Share

Delapan Tahun Usai sang Istri Pergi
Delapan Tahun Usai sang Istri Pergi
Penulis: Sinda

Bab 1

"Apa harus kamu melakukan ini, Auzi? Kamu tidak perlu bekerja di sekolah itu. Ayah bisa mencarikan sekolah yang lebih bagus." 

Barusan itu adalah bujukan kesekian yang Arnold berikan pada sang putri. Pria dengan rambut setengah memutih itu berdiri di samping meja makan. Dua tangannya berlipat di belakang punggung yang masih tampak tegap di usia 58 tahun. 

Auzi mengusaikan makan. Perempuan dengan kemeja ungu dan rok hitam itu menggeleng pelan pada sang ayah. 

Perempuan itu bangkit dari duduk. Mengulurkan lengan, meminta tangan sang ayah untuk dicium. "Aku pergi, Ayah." 

Dua langkah Auzi menjauh dari meja makan, suara Arnold kembali terdengar. Membuat sang anak berhenti berjalan. 

"Jangan lupa. Kamu sudah berjanji pada Ayah."  

Auzi berbalik, menoleh ayahnya dengan sorot kecewa dan putus asa. 

Telunjuk Arnold terangkat sebagai respon atas ekspresi sang putri semata wayang. "Jangan menolak. Kamu ingin melihatku bernasib sama dengan ibumu?" 

Habis kata, Auzi menghela napas. "Ayah juga harus menuruti syaratku. Satu bulan, jangan ganggu aku. Aku ingin menghabiskan waktu terakhir dengan dia, tanpa diusik." 

Satu bulan. Satu bulan sebelum ia menuruti kemauan sang ayah, Auzi ingin menikmati waktunya bersama seseorang. Menumpahkan semua rindu dan kasih sayang yang selama ini dipendam, tanpa mau dikekang atau dilarang sang ayah, seperti yang sudah-sudah. 

Seseorang itu ada di sini. Di sebuah sekolah dasar sederhana yang resmi menjadi tempat kerja Auzi sejak dua hari lalu. Dan, berita baiknya, Auzi sudah bertemu orang itu di hari pertama menjadi pengajar di sini. 

Dia ... tampan seperti yang selama ini Auzi bayangkan. Delapan tahun, dan banyak hal berubah dari seseorang itu. Sesuatu yang membuat Auzi sadar bahwa sudah banyak waktu yang  terlampaui dan dirinya tak berada di sisi seseorang itu. 

"Selamat pagi, Buk Auzi." 

Sapaan itu diterima Auzi saat dirinya menyusuri koridor kelas menuju ruang guru. Dari seseorang yang memang segera ingin ia temui. 

"Ruan. Pagi, Sayang." Auzi bejongkok di depan siswa kelas dua itu. Menatap kedua matanya, merasai debar hangat yang sudah terlampau lama absen menyapa jiwa. 

Tidak peduli jika akan dipandang aneh, Auzi mendekat pada bocah lelaki di hadapan. Meraihnya ke dalam pelukan yang sungguh erat. Delapan tahun, Auzi kehilangan momen seperti ini. Semua hanya karena keegoisan sang ayah. 

"Sudah sarapan, Ruan? Ruan tadi mandi dulu, nggak?" 

Ruan. Nama yang sungguh sempurna. Auzi yakin, nama itu dipilihkan sepenuh hati. 

"Sarapan? Udah. Pakai telur. Ayah yang buat." Ruan tersenyum lebar. Memamerkan gigi putihnya pada sang guru baru. 

Auzi memandangi anak itu lekat. Seolah tak ingin berpaling sedetik pun. Berkedip saja Auzi tak sudi. Tangannya kemudian menyapu helai rambut Ruan. Merapikan bagian yang sedikit acak di sana. 

"Seragam Ruan bagus, 'kan? Ini yang Ibuk belikan semalam." 

Perempuan itu merasakan hangat dan basah di mata. Ia memegangi dua bahu anak itu, mengusapnya pelan. Auzi mengangguk. 

