Hatiku masih deg-degan, takut ternyata orang jahat bagaimana?"Bang Ridho?" aku heran ketika yang datang ternyata Bang Ridho. Kuedarkan pandangan berharap ada sosok istrinya Ning Ria."Eee ... Ainun, a-apa istriku kesini?" terlihat raut wajah khawatir Bang Ridho.Ning Ria? Kesini? Apa mereka bertengkar hingga Ning Ria kabur dari rumah."Ning Ria? Tidak, Bang. Emang ada apa? Abang bertengkar dengannya."Expresi Bang Ridho aneh, dia terlihat enggan mengatakan. Mungkin takut aku akan kembali ikut campur."Jawab saja, Nun. Ria nggak kesini?" Aku mengeleng, "ngga ada yang kesini, Bang.""Ya sudah!" ia mengaruk kepalanya gusar. Ada masalah apa kiranya."Mungkin pulang kerumahnya kali, Bang!" akhirnya aku beranikan diri berkata."Ngga mungkin, dia ngga akan berani pulang kerumah sendiri, apalagi diantara kami tak ada pertengkaran."Aku makin heran, kalau tidak bertengkar bagaimana mungkin Ning Ria pergi dari rumah begitu saja."Ya sudah, Nun. Aku pulang dulu, siapa tahu kalau dia sudah pula
"Bude ...!" panggilku saat mengetahui Bude tengah melihat aksi konyolku. Aku menutup wajah karena malu."Masuk, Bude. Maaf, tadi ... tadi ...."Bude tersenyum, "Ngga papa, Nun. Bude ngertu kok perasaanmu.""Heee ... Iya, Bude.""Bude harap ini menjadi pernikahanmu yang terakhir. Belajarlah dari masa lalu ya, Nduk!"Aku mengangangguk, mengaminkan setiap do'a yang terucap dari mulut Bude."Bude sangat ingin melihat kamu bahagia, Kuharap Fahri bisa menjadi suami yang pengertian, perhatian, setia dan yang lebih penting mampu menerima Aira sebagai mana penganti ayahnya. Satu hal penting itu yang memang harus di pertimbangkan janda beranak ketika menikah lagi. Kamu bisa lihat sendiri diberita, bagaimana ayah tiri membunuh anak tiri atau bahkan menghamilinya. Maaf, bukan aku ragu pada Fahri, Nduk. Bude cuma sedang bercerita bahwa point penting janda ketika menikah itu sayang juga ke anak tiri, bukan hanya mencintai ibunya. Harus satu paket yang tak boleh terpisahkan."Setiap kata yang teruca
Terlihat Fahri begitu gugup ketika perempuan itu mendekat, ada raut tak enak padaku."Siska!" Akhirnya Fahri mengucapkan nama juga. Perempuan itu pasti bernama Siska."Iya, Fah. Gimana kabarmu, kenapa semenjak kejadian itu kamu menghilang. Kamu sudah sembuhkan dan apa ... Dia calon istrimu?" Perempuan bernama Siska itu melihat kearahku."Maaf ya, Sis. Aku masuk dulu." Entah kenapa kulihat wajah Fahri memerah bahkan terlihat begitu gugup. Ada apa diantara mereka. Sembuh dari apa?Fahri langsung masuk kedalam, kuikuti setelah sebelumnya berpamitan dengan perempuan itu. Bagaimana Fahri bisa kenal dengan yang aku yakini dia bukan perempuan baik-baik.Fahri menemui pemilik butik, yang sebelumnya telah terlebih dahulu membuat janji. Beberapa pertanyaan terlempar kearahku, bagaimana model baju yang aku inginkan warna serta ukuran. Fahri hanya diam saja dan sekali menimpali jika ia menyangkut dirinya.Aku cukup senang karena antara seleraku dan selera Fahri sedikit sama, jadi tak perlu repot-
Hah, Fahri sudah berbaring? Segera aku membuka pintu kamar mandi lebar. Walau dada ini deg-degan tapi aku berdosa jika membuat suamiku menunggu untuk melakukan haknya.Setelah menyisir rambut, aku beranjak naik keatas tempat tidur. Kupikir posisi Fahri yang menutup mata dengan lengan tangannya, dia sedang menungguku.Aku naik keatas tempat tidur, memposisikan di samping Fahri. Namun, saat aku akan mendekat pada tubuhnya, aku mendengar dengkuran halus dari mulutnya. Ah ... Fahri sudah tidur.Aku memaklumi, mungkin kelelahan hari ini yang membuat ia begini atau tadi aku yang mandi terlalu lama.Bodoh! Kutepuk keningku sendiri. Hanya karena gugup aku milih berlama-lama di kamar mandi. Kan jadi begini, kasian Fahri. Aku mengerucutkan bibir. Kemudian menarik selimut untuk ikut terlelap dalam mimpi."Dek, bangun!" Berlahan tubuhku digoyangkan secara halus. Aku menggeliat, siapa sii? Aku kan masih ngantuk."Bangun, Dek. Kita salat subuh!" Aku terperanjat dan baru ingat kalau aku sekarang ist
