Share

Bab4. Menginginkan Anak Soleh Dan Solehah

Setelah makan malam, Salwa langsung pergi ke kamarnya. "Abah, Umi, Mas Adam! Salwa ke kamar dulu ya," pamitnya.

Seperti kebiasaan Salwa, sebelum dia tidur dia pasti akan mencium wajah Abah dan Umi. Begitu juga dengan kedua kakaknya jika berada di rumah.

"Adam juga ke kamar ya Abah, Umi." Adam juga ingin kembali ke kamarnya.

Namun, Adam ditahan oleh Abah terlebih dahulu. "Adam! Abah mau bicara dulu sama kamu," ucap Abah.

Melihat tatapan serius abahnya, Adam pun menurutinya. Adam lalu kembali duduk di kursi.

"Ada apa Abah?"

"Kamu sekarang sudah berumur dua puluh tujuh tahun kan? Abah mau tanya, kamu sudah siap untuk menikah?"

Umi yang juga masih berada di ruang tamu, mendengarkan dengan seksama apa yang diucapkan suaminya itu.

Adam terdiam sesaat. Berpikir cara yang tepat untuk menyampaikan apa yang ada dipikirannya sekarang.

"Kalau Adam ditanya tentang kesiapan Adam untuk menikah, insyaallah Adam siap Abah."

Abah mengangguk mendengar jawaban Adam.

"Tapi Abah, Adam ingin mencari wanita yang sifatnya kurang lebih seperti Umi. Jika berbicara lemah lembut, tapi juga tegas dalam setiap kata-katanya," lanjut Adam.

Abah mengangguk paham. Kriteria untuk mencari seorang Istri juga tidak serta merta hanya dari keluarga yang agamanya bagus. Sifat juga, kalau bisa yang sesuai dengan yang diinginkan.

Dengan begitu, maka akan tercipta keluarga yang sakinah.

"Abah berencana untuk menjodohkan kamu dengan anaknya Pak Ramli. Namanya Nurul, dia berusia dua puluh enam tahun sekarang. Dia bekerja menjadi Dokter Psikolog. Bagaimana Dam? Apa kamu mau berta'aruf dengannya?" tanya Abah.

Adam mendengarkan Abah dengan seksama. "Apa dari pihak perempuan tidak keberatan dengan keadaan Adam, Bah?" Adam tidak tahu bagaimana menanggapi pembicaraan yang mendadak ini.

"Insyaallah, mereka tidak keberatan. Yang mengajukan ingin berta'aruf juga dari pihak perempuan," jawab Abah.

"Apa ada yang masih kamu ragukan? Apa itu tentang keinginanmu untuk memiliki Istri yang sifatnya tidak jauh berbeda dengan Umi?" tanya Abah lagi.

Adam diam. Karena memang benar, dia ingin mencari wanita yang sifatnya tidak berbeda jauh dengan uminya. Atau adiknya, Salwa.

"Dengar Nak! Memang tidak salah jika kamu menginginkan Istri yang sifatnya seperti umimu. Tapi kamu juga harus ingat, jodoh itu di tangan Allah. Apa yang kamu suka itu belum tentu yang terbaik untukmu. Sedangkan apa yang tidak kamu suka itu belum tentu menjadi buruk bagimu. Bisa jadi itu adalah yang terbaik untukmu. Allah lebih mengetahui apa yang terbaik untuk hambanya. Ingat itu ya Nak!" Abah menasehati Adam agar tidak terpaku dalam mencari wanita dengan sifat yang tidak jauh beda dengan uminya.

"Astagfirullahaladzim! Ampuni hambamu yang sombong ini ya Allah," ucap Adam dalam hati.

Adam benar-benar terpaku pada pikirannya untuk mencari wanita yang sifatnya tidak jauh berbeda dengan uminya, sehingga dia lupa, jika Allah lebih mengetahui yang terbaik untuknya dari pada dirinya sendiri.

"Terima kasih Abah, untuk nasehatnya. Adam akan pikirkan dulu," jawab Adam pada akhirnya.

"Sholat istikharah Dam! Minta petunjuk dari Allah!" 

"Baik Abah!"

"Kamu sekarang bisa kembali ke kamarmu. Pikirkan lagi tawaran Abah, juga jangan lupa meminta petunjuk dari Allah." Abah kembali mengingatkan Adam.

"Iya Abah! Kalau begitu Adam ke kamar dulu. Selamat malam Abah, Umi!" Tidak lupa Adam mencium wajah kedua orang tuanya.

Di dalam kamar, Adam kembali terpikir perkataan Abah.

