Setelah kepulangan Wina, aku masih berdiri mondar mandir diruang tamu, aku ingin segera Mas Wisnu pulang dan memberinya pelajaran.
Teganya dia mengkhianatiku ya Allah ... Kurang apa diriku ini, kuberi ia kepercayaan penuh, bahkan aku tak pernah menuntut nafkah lahir, gaji dia yang tak seberapa tak pernah kutanyai, semua aku sarankan untuk diberikan kepada ibu. Selain anak tunggal, Ibu yang sekarang tinggal seorang diri juga sering sakit-sakitan hingga memerlukan biaya untuk berobat, bahkan tak jarang aku memberi lagi uangku sendiri dari hasil rumah makanku.
Aku berfikir jika Mas Wisnu harus bertangung jawab penuh pada Ibu semata wayangnya. Dia tinggal sendiri, tak mau di ajak kesini karena merasa kalau sebuah rumah tangga akan tenang tanpa orang ketiga. Walau itu Ibunya sendiri.
Aku salut pada Ibu Mertua, dia begitu paham akan hal keharmonisan rumah tangga. Sayang ... Justru anaknya lah yang tak tahu adab, dia menyalakan api sendiri, yang tentunya akan membakar rumah tangganya.
"Non, ini taruh dimana?" tanya Bik Uni menyeret koper besar.
"Taruh saja dipojokan situ, Bik!"
"Non, ada masalah? Ceritalah sama bibik kalau Non merasa beban terlalu berat, tumpahkan pada Bibik agar tak terasa sesak didada." aku tersenyum pada wanita paruh baya itu, dia memang sudah seperti keluargaku sendiri, selama bekeja enam tahun lamanya, tak sekalipun ia membuat aku kesal. Justru aku merasa dia menjadi sosok penganti Ibu yang jauh disana.
"Ngga ada apa-apa kok, Bik. Aku masih bisa mengatasi." dengan pelan aku berkata, agar dia tak tersingung dengan penolakanku untuk bercerita.
"Ya sudah kalau begitu, saya masuk dulu, Non."
"Iya, Bi. Terima kasih."
Dia berlalu pergi, kembali menuju dapur, aku dapat melihat punggungnya yang sedikit membungkuk. Aku tak pernah menginginkan ia bekerja terlalu lelah, Namun ketika kutawarkan untuk mencari asisten satu lagi ia menolak. Dia tak ingin waktu dengan dengan Aira berkurang karena kedatangan Asisten lain yang akan mengantikan posisinya merawat Aira. Padahal niatku bukan mencari babysitter. Terpaksa aku hanya mencari tukang kebun yang datang pagi dan pulang sore.
Mobil memasuki gerbang, aku yakin dia adalah Mas Wisnu. Aku tak beranjak dari dudukku.
Mas Wisnu kaget melihat aku menghadangnya diruang tamu.
"Eh, Dek. Kamu disini?" tanyanya basa-basi, namun aku dapat lihat raut kekhawatirannya.
"Aku ganti baju dulu ya, Dek! Bau ... " ia berkata sambil mencium kemejanya. Kemudian melangkah akan masuk.
"Tunggu, Mas. Tak perlu lagi kamu masuk kesana!"
Seketika Mas Wisnu menghentikan langkahnya.
"Maksud kamu apa, Dek? Kamu marah."
Aku tak menjawab pertanyaannya. Rasanya tak penting semua itu aku jawab.
"Semua baju-bajumu sudah aku kemas dikoper itu!" aku menunjuk pada koper warna hitam yang tadi sudah disiapkan oleh Bik Uni.
"Ka-kamu mengusirku, Ainun!" kali ini nada suara Mas Wisnu naik satu oktaf.
"Menurutmu?" aku jawab dengan santai.
"Memang salahku apa? Hanya karena Wina? Semua bisa aku jelaskan, Nun!" dia membela diri, bahkan pannggilan Dek-nya entah kabur kemana.
