Setelah makan malam, Salwa langsung pergi ke kamarnya. "Abah, Umi, Mas Adam! Salwa ke kamar dulu ya," pamitnya.
Seperti kebiasaan Salwa, sebelum dia tidur dia pasti akan mencium wajah Abah dan Umi. Begitu juga dengan kedua kakaknya jika berada di rumah."Adam juga ke kamar ya Abah, Umi." Adam juga ingin kembali ke kamarnya.Namun, Adam ditahan oleh Abah terlebih dahulu. "Adam! Abah mau bicara dulu sama kamu," ucap Abah.Melihat tatapan serius abahnya, Adam pun menurutinya. Adam lalu kembali duduk di kursi."Ada apa Abah?""Kamu sekarang sudah berumur dua puluh tujuh tahun kan? Abah mau tanya, kamu sudah siap untuk menikah?"Umi yang juga masih berada di ruang tamu, mendengarkan dengan seksama apa yang diucapkan suaminya itu.Adam terdiam sesaat. Berpikir cara yang tepat untuk menyampaikan apa yang ada dipikirannya sekarang."Kalau Adam ditanya tentang kesiapan Adam untuk menikah, insyaallah Adam siap Abah."Abah mengangguk mendengar jawaban Adam."Tapi Abah, Adam ingin mencari wanita yang sifatnya kurang lebih seperti Umi. Jika berbicara lemah lembut, tapi juga tegas dalam setiap kata-katanya," lanjut Adam.Abah mengangguk paham. Kriteria untuk mencari seorang Istri juga tidak serta merta hanya dari keluarga yang agamanya bagus. Sifat juga, kalau bisa yang sesuai dengan yang diinginkan.Dengan begitu, maka akan tercipta keluarga yang sakinah."Abah berencana untuk menjodohkan kamu dengan anaknya Pak Ramli. Namanya Nurul, dia berusia dua puluh enam tahun sekarang. Dia bekerja menjadi Dokter Psikolog. Bagaimana Dam? Apa kamu mau berta'aruf dengannya?" tanya Abah.Adam mendengarkan Abah dengan seksama. "Apa dari pihak perempuan tidak keberatan dengan keadaan Adam, Bah?" Adam tidak tahu bagaimana menanggapi pembicaraan yang mendadak ini."Insyaallah, mereka tidak keberatan. Yang mengajukan ingin berta'aruf juga dari pihak perempuan," jawab Abah."Apa ada yang masih kamu ragukan? Apa itu tentang keinginanmu untuk memiliki Istri yang sifatnya tidak jauh berbeda dengan Umi?" tanya Abah lagi.Adam diam. Karena memang benar, dia ingin mencari wanita yang sifatnya tidak berbeda jauh dengan uminya. Atau adiknya, Salwa."Dengar Nak! Memang tidak salah jika kamu menginginkan Istri yang sifatnya seperti umimu. Tapi kamu juga harus ingat, jodoh itu di tangan Allah. Apa yang kamu suka itu belum tentu yang terbaik untukmu. Sedangkan apa yang tidak kamu suka itu belum tentu menjadi buruk bagimu. Bisa jadi itu adalah yang terbaik untukmu. Allah lebih mengetahui apa yang terbaik untuk hambanya. Ingat itu ya Nak!" Abah menasehati Adam agar tidak terpaku dalam mencari wanita dengan sifat yang tidak jauh beda dengan uminya."Astagfirullahaladzim! Ampuni hambamu yang sombong ini ya Allah," ucap Adam dalam hati.Adam benar-benar terpaku pada pikirannya untuk mencari wanita yang sifatnya tidak jauh berbeda dengan uminya, sehingga dia lupa, jika Allah lebih mengetahui yang terbaik untuknya dari pada dirinya sendiri."Terima kasih Abah, untuk nasehatnya. Adam akan pikirkan dulu," jawab Adam pada akhirnya."Sholat istikharah Dam! Minta petunjuk dari Allah!" "Baik Abah!""Kamu sekarang bisa kembali ke kamarmu. Pikirkan lagi tawaran Abah, juga jangan lupa meminta petunjuk dari Allah." Abah kembali mengingatkan Adam."Iya Abah! Kalau begitu Adam ke kamar dulu. Selamat malam Abah, Umi!" Tidak lupa Adam mencium wajah kedua orang tuanya.Di dalam kamar, Adam kembali terpikir perkataan Abah.Dia memang sudah siap secara mental untuk menikah. Hanya saja, selama ini dia berpikir untuk mencari wanita yang sifatnya tidak jauh berbeda dengan uminya.Itulah yang menjadi keraguannya selama ini. Namun, setelah mendengar nasehat Abah tadi, pikiran Adam langsung terbuka.Dia sudah merasa sombong karena berpikir, jika kriteria wanita yang diinginkannya untuk menjadi Istri, sudah dianggap yang terbaik untuknya.Adam lupa jika Allah lah yang lebih mengetahui yang terbaik untuk hambanya.Pagi harinya, seperti biasa, Salwa akan membantu Umi memasak