Salwa Habibah, anak bungsu dari tiga bersaudara. Dia sekarang berumur dua puluh dua tahun. Dia bekerja sebagai Desainer baju muslim.
Penampilan sehari-harinya yang berjilbab besar, menutupi hampir semua bagian atas tubuhnya. Dia sangat baik dan juga sopan.Wajahnya tidak begitu cantik, tapi orang tidak akan merasa bosan melihat wajah ayu Salwa.Salwa dikenal orang lain sangat pendiam. Dia juga selalu menundukkan kepalanya setiap kali berjalan di sekitar rumahnya.Dengan sikapnya itu, bahkan teman-teman sekolah, sampai teman kuliahnya pun menjadi segan kepadanya.Guru dan juga Dosennya dulu juga ikut merasa segan kepada Salwa.Dia tinggal bersama dengan kedua orang tuanya beserta kedua kakaknya. Namun sekarang, kakak keduanya tengah bekerja di Bandung menjadi seorang Pengacara.Kakak pertama Salwa bernama Adam Habibah, dia berusia dua puluh tujuh tahun. Dia tinggal di Solo bersamanya dan kedua orang tuanya. Dia meneruskan usaha kedua orang tuanya yang berjualan kain.Kakak keduanya bernama Husein Habibah. Dia berusia dua puluh lima tahun dan bekerja sebagai pengacara di Bandung.Salwa dan kedua kakaknya dididik dengan keras oleh kedua orangtua mereka, Ali Habibah dan Siti.Mereka adalah orangtua yang sangat tegas dalam mendidik agama anak-anaknya. Mereka selalu menanamkan di pikiran mereka. "Jangan pernah meninggalkan Allah, maka Allah tidak akan meninggalkanmu." Kata-kata itu selalu mereka ucapkan kepada ketiga anaknya.Salwa yang notabennya anak gadis satu-satunya, Abah Ali pun mendidiknya agak berbeda juga. Karena kodrat wanita itu tidaklah sama dengan kodrat laki-laki.Abah Ali selalu berpesan kepada kedua anak laki-lakinya, "Jangan pernah biarkan Salwa bepergian sendiri tanpa Abah, Umi, atau salah satu dari kalian yang menemaninya," pesan Abah Ali.Hingga sampai umur dua puluh dua tahun, Salwa yang sedari kecil tidak pernah pergi sendirian kemana pun itu, tidak bisa mengendarai mobil. Jangankan mobil, sepeda motor pun Salwa tidak bisa.Walaupun begitu, Salwa juga tidak pernah mengeluhkan masalah itu. Dia sadar, dia seorang perempuan. Apalagi di zaman sekarang, kejahatan semakin merajalela."Mas Adam nanti jemputnya agak sorean saja ya! Aku masih ada pekerjaan yang harus selesai hari ini juga soalnya," ucap Salwa kepada kakak tertuanya."Iya! Nanti kalau sudah selesai, segera kabari Mas ya! Biar Mas langsung jemput kesini."Salwa menunggu hingga mobil Adam pergi dari butiknya. Butik yang dibeli Salwa dengan dicicil.Dengan niat yang sudah tertanam di hatinya sejak masih duduk di bangku SMA. Salwa menabung dengan giat, agar keinginannya untuk membeli sebuah ruko yang akan dijadikannya butik segera terwujud.Tidak lupa juga Abah Ali dan juga kedua kakaknya ikut membantu Salwa.Amira, sahabat sekaligus Asistennya dalam mengurus butik ini menghampiri Salwa yang masih terdiam di depan butik."Mas Adamnya udah pergi," ucap Amira.Salwa menoleh menatap Amira. "Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," jawab Amira.Mereka lalu masuk ke dalam butik sambil bercerita."W*, Mas Adam sudah pengen menikah belum sih?" tanya Amira."Kenapa memangnya?" Salwa menaruh tasnya di meja kerja lalu duduk di kursinya."Yah! Siapa tahu aja kan, aku jodoh sama Mas Adam." Amira memang orangnya sangat supel dan juga sedikit centil. Berbeda dengannya yang kalem dan pendiam."Mas Adam sih nggak pernah menyinggung masalah pernikahannya," jawab Salwa."Mas Adam itu sudah berumur dua puluh tujuh tahun lho, W*. Masa sih belum membicarakan tentang pernikahannya," balas Amira.Salwa menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah Amira yang masih saja suka berkhayal menikah dengan kakak tertuanya itu."Sudah sana! Kerja dulu! Jangan