"Aku percaya sepenuhnya padamu, Mas. Namun kamu hancurkan bagitu saja! Jadi bagiku semua itu tak ada toleransi, pergilah dari sini dan jangan bawa apapun selain pakaian yang ada dikoper. Handphone juga dompet kamu mana?" tanganku mengadah meminta barang yang memang beli dengan uangku. Masalah dompet aku ingin mengambil kartu ATM-ku yang memang ia pegang.
"Jangan begitu, Nun! Maafkan aku, aku khilaf telah dibutakan oleh kecantikan Wina dan semua itu ia yang merayu, Nun. Aku hanya manusia normal, di goda terus menerus hingga aku hampir terbawa arus. Namun kami masih dalam ambang batas kok. Percayalah ...." Mas Wisnu memelas.
"Benarkah? Kenapa tadi Wina kesini dan bilang kamu yang merayu, bahkan dia mengembalikan ini!" aku mengeluarkan kalung berlian tadi.
Seketika wajah Mas Wisnu memerah, "entahlah, Nun. Aku sepertinya sudah dipelet oleh Wina, hingga aku seperti orang bodoh yang mau saja mencuri perhiasan istri sendiri."
Aku tersenyum kecut, dia benar-benar pandai bersilat lidah.
"Sini HPnya!"
"Untuk apa, Nun."
"Itu HP aku yang beli jadi aku minta balik!" jawabku ketus.
"Tapi, Nun?"
"Mas, kamu tahu sendiri selama ini aku tak pernah sekalipun mengecek Hp kamu, karena aku percaya sama kamu. Namun nyatanya ...?"
"Maafkan aku, Nun. Aku khilaf saja, dan kukira itu sebuah kewajaran."
Aku mencebik, dan mengambil Hpnya dari saku. Hp berkamera mata tiga dengan merk apel tergigit itu baru kubeli beberapa bulan yang lalu. Ya ... Aku yang membelinya, gaji Mas Wisnu tak cukup kalau untuk membeli barang mewah seperti itu. Bahkan di kantor hanya Mas Wisnu yang hanya sebagai staf namun punya mobil sendiri. Semua uang untuk membeli mobil itu tentunya dari uang hasil bisnisku.
"Jangan, Nun. Kalau kamu ambil HPku gimana aku berhubungan dengan ...."
"Dengan siapa? Dengan selingkuhanmu?"
Tepat saat kupegang HP bergetar tanpa bunyi, ternyata Mas Wisnu meminimalkan dering pada Hpnya. Pantes selama ini aku tak pernah mendengar bunyi HPnya. Kukira karena memang teman Mas Wisnu hanya seputaran kantor hingga saat dirumah jarang ada yang menghubungi.
Aku terpana, mataku melotot melihat foto profil seseorang yang menelfon Mas Wisnu itu.
Apakah benar itu Mas Wisnu? Disana seorang lelaki yang sangat mirip Mas Wisnu tengah mengendong balita dan disebelahnya ada seorang wanita.
Ya Allah ....