Sepasang seragam sekolah dasar itu Auzi belikan kemarin, sepulang sekolah. Lantaran di pagi harinya, Auzi melihat ritsleting celana merah lusuh Ruan rusak. Anak itu mengaku, tidak ingin memberitahu sang ayah karena sudah beberapa kali dijahit dan lepas lagi. Ruan tidak ingin ayahnya susah. 

Hal itu membuat Auzi menyadari betapa dirinya lalai menjaga Ruan. Anaknya itu kesusahan selama ia tak ada. Auzi maklum, sebab dirinya tahu pasti berat menjadi orang tua tunggal, seperti yang Ayah Ruan alami. 

"Ayah ikut Ruan hari ini. Katanya, mau bilang terima kasih sama Ibuk." 

Seketika Auzi diserang kepanikan. Wanita itu mengusapi matanya yang basah. Ia berdiri, menatap sekitar dengan telapak tangan yamg mulai lembab.  

"Ayah lagi di toilet. Katanya mau sisiran dan cuci muka. Tadi kelupaan." Ruan menjelaskan sembari tertawa. 

Auzi tak punya pilihan. Ia harus segera angkat kaki dari sana. Melarikan diri, atau dirinya tak akan bisa bertemu Ruan lagi. Namun, langkah wanita itu ditahan oleh si bocah. 

"Ke mana, Buk? Tungguin Ayah sebentar, ya? Itu Ayah udah datang." Ruan menunjuk seorang pria dengan jeans lusuh dan kaus hitam yang sedang berjalan melewati lapangan sekolah. 

Suara derap langkah itu semakin dekat di telinga Auzi. Dalam posisi memunggui Ruan, ia memejam. Berharap ada keajaiban, ayahnya Ruan lupa pada dirinya. 

"Ini Ibuk Guru yang kasih aku seragam, Ayah." Ruan menarik tangan wanita di hadapannya. "Buk? Ini Ayahku." 

"Selamat pagi, Buk." Aran, lelaki yang Ruan panggil ayah mengulurkan tangan. 

Mau tak mau, sudah terjebak di situasi yang tak mungkin dielak, Auzi berbalik. Jantungnya serasa akan lepas, sangking terlalu cepat memompa. Kembali matanya dihinggapi hangat yang berhasil merambatkan sesak di dada. 

Delapan tahun, dan lelaki itu tak berubah sama sekali. Masih saja rupawan, menurut versinya Auzi. Mata dengan iris hitam itu masih saja mampu menggetarkan relung hati dan jiwa Auzi. 

"Pa--pagi, Pak." Terbata, Auzi membalas sapa tadi. Ia baru saja ingin menyambut uluran tangan Aran, tetapi pria itu lebih dulu menarik diri. 

"Buk Auzi, Ayah. Nama gurunya aku, Ibuk Auzi." Ruan meraih tangan ayahnya, membuatnya berjabat dengan sang guru. Anak itu tersenyum sembari menatapi wajah dua orang dewasa di depannya. 

Buru-buru Aran menarik tangannya, melepas jabatan itu. Matanya menyorot tak suka. "Apa yang kamu lakuin di sini?" Pria itu merapatkan gigi-giginya. 

Auzi menoleh pada Ruan. Tersenyum sebisanya, kemudian bekata, "Ruan bisa tolong Ibuk? Tolong belikan roti selai nanas di kantin, ya?" Ia mengangsurkan selembar uang lima ribu. 

Walau bingung, Ruan menurut saja. Anak itu pergi dengan sedikit berlari menuju kantin. 

Auzi menelan ludah saat kembali menghadapkan wajah pada lelaki di hadapan. "A--aku gu-guru di sini  sekarang, Ran." Begitu saja, air mata perempuan itu jatuh. 

Entah dorongan dari mana, perempuan itu melangkah maju. Dua lengannya terbuka sebelum akhirnya merengkuh tubuh ayahnya Ruan. Auzi membenamkan wajah di bahu Aran. Menangis di sana. 

