Sore ini seperti biasa, Salwa sedang duduk di bangku depan butiknya menunggu Adam datang menjemputnya.
Salwa yang sedang menunggu kedatangan Adam, tiba-tiba disapa seorang wanita yang tengah menggandeng laki-laki.Merasa disapa, Salwa lalu mendongak untuk melihat siapa yang menyapanya. Ternyata yang menyapanya adalah Fuji teman sekolahnya dulu.Walaupun mereka tidak akrab, tetapi mereka juga pernah terlibat beberapa kali mengerjakan tugas bersama.Salwa lalu mengalihkan pandangannya, karena dia melihat Fuji yang tengah menggandeng laki-laki, mungkin pacarnya.Fuji yang memang sudah mengetahui sikap Salwa, hanya maklum saja. Berbeda dengan pacar Fuji. Dia merasa terhina karena Salwa langsung membuang mukanya begitu melihatnya.Adi, pacar Fuji menarik pelan tangannya yang sedang digandeng Fuji."Kamu apa kabar, W*?" tanya Fuji basa-basi."Alhamdulillah baik. Kamu apa kabar?" jawab Salwa yang masih menunduk."Kenapa sih nih cewek. Kayak orang jijik gitu melihatku," ucap Adi dalam hati.Adi merasa dia tidaklah jelek. Dia juga orangnya bersih, selalu berpakaian modis, dan pastinya selalu wangi. Tapi kenapa wanita di depannya ini malah membuang muka saat melihatnya."Aku juga baik kok!" jawab Fuji.Salwa tadinya ingin mengucapkan salam, tapi mengingat bagaimana dulu kelakuan Fuji, membuatnya mengurungkan niatnya.Salwa juga tidak tahu, laki-laki yang digandeng Fuji seorang muslim atau bukan. Karena dulu pas mereka masih sekolah, Fuji pernah berpacaran dengan laki-laki kristen.Dalam hati Salwa meminta ampun kepada Allah karena tidak mengucapkan salam kepada saudari sesama muslimnya."Kamu lagi ngapain duduk disini sendirian?""Aku lagi nunggu Mas Adam jemput aku." Salwa selalu berbicara kepada siapapun itu dengan suara pelan dan lembut.Itu diajarkan oleh orang tuanya. "Jika kamu berbicara kepada orang lain, hendaklah kamu bertutur kata dengan lembut dan sopan. Tapi jangan melupakan tentang kebenaran. Jika kamu tahu dia salah, maka kamu bisa meluruskannya, jika kamu mengetahui." Itu adalah apa yang Abah ajarkan kepadanya dan juga kepada kedua kakaknya."Kamu masih diantar jemput kemana-mana?" Dari nada suaranya Fuji, terdengar ada ejekan di dalamnya.Salwa menjawab, "Ya!" Sambil tersenyum. Dia sama sekali tidak sakit hati saat mendengar nada cibiran dalam kata-kata Fuji. Bagaimanapun memang benar, jika dia ingin pergi kemanapun, Salwa selalu ditemani oleh salah satu keluarganya."Kamu memangnya tidak mau pergi sendirian gitu. Masa udah segede ini masih mau saja dikontrol sih?" ucap Fuji.Adi yang berdiri di samping Fuji juga heran mendengar wanita yang memakai jilbab besar itu, jika pergi kemanapun selalu ditemani."Masa iya sudah sebesar ini pergi kemana-mana masih harus diantar," pikir Adi."Tidak apa-apa! Lagipula aku juga tidak suka bepergian jika tidak dengan keluargaku," jawab Salwa kalem.Fuji lalu duduk di samping Salwa. "Kamu nggak ingin seperti yang lain? Kemana-mana sendiri, tidak terus diawasi?" Meskipun Fuji sudah mengenal Salwa sejak SMA dan dia juga tahu jika Salwa selalu saja menunduk dan tidak pernah bepergian sendiri. Tapi jujur saja, Fuji masih tidak bisa memahami jalan pikiran Salwa yang menurutnya sangat kuno itu.Ini sudah zaman modern lho. Banyak wanita diluar sana yang memilih memakai baju seksi daripada baju seperti yang dipakai Salwa sekarang.Salwa hanya tersenyum saja mendengar kata-kata Fuji.Sedangkan Adi yang masih berdiri di hadapan Salwa dan juga Fuji, merasa jika Salwa ini sangat menyebalkan.Salwa sama sekali tidak memandangnya sekalipun. Hanya sebentar tadi, Adi melihat wajah Salwa, belum puas dia menilai