Dia memang sudah siap secara mental untuk menikah. Hanya saja, selama ini dia berpikir untuk mencari wanita yang sifatnya tidak jauh berbeda dengan uminya.

Itulah yang menjadi keraguannya selama ini. Namun, setelah mendengar nasehat Abah tadi, pikiran Adam langsung terbuka.

Dia sudah merasa sombong karena berpikir, jika kriteria wanita yang diinginkannya untuk menjadi Istri, sudah dianggap yang terbaik untuknya.

Adam lupa jika Allah lah yang lebih mengetahui yang terbaik untuk hambanya.

Pagi harinya, seperti biasa, Salwa akan membantu Umi memasak sarapan untuk mereka.

Mereka memasak nasi uduk pagi ini. Ini adalah makanan kesukaan Husein.

Umi bilang, dia sedang rindu dengan Husein. Jadi Umi memasak makanan kesukaannya.

"Umi nanti boleh tidak, kalau Salwa ikut Mas Husein ke Bandung? Salwa ingin jalan-jalan kesana?" tanya Salwa di sela-sela memasaknya.

"Ngapain kamu mau kesana?" tanya Umi.

"Yah, Salwa cuma ingin lihat- lihat saja, kota tempat Mas Husein kerja," jawab Salwa.

Meskipun Salwa sudah tahu jawabannya, tapi Salwa tetap menanyakannya. Salwa yakin seratus persen, mereka pasti akan menolak.

"W*! Abah dan masmu tidak akan mungkin mengizinkan. Begitu juga dengan Umi."

Salwa tersenyum. Walaupun hatinya sedikit kecewa, tapi dia akan baik-baik saja. "Nggak apa-apa kok Umi. Salwa sudah tahu kalau kalian tidak akan mengizinkan Salwa," jawab Salwa tersenyum manis.

Umi sangat bahagia memiliki anak-anak yang pengertian seperti mereka.

Harapan orangtua, adalah agar anak-anaknya menjadi anak yang soleh dan solehah.

Namun menginginkan anak yang soleh dan solehah saja tidak cukup. Orangtua juga harus mengajari ilmu agama yang cukup kepada anak-anaknya, agar menjadi anak yang soleh dan solehah.

Tidak bisa! Orangtua menginginkan anak yang soleh dan solehah tanpa mendidiknya.

Ibaratnya, tidak akan memanen padi jika tidak menanamnya.

"Panggil Abah sama masmu. Ajak mereka untuk segera sarapan," ucap Umi mengelus kepala Salwa.

"Baik Umi." Salwa lalu keluar dari dapur untuk memanggil Abah dan Adam.

Abah dan Adam sedang berada di kebun belakang rumah. Mereka sedang melihat pohon cabai yang mereka tanam satu bulan yang lalu. "Abah, Mas Adam! Sarapan sudah siap. Ayo sarapan dulu!," ucap Salwa.

Abah dan Adam kompak menoleh ke arah Salwa. Melihat senyum yang tersungging di bibir Salwa, membuat mereka ikut merasa senang.

Mereka bertiga lalu berjalan menuju ruang makan bersama. "Dek! Nanti mau ikut Mas nggak ke ruko?" tanya Adam.

Abah tersenyum melihat interaksi kedua anaknya. Abah menjadi kangen dengan Husein, anak keduanya.

Salwa tampak berpikir. Salwa lalu mengangguk. "Mau Mas! Sekalian Salwa juga mau melihat apakah ada kain baru di ruko," jawab Salwa.

Hari ini, pekerjaan Salwa tidaklah terlalu banyak. Desain yang dikerjakannya juga sudah selesai. Jadi dia ada waktu senggang untuk ikut Adam ke ruko.

Sebagian besar bahan baju yang dijual Salwa, dia ambil dari ruko yang sekarang dikelola Adam.

Adam menjadi supplier kain untuk butik Salwa. Bukankah itu sangat sinkron.

Sampai di ruang makan, Abah melihat jika menu sarapan pagi ini adalah nasi uduk, makanan kesukaan Husein.

Abah tersenyum tipis. Semakin besar saja rasa rindunya kepada Husein yang sudah tiga minggu ini tidak pulang.

Biasanya Husein akan kembali ke Solo setiap dua minggu sekali. Tapi sudah tiga minggu ini Husein tidak pulang. Membuat rasa rindu mereka semakin besar.

Abah kemudian duduk di kursi yang biasa ditempatinya. "Nasi uduk Umi?" tanya Abah basa-basi.

"Iya Abah! Kangen sama Husein yang sudah tiga minggu belum pulang," jawab Umi sambil mengambilkan sarapan untuk Abah.

*

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status