Share

Janji?

Ayana menatap sendu wajah pucat Zayn yang terlelap dan damai dalam tidurnya. Dengan tangan kosong ia menyisir rambut hitam yang terlihat sudah mulai memanjang dengan lembut. Pahatan wajah dengan pipi yang semakin tirus itu ditatapnya begitu lekat. Lalu, tangannya sebelah tangannya bermain di wajah lelaki itu. “Cepat sembuh, ya, Sayang,” bisiknya dan mengecup singkat kening Zayn.

Tanpa Ayana sadari. Air dari matanya luruh begitu saja mengingat kondisi suaminya. “Melihat lelapmu yang damai seperti ini benar-benar membuatku tak menyangka sedikit pun bahwa kamu selama ini menanggung sakit seberat itu, Zayn.” Ia menatap dada Zayn yang nain turun dengan konstan. Tangannya yang tadi membelai wajah Zayn turun menuku dada kiri suaminya. “Selalu baik-baik saja seperti ini, ya. Jangan membuatnya lelah dan terus menerus merasakan sakit yang berlebihan. Kasihani tuanmu sedikit saja,” ucapnya berbicara dengan organ tubuh Zayn yang baru beberapa hari lalu ia ketahui mengalami masalah itu.

Perempuan itu melepas hijab instan yang digunakan untuk menutup mahkotanya. Ia berbaring di samping Zayn. Ditatapnya lagi wajah Zayn yang begitu tegas, tetapi tanpa rona dari samping. Tangannya bergerak melingkari tubuh Zayn, memeluk lelaki itu dengan sangat erat. “Aku percaya kalau kamu adalah lelaki yang kuat, Zayn. Dan saat kamu merasa rapuh. Kamu tidak perlu lagi khawatir. Aku akan selalu ada untukmu, menjadi penguatmu.”

Isakannya yang harus tak terdengar itu nyatanya memang tak bisa ditahan. Isaknya terdengar semakin menjadi-jadi. Hati yang terlanjur pilu itu bertambah ngilu saat kepala memutar ulang peristiwa sebuah rintihan kesakitan suaminya. Dan yang tentu membuat sesalnya juga muncul adalah ia yang tak tahu apa-apa dan tak bisa berbuat apapun.

Ayana tak sadar akan apa yang dilakukannya sekarang. Menangis terisak kuat dan memeluk tubuh Zayn adalah hal yang salah. Kenapa? Karena, niatnya membiarkan lelaki itu damai dalam pejamnya justru gagal. Apa yang dilakukannya membuat Zayn terbangun.

“Sayang,” panggil Zayn dengan suaranya yang serak khas bangun tidur. Ia mengucek mata dengan pelan. “Lho, kenapa kamu belum tidur?” Ia membelai lembut surai Ayana yang masih memeluknya.

Ayana dengan sigap menghapus sisa-sisa air matanya. Zayn tidak boleh tahu bahwa ia baru saja menangis. “Hai! Aku membangunkanmu, ya?”

Zayn menggeleng. “Kenapa belum tidur, Na? Ini sudah larut malam lho, Sayang.”

“Aku belum ingin tidur. Karena aku masih ingin memandangi keteduhan yang terpancar dari wajah suamiku,” jawab Ayana. Ia menopang kepala dengan sebelah tangan. Lalu, menatap suaminya dengan senyum mengembang.

Hanya dengan penerangan lampu tidur Zayn bisa melihat bagaimana senyum lebar itu terbit di wajah Ayana. Namun, satu hal langsung menyita perhatian Zayn adalah mata perempuan itu tampak sembap. Lantas, ia mengubah posisi berbaringnya menjadi bersandar. Itupun ia lakukan dengan sedikit kepayahan karena tenaganya yang belum pulih total. “Kamu habis menangis, Na. Kenapa?” Ia sedikit khawatir.

“Mm…. tidak. Aku tidak menangis. Mataku hanya kelilipan saja,” dustanya. Meskipun ia yakin Zayn tidak akan bisa mempercayainya begitu saja.

“Jangan pernah coba-coba membohongiku, Na,” tegas Zayn. “Lagipula, debu dari mana di dalam kamar? Kita selalu membersihkan kamar setiap hari. Dan kamu tahu kan kalau aku tidak bisa berada di ruang berdebu dan kotor,” lanjutnya dengan panjang lebar.

Ayana seketika terdiam. Ia memang tidak pernah berhasil membohongi lelaki itu. Ia mendongakkan kepala dan menatap wajah Zayn sebentar. Lalu, ia bangkit dan memeluk suaminya. “Maaf,” ucapnya diiringi tangis yang tiba-tiba terdengar.

Zayn membalas pelukan Ayana. Ia tahu perempuan itu masih bersedih dengan kenyataan yang baru saja terungkap. Bohong jika Zayn tak merasa bersalah dengan semua itu. Ia rasanya seperti ingin mengulang waktu dan tentu saja akan menceritakan rahasia yang ia simpan rapat-rapat itu sejak awal. Tak peduli jika Ayana menolak untuk menikah dengannya. Asal saja perempuan itu tak ikut rapu dan menangis setiap hari seperti ini.

“Jangan sakit lagi, Zayn. Aku tidak bisa melihatmu seperti itu.” Ayana mempererat pelukannya.

“Sayang, kan sekarang aku sudah baik-baik saja. Lihatlah,” Zayn merentangkan kedua tangannya. Sayangnya gerakan sekecil itu justru membuat nyeri itu kembali datang. Ia memejamkan mata sebentar. Berusaha untuk terlihat baik-baik saja di hadapan Ayana. Ya, ia harus kuat. “Sudah, ya, Sayang. Jangan nangis lagi,” lanjut Zayn dan kembali memeluk tubuh istrinya yang bergetar.

Ayana tak menjawab.

“Aku justru akan semakin sakit melihatmu menangis seperti ini, Sayang.”

Kepala perempuan itu mendongak. Hanya sebentar. Ia meletakkan kepalanya di dada Zayn. Saat itu juga rasakan detak jantung Zayn berirama cepat. “Zayn,” panggilnya panik. Kini ia sudah duduk dengan tegak di samping Zayn. Ia letakkan tangannya di dada lelaki itu. “Zayn, kenapa?”

Lelaki itu masih terdiam. Ia mencoba menetralisir rasa sakit itu. Hingga setelah ia rasakan tangan Ayana bergerak lembut di bagian yang menyakitkan itu. Rasa sakitnya perlahan menghilang.

“Jangan khawatir seperti itu, Na. Jantungku berdetak cepat karena kamu di dekatku.”

Tatapan khawatir Ayana seketika berubah. Ia menatap Zayn dengan mata yang menyipit. “Kamu menggombaliku, Zayn?”

Zayn tertawa.

“Tapi, terserah saat ini kamu sedang menggombal atau tidak. Asal kamu berjanji padaku untuk selalu menjaga kesehatanmu.”

Zayn menatap perempuan itu. “Aku pasti berjanji untuk hal itu padamu, Na. Dan aku akan selalu kuat untukmu.”

Senyap datang menjeda. Dua pasang mata itu saling menatap lekat.

“Tapi, aku tidak bisa berjanji akan selalu baik-baik saja, Na. Karena, penyakit yang bersarang di dalam tubuhku adalah bom waktu yang siap meledak kapan pun dia mau. Aku tidak punya daya mengendalikan itu, Na.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status