wajahnya, Salwa sudah terlebih dahulu memalingkan wajahnya."Dek!" panggil Adam menghampiri Salwa.Salwa yang mendengar Adam memanggilnya langsung berdiri. "Mas Adam!."Adam merasa risih, karena dari mobilnya tadi dia bisa melihat, laki-laki di depannya ini menatap Salwa dengan intens. Bahkan Adam sampai lupa mengucapkan salam.Adam melambaikan tangannya, meminta Salwa mendekat padanya. "Siapa mereka?" tanya Adam."Teman sekolah dulu."Fuji yang melihat Adam kembali, menjadi terpesona. Dulu saat dia masih SMA, dia sering melihat Adam atau kakak Salwa yang satunya lagi menjemput Salwa di sekolah.Diantara kedua kakak Salwa, paras mereka memang enak di pandang. Tapi menurut Fuji, wajah Adam jauh lebih mempesona."Hallo Mas! Aku Fuji, teman sekolahnya Salwa pas SMA." Fuji mengulurkan tangannya untuk bersalaman.Adam menangkupkan tangannya di depan dada. Adam tidak melihat Fuji, dia menjawab Fuji dengan menunduk. Sama seperti apa yang dilakukan Salwa kepada Adi tadi.Adi mengernyit heran. "Ada apa dengan dua kakak beradik ini," pikirnya.Fuji merasa malu karena Adam tidak membalas uluran tangannya. Fuji kemudian menarik kembali tangannya dengan canggung.Fuji lalu berdiri di samping Adi dan kembali merangkul lengannya.Adam dan Salwa kompak membuang muka mereka ke samping, begitu Fuji menggandeng lengan Adi.Mereka menunduk bukan berarti mereka tidak tahu apa yang dilakukan kedua sejoli itu."Ayo pulang sekarang Dek. Keburu maghrib." Adam mengajak Salwa untuk segera pulang.Mendengar Adam mengajak Salwa untuk segera pulang, Fuji langsung berkata, "W*! Aku pergi duluan ya."Tanpa menunggu balasan dari Salwa, Fuji langsung berbalik pergi dari sana dengan sedikit menyeret Adi."Kenapa kamu bisa temenan sama dia Dek?" Jujur saja Adam tidak suka jika Salwa berteman dengan Fuji yang kelakuannya seperti itu.Bukannya mau menghakimi orang lain dengan caranya berpakaian. Tapi penampilan itu juga mempengaruhi pandangan orang.Adam juga bukannya merasa dia orang yang paling benar. Tapi paling tidak, Adam berusaha menjadi lebih baik dari hari ini.Tidak apa-apa Salwa berteman dengan Amira yang centil itu. Setidaknya, Amira menutup auratnya, dan dia tidak membawa pengaruh buruk kepada Salwa.Meskipun Adam yakin Salwa tidak akan mudah terpengaruh begitu saja. Tapi yang namanya syaitan itu selalu berusaha menggoda manusia dari sisi depan, belakang dan samping. Syaitan akan memanfaatkan celah sekecil apapun itu untuk menjerumuskan manusia."Dia teman SMA Salwa, Mas. Salwa juga nggak tahu, tiba-tiba dia datang menyapa Salwa," jawab Salwa.Salwa sangat mengerti dengan kekhawatiran yang dirasakan Adam. Dia juga akan memilih dalam berteman."Pakaiannya itu lho Dek, Astaghfirullah. Apalagi dari tadi laki-laki itu menatapmu terus." Adam tidak berniat melihat bagaimana penampilan Fuji tadi. Dia hanya sekilas melihatnya.Itu pun tidak di sengaja. Karena saat tadi dia sampai di butik Salwa, dia melihat Salwa tengah duduk dengan seorang wanita. Mau tidak mau, Adam melihatnya walau sekilas."Ayo pulang!" Adam berjalan menuju ke mobil dengan diikuti Salwa di belakangnya."Kenapa Amira tidak menemanimu tadi?" tanya Adam. Tidak biasanya Amira membiarkan Salwa menunggu jemputan seorang diri, meskipun itu di butik milik Salwa sendiri.Adam memang tidak tertarik dengan Amira. Tapi dia juga tidak membencinya.Adam hanya menganggap Amira sebagai teman Salwa, tidak lebih."Tadi Amira bilang keluarganya mau kondangan, jadi Amira balik duluan, Mas," terang Salwa.