"I-ini kamu, Mas? Dengan siapa ini?" aku menunjukan HP kepada Mas Wisnu, masih berdering panggilan disana. Namun ketika akan aku geser tombol dial ternyata sudah lebih dulu mati, mungkin karena waktu tunggu habis."Sini!" Mas Wisnu merebut HP dengan kasar. Akupun sampai kaget dengan sikap Mas Wisnu yang tiba-tiba merebut HPnya."Jelaskan, Mas. Siapa dia? Siapa Nuri, nama yang tertera di sana?" selidikku dengan mata menatap penuh pada Mas Wisnu.Dia masih bergeming, wajahnya menampakan kecemasan."Katakan, Mas!" bentakku, sungguh aku merasa emosi sekali, lagi-lagi harus di permainkan oleh suamiku sendiri. Lelah ya Allah ...."Di-dia Nuri, dia itu keponakan jauh Ibu, Dek. Kami kecil bersama dulu, belum lama kita bertemu dan saat ketemu itulah aku gendong anaknya dan dia minta foto. Ya ... Mungkin untuk mengobati rindu dia ... dia ... Memasangnya untuk foto profilnya." Mas Wisnu pan
Aku harus tau sebenar-benarnya siapa mereka. Aku tak suka jika hanya praduga, pokoknya aku harus benar-benar tahu ada hubungan apa mereka dengan Mas Wisnu. Apa benar yang di katakan Mas Wisnu bahwa mereka itu saudara sepupu. Aku akan tanya pada Ibu Mertua, benarkah Mas Wisnu punya saudara jauh? Aku juga harus punya foto mereka, agar mudah menunjukan pada Ibu.[Win, aku minta kamu bisa dapatkan foto wanita itu!] kembali kukirim WA pada Wina.Dia pasti akan mencarinya, aku tak tahu bagaimana caranya. Namun nyatanya ia begitu cepat menemukan titik terang tentang wanita itu jadi aku tak ragukan kemampuannya untuk menjadi detektif. Masalah hubungannya dengan Mas Wisnu, aku tak peduli. Kiranya aku sudah memberi pelajaran yang akan ia ingat selamanya. Pasti akan perfikir dua kali untuk kembali berurusan dengan aku. Bisa-bisa ia tak akan bisa beli makanan untuk dirinya sendiri."Hufh ... Ainun di lawan, Aku tak akan bar-ba
Aroma minyak angin menyeruak, aku merasa kepalaku berat sekali, kubuka mata berlahan. Kulihat Dokter Luna, Bik Uni dan Bang Ridho berdiri tak jauh dari saat aku berbaring.Apa aku pingsan!"Syukurlah kamu sudah sadar, Nun." Bang Ridho berkata dengan tersenyum."Aku kenapa?" tanyaku pada mereka."Ibu hanya tertekan dan stres. Ibu ngga papa, sebaiknya kalau ada suatu masalah lebih baik diselesaikan jangan sampai seperti ini. Tak baik untuk kesehatan. Saya kasih resep vitamin. Nanti ditebus ya!"Aku mengangguk, dokter pamit dan diantar Bik Uni keluar. Aku berusaha duduk."Kamu kenapa si? Sebaiknya kalau memang kamu merasa sakit, menangislah! Menangis bukan berarti cengeng, namun itu lebih baik untuk mengurangi sakitmu. Jangan kamu tekan yang berefek pada kesehatan."Aku hanya tersenyum kecut,"mungkin aku hanya butuh refresing, Bang. Biar ota
"Ini beberapa foto dia, Bu." Wina menunjukan beberapa foto Lastri yang tampak sendiri.Tunggu!"Coba kamu zoom, perbesar gambarnya!" aku melihat dengan segsama, sebuah foto Lastri yang tengah duduk pada sebuah kursi dengan meja didepannya.Benar, ini tak salah lagi, dia berada di Rumah makanku. Rumah Makan Sari Rasa, cabang parahyangan. Walau aku lama tak kesana, namun tak pangkling dengan dekorasi tempatnya. Rumah makan bernuansa pedesaan dengan bambu sebagai ciri khas Rumah makanku itu.Rumah makan yang kurintis sejak tujuh tahun yang lalu, saat kami belum lama menikah, Mas Wisnu yang masih bekerja sebagai supir pribadi membuat aku yang notaben-nya sarjana. Memilih merintis usaha kuliner karena hobiku yang suka memasak dan berkuliner, di samping itu juga turunan dari orang tuaku yang senang berbisnis dari pada harus bekerja pada orang lain."Setinggi apapun jabatanmu di mana be