PoV RiaHari ini rasanya aku mual sekali, tapi tetap kupaksakan untuk datang ke pernikahan Fahri dan Ainun. Walau aku akui sudut hati ini ada yang tak ikhlas. Namun, aku berusaha untuk tetap terlihat tersenyum. Rasa kesal dan dendam pada Mas Ridho yang menikahi ku secara tiba-tiba kini sedikit terkikis. Semua karena aku akui bahwa Mas Ridho sebenarnya laki-laki yang sangat baik.Walau Mas Ridho sudah melarang ku untuk tidak hadir dan beristirahat, tapi aku tak enak pada Fahri. Nanti aku di kira masih dengki padanya atas pernikahannya dengan Ainun. Terlebih Ainun, yang selalu menaruh curiga atas apa yang terjadi dalam rumah tanggaku."Kita ke Klinik ya?" Mas Ridho menawariku ketika turun dari podium pernikahan.Aku sempat mual-mual, bahkan Fahri dan Ainun mengira aku hamil. Mana mungkin aku hamil jika aku saja masih perawan. Lucu!Pernikahan sudah dua bulan tapi aku belum menyerahkan diri. Aku masih menolak jika suamiku mulai merayu. Beruntung dia cukup mengerti, tapi pengertiannya jus
Ria keterlaluan sekali, dia tak memenuhi hak Bang Ridho, memperlakukan bagai babu dan sekarang terungkap bahwa Bang Ridho belum mendapatkan haknya? Sungguh aku ikut emosi mendengarnya.Aku sebagai saudara tentu marah, karena merasa tak pantas Bang Ridho diperlakukan seperti ini! Setelah meluapkan amarah dan Kyai Salim datang bahkan mendengar, aku memilih mundur dan pergi dari ruang rawat inap."Ainun, apa yang terjadi?" tanya Bude Sri begitu aku keluar."A-anu, Bude ..." Aku bingung untuk berkata apa pada Bude, sungguh pasti dia kecewa atas semua ini jika tahu Ning Ria menantu satu-satunya ternyata berbuat tidak adil pada anaknya.Terlebih jika Bude tahu bahwa Ning Ria tak bisa hamil lantaran ada kista yang bersarang di rahim menantunya."Anu apa, Nun? Jawab yang jelas jangan buat Bude penasaran!""Iya, Bude. Ning Ria mengidap kista ovarium dan harus di operasi." Dengan hati-hati aku berucap."Astaghfirullah ... Bagaimana ini?" Bude mulai sesenggukan. Aku sangat tahu perasaan Bude."S
"Bang!" Aku menyapa Bang Ridho yang terduduk, sedangkan Fahri menyalami Kyai Salim."Ainun?" Bang Ridho segera berdiri, matanya merah pertanda jika dia telah mengeluarkan air mata."Bagaimana, Bang? Apa Ning Ria sudah bisa di jenguk?"Bang Ridho menggeleng, menuntunku membawa sedikit jauh dari Kyai Salim."Kondisi Ria ngedrop. Tadi pasca operasi saat baru membuka mata, Mama masuk dan mengatakan hal yang menyakiti perasaannya hingga Ria nekad melepas semua yang berada di tubuhnya. Bahkan sampai luka jahitannya mengeluarkan darah. Sekarang dia tengah di tangani secara intensif.""Astaghfirullah ... Sabar ya, Bang. Sekarang di mana Bude?""Entahlah, Nun. Tadi ... Tadi aku bentak dan ia pergi entah kemana." Ada sedikit raut menyesal pada Bang Ridho. Mungkin dia emosi pada ibunya tapi bukankah sangat berdosa membentak seorang ibu?"Tolong, Nun. Carikan Mama, beri pengertian padanya untuk memaafkan apa yang telah Ria lakukan. Aku ikhlas demi Allah." Bang Ridho memegang lenganku, berusaha me
Pagi hari aku menelfon Bang Ridho, dia bilang kemarin, jika hari ini Ning Ria sudah di perbolehkan pulang. Aku bersyukur, Ning Ria sudah sembuh."Assalamualaikum, Bang. Bagaimana? Apa jadi hari ini Neng Ria pulang?" tanyaku langsung ketika Bang Ridho mengangkat telfon ku."Waalaikumsalam, iya, Nun. Insya Allah nanti jam sepuluh kami sudah keluar.""Baik, Bang. Nanti kami kesana!""Iya, Nun. Tapi ...." Bang Ridho menggantung kata-katanya."Tapi kenapa, Bang?" tanyaku penasaran."Ria ingin pulang kerumah orang tuanya," jawab Bang Ridho datar, aku dapat menebak jika hati Bang Ridho sedang tidak baik-baik saja."Kenapa, Bang? Ada masalah lagi?""Ngga papa kok, Nun. Mungkin Ria cuma kepengin menenangkan diri.""Itu artinya Abang tak ikut tinggal disana? Hubungan Abang baik-baik saja kan?" Aku mulai cemas, apa Bang Ridho akan bercerai dengan Ning Ria?"Tidak, Nun. Tapi cuma beberapa hari saja, Kok. Nanti juga akan aku jemput kembali, insya Allah." Aku sedikit lega, jika jawaban Bang Ridho s