sarapan untuk mereka.Mereka memasak nasi uduk pagi ini. Ini adalah makanan kesukaan Husein.Umi bilang, dia sedang rindu dengan Husein. Jadi Umi memasak makanan kesukaannya."Umi nanti boleh tidak, kalau Salwa ikut Mas Husein ke Bandung? Salwa ingin jalan-jalan kesana?" tanya Salwa di sela-sela memasaknya."Ngapain kamu mau kesana?" tanya Umi."Yah, Salwa cuma ingin lihat- lihat saja, kota tempat Mas Husein kerja," jawab Salwa.Meskipun Salwa sudah tahu jawabannya, tapi Salwa tetap menanyakannya. Salwa yakin seratus persen, mereka pasti akan menolak."W*! Abah dan masmu tidak akan mungkin mengizinkan. Begitu juga dengan Umi."Salwa tersenyum. Walaupun hatinya sedikit kecewa, tapi dia akan baik-baik saja. "Nggak apa-apa kok Umi. Salwa sudah tahu kalau kalian tidak akan mengizinkan Salwa," jawab Salwa tersenyum manis.Umi sangat bahagia memiliki anak-anak yang pengertian seperti mereka.Harapan orangtua, adalah agar anak-anaknya menjadi anak yang soleh dan solehah.Namun menginginkan anak yang soleh dan solehah saja tidak cukup. Orangtua juga harus mengajari ilmu agama yang cukup kepada anak-anaknya, agar menjadi anak yang soleh dan solehah.Tidak bisa! Orangtua menginginkan anak yang soleh dan solehah tanpa mendidiknya.Ibaratnya, tidak akan memanen padi jika tidak menanamnya."Panggil Abah sama masmu. Ajak mereka untuk segera sarapan," ucap Umi mengelus kepala Salwa."Baik Umi." Salwa lalu keluar dari dapur untuk memanggil Abah dan Adam.Abah dan Adam sedang berada di kebun belakang rumah. Mereka sedang melihat pohon cabai yang mereka tanam satu bulan yang lalu. "Abah, Mas Adam! Sarapan sudah siap. Ayo sarapan dulu!," ucap Salwa.Abah dan Adam kompak menoleh ke arah Salwa. Melihat senyum yang tersungging di bibir Salwa, membuat mereka ikut merasa senang.Mereka bertiga lalu berjalan menuju ruang makan bersama. "Dek! Nanti mau ikut Mas nggak ke ruko?" tanya Adam.Abah tersenyum melihat interaksi kedua anaknya. Abah menjadi kangen dengan Husein, anak keduanya.Salwa tampak berpikir. Salwa lalu mengangguk. "Mau Mas! Sekalian Salwa juga mau melihat apakah ada kain baru di ruko," jawab Salwa.Hari ini, pekerjaan Salwa tidaklah terlalu banyak. Desain yang dikerjakannya juga sudah selesai. Jadi dia ada waktu senggang untuk ikut Adam ke ruko.Sebagian besar bahan baju yang dijual Salwa, dia ambil dari ruko yang sekarang dikelola Adam.Adam menjadi supplier kain untuk butik Salwa. Bukankah itu sangat sinkron.Sampai di ruang makan, Abah melihat jika menu sarapan pagi ini adalah nasi uduk, makanan kesukaan Husein.Abah tersenyum tipis. Semakin besar saja rasa rindunya kepada Husein yang sudah tiga minggu ini tidak pulang.Biasanya Husein akan kembali ke Solo setiap dua minggu sekali. Tapi sudah tiga minggu ini Husein tidak pulang. Membuat rasa rindu mereka semakin besar.Abah kemudian duduk di kursi yang biasa ditempatinya. "Nasi uduk Umi?" tanya Abah basa-basi."Iya Abah! Kangen sama Husein yang sudah tiga minggu belum pulang," jawab Umi sambil mengambilkan sarapan untuk Abah.*
Salwa jadi ikut pergi ke ruko yang sekarang dikelola oleh Adam. Di Solo, pusat penjualan kain sangatlah banyak, terutama kain batik. Salwa yang memang menjual baju-baju muslim, selalu mencoba mencari ide bagaimana supaya baju muslim itu menjadi menarik saat di pakai.Tidak mudah memang. Di zaman sekarang ini, wanita-wanita lebih memilih untuk memakai pakaiam yang terbuka dan ketat. Tidak semua memang, tapi sebagian besar memilihnya.Disinilah tantangan Salwa, dia harus bisa membuat busana muslim yang menarik pembeli. Bukannya hanya menarik pembeli, tapi Salwa juga berharap, saudari muslim yang lainnya juga mau kembali menutup auratnya.Salwa membantu Adam membuka ruko. Salwa menata kain-kain yang saat ruko tutup dimasukkan ke dalam."Udah Dek! Itu biar Mas saja yang lakukan. Kamu tolong bereskan meja kasir saja!" ucap Adam yang kasihan melihat Salwa mengangkat kain untuk diletakkan di depan ruko."Iya Mas!" Salwa menurut apa kata Adam.