mikirin tentang pernikahan," ucap Salwa mencoba memutuskan pembicaraan mereka.Bukannya Salwa jahat, dia hanya tidak tahu bagaimana cara menyampaikan kepada Amira, jika dia bukanlah sosok yang dicari kakak pertamanya untuk di jadikan Istri.Bukannya Amira itu tidak baik. Dia baik, dia yang selalu berada di samping Salwa saat masih bersekolah dan juga kuliah, bahkan sampai sekarang. Hanya saja, masalah hati Salwa juga tidak bisa ikut campur.Sikap Amira yang supel, mudah membaur dengan teman-temannya saat masih sekolah maupun saat sudah kuliah membuatnya tidak dilirik oleh Adam.Dia juga terkadang bersikap centil kepada Adam. Sikap itulah yang membuat Adam kurang menyukainya.Sementara sosok Istri yang dicari Adam, adalah wanita yang lemah lembut namun tegas. Adam menginginkan seorang Istri yang sifatnya tidak jauh berbeda dengan Umi. Yang lemah lembut namun juga tegas.Amira sangat berbeda dengan wanita yang diinginkan Adam untuk dijadikan Istri."Akan sangat bagus jika kamu melupakan perasaanmu itu kepada Mas Adam, Am!" ucap Salwa pelan."Kamu sahabatku, aku juga ingin kamu bahagia. Tapi dengan mengharapkan Mas Adam, kamu akan terluka pada akhirnya," lanjut Salwa.Salwa kemudian memilih untuk melanjutkan pekerjaannya. Karena saat dia sedang bekerja, dia akan tenggelam dalam kesibukannya, tanpa memperhatikan di sekelilingnya.Jam lima sore akhirnya desain yang dikerjakan Salwa sudah selesai. Salwa lalu menghubungi Adam, memintanya untuk menjemputnya sekarang.Salwa lalu membereskan meja kerjanya yang sedikit berantakan setelah digunakannya untuk bekerja.Keluar dari ruangannya, ternyata masih ada sepasang pelanggan yang belum selesai memilih desain gaun yang akan mereka gunakan untuk pernikahan mereka.Salwa buru-buru menundukkan kepalanya, dia menyapa ramah pelanggan wanita itu tanpa menatap laki-laki di sampingnya.Salwa lalu pamit kepada Amira untuk pulang terlebih dahulu, karena dia sudah meminta Adam untuk menjemputnya."Sombong banget sih itu orang, Mbak," celetuk laki-laki itu begitu Salwa keluar dari butik.Amira agak kesal mendengarnya. "Dia bukannya sombong Mas. Dia hanya tidak mau melihat laki-laki yang bukan mahramnya," jawab Amira tersenyum menahan kesal.Si wanita juga langsung menyikut calon suaminya itu. Sebelum memilih butik ini, wanita itu sudah mencari tahu reputasi tentang butik ini terlebih dahulu.Dia mendengar, jika pemilik butik ini adalah seorang wanita yang tidak akan pernah mau menerima pelanggan laki-laki. Pemilik butik ini masih menerima pesanan baju ataupun jas laki-laki, itu pun hanya dengan ukuran dari butik ini."Maaf ya Mbak. Calon Suamiku suka bercanda," ucap wanita itu.Amira hanya tersenyum saja. Bukan kali ini saja dia mendengar orang mengatakan jika Salwa itu sombong, hanya karena Salwa menolak menatap laki-laki yang bukan mahramnya.Jika pun tidak sengaja melihat, Salwa pasti akan langsung menundukkan kepalanya dan pergi.Laki-laki yang jernih pikirannya akan menganggap Salwa itu seperti mutiara yang pantas diperjuangkan. Sedangkan jika laki-laki itu adalah orang yang berpikiran sempit, mereka akan menganggap jika Salwa adalah orang yang sombong.Sekitar sepuluh menit Salwa menunggu, akhirnya Adam sampai juga di butik Salwa yang masih belum lunas itu."Udah lama Dek?" tanya Adam.Salwa membuka pintu mobil depan samping kemudi. "Nggak kok Mas," jawab Salwa setelah duduk."Kita mampir sebentar untuk beli serabi dulu ya! Umi minta di beliin tadi," ucap Adam menjalankan mobilnya."Kok tadi kayaknya, butik belum tutup ya Dek? Apa temanmu itu belum pulang?" tanya Adam memecah keheningan."Iya Mas! Tadi masih ada pelanggan yang belum selesai memilih gaun pernikahan," jawab Salwa.