*Setelah makan malam, Salwa langsung pergi ke kamarnya. "Abah, Umi, Mas Adam! Salwa ke kamar dulu ya," pamitnya. Seperti kebiasaan Salwa, sebelum dia tidur dia pasti akan mencium wajah Abah dan Umi. Begitu juga dengan kedua kakaknya jika berada di rumah."Adam juga ke kamar ya Abah, Umi." Adam juga ingin kembali ke kamarnya.Namun, Adam ditahan oleh Abah terlebih dahulu. "Adam! Abah mau bicara dulu sama kamu," ucap Abah.Melihat tatapan serius abahnya, Adam pun menurutinya. Adam lalu kembali duduk di kursi."Ada apa Abah?""Kamu sekarang sudah berumur dua puluh tujuh tahun kan? Abah mau tanya, kamu sudah siap untuk menikah?"Umi yang juga masih berada di ruang tamu, mendengarkan dengan seksama apa yang diucapkan suaminya itu.Adam terdiam sesaat. Berpikir cara yang tepat untuk menyampaikan apa yang ada dipikirannya sekarang."Kalau Adam ditanya tentang kesiapan Adam untuk menikah, ins
Salwa jadi ikut pergi ke ruko yang sekarang dikelola oleh Adam. Di Solo, pusat penjualan kain sangatlah banyak, terutama kain batik. Salwa yang memang menjual baju-baju muslim, selalu mencoba mencari ide bagaimana supaya baju muslim itu menjadi menarik saat di pakai.Tidak mudah memang. Di zaman sekarang ini, wanita-wanita lebih memilih untuk memakai pakaiam yang terbuka dan ketat. Tidak semua memang, tapi sebagian besar memilihnya.Disinilah tantangan Salwa, dia harus bisa membuat busana muslim yang menarik pembeli. Bukannya hanya menarik pembeli, tapi Salwa juga berharap, saudari muslim yang lainnya juga mau kembali menutup auratnya.Salwa membantu Adam membuka ruko. Salwa menata kain-kain yang saat ruko tutup dimasukkan ke dalam."Udah Dek! Itu biar Mas saja yang lakukan. Kamu tolong bereskan meja kasir saja!" ucap Adam yang kasihan melihat Salwa mengangkat kain untuk diletakkan di depan ruko."Iya Mas!" Salwa menurut apa kata Adam.
Iwan tengah berada di dalam kamarnya. Dia duduk bersandar di kepala ranjang. Dia kembali merenung, memikirkan tentang masa lalu.Bagi Iwan, Salwa itu merupakan sosok malaikat untuknya. Tanpa disadari Salwa, dia bisa menarik Iwan dari kegelapan hatinya, dan membawanya ke cahaya yang terang.Iwan pikir, jika saja dulu Salwa tidak muncul di hadapannya, mungkin dia akan menjadi orang yang sangat berbeda sekarang.Kemungkinan, Iwan akan menjadi seorang laki-laki brengsek yang penuh dosa, dikarenakan rasa kecewa kepada orangtuanya.Rasa sakit di hatinya, itu akibat dari perceraian orangtuanya, yang tanpa sadar menyakiti Iwan sangat dalam.Disaat terpuruknya, Salwa datang mengulurkan tangannya dengan senyum manis yang tersungging di bibirnya.Iwan yang saat itu masih berusia empat belas tahun, merasa terpesona dengan senyum manis dan tulus yang ditunjukkan Salwa.Dengan ke
Minggu siang ini setelah sholat dhuhur, Salwa berbaring di pangkuan uminya.Waktu weekend seperti ini, biasa mereka gunakan untuk berkumpul bersama. Selain itu berkumpul seperti ini juga bisa mempererat hubungan mereka."Dek! Gantian napa." Adam, walaupun sudah berumur dua puluh tujuh tahun, tapi dia juga masih suka bermanja-manja dengan uminya.Didikan orangtua mereka yang selalu mengajarkan tentang kasih sayang kepada keluarga dan juga pentingnya menghabiskan waktu seperti sekarang ini, membuat Adam dan kedua adiknya menjadi dekat satu sama lain.Hanya kurang Husein saja saat ini. Dikarenakan dia sekarang sedang bekerja di Bandung, sehingga dia tidak bisa ikut berkumpul dengan mereka.Setiap kali Husein pulang ke Solo, maka Husein pasti akan memonopoli uminya. Dengan alasan dia sudah lama tidak bertemu, maka mau tidak mau kedua saudaranya pasti akan mengalah.Kasihan juga, pikir mereka. Husein hanya akan
