirinya sangat erat. Jemari tangannya memilin ujung jilbab yang ia kenakan.

“Jangan menangis seperti ini, Ayana. Jangan!” kelakarnya dalam hati hanya untuk menguatkan diri.

Ayana berjalan dengan wajah tertunduk dalam. Pikirannya menerawang jauh. Hingga tanpa sadar ia menabrak vas bunga di dekat pintu ruangan dan menimbungkan suara bising. Ayana kaget bukan main.

Tatapan perempuan angkuh itu nyalang. Ia kembali murka melihat Ayana. “Hei! Kalau jalan lihat-lihat ke depan. Lihatlah! Akibat keteledoranmu itu sampai memecahkan benda kesayangan Zayn. Dasar karyawan tidak becus!” teriaknya dengan posisi yang sudah berdiri. Ia berkacak pinggang. Benar-benar angkuh.

Kepala Ayana semakin tertunduk. Runtuh sudah pertahanannya. Ia sudah tak bisa lagi membendung tangis akibat bentakan demi bentakan yang keluar dari bibir merah menyala itu. Telinganya sudah kepalang panas.

“Dasar karyawan cengeng! Baru dibentak begitu saja sudah menangis seperti anak kecil. Aku tidak tahu kenapa orang sepertimu bisa bekerja di tempat ini,” ucapnya meremehkan.

Sudah benar-benar tidak tahan akan suara pedas perempuan itu. Ayana kembali sepasang tungkai beralas flat shoes itu melangkah dengan niat keluar dari ruangan yang tiba-tiba seperti neraka. Namun, tak di sangka ia kembali menabrak sebuah benda keras. Oh, yang ditabraknya bukan sebuah benda. Melainkan seseorang yang tanpa ia sadari memasuki ruangan.

“Kubilang juga apa padamu. Kamu sekarang lagi-lagi menabrak orang lagi, ‘kan? Astaga! Kamu benar-benar tidak becus bekerja.”

Ayana memberanikan diri mengangkat kepala. Berniat untuk meminta maaf pada seseorang yang tak sengaja ditabraknya itu. Namun, saat wajahnya benar-benar terangkat. Yang ia temukan adalah wajah dengan pahatan sempurna milik Zayn.

“Sayang, are you okay?” tanya Zayn panik melihat wajah istrinya yang sudah basah. Ia kaget melihat perempuannya itu menangis sesenggukan. Diraihnya tubuh itu dan dipeluk dengan erat. Ia rasakan tubuh kecil Ayana bergetar hebat.

“Zayn,” panggil perempuan angkuh itu dengan nada manja. Tak peduli jika seseorang yang dipanggilnya itu tengah merengkuh perempuan lain di sana.

Zayn memandang perempuan itu dengan tatapan mematikan. Rahangnya mengeras. “Apa yang sudah kamu lakukan, Jessica?”

Ya perempuan bertubuh seksi dengan rambut bergelombang itu bernama Jessica. Adalah seorang perempuan yang dulu sempat dijodohkan dengan Zayn oleh ayah perempuan itu. Namun, perjodohan itu tentu saja langsung ditolak mentah-mentah oleh Zayn. Atas penolakan yang dilakukan Zayn itulah yang membuat perempuan yang kerap kali dipangga Jessi itu marah. Ia mengejar-ngejar Zayn tanpa menyerah. Hingga ia tahu kekurangan Zayn dan memilih pergi. Lantas, sekarang ia kembali lagi.

“Long time no see, boy,” ucap Jessica dengan suara manja yang dibuat-buat sambil melangkah mendekati Zayn.

“Kenapa kamu mau memeluk karyawanmu yang tidak becus bekerja itu, Zayn? Apa kamu tidak malu jika nanti dilihat oleh bawahanmu yang lain?” Tatapan Jessica meremehkan ke arah Ayana.

“Tutup mulutmu yang kotor itu, Jessi!” teriak Zayn dengan tangan yang menunjuk kasar Jessica. Kini ia sudah benar-benar murka. Apalagi mendengar dan melihat tatapan Jessica yang meremehkan sekaligus menghina istrinya.

“Kamu pikir kamu siapa datang tiba-tiba dan membuat istriku menangis seperti ini, hah?!”

Deg.

Detak jantung Jessica terhenti seketika. Bumi yang ia pijaki kini berhenti berputar. Kakinya terasa lemas mendengar ucapan Zayn. Namun, kepalanya perlahan menggeleng untuk menyangkal apa yang baru saja dikatakan Zayn itu. “Apa? Istri katamu? Kamu pasti sedang bercanda ‘kan, Zayn?”

