Share

Cinta Pandangan Pertama

“Satpam yang di depan sudah dipecat Bos. Sudah saya pastikan juga jika eksekusi di jembatan kemarin malam bersih tanpa meninggalkan jejak. Kasus yang masuk di kepolisian menyatakan jika wanita itu mati karena bunuh diri,” terang Lidiya. Ia berdiri tepat di belakang Yusuf.

Yusuf yang tengah berdiri memegang botol wine koleksinya hanya menyunggingkan bibir. Kentara sekali kalau laki-laki berusia 30 tahun ini  merasa bosan melihat Lidiya. Setiap harinya ia harus memandang tubuh seksi sekretarisnya ini. Lagi-lagi Lidiya memakai rok dan blus dengan belahan rendah. Seakan-akan sepasang pakaian itu adalah seragamnya ketika bertemu Yusuf.

“Oh iya Bos, saya juga ingin mengabarkan jika ada perubahan jadwal dadakan. Client meminta kita untuk membunuh targetnya malam ini. Dia meminta agar si target dibunuh dengan cara di lempar di air terjun, Bos.”

Sayangnya, kabar dari sekretarisnya ini membuat emosi Yusuf mendadak naik lagi, ia mendengus kesal. Dari raut wajahnya ia nampak tak bersahabat saat melihat Lidiya. Laki-laki kejam yang bernama Yusuf ini melangkah tegas ke arah Lidiya. Tangan kanannya sigap langsung mencekik leher kecil Lidiya.

“Kamu dengar baik-baik, eksekusi malam ini serahkan semua ke Vino! Hubungi Vino!” pekik Yusuf. “Big Bos sudah memberikan kita tenggat waktu sampai akhir bulan Maret. Jika aku tidak segera mendapatkan wanita sebagai sosok pendamping dan punya anak, semua bisnis ini akan diambil alih.” Yusuf lalu melepaskan cekikannya di leher Lidiya dan melangkah menuju meja kerjanya.

“Jika kamu terus saja tidak memberiku waktu luang mana mungkin aku bisa menyelesaikan perintah Big Bos,” protes Yusuf. “Kita hanya punya waktu tiga minggu lagi sampai akhir bulan Maret dan aku juga butuh bersenang-senang nanti malam,” ucap Yusuf sambil kembali menuangkan perlahan-lahan minuman wine ke dalam gelasnya.

Lidiya menyahut cepat kakinya mulai bergemetar. "Baik Bos, akan segera saya hubungi adik Bos, Tuan Vino.

“Bilang ke Vino jika dia tidak mau mengurus eksekusi nanti malam, aku yang akan beralih melemparnya ke air terjun,” bentak Yusuf. Dari suaranya ia nampak kesal dengan adiknya yang bernama Vino. “Segenting apa pun situasinya, pokoknya jangan hubungi aku nanti malam,” pesan Yusuf.

Lidiya lagi-lagi menyahut ucapan Yusuf, “Baik Bos. Untuk nanti malam, Apa perlu saya carikan wanita penghibur juga, Bos?"

Sahutan Lidiya membuat bosnya naik pitam. "Bukan wanita penghibur! Aku butuh pendamping hidup Lid!" Suara teriakan dari Yusuf membuat Lidiya menelan ludah dan menutup salah satu telinganya.

Yusuf mulai meneguk wine yang ada di tangannya, matanya terpejam berusaha mengatur emosinya. Iya, dia menjadi sering marah-marah dan mengamuk tidak jelas sejak bertemu dengan Big Bos. Nampaknya juga ia sangat frustasi karena belum bisa menuruti perintah Big Bos yang menginginkannya mendapatkan pendamping hidup.

“Kamu itu sungguh menyebalkan Lid. Otak kamu itu sebenarnya masih berapa cc? Lama-lama bisa stroke aku menghadapi kamu.” Yusuf terdiam lalu ia kembali mengungkit masalah jam tangan mahalnya yang hilang. “Jam tanganku tidak ada juga di toilet. Apa kamu yakin sudah memberiku jam tangan itu?” tanya Yusuf. Ia mulai curiga dengan Lidiya.

“Saya sangat yakin Bos. Saya sudah memberikan jam itu kepada Bos di mobil. Apa Bos tidak ingat?” tanya Lidiya balik

Yusuf sibuk berdeham sambil mengingat-ingat. “Lalu bagaimana dengan wanita yang ada di toilet laki-laki itu?” tanya Yusuf. “Dia memakai baju warna putih.”

“Di depan ruang HRD semuanya memakai baju warna putih Bos.”

“Bantah terus kamu itu. Percuma aku menyuruhmu, tidak bisa diandalkan,” kesal Yusuf, ia berlalu pergi ke ruang informasi.

“Test, saya Yusuf, pemilik pabrik tekstil ini. Saya kehilangan jam tangan saya yang berwarna silver seharga  lima miliar, siapa pun yang menemukannya segera kembalikan jika tidak jangan harap kalian akan aman ada di pabrik ini.” Berjeda sejenak. “Tenang saja, nanti saya akan kasih imbalan dan jika ada yang dengan sengaja tidak mau mengembalikannya maka saya akan langsung memecatnya dan membuat hidupnya menderita. Sekian,” tegas Yusuf memberi pengumuman lewat speaker pabrik. Suaranya sangat lantang terdengar ke suluruh penjuru pabrik.