Siapkan air es disamping kamu untuk baca part ini, takutnya dari telinga keluar asap dan terjadi hal yang tak diinginkan ... Kabur, ah othornya.Selamat membacaPoV Wisnu.Sial! Gara-gara aku salah kirim WA untuk Wina terkirim ke Ainun. Sekarang berbuntut panjang. Ainun yang dulu percaya aku seratus persen kini mulai menaruh kecurigaan. Terlebih dia memergoki aku tengah makan dengan Wina.Gadis perawan yang bekerja sebagai sekretaris di Perusahaanku bekerja. Aku yang hanya staf marketing, berhasil membuatnya berbunga-bunga. Kemewahan tentunya yang membuatnya tahluk, namun sayang baru akan berjanji untuk menikahinya tahun depan. Hubungan kita sudah lebih dulu terkuak, bahkan sekarang dia di pecat. Kasian tentunya, tapi aku bersyukur karena posisiku aman. Aku masih punya Wina-Wina yang lain. Ada juga Lastri yang telah aku nikahi secara agama hampir empat tahun yang lalu.Beruntung
Dia pikir aku mudah tertipu, aku memang dulu sangat mempercayainya. Namun sekali ia berkhianat, aku tak akan percaya lagi. Terlebih ini sudah sangat mencurigakan. Ibu berkata sendiri kalau jatah bulanannya hanya tiga juta.Gila dia! Tega-teganya mengurangi jatah ibunya sendiri, sedangkan dia tahu bagaimana kondisi ibunya.Kulirik dia saat mengemudi mobil, ada raut kepanikan, setelah tadi aku paksa dia tanpa alasan. Yah ... Lucu saja! Pura-pura sakit perut saat akan di ajak kerumah ibu, sebelumnya baik-baik saja.Keringat sebesar jagung banyak berada di keningnya. Aneh!"Kenapa, Mas? Kok keringetan gitu?" tanyaku penasaran melihat ia yang begitu kegerahan. Bahkan sekali-kali menarik kerah bajunya."Ngga tau, Dek! Entah kenapa cuaca hari ini begitu panas. Bahkan Ace mobil saja kalah."Aku membelalakan mata, Ace yang begitu dingin dia bilang kalah.
"Sudah ya, Nduk. Semua sudah kelar, Wisnu sudah mengakui ke khilafannya jadi sekarang tak ada masalah yang serius," ibu tersenyum sambil mengusuk punggungku,"Ibu laper, yuk kita makan?"Aku beranjak berdiri, aku tak mampu berargumen dengan Ibu, terlebih aku belum mempunyai bukti yang kuat untuk membuktikan siapa Nuri sebenarnya."Baik, Bu. Aku siapkan dulu." aku melangkah menuju keruang makan, menyajikan apa yang telah kubeli sebelum kesini. Ayam rica-rica selalu kubawakan untuknya. Itu kesukaan Ibu. Saat menuang ayam rica-rica itu pada mangkuk, hatiku terongok sakit, tiba-tiba ingat Ibu Mertua yang tadi berbohong tentang Nuri. Sungguh aku tak menyangka, selama ini dia baik dan terbuka kenapa sekarang menutupi kelakuan anaknya yang salah?"Jangan macam-macam, kalau kamu tak ingin kenyamanan selama ini hilang." kata-kata Ibu Mertua yang dikhususkan untuk anaknya itu tak sengaja kudengar saat aku akan memanggil mereka untu
"Pagi, Ma," sapa Aira yang tengah sarapan ditemani Bik Uni."Pagi juga, Aira." kucium kening Aira lembut. Kemudian duduk dan mengambil sarapan. Tak kulihat cucunguk itu duduk ikut sarapan. Kemana dia? Pergi kah? Bagus deh kalau ia sadar diri dan memilih keluar tanpa aku usir."Mas Wisnu ngga pulang, Bik?" tanyaku meyakinkan jika Buaya buntung itu benar-benar tak pulang."Pulang, Non. Tadi pagi jam empat subuh." bisik Bik Uni padaku, "mungkin sekarang sedang tidur.""Ohh .... " hanya itu yang keluar dari mulutku, kukira ngga pulang. Terus dari mana dia? Apa melanjutkan berkencan dengan wanita kemarin? Ah, sudahlah. Kenapa aku harus memikirkan itu. Fokusku sekarang menyelamatkan asetku dan kemudian mengurus perceraian. Sudah! Aku akan hidup tenang tanpa benalu yang tak tahu diri."Ma, hari ini aku dianter mama kan?""Iya, Sayang. Ya sudah tunggu di mobil