"Ini tak adil, Dek!" Mas Wisnu masih berusaha protes. Tak adil apa maksudnya?
"Kamu mau minta keadilan yang seperti apa, Mas?" tanyaku dengan sekuat tenaga menahan genangan air mata yang hampir jatuh. Ya ... Aku menangis bukan karena kehilangan Mas Wisnu, melainkan karena aku terlalu lama di tipu olehnya.
"Aku ngga mau kita cerai, Dek! Pokoknya aku tak mau!"
"Kenapa, Mas? Kamu takut miskin!"
"Bukan gitu, Dek. Pikirkan Aira. Dia pasti kecewa pada kita."
"Dia akan lebih kecewa jika tahu papanya memberi adik dari ibu lain!" cebikku, Mas Wisnu terdiam.
"Mbak benar-benar menyerahkan Mas Wisnu untukku?" Lastri seolah belum percaya.
"Iya, Las! Kamu pikir aku cuma bercanda? Hal semacam ini tak bisa dibuat bercanda Lastri."
"Pi ...." Lastri memanggil Mas Wisnu, diiringi dengan senyum, namun tidak dengan Mas Wisnu
Tanganku bergetar hebat, bagaimana ini jika benar Mas Wisnu akan merebut Aira dariku, aku pasti tak akan hidup tenang dan aku tak akan bisa menjalani hari-hatiku lagi, karena Aira itu penyemangatku satu-satunya.'Aku harus minta bantuan!'Kutekan nomor ponsel Bang Ridho dengan kondisi tangan masih gemetaran."Ha-halo, Bang.""Iya, Nun. Kenapa, kok sepertinya suara kamu bergetar. Kamu sakit?""Ngga, Bang. Cuma aku sedang ketakutan, tadi Lastri dan Mas Wisnu menelfon dan mengatakan kalau dia akan merebut hak asuh Aira, Bang. Aku takut ....""Haaa ... Haa... Kamu kenapa harus takut? Dia itu tak punya kekuatan dan dasar hukum sedikitpun." Bang Ridho justru tertawa, aku sampai kesal mendengarnya."tapi, Bang?""Cobalah tarik nafas dalam, kemudian beristighfar. Kamu sepertinya terkena serangan panik berlebih."
Mereka semua merapatkan badan ketika aku sudah mengebrag meja, sedangkan Mas Wisnu salah tingkah."Ada yang berani pecat saya!" pekikku kembali. Mereka semua terlihat heran dengan sikapku."Mas ... Pelayan kamu kok aneh gitu?" perempuan yang menyebutnya pacar Mas Wisnu bertanya."A-anu, Nik. Dia ... Dia ...." Mas Wisnu kesulitan untuk berbicara, mataku masih melotot pada mereka berdua."Katakan pada mereka, Mas! Siapa saya?!" kembali aku berkata dengan lantang."I-iya, Dek.""Apa, Dek? Memang siapa dia?" tanya perempuan yang dari tadi di panggil Nik."Dia ... Dia istriku, Nik!" dengan pelan dan tertunduk Mas Wisnu berkata."Calon mantan istri! Mantan, kuperjelas lagi biar ngga ada salah paham, kami memang sedang proses cerai." jelasku."Oh, calon mantan. Tak kira kamu berbohong padaku, Mas. Ternya
Kini dia hanya memakai baju yang lebih mirip daster, bahkan rambutnya yang kemarin lurus dan kinclong kini sedikit mengembang dan kusut. Anaknya yang ia gendong sepertinya tengah terlelap dalam mimpi."Mbak! Apa Mas Wisnu di sini?" tanyanya tanpa basa basi."Masuk dulu, Las. Kasian anakmu itu." aku berusaha menawarkan ia masuk, melihat Nuri yang terlelap tertidur dalam gendongan aku jadi tak tega."Udah lah, Mbak. Tinggal jawab saja, tak usah merasa kasian dengan kondisiku sekarang. Itu sama saja kamu mengejekku, Mbak!" Lastri sedikit sewot, niat baikku ia salah terima."Kan dia sudah aku usir bersama kamu dulu! Jadi buat apa dia di sini!" akhirnya aku berkata apa adanya. Sepertinya wanita seperti itu tak perlu di kasih hati."Bener, Mbak. Jangan bohong?""Buat apa aku bohong dan buat apa juga aku nyembunyiin dia. Dia itu hanya mantan suami, calon mantan kare
"Fahri!" akupun terperanjat ketika laki-laki itu adalah Fahri. Mantan karyawanku dulu sekaligus teman sekolah. Dia dulu kakak kelasku."Loh! Kalian sudah saling kenal?" tanya Bang Ridho."Iya, dulu aku mantan karyawannya," jawab Fahri tanpa malu. Kali ini justru aku yang tertunduk. Mungkin ada rasa segan karena dulu aku memecatnya hanya karena alasan sepele."Oh, ya ... Apa kita jadi ketempat saudaramu itu?" Fahri bertanya pada Bang Ridho dan mengacuhkanku sekarang."Tak perlu, tak perlu karena sekarang dia ada di sini!""Oh, begitu, mana wanita itu, aku penasaran padanya. Bagaimana bisa suaminya main belakang sampai separah itu! Apa mungkin wanita itu banyak kekurangannya?"Seketika raut wajahku memerah, sungguh aku malu sekali. Kenapa Bang Ridho menceritakan masalahku pada orang lain. Aku menatap tajam pada Bang Ridho, dia gelagapan tak bisa menghenti