Aran hanya mematung sekitar beberapa belas sekon, sampai akhirnya berhasil menemukan kesadaran. Pria itu mendorong Auzi, memegangi lengan perempuan itu kuat. 

"Aku terkejut karena kamu bisa mengenali Ruan." Senyum miringnya muncul. "Kamu berpikir untuk merebut dia, Zi? Karena itu tiba-tiba ada di sini?" Mata Aran memerah. Di tengah rasa terperangah yang belum sepenuhnya hilang, lelaki itu berusaha waras. 

Aran melepas cengkeraman dua tangannya, mendorong Auzi ke belakang. "Jangan mimpi kamu!" 

Gegas Aran meraih lengan Auzi. Laki-laki itu berjalan menuju ruang Kepala Sekolah. Tepat menebak, Kepala Sekolah sudah ada di sana. 

"Kenapa bisa sekolah mempekerjakan orang seperti dia, Pak?" Aran menghempas tangan Auzi begitu saja. Laki-laki itu menatap marah ada sang Kepala Sekolah, Pak Moko namanya. 

"Maaf, Pak Aran. Ada apa ini?" Pak Moko bertanya keheranan. 

Aran menunjuk Auzi dengan telunjuk. "Dia! Enggak pantas mengajar di sini! Bagaimana bisa Bapak menjadikan perempuan keji seperti dia mendidik anak-anak?" 

Dahi Pak Moko berkerut. "Apa alasan Bapak berkata begitu? Buk Auzi diterima mengajar di sekolah ini karena memiliki kualisifikasi, Pak." 

"Dia bahkan enggak lulus kuliah, Pak Moko!" tuduh Aran lagi. 

"Buk Auzi punya ijazah sarjana Pak Aran," balas Pak Moko semakin terheran. 

Wajah Aran berubah pias. Senyum getir muncul di mukanya. Jadi, Auzi melanjutkan hidup dengan baik rupanya. 

"Dia ini perempuan keji, Pak Moko! Dia tega menelantarkan darah dagingnya sendiri, bahkan saat anaknya itu sedang sakit! Apa pantas orang seperti dia mengajar anak-anak di sekolah ini?" Napas Aran memburu usai membeberkan semua itu. Pria itu menyorot Auzi dengan semua kebencian yang selama ini dipendam. 

Pak Moko tampak berdeham. "Sudah, Pak. Tidak baik Bapak asal menuduh begini. Lagi pula, rasanya tidak baik menghubungkan kehidupan pribadi seseorang dengan pekerjaan. Saya harap, Bapak bisa menerima keputusan saya." 

Orang-orang berduit ini, pikir Aran. Laki-laki itu tak meneruskan protesnya, karena yakin Pak Moko adalah salah satu anteknya keluarga Auzi. Pria itu mengambil langkah besar untuk meninggalkan ruangan itu. 

Tidak tinggal diam, Auzi berusaha mengejar Aran. Menahan pria itu saat akan menaiki sepeda motornya. 

"A--aku berhak atas Ruan, Ran." 

Aran menjauhkan tangan Auzi yang menyentuh lengannya. Tangan pria itu terkepal. "Berhak kamu bilang? Anjing kamu, Auzi!" 

Persetan di mana mereka sekarang, Aran sungguh murka. 

Auzi gemetar. Aran yang marah memang tak pernah ramah untuk siapa pun. "A--aku enggak berencana mau ambil dia dari kamu." 

"Kamu memang enggak akan pernah bisa melakukan itu!" Aran menyalakan mesin motor. Sudah akan memutar gas, kalau saja Auzi tidak mengadang jalan kuda besinya. "Jangan kira aku  keberatan ngelindas kamu di sini! Minggir!" 

"Sa--sa ...." Auzi menelan tangis. Dimaki dan dibentak Aran tak pernah gagal membuatnya menangis dan gemetar. "Sa--satu bulan, Aran. Tolong kasih aku satu bulan aja. Aku mau satu bulan ini, untuk yang terakhir ... aku mau bisa dekat sama Ruan. Anak kita." 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status