Share

Wanita Yang Menundukkan Pandangannya
Wanita Yang Menundukkan Pandangannya
Penulis: Hada_tm

Bab1. Salwa Habibah

Salwa Habibah, anak bungsu dari tiga bersaudara. Dia sekarang berumur dua puluh dua tahun. Dia bekerja sebagai Desainer baju muslim.

Penampilan sehari-harinya yang berjilbab besar, menutupi hampir semua bagian atas tubuhnya. Dia sangat baik dan juga sopan.

Wajahnya tidak begitu cantik, tapi orang tidak akan merasa bosan melihat wajah ayu Salwa.

Salwa dikenal orang lain sangat pendiam. Dia juga selalu menundukkan kepalanya setiap kali berjalan di sekitar rumahnya.

Dengan sikapnya itu, bahkan teman-teman sekolah, sampai teman kuliahnya pun menjadi segan kepadanya.

Guru dan juga Dosennya dulu juga ikut merasa segan kepada Salwa.

Dia tinggal bersama dengan kedua orang tuanya beserta kedua kakaknya. Namun sekarang, kakak keduanya tengah bekerja di Bandung menjadi seorang Pengacara.

Kakak pertama Salwa bernama Adam Habibah, dia berusia dua puluh tujuh tahun. Dia tinggal di Solo bersamanya dan kedua orang tuanya. Dia meneruskan usaha kedua orang tuanya yang berjualan kain.

Kakak keduanya bernama Husein Habibah. Dia berusia dua puluh lima tahun dan bekerja sebagai pengacara di Bandung.

Salwa dan kedua kakaknya dididik dengan keras oleh kedua orangtua mereka, Ali Habibah dan Siti.

Mereka adalah orangtua yang sangat tegas dalam mendidik agama anak-anaknya. Mereka selalu menanamkan di pikiran mereka. "Jangan pernah meninggalkan Allah, maka Allah tidak akan meninggalkanmu." Kata-kata itu selalu mereka ucapkan kepada ketiga anaknya.

Salwa yang notabennya anak gadis satu-satunya, Abah Ali pun mendidiknya agak berbeda juga. Karena kodrat wanita itu tidaklah sama dengan kodrat laki-laki.

Abah Ali selalu berpesan kepada kedua anak laki-lakinya, "Jangan pernah biarkan Salwa bepergian sendiri tanpa Abah, Umi, atau salah satu dari kalian yang menemaninya," pesan Abah Ali.

Hingga sampai umur dua puluh dua tahun, Salwa yang sedari kecil tidak pernah pergi sendirian kemana pun itu, tidak bisa mengendarai mobil. Jangankan mobil, sepeda motor pun Salwa tidak bisa.

Walaupun begitu, Salwa juga tidak pernah mengeluhkan masalah itu. Dia sadar, dia seorang perempuan. Apalagi di zaman sekarang, kejahatan semakin merajalela.

"Mas Adam nanti jemputnya agak sorean saja ya! Aku masih ada pekerjaan yang harus selesai hari ini juga soalnya," ucap Salwa kepada kakak tertuanya.

"Iya! Nanti kalau sudah selesai, segera kabari Mas ya! Biar Mas langsung jemput kesini."

Salwa menunggu hingga mobil Adam pergi dari butiknya. Butik yang dibeli Salwa dengan dicicil.

Dengan niat yang sudah tertanam di hatinya sejak masih duduk di bangku SMA. Salwa menabung dengan giat, agar keinginannya untuk membeli sebuah ruko yang akan dijadikannya butik segera terwujud.

Tidak lupa juga Abah Ali dan juga kedua kakaknya ikut membantu Salwa.

Amira, sahabat sekaligus Asistennya dalam mengurus butik ini menghampiri Salwa yang masih terdiam di depan butik.

"Mas Adamnya udah pergi," ucap Amira.

Salwa menoleh menatap Amira. "Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," jawab Amira.

Mereka lalu masuk ke dalam butik sambil bercerita.

"W*, Mas Adam sudah pengen menikah belum sih?" tanya Amira.

"Kenapa memangnya?" Salwa menaruh tasnya di meja kerja lalu duduk di kursinya.

"Yah! Siapa tahu aja kan, aku jodoh sama Mas Adam." Amira memang orangnya sangat supel dan juga sedikit centil. Berbeda dengannya yang kalem dan pendiam.

"Mas Adam sih nggak pernah menyinggung masalah pernikahannya," jawab Salwa.

"Mas Adam itu sudah berumur dua puluh tujuh tahun lho, W*. Masa sih belum membicarakan tentang pernikahannya," balas Amira.

Salwa menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah Amira yang masih saja suka berkhayal menikah dengan kakak tertuanya itu.

