Share

Kepulangan Wisnu

Setelah kepulangan Wina, aku masih berdiri mondar mandir diruang tamu, aku ingin segera Mas Wisnu pulang dan memberinya pelajaran. 

Teganya dia mengkhianatiku ya Allah ... Kurang apa diriku ini, kuberi ia kepercayaan penuh, bahkan aku tak pernah menuntut nafkah lahir, gaji dia yang tak seberapa tak pernah kutanyai, semua aku sarankan untuk diberikan kepada ibu. Selain anak tunggal, Ibu yang sekarang tinggal seorang diri juga sering sakit-sakitan hingga memerlukan biaya untuk berobat, bahkan tak jarang aku memberi lagi uangku sendiri dari hasil rumah makanku.

Aku berfikir jika Mas Wisnu harus bertangung jawab penuh pada Ibu semata wayangnya. Dia tinggal sendiri, tak mau di ajak kesini karena merasa kalau sebuah rumah tangga akan tenang tanpa orang ketiga. Walau itu Ibunya sendiri.

Aku salut pada Ibu Mertua, dia begitu paham akan hal keharmonisan rumah tangga. Sayang ... Justru anaknya lah yang tak tahu adab, dia menyalakan api sendiri, yang tentunya akan membakar rumah tangganya.

"Non, ini taruh dimana?" tanya Bik Uni menyeret koper besar.

"Taruh saja dipojokan situ, Bik!" 

"Non, ada masalah? Ceritalah sama bibik kalau Non merasa beban terlalu berat, tumpahkan pada Bibik agar tak terasa sesak didada." aku tersenyum pada wanita paruh baya itu, dia memang sudah seperti keluargaku sendiri, selama bekeja enam tahun lamanya, tak sekalipun ia membuat aku kesal. Justru aku merasa dia menjadi sosok penganti Ibu yang jauh disana.

"Ngga ada apa-apa kok, Bik. Aku masih bisa mengatasi." dengan pelan aku berkata, agar dia tak tersingung dengan penolakanku untuk bercerita.

"Ya sudah kalau begitu, saya masuk dulu, Non."

"Iya, Bi. Terima kasih." 

Dia berlalu pergi, kembali menuju dapur, aku dapat melihat punggungnya yang sedikit membungkuk. Aku tak pernah menginginkan ia bekerja terlalu lelah, Namun ketika kutawarkan untuk mencari asisten satu lagi ia menolak. Dia tak ingin waktu dengan dengan Aira berkurang karena kedatangan Asisten lain yang akan mengantikan posisinya merawat Aira. Padahal niatku bukan mencari babysitter. Terpaksa aku hanya mencari tukang kebun yang datang pagi dan pulang sore.

Mobil memasuki gerbang, aku yakin dia adalah Mas Wisnu. Aku tak beranjak dari dudukku.

Mas Wisnu kaget melihat aku menghadangnya diruang tamu.

"Eh, Dek. Kamu disini?" tanyanya basa-basi, namun aku dapat lihat raut kekhawatirannya.

"Aku ganti baju dulu ya, Dek! Bau ... " ia berkata sambil mencium kemejanya. Kemudian melangkah akan masuk.

"Tunggu, Mas. Tak perlu lagi kamu masuk kesana!" 

Seketika Mas Wisnu menghentikan langkahnya.

"Maksud kamu apa, Dek? Kamu marah."

Aku tak menjawab pertanyaannya. Rasanya tak penting semua itu aku jawab.

"Semua baju-bajumu sudah aku kemas dikoper itu!" aku menunjuk pada koper warna hitam yang tadi sudah disiapkan oleh Bik Uni.

"Ka-kamu mengusirku, Ainun!" kali ini nada suara Mas Wisnu naik satu oktaf.

"Menurutmu?" aku jawab dengan santai.

"Memang salahku apa? Hanya karena Wina? Semua bisa aku jelaskan, Nun!" dia membela diri, bahkan pannggilan Dek-nya entah kabur kemana.

"Aku percaya sepenuhnya padamu, Mas. Namun kamu hancurkan bagitu saja! Jadi bagiku semua itu tak ada toleransi, pergilah dari sini dan jangan bawa apapun selain pakaian yang ada dikoper. Handphone juga dompet kamu mana?" tanganku mengadah meminta barang yang memang beli dengan uangku. Masalah dompet aku ingin mengambil kartu ATM-ku yang memang ia pegang.

"Jangan begitu, Nun! Maafkan aku, aku khilaf telah dibutakan oleh kecantikan Wina dan semua itu ia yang merayu, Nun. Aku hanya manusia normal, di goda terus menerus hingga aku hampir terbawa arus. Namun kami masih dalam ambang batas kok. Percayalah ...." Mas Wisnu memelas.

"Benarkah? Kenapa tadi Wina kesini dan bilang kamu yang merayu, bahkan dia mengembalikan ini!" aku mengeluarkan kalung berlian tadi.

Seketika wajah Mas Wisnu memerah, "entahlah, Nun. Aku sepertinya sudah dipelet oleh Wina, hingga aku seperti orang bodoh yang mau saja mencuri perhiasan istri sendiri."

Aku tersenyum kecut, dia benar-benar pandai bersilat lidah.

"Sini HPnya!"

"Untuk apa, Nun."

"Itu HP aku yang beli jadi aku minta balik!" jawabku ketus.

"Tapi, Nun?"

"Mas, kamu tahu sendiri selama ini aku tak pernah sekalipun mengecek Hp kamu, karena aku percaya sama kamu. Namun nyatanya ...?"

"Maafkan aku, Nun. Aku khilaf saja, dan kukira itu sebuah kewajaran." 

Aku mencebik, dan mengambil Hpnya dari saku. Hp berkamera mata tiga dengan merk apel tergigit itu baru kubeli beberapa bulan yang lalu. Ya ... Aku yang membelinya, gaji Mas Wisnu tak cukup kalau untuk membeli barang mewah seperti itu. Bahkan di kantor hanya Mas Wisnu yang hanya sebagai staf namun punya mobil sendiri. Semua uang untuk membeli mobil itu tentunya dari uang hasil bisnisku.

"Jangan, Nun. Kalau kamu ambil HPku gimana aku berhubungan dengan ...."

"Dengan siapa? Dengan selingkuhanmu?"

Tepat saat kupegang HP bergetar tanpa bunyi, ternyata Mas Wisnu meminimalkan dering pada Hpnya. Pantes selama ini aku tak pernah mendengar bunyi HPnya. Kukira karena memang teman Mas Wisnu hanya seputaran kantor hingga saat dirumah jarang ada yang menghubungi.

Aku terpana, mataku melotot melihat foto profil seseorang yang menelfon Mas Wisnu itu.

Apakah benar itu Mas Wisnu? Disana seorang lelaki yang sangat mirip Mas Wisnu tengah mengendong balita dan disebelahnya ada seorang wanita.

Ya Allah .... 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status