Share

Bab 3

Menutup laptop, Auzi turun dari kasurnya. Perempuan itu menarik gorden, mengintip ke teras sebelah. Masih tidak ada sepeda motor di depan kamar kos Ruan. Pun, sedari tadi tak ada suara kendaraan yang mampir di sana. 

Belum mendapat izin dari Aran untuk berada dekat dengan Ruan, Auzi bimbang harus nekat saja atau tidak. Tadinya, bukan sekarang. Perempuan itu tahu anaknya sedang sendirian di kamar kos sebelah. Sekarang sudah pukul tujuh dan Aran masih belum pulang. 

Maka itu, dengan segenap keberanian yang ia punya, Auzi keluar dari kediamannya. Apa pun akibat dari kenekatan ini, akan ditanggung, meski itu harus mendengar ayahnya Ruan meneriakinya dengan makian lagi. 

Auzi mengetuk pintu di depan dua kali. "Ruan," panggilnya pada sang anak. 

Daun pintu itu kemudian bergerak, Ruan muncul dengan senyum di wajah. "Ibuk Auzi? Kenapa, Buk?" 

Auzi menghela napas. Sedekat ini dengan si buah hati yang selama delapan tahun dirindu, tetapi mendengar bocah itu memanggilnya Mama saja tidak bisa. 

"Kamu sendirian di rumah?" 

Ruan mengangguk. "Ayah belum pulang. Mungkin sebentar lagi." 

Perempuan itu nelangsa membayangkan jika setiap harinya Ruan mengalami ini. Sendirian, menunggu ayahnya pulang membawakan makanan, tanpa teman. 

Auzi mengacak rambut si bocah. "Kamu udah makan?" 

Ruan menggeleng dengan senyum. "Tunggu Ayah, biar bisa makan sama-sama." 

Berdiri di ambang pintu, Auzi tak sengaja melirik ke balik punggung Ruan. Keadaan di balik pintu kamar itu terlihat tak nyaman. Kasur tanpa tempat tidur itu kusut, dengan beberapa buku dan pensil warna yang Auzi yakin adalah milik Ruan. 

"Kamu lagi ngegambar?" tanya si perempuan. 

"Mewarnai," sahut Ruan. 

Berusaha terlihat selembut mungkin, Auzi kemudian berkata, "Ibu masuk, boleh? Temenin Ruan mewarnai." 

Anak kecil di sana melengkungkan bibir, memamerkan deretan giginya. Kepalanya mengangguk setuju, lantas menarik tangan Auzi untuk masuk. 

Menemani Ruan mewarnai beberapa saat, Auzi diam-diam memperhatikan keadaan sekitar. Piring bekas pakai ada di meja kecil dekat jendela. Gorden jendela itu berwarna abu-abu, padahal Auzi yakin warna aslinya adalah putih. 

Menoleh ke belakang, di depan kamar mandi, keranjang pakaian tampak penuh. Auzi benar-benar merasa sangat bersalah dengan keadaan kamar itu. Sangat tak terurus dan itu pasti salahnya. Seorang ayah tunggal pasti tak akan bisa mengurusi semuanya. 

"Ayahnya Ruan kerja apa?" tanya perempuan itu. Satu tangannya mengusapi rambut Ruan, sesekali mencium kepala. 

Ruan awalnya tampak heran, tetapi perasaannya nyaman-nyaman saja. Jadi, ia tak keberatan saat Auzi membawanya ke pangkuan, dipeluk, kemudian dicium kembali. "Ayah ngojek. Antar-antar orang, nanti dibayar." 

Mengernyitkan dahi, Auzi kemudian mengangguk saja. "Ibuk mau punya teman. Ibuk kan baru pindah ke sini. Ruan mau jadi teman Ibuk?"  

Ruan mengangguk. 

"Berarti, kita berteman sekarang?" Auzi tersenyum saat anak di dekapannya kembali mengangguk. "Berarti, Ibuk boleh bantuin Ruan?" 

"Bantu apa?" 

"Beresin beberapa hal di rumah Ruan ini. Ibuk janji enggak akan ngerusak apa-apa. Cuma mau beresin aja, biar rumahnya Ruan bersih." 

Berbekal izin dari si anak lelaki, Auzi mulai berbenah. Perempuan itu menyapu, mengambil kain pel dari rumahnya, lalu menggosok lantai rumah Ruan. 

"Habis ini Ibuk buatkan makanan, ya? Nasinya udah dimasak, telur dadar sama bayam, mau?" Auzi bertanya sembari mencuci piring kotor di kamar mandi. 

Ruan yang tengah menikmati dua bungkus roti di ruang depan menyahut senang. Anak itu asyik dengan kegiatan mewarnainya. 

Usai membereskan rumah, Auzi dengan bantuan beberapa bahan dapur miliknya mulai menyiapkan makanan. Meski lelah, ia tetap tersenyum. Sebab, ini pertama kalinya ia meracik sendiri santapan untuk Ruan, setelah bertahun-tahun. 

"Ibuk suapin, ya?" pinta Auzi saat mereka sudah di ruang depan, dengan sepiring makanan tersaji untuk Ruan. 

Si anak mengangguk semangat. 

Beribu maaf Auzi ucapkan dalam hati. Suapan demi suapan yang ia berikan pada Ruan seolah melepas satu per satu ikatan yang selama ini membelit dada. Namun, bukannya menjadi lega, perempuan itu menjadi semakin sesak oleh duka. 