Zayn tertawa sumbang. “Untung apa aku mencandai perempuan sepertimu, Jessi?”

Jessica tertawa keras. “Enough, Zayn! Kamu pikir aku akan dengan mudah mempercayai apa yang kamu ucapkan itu?” Lagi-lagi ia tertawa. “Tentu saja tidak. Aku tahu kamu berbicara seperti itu karena tidak ingin menemuiku lagi, ‘kan?”

Kini Zayn tersenyum sinis ke arah Jessica. “Oh, rupanya kamu memang butuh bukti, Jes.” Ia melangkah dengan posisi masih merangkul tubuh Ayana. Ia berjalan mendekati meja kerja yang belum sempat dibereskan sepenuhnya oleh Ayana. Diraihnya sebuah bingkai di atas meja yang berisikan sebuah foto pernikahan antara dirinya dan Ayana.

“Kamu bisa lihat ini ‘kan, Jessi?” tanya Zayn dengan senyum miringnya. “Kamu bisa perhatikan baik-baik. Siapa perempuan yang ada di dalam foto itu?”

Kali ini Jessica sudah tidak bisa lagi berkata-kata. Bibirnya terkatup rapat. Kepalanya kepalang buntu untuk menyanggah lagi.

“Bagaimana, Jessi? Apakah kamu masih berpikir kalau aku bercanda?” Zyan tertawa keras dan penuh kemenangan. “Atau kamu masih ingin melihat bukti yang lain?” Senyum mengejek Zayn terbit.

Jessica masih bergeming di tempat. Ia berdiri seperti patung. Entah pikiran jenis apa yang menari liar di dalam kepala.

“Cepat minta maaf pada istriku sekarang juga, Jessi!” teriak Zayn dengan amarahnya yang sudah mencapai ubun-ubun.

Kepala Jessica menggeleng dengan kuat. Ia sama sekali tidak berniat meminta maaf pada perempuan yang masih dalam rengkuhan Zayn itu. Dan ia lebih memilih meraih tas mewahnya dan melenggang pergi meninggalkan Zayn yang tengah diliputi oleh amarah itu.

“Jessica!” teriak Zayn dengan sekencang yang ia bisa. Ia benar-benar murka atas sikap Jessica. Wajahnya merah padam. Tangannya terkepal kuat hingga buku-buku jemarinya memutih.

“Zayn, sudahlah. Biarkan saja dia pergi,” ucap Ayana berusaha menenangkan suaminya. Ia urai pelukan itu dan dielusnya lengan Zayn.

Akan tetapi, Zayn yang memang masih diliputi amarah itu kembali meneriakkan nama perempuan yang sudah entah di mana. “Jessica!” pekiknya teramat keras. Hal itu membuat detak jantungnya berpacu hebat. Ia refleks menunduk. Tangan kanannya terangkat menyentub dada sebelah kirinya. Tidak! Lebih tepatnya meremat bagian yang terasa sangat menyakitkan itu.

Ayana yang lagi-lagi menangkap suara ringisan itu ikut membungkukkan badan untuk mensejajarkan diri dengan Zayn. Lalu, disentuhnya pundak lelaki itu. “Zayn, kamu kenapa?” tanyanya dengan sarat akan rasa khawatir. Apalagi melihat butir-butir keringat di kening Zayn yang sebesar biji jagung.

“Akh!” erang Zayn dengan tangan yang semakin kuat mencengkram dada.

Ayana mulai panik. Ia tak pernah melihat Zayn seperti saat ini. “Zayn, katakan padaku, Zayn. Apa yang terjadi denganmu?”

Bukannya menjawab. Zayn justru kini sibuk menepuk dadanya dengan brutal. Berharap rasa sakit dan sesak itu segera enyah dari tubuhnya. Ia tidak boleh kalah. Ayana tidak boleh secepat ini tahu apa yang sebenarnya terjadi akan dirinya.

“Hentikan, Zayn!” bentak Ayana seraya meraih tangan suaminya.

Zayn masih memberontak. Hingga ia benar-benar kehilangan tenaga. Tubuhnya luruh menyentuh lantai. Mulutnya terbuka untuk meraup udara sebanyak yang ia bisa.

“Astaga, Zayn,” kaget Ayana. Ia ikut meluruhkan tubuhnya menyentuh dinginnya lantai. 

