Share

Perdebatan

Aku harus tau sebenar-benarnya siapa mereka. Aku tak suka jika hanya praduga, pokoknya aku harus benar-benar tahu ada hubungan apa mereka dengan Mas Wisnu. Apa benar yang di katakan Mas Wisnu bahwa mereka itu saudara sepupu. Aku akan tanya pada Ibu Mertua, benarkah Mas Wisnu punya saudara jauh? Aku juga harus punya foto mereka, agar mudah menunjukan pada Ibu.

[Win, aku minta kamu bisa dapatkan foto wanita itu!] kembali kukirim W* pada Wina.

Dia pasti akan mencarinya, aku tak tahu bagaimana caranya. Namun nyatanya ia begitu cepat menemukan titik terang tentang wanita itu jadi aku tak ragukan kemampuannya untuk menjadi detektif. Masalah hubungannya dengan Mas Wisnu, aku tak peduli. Kiranya aku sudah memberi pelajaran yang akan ia ingat selamanya. Pasti akan perfikir dua kali untuk kembali berurusan dengan aku. Bisa-bisa ia tak akan bisa beli makanan untuk dirinya sendiri.

"Hufh ... Ainun di lawan, Aku tak akan bar-bar untuk memberi pelajaran pada pelakor, manis namun sulit untuk ditelan!" aku tersenyum tersunging. 

Mengingat video yang dikirim Bang Ridho ketika memberi pelajaran pada Wina. Mungkin jika Wina tak membutuhkan pekerjaan pasti dia tak akan mau lagi untuk mengemis padaku. Rasa malunya pasti sangat besar ketika Bang Ridho memberi pelajaran didepan semua karyawanya.

Kasihan sebenarnya, namun kata Bang Ridho itu juga untuk contoh yang lain agar tak melakukan kesalahan yang sama. Benar juga si ....

Aku merogoh saku, mengambil kotak perhiasan dimana ada kalung yang tadi Wina serahkan, aku ingin meletakkan pada tempatnya. Kubuka pintu lemari dan kemudian berjongkok untuk membuka kotak besi.

Kubuka berlahan, kemudian mengambil kotak perhiasan besar yang kupakai untuk menaruh beberapa perhiasan campur.

Aku meletakkan kotak berisi kalung itu kemudian menutupnya kembali. Aku harus menganti kode pin brangkas ini agar hartaku aman. Tak ada jaminan bukan kalau Mas Wisnu tidak mencurinya lagi.

"Aman!" pin sudah kuganti tanpa memberitahu Mas Wisnu. Aku sudah tak percaya lagi pada manusia macam dia.

Aku sudah lelah, lebih baik aku tidur, rasanya dada sesak karena aku menahan air mata yang ingin menyeruak keluar sebagai tanda bahwa hatiku sakit. Sakit sekali!

@@@

Pagi menjelang, aku turun dengan kondisi masih memakai piama, namun kaget ketika turun kebawah. Aira dan Mas Wisnu sudah duduk sedang menikmati sarapan.

"Mama, baru bangun?" tanya Aira. Aku mengangguk sambil menguap, aku memang kesiangan karena tak dapat tidur nyenyak.

"Mama kecapaian ya, kata Papa, Mama tidurnya nyenyak sekali sampai Papa tak berani membangunkannya." aku tak menjawab pertanyaan Aira, kukecup lembut pipinya kemudian duduk disampingnya.

Mataku melirik pada orang yang tengah mengunyah roti, dia tersenyum saat tahu aku meliriknya.

'Kamu boleh tersenyum sekarang, merasa menang karena aku tak berhasil mengusirmu hari ini. Kamu memang licik, menggunakan Aira untuk tameng.' batinku berdecis kesal. Kami makan dalam diam, tak ada obrolan berarti kecuali sesekali Aira yang bersuara.

"Aku berangkat dulu ya, Dek!" dia beranjak dari duduk, kemudian mengarahkan tangannya padaku agar aku salam dan mencium tanganya. Aku bergeming, bahkan melegos.

"Mama aku juga berangkat, hari ini Papa nganterin aku." Aira mencium tanganku.

"Oh, gitu. Ya sudah hati-hati, Nanti pulangnya dijemput Bik Uni ya. Mama ada urusan sebentar jadi ngga bisa jemput."

"Iya, Ma. Tuh Papa pamit, Ma," ucap Aira yang melihat tangan Mas Wisnu masih diangkat menungguku untuk menciumnya. Sebal! Dia benar-benar menggunakan kesempatan ini.

Terpaksa aku mencium tangan Mas Wisnu, dia akan mencium keningku namun aku menghindar. Malas, dia kira aku masih sudi.

"Baik-baik ya, Dek. Mas berangkat dulu," pamitnya.

Cuih! Manis sekali, bikin diabetes saja.

"Jadi istri yang baik, berbakti pada suami jangan suka ngebangkang."

Aku melototkan mata, dia itu ... Ingin sekali kulempar sandal.

"Dah, Sayang ... Jang ...."

Belum selesai ia berkata aku mengambil sandal yang kupake, ingin rasanya aku lempar tepat ke mukannya. Dia berlari kecil sambil tertawa. Untung Aira ngga lihat karena sudah lebih dulu didepan.

Kesal bener pagi-pagi udah dibikin muak sama kutu kupret. Bisa stres kalau ia terlalu lama disini. Aku harus secepatnya urus perceraian. Tentunya setelah aku yakin jika Mas Wisnu tak mencuri hartaku.

Aku beranjak masuk kekamar untuk mandi, bersiap-siap untuk bertemu dengan Wina, tentunya dengan Bang Ridho juga. Bukan aku takut bertemu Wina sendirian, namun jika ada orang lain, bisa menjadi saksi bila terjadi sesuatu.

"Aku harus tampil modis." kuambil koleksi jam tanganku, mengenakan satu yang di rasa seditik sama dengan gaun yang kugunakan. Kemudian aku membuka brangkas, mengambil satu kotak perhiasan kesukaanku. Perhiasan dengan logo Chann*l aku pilih sebagai pelengkap sempurnanya penampikanku. 

Kubuka kotak perhiasan yang isinya lengkap ada kalung, gelang, giwang dan cincin dengan satu motif. Tunggu!

"Dimana Cincinya?" aku mencoba mencari-cari, nyatanya dalam kotak itu tak ada, aku kembali membuka brangkas, mungkin aku lupa menaruh pada kotak lain.

Nihil! Tak kutemukan cincin itu. Apa mungkin Mas Wisnu mengambilnya. Aku mengeluarka. Semua perhiasanku, memastikan apakah ada yang hilang lagi. 

Benar aku kehilangan satu pasang giwang, satu cincin lagi dan Gelang kaki. Sungguh aku sanngat geram sekali. Mas Wisnu telah melebihi batasannya. Selama ini aku tak terlalu memperhatikan barang-barang berhargaku, terlebih aku kadang hanya mengenakan jika ada acara saja. Sedangkan keseharianku, aku hanya mengenakan cincin pernikahan.

Kepalaku berdenyut nyeri, mungkin karena aku terlalu menahan apa yang membuatku emosi. Sungguh, tak menyangka jika rumah tanggaku yang harmonis harus mengalami ini semua.

Kutarik rambutku, berharap pusing dikepala reda.

"MAS WISNU!!!" aku berteriak sambil menjambak rambutku sendiri, merasa kepala ini seolah berputar-putar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status