Mendengar pengumuman itu, wajah Farah memucat, bulir-bulir keringat bermunculan di keningnya. Ia meremas kuat nomor antrian yang berada dalam gengamannya sampai membuat kertas itu lusuh karena basah dengan keringat yang ada ditangannya.

“Apa? pemilik? Laki-laki yang aku ajak bertengkar tadi pemilik pabrik ini?” gumamnya dalam hati dengan ekspresi tertekan. “Jika aku tidak mengembalikan jam tangan ini nyawa aku taruhannya, jelas-jelas dia bukan orang sembarangan. Banyak bekas luka tusuk di punggungnya.” Farah kembali mengingat-ingat tubuh Yusuf yang terpantul dari cermin toilet.

Diliriknya nomor antrian yang dipegang wanita di sampingnya. Nomor antrian yang bertuliskan angka empat puluh. Farah menepuk pelan bahu wanita itu dan mencoba untuk mengajak berbicang. “Maaf, mbak. Apakah mbak mau bertukar nomor antrian dengan saya? Nomor antrian saya nomor sembilan mbak.” Farah menyodorkan tangannya menawarkan nomor antriannya.

“Tapi, nomor antrian saya empat puluh mbak, apa mbak masih mau?”

“Iya mbak, tidak apa-apa. Saya merasa gugup. Saya tidak bisa jika wawancara terlalu awal,” jawabnya mencari-cari alasan agar bisa bertukar nomor antrian.

Farah berjalan cepat, tangan kirinya memegang map warna biru, sedang tangan kanannya memegang erat saku roknya yang terlihat menonjol. Di dalam saku itu, ada jam tangan milik Yusuf seharga lima miliar.

Akan tetapi langkah kakinya terhenti ketika sampai di depan lift. “Apa aku kabur saja. Dengan uang lima miliar, aku sudah bisa punya kehidupan baru. Aku juga bisa kabur ke luar negeri. Lagi pula dia tidak tahu wajahku,” batin Farah. Ia semakin gusar dan bingung langkah apa yang seharusnya ia ambil.

“Kamu harus mengembalikannya Farah. Gedung ini banyak CCTV. Jika kamu ketahuan tamat sudah riwayatmu.” Farah mencoba menyakinkan diri dan menampik semua keraguannya.

Ditekanlah tombol lift yang akan membawanya ke ruangan Yusuf. Sebelum masuk, Farah menyeka keringat di keningnya. Dan juga untuk menghadapi rasa gugupnya, ia  menyisir rambutnya dengan jari-jari tangannya. Kaki dan tangannya mulai bergemetar saat mengetuk pintu. “Aku yakin laki-laki itu pasti akan memberiku banyak uang. Lima miliar itu uang yang sangat besar pasti imbalan yang akan aku dapat juga besar,” gumamnya.

 “Permisi Pak,” serunya setelah mengetuk pintu pelan. Pintu ruang kerja Yusuf agak terbuka sedikit. Ia melenggang masuk dan pandangannya langsung tertuju pada laki-laki berkacamata yang duduk menyilangkan kakinya di sofa tamu. Kepalanya menunduk sedikit, tangannya sibuk menggeser-geser layar ipad yang ia pegang.

“Mau apa lagi Lid? Aku sudah suruh kamu mengurus eksekusi nanti malam. Jangan ganggu aku,” ucap Yusuf tanpa memandang siapa yang ia ajak bicara. Sorot matanya masih tertuju pada layar ipad-nya.

Sebelum memulai membuka mulutnya untuk berbicara di depan orang penting ini, Farah berdeham sebentar. “Maaf Pak, saya mau mengembalikan jam tangan Bapak,” ucapnya pelan.

Mendengar kata jam tangan, Yusuf langsung melepas kacamatanya dan memandang wanita di depannya.

Yusuf memandang lekat-lekat wajah Farah dengan pupil mata yang melebar. Wajahnya memerah, seketika ia mengalami rush of adrenaline. Detak jantungnya berdegup kencang, serasa ada aliran energi yang begitu besar ketika memandang wajah cantik wanita yang ada di depannya itu. Tidak pernah ia merasakan hal ini sebelumnya.

Di mata Yusuf, Farah ini adalah tipe ideal-nya. Wanita tinggi dengan kaki jenjang, berambut panjang, wajah yang putih dan manis. Belum lagi sorot mata Farah memiliki daya tarik yang begitu kuat.

“Maaf, Pak. Saya ingin mengembalikan jam tangan Bapak,” ucap Farah lagi.

Yusuf tidak berkutik, mulutnya hendak mengucapkan sesuatu, namun mulutnya terhenti dalam keadaan ternganga. Matanya tidak bisa lepas dari wajah cantik wanita yang di depannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status