Share

Penerimaan Ayana

Ayana menatap suaminya yang terdiam. Ia yakin pasti ada sesuatu yang mengganjal di pikiran lelaki itu. Lalu, ia membelai lembut wajah Zayn. “Kenapa? Ada yang dipikirkan lagi, hmm?”

Tentu saja Zayn tak mengiyakan pertanyaan istrinya. “Aku cuma mikirin bagaimana kalau kamu buatkan bekal untukku saat ke kantor. Ya biar aku tidak lagi makan di luar. Dan masakanmu pasti jauh lebih higienis.”

Ayana tertawa lebar membuat Zayn tersenyum bahagia. “Are you kidding me, Zayn?”

“Tidak, Sayang.”

“Memangnya kamu yakin masakanku enak?”

“Enak banget, Sayang. Tidak jauh beda dengan masakan Mama.”

“Iya kan resepnya juga dari Mama, Zayn.”

Zayn tertawa.

“Ya sudah mulai besok aku akan membuat bekal untukmu.”

“Ba—”

No! I mean bukan besok. Tapi, nanti kalau kondisimu benar-benar membaik. Baru kamu aku perbolehkan untuk kembali bekerja. Kalau untuk besok aku tidak mengizinkanmu pergi ke kantor,” katanya dengan cepat memotong ucapan Zayn.

“Lho, tapi, Sayang. Aku kan lagi banyak kerjaan.”

“Sayangnya aku tidak peduli. Karena, yang aku pedulikan hanya kondisi suamiku saja.”

“Sayang, come on!

“Maaf, Tuan Nazlan Zayn Ahmad. Nyonya Nazura Ayana Albirru tidak menerima penolakan dalam bentuk apapun.”

Zayn melipat tangan di depan dada. “Oh, jadi sekarang kamu sudah berani melarang suamimu, ya?”

“Untuk apapun yang menyangkut kebaikan dan kesehatan. Istri boleh melarang suami,” ucap Ayana dengan tegas. Ia tak mau kalah oleh Zayn. Ia menirukan suaminya dengan melipat tangan di depan dada.

Zayn tertawa melihat sikap Ayana yang baginya tampak lucu. “Baiklah. Aku akan mengikuti perintah boss kecilku ini,” jawab Zayn dengan tangan yang tak kuasa ditahan untuk engacak jilbab Ayana hingga berantakan.

Perempuan itu mendengus kesal. Ia menatap suaminya dengan tajam. “Zayn!” pekiknya. “Kenapa kamu senang sekali membuat jilbabku berantakan sih?” Lantas ia mengerucutkan bibir beberapa senti ke depan.

Bukannya takut dan merasa bersalah. Zayn justru semakin merasa gemas dengan tingkah istrinya. Sampai-sampai rasa sakit yang terlampau menyiksa itu perlahan hilang dan tak terasa sedikit pun. “Apa kamu sudah lupa apa yang kukatakan sebelum-sebelumnya?”

Alis perempuan itu terangkat sebelah. Ia menatap bingung ke arah Zayn.

“Aku bilang kalau sejak hari pertama aku menjadi suamimu. Mengacak rambut dan jilbabmu adalah hobi baruku.”

“Kamu sama saja kayak Mas Adam. Sama-sama menyebalkan.”

Zayn tidak bisa untuk tidak tertawa. “Tapi, kamu sayang, ‘kan?”

Ayana mengedikkan bahu.

“Na, kamu tahu tidak? Sekarang namamu bukan lagi Nazura Ayana Albirru.”

“Tapi?”

“Tapi, Nazura Ayana Ahmad. Karena, sejak aku menjabat tangan Ayah dan mengucapkan ijab qabul. Sejak saat itu pula kamu menjadi Nyonya Ahmad-ku.”

Ayana tersipu. Pipinya bersemu merah. Bibirnya tak mampu berucap. Hanya kalimat sesederhana itu saja bisa membuat Ayana terbang. Apalagi hal romantis lain yang dilakukan Zayn untuknya.