Iwan tengah berada di dalam kamarnya. Dia duduk bersandar di kepala ranjang. Dia kembali merenung, memikirkan tentang masa lalu.Bagi Iwan, Salwa itu merupakan sosok malaikat untuknya. Tanpa disadari Salwa, dia bisa menarik Iwan dari kegelapan hatinya, dan membawanya ke cahaya yang terang.Iwan pikir, jika saja dulu Salwa tidak muncul di hadapannya, mungkin dia akan menjadi orang yang sangat berbeda sekarang.Kemungkinan, Iwan akan menjadi seorang laki-laki brengsek yang penuh dosa, dikarenakan rasa kecewa kepada orangtuanya.Rasa sakit di hatinya, itu akibat dari perceraian orangtuanya, yang tanpa sadar menyakiti Iwan sangat dalam.Disaat terpuruknya, Salwa datang mengulurkan tangannya dengan senyum manis yang tersungging di bibirnya.Iwan yang saat itu masih berusia empat belas tahun, merasa terpesona dengan senyum manis dan tulus yang ditunjukkan Salwa.Dengan ke
Minggu siang ini setelah sholat dhuhur, Salwa berbaring di pangkuan uminya.Waktu weekend seperti ini, biasa mereka gunakan untuk berkumpul bersama. Selain itu berkumpul seperti ini juga bisa mempererat hubungan mereka."Dek! Gantian napa." Adam, walaupun sudah berumur dua puluh tujuh tahun, tapi dia juga masih suka bermanja-manja dengan uminya.Didikan orangtua mereka yang selalu mengajarkan tentang kasih sayang kepada keluarga dan juga pentingnya menghabiskan waktu seperti sekarang ini, membuat Adam dan kedua adiknya menjadi dekat satu sama lain.Hanya kurang Husein saja saat ini. Dikarenakan dia sekarang sedang bekerja di Bandung, sehingga dia tidak bisa ikut berkumpul dengan mereka.Setiap kali Husein pulang ke Solo, maka Husein pasti akan memonopoli uminya. Dengan alasan dia sudah lama tidak bertemu, maka mau tidak mau kedua saudaranya pasti akan mengalah.Kasihan juga, pikir mereka. Husein hanya akan
"Akhirnya! Sampai juga di Solo." Husein merenggangkan tangannya, sembari menghirup udara Solo yang sudah satu bulan ini tidak dijumpainya.Husein sampai di bandara Adi Sumarmo pada pukul sebelas siang.Husein melihat jam di tangan kirinya. "Sebentar lagi sudah waktunya makan siang," ucap Husein.Husein tadinya ingin langsung pulang saja ke rumah. Tapi akhirnya dia urungkan niatnya itu. Dia memilih untuk sholat dzuhur, dan makan siang terlebih dahulu, baru pulang.Husein berjalan keluar dari bandara. Alih-alih memilih untuk naik taksi, Husein malah lebih memilih untuk naik becak.Selain bisa membantu pemasukan tukang becak, Husein juga bisa menikmati keindahan kota Solo."Mereka pasti terkejut dengan kepulanganku. Apalagi aku akan menetap mulai sekarang." Husein sangat antusias untuk bertemu dengan keluarganya yang sudah satu bulan ini tidak berjumpa.~
Seperti pesan Abah kepada Adam tadi yang menyuruhnya untuk tidak menunggu mereka makan malam. Adam mengajak kedua adiknya itu untuk makan malam."Mas Adam yakin, Abah sama Umi telat pulangnya?" tanya Salwa."Iya Dek! Tadi sebelum Abah pergi, Abah berpesan agar kita makan malam terlebih dulu, karena Abah sama Umi mungkin bakal sampai malam."Mereka bertiga kini tengah berada di meja makan. "Nyesek banget sih nasibku. Rencana pulang mau memberikan surprise, malah Abah sama Umi belum pulang juga," ucap Husein sedih."Udah Mas, nggak usah sedih. Abah sama Umi memang belum pulang, tapi Salwa tadi terkejut loh, tiba-tiba melihat Mas Husein ada di rumah," ucap Salwa."Sudah! Bicaranya dilanjutkan nanti. Sekarang kita makan dulu," ucap Adam."Iya Mas," jawab Salwa dan Husein serempak.Makan malam ini, Salwa yang memasak. Menunya juga hanya seadanya. Salwa memasak bahan yang ada di dapur."Masih enak seperti biasanya Dek,"Husein memuji masakan Salwa."Salwa gitu loh!" jawab Salwa senang karena