*Sesampainya di rumah, Abah dan Umi tidak berada di rumah. Abah Ali dan Umi Siti sedang pergi mengunjungi Pak Rt yang sedang sakit.Abah sebelumnya sudah memberi tahu Adam, jika mereka akan pergi ke rumah Pak Rt. Hanya saja Abah tidak bilang akan kesana jam berapa."Mas, kok rumah sepi sih? Abah sama Umi kemana?" tanya Salwa."Kayaknya udah berangkat jenguk Pak Rt deh, Dek." Adam menaruh serabi titipan Umi di meja makan.Salwa menggangguk. "Mas, Salwa ke kamar dulu ya, mau bersih-bersih," ucap Salwa yang merasa jika badannya sudah sangat lengket."Iya! Nanti sholat maghribnya jamaah sama Mas ya." Adam mengingatkan Salwa untuk sholat maghrib berjamaah dengannya nanti.Kali ini, Adam tidak pergi ke masjid. Tidak mungkin Adam meninggalkan Salwa sendirian di rumah, jadi Adam memutuskan, mereka akan sholat berjamaah berdua di rumah. Selesai sholat, mereka juga akan mengaji bersama.Kebiasaan yang dilakukan sedari kecil memang su
Sore ini seperti biasa, Salwa sedang duduk di bangku depan butiknya menunggu Adam datang menjemputnya. Salwa yang sedang menunggu kedatangan Adam, tiba-tiba disapa seorang wanita yang tengah menggandeng laki-laki.Merasa disapa, Salwa lalu mendongak untuk melihat siapa yang menyapanya. Ternyata yang menyapanya adalah Fuji teman sekolahnya dulu.Walaupun mereka tidak akrab, tetapi mereka juga pernah terlibat beberapa kali mengerjakan tugas bersama.Salwa lalu mengalihkan pandangannya, karena dia melihat Fuji yang tengah menggandeng laki-laki, mungkin pacarnya.Fuji yang memang sudah mengetahui sikap Salwa, hanya maklum saja. Berbeda dengan pacar Fuji. Dia merasa terhina karena Salwa langsung membuang mukanya begitu melihatnya.Adi, pacar Fuji menarik pelan tangannya yang sedang digandeng Fuji."Kamu apa kabar, W*?" tanya Fuji basa-basi."Alhamdulillah baik. Kamu apa kabar?" jawab Salwa yang masih menunduk."Kenapa si
Setelah makan malam, Salwa langsung pergi ke kamarnya. "Abah, Umi, Mas Adam! Salwa ke kamar dulu ya," pamitnya. Seperti kebiasaan Salwa, sebelum dia tidur dia pasti akan mencium wajah Abah dan Umi. Begitu juga dengan kedua kakaknya jika berada di rumah."Adam juga ke kamar ya Abah, Umi." Adam juga ingin kembali ke kamarnya.Namun, Adam ditahan oleh Abah terlebih dahulu. "Adam! Abah mau bicara dulu sama kamu," ucap Abah.Melihat tatapan serius abahnya, Adam pun menurutinya. Adam lalu kembali duduk di kursi."Ada apa Abah?""Kamu sekarang sudah berumur dua puluh tujuh tahun kan? Abah mau tanya, kamu sudah siap untuk menikah?"Umi yang juga masih berada di ruang tamu, mendengarkan dengan seksama apa yang diucapkan suaminya itu.Adam terdiam sesaat. Berpikir cara yang tepat untuk menyampaikan apa yang ada dipikirannya sekarang."Kalau Adam ditanya tentang kesiapan Adam untuk menikah, ins
Salwa jadi ikut pergi ke ruko yang sekarang dikelola oleh Adam. Di Solo, pusat penjualan kain sangatlah banyak, terutama kain batik. Salwa yang memang menjual baju-baju muslim, selalu mencoba mencari ide bagaimana supaya baju muslim itu menjadi menarik saat di pakai.Tidak mudah memang. Di zaman sekarang ini, wanita-wanita lebih memilih untuk memakai pakaiam yang terbuka dan ketat. Tidak semua memang, tapi sebagian besar memilihnya.Disinilah tantangan Salwa, dia harus bisa membuat busana muslim yang menarik pembeli. Bukannya hanya menarik pembeli, tapi Salwa juga berharap, saudari muslim yang lainnya juga mau kembali menutup auratnya.Salwa membantu Adam membuka ruko. Salwa menata kain-kain yang saat ruko tutup dimasukkan ke dalam."Udah Dek! Itu biar Mas saja yang lakukan. Kamu tolong bereskan meja kasir saja!" ucap Adam yang kasihan melihat Salwa mengangkat kain untuk diletakkan di depan ruko."Iya Mas!" Salwa menurut apa kata Adam.