“Terima kasih sudah menerimaku dengan segala kekurangan yang bahkan sempat aku sembunyikan. Aku bersyukur dikirimkan perempuan sepertimu dalam hidupku, Na.”

Ayana tersenyum. Ia meraih tangan kanan Zayn dan memainkan ibu jarinya di sana. “Seperti apapun kamu. Kamu tetaplah lelaki yang berstatus sebagai suamiku. Sebagai seorang istri adalah kewajibanku untuk selalu menjadi pelengkap segala kekurangan atasmu.”

Perempuan itu terdiam sejenak. Lalu, ditatapnya dengan intens sepasang bola mata yang indah milik Zayn. “Untuk apapun yang sudah kulakukan untukmu. Kamu tidak perlu berterima kasih. Aku ikhlas, Zayn.”

“Kamu bahkan berpikir sejauh dan sebijak itu, Na. Maafkan aku, ya, Sayang. Maafkan aku atas segala praduga yang tak seharusnya kutujukan padamu.”

Ayana mengangguk tanpa menanggalkan senyumnya yang indah. “Zayn, seberat apapun masalah yang tengah kamu hadapi. Jangan pernah tutupi dariku. Terbuka dan ceritalah padaku. Karena, aku adalah istrimu. Seseorang yang akan selalu mendampingi dan menguatkanmu dalam segala kondisi. Trust me, Zayn.”

“Iya, Sayang. I trust you.

“Sekarang minum obat dulu, Zayn,” ucap Ayana sambil mearih piring kecil di atas nakas yang berisi obat-obatan yang akan dikonsumsi Zayn.

“Aku sudah baik-baik saja kok, Na. Untuk apa minum obat?”

Ayana tidak terima dengan ucapan Zayn. Ia menggeleng dan menggerakkan jari telunjuknya ke kiri dan ke kanan sebagai bentuk penolakan. “No! Kamu tidak bisa lagi berbohong padaku, Zayn. Saat ini kamu sedang tidak baik-baik saja. Wajahmu masih sangat pucat seperti mayat hidup.”

“Na, ayolah. Trust me, ya.” Zayn mengedipkan mata berulang kali untuk merayu Ayana.

Satu per satu sikap Zayn yang dikatakan Mama mulai terungkap. Ia hanya mampu menggelengkan kepala karena tak habis pikir akan sikap Zayn. “Kata Mama kamu harus mengonsumsi obatmu setiap hari dan tidak boleh absen.”

“Tapi, Na—”

Ayana mendaratkan bibirnya di bibir Zayn untuk menghentikan lelaki itu berbicara. Tak hanya ucapan Zayn yang terpotong. Lelaki itu juga sukses mematung. “Jangan seperti anak kecil, Zayn. Kamu sangat membutuhkan obat-obatan itu. Tolong jangan buat aku khawatir dan setakut tadi,” ucapnya setelah melepas ciuman di bibir Zayn.

Zayn melunak seketika. “Na.”

“Iya, sayangku.”

“Apa kamu yakin dengan laki-laki penyakitan ini untuk bisa menjagamu?"

“Kamu kuat kok. Kamu pasti bisa. Kita akan melangkah sama-sama, Zayn.”

“Tapi, bagaimana kalau—”

“Jangan bicara tentang hal-hal yang belum tentu terjadi. Lebih baik kamu fokus dengan kesehatanmu saja. Jangan banyak pikiran dulu.”

Zayn tak lagi berkata-kata. Ketakutannya kini bukan lagi tentang Ayana yang akan meninggalkannya. Namun, ketakutannya kini tentang kemampuannya apakah ia bisa menjaga Ayana dengan baik atau justru sebaliknya.

Ayana yang melihat perubahan suaminya mencoba mencairkan suasana. “Zayn, kalau kamu sehat nanti. Aku mau jalan-jalan. Boleh?”

Lelaki itu mencoba berpikir. Hingga detik berikutnya ia menganggukkan kepala. Di pikirannya, barangkali dengan mengiyakan semua keinginan Ayana akan bisa membuatnya menjadi suami yang baik dan berguna.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status