"Akhirnya! Sampai juga di Solo." Husein merenggangkan tangannya, sembari menghirup udara Solo yang sudah satu bulan ini tidak dijumpainya.Husein sampai di bandara Adi Sumarmo pada pukul sebelas siang.Husein melihat jam di tangan kirinya. "Sebentar lagi sudah waktunya makan siang," ucap Husein.Husein tadinya ingin langsung pulang saja ke rumah. Tapi akhirnya dia urungkan niatnya itu. Dia memilih untuk sholat dzuhur, dan makan siang terlebih dahulu, baru pulang.Husein berjalan keluar dari bandara. Alih-alih memilih untuk naik taksi, Husein malah lebih memilih untuk naik becak.Selain bisa membantu pemasukan tukang becak, Husein juga bisa menikmati keindahan kota Solo."Mereka pasti terkejut dengan kepulanganku. Apalagi aku akan menetap mulai sekarang." Husein sangat antusias untuk bertemu dengan keluarganya yang sudah satu bulan ini tidak berjumpa.~
Seperti pesan Abah kepada Adam tadi yang menyuruhnya untuk tidak menunggu mereka makan malam. Adam mengajak kedua adiknya itu untuk makan malam."Mas Adam yakin, Abah sama Umi telat pulangnya?" tanya Salwa."Iya Dek! Tadi sebelum Abah pergi, Abah berpesan agar kita makan malam terlebih dulu, karena Abah sama Umi mungkin bakal sampai malam."Mereka bertiga kini tengah berada di meja makan. "Nyesek banget sih nasibku. Rencana pulang mau memberikan surprise, malah Abah sama Umi belum pulang juga," ucap Husein sedih."Udah Mas, nggak usah sedih. Abah sama Umi memang belum pulang, tapi Salwa tadi terkejut loh, tiba-tiba melihat Mas Husein ada di rumah," ucap Salwa."Sudah! Bicaranya dilanjutkan nanti. Sekarang kita makan dulu," ucap Adam."Iya Mas," jawab Salwa dan Husein serempak.Makan malam ini, Salwa yang memasak. Menunya juga hanya seadanya. Salwa memasak bahan yang ada di dapur."Masih enak seperti biasanya Dek,"Husein memuji masakan Salwa."Salwa gitu loh!" jawab Salwa senang karena
Mereka bertiga kini sedang berada di kamar jenazah. Mereka melihat jasad kedua orang tuanya yang terbujur kaku di bankar rumah sakit.Salwa sudah menangis sesegukan, Husein menangis tanpa bersuara. Sedangkan Adam, dia berusaha sekuatnya agar tidak menangis.Kedua adiknya kini tengah terpuruk, dia harus bisa menjadi sandaran dan kekuatan untuk mereka. Dia mencoba untuk kuat di tengah rasa sakitnya.Adam memeluk Salwa dengan erat. Adam melihat ke arah Husein yang menatap jasad kedua orang tuanya, menangis tanpa bersuara.Adam tidak tahu seberapa sakit hatinya Husein sekarang. Disaat dia sudah pulang, bermaksud untuk memberikan kejutan untuk mereka, tapi malah dia yang mendapatkan kejutannya.Di tengah kesedihannya, Adam tidak bisa membiarkan ini berlarut-larut. Adam kemudian meminta kepada pihak rumah sakit untuk mengantarkan jasad kedua orang tuanya kembali ke rumah.Salwa tidak berh
Sudah satu minggu Habibah bersaudara hanya berdiam diri tinggal di rumah. Mereka masih mencoba untuk menata hidup mereka, setelah kepergian Abah dan Umi.Kepergian Abah dan Umi yang begitu mendadak, benar-benar menjadi pukulan yang berat untuk mereka bertiga.Adam yang menutup tokonya sementara, Salwa yang menyerahkan urusan butik kepada Amira, dan Husein yang meminta mengundurkan jadwalnya masuk bekerja.Para tetangga yang senggang, juga silih berganti mengunjungi kediaman Habibah. Para Ibu-Ibu memberikan sebagian masakan mereka untuk Habibah bersaudara, serta menemani Salwa agar tidak selalu bersedih. Memang, mereka tidak bisa menyembuhkan rasa sakit hatinya Salwa, tapi mereka berharap, dengan kunjungan mereka setiap hari, bisa mengalihkan pikiran Salwa.Sedangkan untuk Bapak-Bapak dan laki-laki yang senggang, mereka menemani Adam dan Husein, harapan mereka juga sama, agar kesedihan mereka bisa sedikit terobati de