Iwan tengah berada di dalam kamarnya. Dia duduk bersandar di kepala ranjang. Dia kembali merenung, memikirkan tentang masa lalu.Bagi Iwan, Salwa itu merupakan sosok malaikat untuknya. Tanpa disadari Salwa, dia bisa menarik Iwan dari kegelapan hatinya, dan membawanya ke cahaya yang terang.Iwan pikir, jika saja dulu Salwa tidak muncul di hadapannya, mungkin dia akan menjadi orang yang sangat berbeda sekarang.Kemungkinan, Iwan akan menjadi seorang laki-laki brengsek yang penuh dosa, dikarenakan rasa kecewa kepada orangtuanya.Rasa sakit di hatinya, itu akibat dari perceraian orangtuanya, yang tanpa sadar menyakiti Iwan sangat dalam.Disaat terpuruknya, Salwa datang mengulurkan tangannya dengan senyum manis yang tersungging di bibirnya.Iwan yang saat itu masih berusia empat belas tahun, merasa terpesona dengan senyum manis dan tulus yang ditunjukkan Salwa.Dengan ke
Minggu siang ini setelah sholat dhuhur, Salwa berbaring di pangkuan uminya.Waktu weekend seperti ini, biasa mereka gunakan untuk berkumpul bersama. Selain itu berkumpul seperti ini juga bisa mempererat hubungan mereka."Dek! Gantian napa." Adam, walaupun sudah berumur dua puluh tujuh tahun, tapi dia juga masih suka bermanja-manja dengan uminya.Didikan orangtua mereka yang selalu mengajarkan tentang kasih sayang kepada keluarga dan juga pentingnya menghabiskan waktu seperti sekarang ini, membuat Adam dan kedua adiknya menjadi dekat satu sama lain.Hanya kurang Husein saja saat ini. Dikarenakan dia sekarang sedang bekerja di Bandung, sehingga dia tidak bisa ikut berkumpul dengan mereka.Setiap kali Husein pulang ke Solo, maka Husein pasti akan memonopoli uminya. Dengan alasan dia sudah lama tidak bertemu, maka mau tidak mau kedua saudaranya pasti akan mengalah.Kasihan juga, pikir mereka. Husein hanya akan
"Akhirnya! Sampai juga di Solo." Husein merenggangkan tangannya, sembari menghirup udara Solo yang sudah satu bulan ini tidak dijumpainya.Husein sampai di bandara Adi Sumarmo pada pukul sebelas siang.Husein melihat jam di tangan kirinya. "Sebentar lagi sudah waktunya makan siang," ucap Husein.Husein tadinya ingin langsung pulang saja ke rumah. Tapi akhirnya dia urungkan niatnya itu. Dia memilih untuk sholat dzuhur, dan makan siang terlebih dahulu, baru pulang.Husein berjalan keluar dari bandara. Alih-alih memilih untuk naik taksi, Husein malah lebih memilih untuk naik becak.Selain bisa membantu pemasukan tukang becak, Husein juga bisa menikmati keindahan kota Solo."Mereka pasti terkejut dengan kepulanganku. Apalagi aku akan menetap mulai sekarang." Husein sangat antusias untuk bertemu dengan keluarganya yang sudah satu bulan ini tidak berjumpa.~
Seperti pesan Abah kepada Adam tadi yang menyuruhnya untuk tidak menunggu mereka makan malam. Adam mengajak kedua adiknya itu untuk makan malam."Mas Adam yakin, Abah sama Umi telat pulangnya?" tanya Salwa."Iya Dek! Tadi sebelum Abah pergi, Abah berpesan agar kita makan malam terlebih dulu, karena Abah sama Umi mungkin bakal sampai malam."Mereka bertiga kini tengah berada di meja makan. "Nyesek banget sih nasibku. Rencana pulang mau memberikan surprise, malah Abah sama Umi belum pulang juga," ucap Husein sedih."Udah Mas, nggak usah sedih. Abah sama Umi memang belum pulang, tapi Salwa tadi terkejut loh, tiba-tiba melihat Mas Husein ada di rumah," ucap Salwa."Sudah! Bicaranya dilanjutkan nanti. Sekarang kita makan dulu," ucap Adam."Iya Mas," jawab Salwa dan Husein serempak.Makan malam ini, Salwa yang memasak. Menunya juga hanya seadanya. Salwa memasak bahan yang ada di dapur."Masih enak seperti biasanya Dek,"Husein memuji masakan Salwa."Salwa gitu loh!" jawab Salwa senang karena