Mereka bertiga kini sedang berada di kamar jenazah. Mereka melihat jasad kedua orang tuanya yang terbujur kaku di bankar rumah sakit.Salwa sudah menangis sesegukan, Husein menangis tanpa bersuara. Sedangkan Adam, dia berusaha sekuatnya agar tidak menangis.Kedua adiknya kini tengah terpuruk, dia harus bisa menjadi sandaran dan kekuatan untuk mereka. Dia mencoba untuk kuat di tengah rasa sakitnya.Adam memeluk Salwa dengan erat. Adam melihat ke arah Husein yang menatap jasad kedua orang tuanya, menangis tanpa bersuara.Adam tidak tahu seberapa sakit hatinya Husein sekarang. Disaat dia sudah pulang, bermaksud untuk memberikan kejutan untuk mereka, tapi malah dia yang mendapatkan kejutannya.Di tengah kesedihannya, Adam tidak bisa membiarkan ini berlarut-larut. Adam kemudian meminta kepada pihak rumah sakit untuk mengantarkan jasad kedua orang tuanya kembali ke rumah.Salwa tidak berh
Sudah satu minggu Habibah bersaudara hanya berdiam diri tinggal di rumah. Mereka masih mencoba untuk menata hidup mereka, setelah kepergian Abah dan Umi.Kepergian Abah dan Umi yang begitu mendadak, benar-benar menjadi pukulan yang berat untuk mereka bertiga.Adam yang menutup tokonya sementara, Salwa yang menyerahkan urusan butik kepada Amira, dan Husein yang meminta mengundurkan jadwalnya masuk bekerja.Para tetangga yang senggang, juga silih berganti mengunjungi kediaman Habibah. Para Ibu-Ibu memberikan sebagian masakan mereka untuk Habibah bersaudara, serta menemani Salwa agar tidak selalu bersedih. Memang, mereka tidak bisa menyembuhkan rasa sakit hatinya Salwa, tapi mereka berharap, dengan kunjungan mereka setiap hari, bisa mengalihkan pikiran Salwa.Sedangkan untuk Bapak-Bapak dan laki-laki yang senggang, mereka menemani Adam dan Husein, harapan mereka juga sama, agar kesedihan mereka bisa sedikit terobati de
Pagi harinya, Habibah bersaudara hanya saling menyapa sekali. Setelah sarapan, mereka kembali ke kamar masing-masing.Bukannya mereka tidak sadar dengan keadaan saudaranya. Mata bengkak mereka jelas terlihat. Siapapun yang melihatnya pasti akan langsung paham jika mereka semalam habis menangis.Hati mereka sama-sama sakit melihat mata saudaranya bengkak seperti itu. Ingin rasanya hati menyemangati, tapi mereka juga sadar, mereka mengalami hal yang sama. Tidak perlu mengatakan apa-apa, mereka sudah mengerti satu sama lain.Salwa kembali menangis setelah masuk ke dalam kamar. Dia sangat sedih melihat keadaan kedua kakaknya pagi ini.Jika semalam dia menangis karena hatinya masih sakit, setelah kepergian Abah dan Umi. Pagi ini dia kembali menangis karena melihat keadaan kedua kakaknya.Salwa yang melihat mata bengkak Adam dan Husein sangat yakin jika mereka menangis semalam. Tapi Salwa masih benar-bena