"Sudah sana! Kerja dulu! Jangan mikirin tentang pernikahan," ucap Salwa mencoba memutuskan pembicaraan mereka.

Bukannya Salwa jahat, dia hanya tidak tahu bagaimana cara menyampaikan kepada Amira, jika dia bukanlah sosok yang dicari kakak pertamanya untuk di jadikan Istri.

Bukannya Amira itu tidak baik. Dia baik, dia yang selalu berada di samping Salwa saat masih bersekolah dan juga kuliah, bahkan sampai sekarang. Hanya saja, masalah hati Salwa juga tidak bisa ikut campur.

Sikap Amira yang supel, mudah membaur dengan teman-temannya saat masih sekolah maupun saat sudah kuliah membuatnya tidak dilirik oleh Adam.

Dia juga terkadang bersikap centil kepada Adam. Sikap itulah yang membuat Adam kurang menyukainya.

Sementara sosok Istri yang dicari Adam, adalah wanita yang lemah lembut namun tegas. Adam menginginkan seorang Istri yang sifatnya tidak jauh berbeda dengan Umi. Yang lemah lembut namun juga tegas.

Amira sangat berbeda dengan wanita yang diinginkan Adam untuk dijadikan Istri.

"Akan sangat bagus jika kamu melupakan perasaanmu itu kepada Mas Adam, Am!" ucap Salwa pelan.

"Kamu sahabatku, aku juga ingin kamu bahagia. Tapi dengan mengharapkan Mas Adam, kamu akan terluka pada akhirnya," lanjut Salwa.

Salwa kemudian memilih untuk melanjutkan pekerjaannya. Karena saat dia sedang bekerja, dia akan tenggelam dalam kesibukannya, tanpa memperhatikan di sekelilingnya.

Jam lima sore akhirnya desain yang dikerjakan Salwa sudah selesai. Salwa lalu menghubungi Adam, memintanya untuk menjemputnya sekarang.

Salwa lalu membereskan meja kerjanya yang sedikit berantakan setelah digunakannya untuk bekerja.

Keluar dari ruangannya, ternyata masih ada sepasang pelanggan yang belum selesai memilih desain gaun yang akan mereka gunakan untuk pernikahan mereka.

Salwa buru-buru menundukkan kepalanya, dia menyapa ramah pelanggan wanita itu tanpa menatap laki-laki di sampingnya.

Salwa lalu pamit kepada Amira untuk pulang terlebih dahulu, karena dia sudah meminta Adam untuk menjemputnya.

"Sombong banget sih itu orang, Mbak," celetuk laki-laki itu begitu Salwa keluar dari butik.

Amira agak kesal mendengarnya. "Dia bukannya sombong Mas. Dia hanya tidak mau melihat laki-laki yang bukan mahramnya," jawab Amira tersenyum menahan kesal.

Si wanita juga langsung menyikut calon suaminya itu. Sebelum memilih butik ini, wanita itu sudah mencari tahu reputasi tentang butik ini terlebih dahulu.

Dia mendengar, jika pemilik butik ini adalah seorang wanita yang tidak akan pernah mau menerima pelanggan laki-laki. Pemilik butik ini masih menerima pesanan baju ataupun jas laki-laki, itu pun hanya dengan ukuran dari butik ini.

"Maaf ya Mbak. Calon Suamiku suka bercanda," ucap wanita itu.

Amira hanya tersenyum saja. Bukan kali ini saja dia mendengar orang mengatakan jika Salwa itu sombong, hanya karena Salwa menolak menatap laki-laki yang bukan mahramnya.

Jika pun tidak sengaja melihat, Salwa pasti akan langsung menundukkan kepalanya dan pergi.

Laki-laki yang jernih pikirannya akan menganggap Salwa itu seperti mutiara yang pantas diperjuangkan. Sedangkan jika laki-laki itu adalah orang yang berpikiran sempit, mereka akan menganggap jika Salwa adalah orang yang sombong.

Sekitar sepuluh menit Salwa menunggu, akhirnya Adam sampai juga di butik Salwa yang masih belum lunas itu.

"Udah lama Dek?" tanya Adam.

Salwa membuka pintu mobil depan samping kemudi. "Nggak kok Mas," jawab Salwa setelah duduk.

"Kita mampir sebentar untuk beli serabi dulu ya! Umi minta di beliin tadi," ucap Adam menjalankan mobilnya.

"Kok tadi kayaknya, butik belum tutup ya Dek? Apa temanmu itu belum pulang?" tanya Adam memecah keheningan.

"Iya Mas! Tadi masih ada pelanggan yang belum selesai memilih gaun pernikahan," jawab Salwa.

*

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status