“Zayn,” panggilnya dengan suara lembut. Ayana menangkup pipi suaminya yang sedikit basah oleh air yang luruh dari kelopak mata sayu dan bercampur dengan keringat. Dilihatnya Zayn menggigit bibir bawahnya seakan menahan sakit.

“Da-daku sa-kit sekali, Na,” ucap Zayn akhirnya dengan suara terbata. Setelahnya, ia kembali mengerang kesakitan tanpa malu, tanpa ragu. Ia menyerah. Ia sudah tidak bisa lagi menahan rasa sakitnya di hadapan Ayana.

Dengan ragu-ragu Ayana menyentuh bagian tubuh Zayn yang sudah sejak tadi diremat oleh pemiliknya. Ia merasakan detakan yang sangat cepat dan tak beraturan. Ia menggigit bibir bawahnya melihat suaminya tampak sangat kesakitan. Lantas membawa tubuh kekar lelaki itu yang sudah dibasahi ke dalam dekapan. “Kamu kenapa, Zayn?” tanya Ayana dengan air mata yang sudah tidak terbendung. Pikiran-pikiran negatif mulai bergerilya di dalam kepala.

Dengan napas yang terasa tercekat Zayn mencoba menjawab. Kendati apa yang dilakukannya itu hanya menambah rasa sakit di dadanya. “Dadaku benar-benar sakit.”

Ayana tak boleh menangis. Ini bukanlah waktu yang tepat. Ia menyeka kasar air matanya. “Apa kamu menyimpan obat pereda sakit di sini?”

Hanya anggukan kepala yang bisa Zayn lakukan sebagai jawaban.

“Di mana? Di mana kamu meletakkan obatnya?”

“Di la-ci meja-ku,” balas Zayn dengan suara terbata dan nada lemah. Seperti berbisik.

“Tunggu sebentar. Biar kuambilkan dulu.” Ayana melepaskan dekapannya di tubuh Zayn.

Zayn berusaha menopang tubuhnya dengan tangan. Ia tak boleh roboh. Ia tak boleh kehilangan kesadaran. 

Dengan gesit Ayana mencari sesuatu yang bisa menghilangkan rasa sakit Zayn. Ia mengacak-acak laci meja kerja suaminya. Hingga ia tertegun dalam sekejap melihat tabung kaca berisikan butiran-butiran kecil di sana.

“Ayana.”

Suara lemah itu menyadarkan Ayana. Ia menatap ke arah Zayn yang sudah pucat pasi. “Ini ‘kan obatnya?” tanya Ayana sambil mengangkat tabung kaca itu dan dibalas anggukan kecil oleh Zayn. Ia membawa benda tersebut beserta segelas air yang berada di atas meja.

Ayana dengan seksama menatap Zayn meraih dua butiran kecil itu dan memasukkan ke dalam mulut. 

“Zayn, are you okay, right?” tanya Ayana dengan suara lirih.

Zayn tak menjawab. Ia hanya menatap dalam mata Ayana yang masih basah dan merah.

“Na, boleh aku minta sesuatu padamu?” tanya Zayn setelah merasakan rasa sakit itu sedikit mereda. Juga dengan napas yang perlahan normal.

Ayana mengangguk pelan. 

“Don’t leave me. Stay with me. Temani aku dengan segala kekuranganku. Aku mohon,” pinta Zayn memelas. Ia kembali merasakan ketakutan akan kehilangan Ayana.

Perempuan itu menatap bingung suaminya. “Apa maksudmu bicara seperti itu, Zayn? Aku ini istrimu jika kamu lupa. Bagaimana bisa aku meninggalkanmu?”

Zayn kembali tertunduk. Tangannya kembali menyentuh dadanya yang berdetak sangat kuat. “Na, dadaku, Na. Sakit sekali,” rintihnya. Kali ini air mata sangat deras lolos dari kelopak matanya. Ia terlihat benar-benar menyedihkan.

Ayana meraih tubuh itu lagi. Mendekapnya seraya menenangkan. “Iya. Sabar, ya, Sayang. Di sini ada aku. Genggam tanganku dengan erat. Salurkan rasa sakitmu itu, Zayn,” ucapnya seraya memberikan Zayn tangannya. Ia juga tengah berusaha mati-matian untuk tidak menangis.

“Aku tidak kuat, Na. Ini benar-benar menyakitkan.” Zayn tanpa sadar menggenggam tangan Ayana kepalang kuat. Hingga perempuan itu harus merintih tertahan.

“Kamu kuat. Kamu bisa, Sayang.”

“Sebenarnya, apa yang terjadi denganmu, Zayn?” tanya Ayana dalam hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status