Aku merutuki diri, kenapa Aira sampai hati membantah perkataanku hanya untuk bisa bersama adik tirinya. Apakah aku akan kehilangan Aira? Sungguh aku tak mampu membayangkan jika itu terjadi."Sudahlah! Biarkan Aira di sini, toh aku juga Ayahnya dan ini rumah neneknya. Jangan egois kamu, Nun!" ucap Mas Wisnu meremas hatiku. Aku yakin dia melakukan ini ada maunya."Maumu apa, Mas?" aku mengusap air mata yang dari tadi sudah mengenang di pelupuk mata.Mas Wisnu tersenyum penuh kelicikan, sudah kuduga kalau dia menginginkan sesuatu dariku. Haruskah aku turuti kemauannya.Aku pulang tanpa Aira, rasanya sedih sekali Aira menolak untuk ikut pulang, sepanjang perjalanan aku terus meneteskan air mata."Pak! Kita ke Pesantren Darul ulum, ya!""Baik, Non."Aku putuskan untuk mampir ke Pon-Pes milik Fahri. Kebetulan memang jalannya s
"Percayalah, itu solusi terbaik, tak ada yang lebih berharga dari anak. Kasian Aira, dia hanya korban dari semua ini jangan buat dia menjadi tumbal yang kejam atas semua perbuatan Papanya yang tak bertangung jawab." itulah kata Fahri yang tengah benar-benar aku fikirkan. Memang banyak benarnya tapi, aku masih sedikit ragu, bukan apa cuma bagaimana kalau kukasih hati terus minta jantung.~~~~"Mas, antar Aira pulang, kita bicarakan semuanya. Bawa Lastri juga Ibu!" kutelfon Mas Wisnu untuk datang kerumah. Aku ingin secepatnya selesai."Apakah kamu sudah menentukan pilihan, Nun?!" tanya Mas Wisnu."Datang sajalah, nanti kita bicarakan disini!" kupertegas saja, aku yakin Mas Wisnu pasti sudah tahu bahwa keputusanku berpihak padanya. Menguntungkannya dan merasa berhasil meminta apa yang ia mau.Kuakhiri panggilannya, menghela nafas berlahan kemudian memilih duduk pada kursi ruang tamu."Non, ngga papa?" tanya Bik Uni yang melihat aku tengah memijit kening."Ngga papa, Bik. Aku baik-baik s
"Bang, jadi antar aku kesidang terakhir kan?" kutelfon Bang Ridho pagi ini."Jadi dong, untuk adekku satu ini kenapa tidak?""Ya sudah, aku tunggu abang jemput!""Yaelah, manja bener ini yang sebentar lagi jadi janda!" "Apaan si, Bang? Ngledek aja. Udah buruan aku sudah siap!""Iya ... Iya ... Sabar Nona cantik."Aku tersenyum kemudian mematikan panggilan telfonnya. Aku masih berdiri mematung didepan cermin, melihat penampilan baruku yang lebih baik. Gamis lebar warna pink terjurai membalut tubuhku. Juga kupadukan dengan kerudung syar'i yang senada.'Ternyata terlihat cantik tak perlu dengan memamerkan bentuk tubuh.' aku bergumam mengangumi penampilanku kali ini.Tlakson berbunyi, itu pasti Bang Ridho. Dia enggan turun makanya lebih memilih mentlakson. Bikin telingga penging aja!"Ayo, Bang!" aku segera masuk kemobil, duduk tepat disamping kemudi.Bang Ridho bukannya menjawab atau melajukan mobilnya justru dia menatapku dengan pandangan aneh."Bang!" teriakku kali ini langsung menga
Sialnya Bang Ridho mendengar hingga seketika menghentikan laju kendaraannya. Ah, aku jadi salah tingkah."Kenapa mau pergi saja? Padahal belum masuk!" Fahri mendekat dengan nafas ngos-ngosan."Noh, si JB yang nyuruh buat balik aja. Katanya kamu lagi ada tamu jadi ngga enak buat bertamu."Aku mendelik pada Bang Ridho, kenapa ia panggil aku dengan sebutan JB. Uh ... Kalau saja tak didepan Fahri, sudah aku lancarkan lagi cubitan pada pingangnya.Fahri terlihat mengkerutkan kening tapi setelah itu ia kembali normal, mungkin sedang berfikir apa itu JB."Jangan sungkan masuk saja, biar aku kenalkan pada mereka!" Fahri berucap. Namun entah kenapa aku benar-benar tak ingin bertemu dengan perempuan itu."Ya sudah, aku parkir dulu. Turun duluan noh si JB. Aku parkir mobil!" kembali Bang Ridho membuat aku kesal setengah mati.Aku turun dibukakan pintu oleh Fahri, dengan lembut aku merapikan gamisku yang sempat kusut terduduki, Fahri terdiam, menatapku dari ujung kaki sampai ujung kepala, aku ben