Share

Bab 2

Suara mesin sepeda motor yang mendekat membuat Auzi yang semula duduk santai, lantas menengakkan punggung. Dari teras kecil tempatnya duduk, perempuan itu melihat dua orang yang sedari tadi ia tunggu. 

"Ibuk Auzi!" Ruan yang baru turun dari sepeda motor ayahnya berseru. Senyum bocah itu mereka di wajahnya yang sayu dan lelah. 

"Kamu dari mana? Kok baru pulang semalam ini?" Auzi menghampiri Ruan, berjongkok di depannya, kemudian memeluk. Sayang, seceppat kilat Ruan ditarik menjauh oleh Aran. 

"Mau apa kamu di sini?" tanya Aran sinis. Pria itu memeluk anaknya erat. 

"A--aku tinggal di sini sekarang." Auzi menunjuk kamar kos di sebelah kamar milik Ruan. 

Rahang Aran bergerak-gerak dan tampak mengeras. Pria itu tahu pasti Auzi tidak main-main dengan apa yang dicetuskan kemarin. Soal sebulan bersama Ruan. 

"Kamu enggak mengerti apa yang aku bilang kemarin? Kamu kira dengan melakukan ini, aku bakal izinin kamu?" 

Aran meminta sang putra untuk masuk lebih dulu. Ruan sempat menolak, dengan alasan ingin bersama Auzi. 

"Masuk kata Ayah, Ruan! Masuk!" 

Bentakan itu Ruan balas dengan tatapan memicing sesaat, sebelum akhirnya menuruti perintah. 

Usai Ruan masuk, Aran segera menarik Auzi. Menyeret perempuan itu berjalan mengikuti langkahnya yang besar, menuju sebuah jalan besar di ujung gang kamar sewa mereka. 

"Pergi kamu! Enggak ada guna kamu muncul lagi setelah delapan tahun!" 

Aran menghempas tangan Auzi, hingga gadis itu terdorong melewati badan jalan. 

Auzi berusaha mempertahankan keseimbangan agar tidak jatuh akibat tolakan Aran. Namun, perempuan itu tak melihat keadaan jalanan, hingga tak sadar ada sebuah motor melaju kencang ke arahnya. 

Suara klakson kencang yang menyadarkan Auzi. Namun, hal itu malah membuatnya shock, hingga tak bisa memikirkan apa pun selain mematung. 

Auzi ditarik di lengan hingga tubuhnya beranjak dari tengah jalan. Perempuan itu terhuyung ke depan dan langsung membentur dada Aran. 

"Anjing!" maki Aran pada pesepeda motor yang tadi hampir menabrak Auzi. 

Si perempuan terdiam. Pada debar jantung Aran yang telapak tangannya rasa, Auzi menikmati. Air matanya jatuh. Kenapa begitu syahdu sekaligus sakit yang saat ini ia rasakan? 

Satu-satunya lelaki di dunia ini yang Auzi ingin bersamanya hingga akhir hayat, mengapa begitu sulit untuk ia rengkuh? Padahal, cintanya tak bertepuk sebelah tangan. 

"Aran," panggil perempuan itu pelan. Isakannya perlahan-lahan lolos dari bibir yang bergetar. 

Aran membeku. Pada sentuhan ringan dan sepele Auzi pada dadanya, pria itu mengingkari bahwa ada desir karenanya. 

"Menjauh kamu." Aran pada akhirnya memilih. Ia mendorong Auzi. Jauh lebih pelan, agar gadis itu tak lagi terdorong ke tengah jalan. 

"Kasih aku kesempatan, Ran. Satu kali aja. Ini untuk yang terakhir." Auzi tegugu dalam tangis yang mati-matian berusaha diredam. 

"Kesempatan?" Aran tergelak. Matanya menatap pada lalu-lalang kendaraan yang lewat. Pikirannya bergerak jauh ke belakang. "Delapan tahun lalu, kamu punya kesempatan, waktu aku berlutut dan memohon sama kamu." 

Auzi bisa melihat luka di mata Aran. Sesuatu yang juga ia punya di dasar hatinya. Luka dan duka yang entah apa bisa sembuh atau tidak. 

"Sebulan aja, Ran. Sebulan. Aku bukan mau ambil Ruan dari kamu." Auzi memupus jarak, meremat kaus Aran. "Biarkan aku ngerasain dekat sama anak aku, untuk terakhir kalinya, Aran. Aku mohon." 

Auzi yang menekuk kaki di hadapannya membuat Aran semakin geram. Ia ingin tidak peduli, Auzi pantas mendapat yang lebih buruk dari ini. Namun, tetap saja ada yang koyak dalam dirinya kala menyaksikan gadis itu putus asa, tak berdaya dan menangis sepderti sekarang. 

"Aran. Tolong kasih aku kesempatan." Menangis, mengiba dengan dua tangan menyatu, Auzi menatap wajah Aran penuh harap. 

Si lelaki habis kata. Kalah pada sesuatu yang menghentak nyeri dalam dada. Pada akhirnya, Aran hanya mampu memutar tumit, berbalik, lalu melangkah pergi meninggalkan Auzi. 

*** 

"Aku lapar, Ayah. Ayah lupa belum kasih makan aku?" 

Jawaban Ruan atas perintah disuruh tidur, membuat Aran mengusap wajah kasar. Terlalu mengejutkan tingkah Auzi malam ini, hingga ia lupa belum memberi si buah hati santapan malam. 

Menengok ke dapur mereka yang kecil, Aran tak menemukan telu atau pun mi instan. Pria itu kemudian menghampiri sang anak yang duduk di atas kasur. Tersenyum penuh penyesalan ke sana. 

"Maaf, ya, Nak. Ayah lupa kalau kamu belum makan. Ayah ke warung sebentar, ya. Mau apa? Telur apa mi?" 

"Telur aja, Ayah." Ruan menjawab cepat. 

Mengangguk, Aran beranjak dari duduk dan segera menuju warung. 

Sementara ayahnya pergi, Ruan yang bingung harus melakukan apa memilih mengambil sapu. Membersihkan lantai kamar sewa mereka ala kadarnya dengan itu. 

Ini hal biasa untuk Ruan. Membantu pekerjaan ayahnya di rumah bukan perkara sulit. Apalagi, di saat mendesak seperti sekarang. Mereka baru pulang mengojek dan si ayah lupa bahwa perut belum di isi. Tinggal berdua saja dengan Aran selam 8 tahun, Ruan hapal jika ayahnya memang pelupa. 

Menyapu sebisanya hingga teras, Ruan mendapati Auzi di teras kamar sebelah. Ibuk gurunya itu tengah berjongkok dengan wajah sedih. Ruan menghampiri. 

"Belum tidur, Ibuk guru?" 

Auzi menggeleng pelan. Pada Ruan ia berusaha tersenyum. "Kamu habis nyapu?" 

Si bocah mengangguk. "Ibuk beneran tinggal di sini? Kita tetangga?" 

Si perempuan mengangguk. "Boleh, 'kan, Ruan?" 

"Bolehlah!" sahut Ruan antusias. 

"Kamu kok belum tidur? Tadi habis dari mana? Kok pulang malam?" 

Ruan bercerita. Sepulang sekolah dan dijemput Aran, ia ikut mengojek. Belum tidur karena belum makan dan ayahnya sedang ke warung membelikan telur. 

Auzi menatap penuh sesal pada Ruan. Baru delapan tahun usia anaknya itu, tetapi sudah mengaami pahitnya hidup sampai begini. 

Menyeka air matanya yang jatuh, Auzi meraih lengan Ruan agar anak itu mendekat. "Ada ayam goreng sama sayur taoge. Ruan mau?" 

"Punya Ibuk guru?" 

Tidak menjawab, Auzi meminta Ruan untuk kembali ke kamarnya. Ia sendiri masuk dan mengisi piring dengan nasi, sayur dan tiga potong ayam goreng. Ia bawa makanan itu ke kamar Ruan. 

"Makan, yuk. Habiskan ini. Yang ini untuk Ayah." Auzi menyisihkan satu potong ayam untuk Aran. 

Memang sudah lapar, pun makanan yang tersaji memnacing liur, Ruan tersenyum malu, kemudian meraih sendok. 

"Enggak pa-pa aku makan, Buk?" 

Auzi mengangguk, mengusap puncak kepala Ruan. "Makan, Nak. Makan." Air matanya kembali tumpah. 

Separuh isi piring Ruan habis, Aran datang. Laki-laki langsung menghujani Auzi dengan tatapan marah. Ia sudah hendak menjauhkan piring nasi Ruan dari hadapan sang anak, tetapi urung sebab Auzi mencekal lengannya. 

"Biarkan Ruan makan dulu, Ran. Ini udah jam delapan. Biar dia bisa tidur." Auzi berujar dibarengi isakan kencang. 

Melihat wajah senang anaknya menikmati makanan itu, Aran mengalah. "Terusin makannya. Cepat, setelahnya pegi tidur." 

Ruan mengangguk semringah. Ia mengangsurkan piring berisi satu ayam pada ayahnya. "Kata Ibuk Auzi ini untuk Ayah. Makan sama aku, yuk?" 

Aran membuang wajah. "Enggak. Ayah enggak lapar." 

Tepat saat ucapan Aran selesai, suara perut keroncongan pria itu terdengar. Ruan cekikan, sedangkan Auzi semakin ingin menangis. 

"Bohong! Perutnya Ayah bunyi itu!" 

Menghapus basah di pipi, Auzi beranjak dari duduk. Pergi ke kamarnya dan membawakan satu piring nasi pada Aran. 

"Makan, Ayah." Ruan mendekatkan piring itu setelah Aran menjauhkannya. 

Auzi paham jika mungkin saja Aran enggan dilihatnya makan. Maka perempuan itu pamit untuk pulang. 

"Bobok yang nyenyak nanti, ya," ucapnya seraya mengusap sayang rambut Ruan. 

Aran yang sempat tak ingin menatap wajah Auzi, perlahan menengok pada punggung perempuan itu yang mulai menjauh. Tatapannya menjadi sendu. Tarikan napasnya berat. 

"Zi ...." Pria itu bergumam pelan. Terlalu malu untuk mengaku bahwa ada segunung rindu yang nyaris membuatnya tak tahu cara bernapas. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Claresta Ayu
Sumpah ini ceritanya keren banget thoor, baru baca 2 bab sudah termewek²
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status