Sebulan, tiga puluh hari, apa bisa waktu sesingkat itu menebus semua kealpaannya dalam hidup sang putra? Banyak sekali yang tidak Auzi berikan pada Ruan. Apa semua itu bisa tertebus? Belum lagi, ayahnya Ruan yang tidak pasti akan memberi izin atau tidak. 

"Enak, Buk." 

Sontak saja air mata Auzi tumpah. Perempuan itu berusaha tersenyum, walau hatinya perih teriris. Makanan pertamanya untuk Ruan mendapat pujian seperti tadi. Padahal itu sangat terlambat dan hanya santapan sederhana. 

Auzi merengkuh si anak lelaki. "Maaf, ya, Ruan. Maaf karena aku udah jahat sama kamu." 

Ruan keheranan. "Ibuk salah apa memangnya? Ibuk enggak salah apa-apa, loh." 

Suara sepeda motor yang hadir di halaman membuat Auzi seketika melepas dekapan pada Ruan. Perempuan itu menghapus air matanya. Tak ingin membuat Aran semakin marah. 

Pintu digebrak. Auzi kira Aran sudah mulai menunjukkan emosi. Ternyata, pria itu terjatuh di sana hingga membuat daun pintu menghantam dinding. 

Ruan langsung mendatangi Aran. Memegangi lengan pria itu, lalu berusaha membantunya berdiri. 

Auzi mematung. Matanya membola dengan perasaan takut yang menggelayuti. Penampilan Aran benar-benar mengerikan. 

Kaus hitam Aran basah. Rambut lelaki itu berantakan dan kotor. Wajah pria itu lebam, sobek juga berdarah di beberapa bagian. 

"Ayah, ayo ke kasur dulu." 

Perempuan itu menutup mulut dengan tangan, ketika menyaksikan anak kecil di sana memapah Aran menuju kasur. Ruan tidak menjerit, bertanya atau menangis. 

"Ngapain kamu di sini?" Aran mencoba mengangkat kelopak matanya yang bengkak dan mulai membiru. "Pergi!" Dengan napas terengah karena menahan sakit di sekujur tubuh, ia mengusir Auzi. 

Belum sempat Auzi menemukan kalimat untuk diucap, Aran sudah lebih dulu bangkit dari duduk. Sedikit sempoyongan, lelaki itu mengambil piring di lantai yang berisi telur dan nasi. 

Aran yakin itu milik Auzi, jadi, pria itu buang semuanya ke teras. Piring-piring itu pecah, isinya berserakan. 

"Pergi kamu!" Aran berteriak tepat di depan wajah Auzi. 

Basah di pipi membawa kesadaran Auzi lagi. Perempuan itu memicing marah. "Itu makanan Ruan! Kenapa kamu buang?!" 

"An*ing," desis Aran. Matanya merah dan berair. "Pergi kamu dari sini! Kamu enggak punya hak untuk mengurusi makanan anak aku!" 

Lelaki itu mendorong tubuh Auzi hingga tersungkur di lantai. Masih melawan, perempuan itu malah kembali berdiri dan menaikkan dagu pada Aran. 

"Pergi kamu dari sini, Auzi. Pergi atau aku enggak segan main kekerasan sama kamu." 

Perempuan itu mengusapi pipi. "Jadi, gini cara kamu membesarkan Ruan? Mempertontonkan kekerasan? Kamu enggak mikir gimana akibatnya sama dia?!" 

Rasa bersalah dan takut adalah dua hal yang membuat Auzi melakukan ini. Menyalahkan Aran. Dalam hatinya, perempuan itu sadar jika sebenarnya Aran tidak punya pilihan atau mungkin kemampuan untuk mengurus dan merawat Ruan lebih baik dari yang sekarang ia lihat. 

Pulang dengan keadaan babak belur bukanlah hal yang baik untuk dilihat anak usia delapan tahun. Bisa saja Aran tidak hanya sekali ini demikian? Lalu, apa yang pria itu katakan pada Ruan jika anak itu menanyai dan menuntut alasan? 

Juga, Aran terang-terangan mengancam dirinya seperti tadi. Auzi orang dewasa, pun ia sudah hapal bagaimana perangai Aran. Namun, bagaimana dengan Ruan? Anak kecil itu akan menganggap hal seperti tadi lumrah dilakukan. 

Auzi marah dengan kemungkinan bahwasannya selama ini Ruan sudah hidup di lingkungan yang tidak layak. Ia ingin menyalahkan Aran, tetapi menyadari bahwa dirinya juga bertanggungjawab. 

Membalas sikap kasar Aran barusan, Auzi lakukan semata karena tak tahan menanggung rasa bersalahnya. Ia butuh sesuatu untuk dipersalahkan dan hanya Aran yang saat ini dirasanya pantas untuk jadi objek pelampiasan kemarahan. 

"Anak aku, urusan aku! Jangan ikut campur! Pergi kamu!" 

"Kamu sama sekali enggak berubah, Aran! Masih aja kasar dan sembarangan!" 

"Kamu enggak berhak menilai aku! Pergi kamu, Auzi! Jangan pernah tunjukkan muka kamu lagi di hadapan aku atau anakku!" Aran merasakan kepalanya semakin sakit karena berteriak. 

"Ba*ingan! B*engsek kamu!" 

Auzi lepas kendali. Perempuan itu ikut berteriak dan memaki. Saat dirinya menyadari sudah salah bersikap, dilihatnya Ruan mendekat. 

Anak lelaki itu berdiri di antara Auzi dan Aran. Matanya menatap tajam pada si perempuan di hadapan. "Jangan bilang gitu sama Ayah!" 

Si perempuan tersentak. Ia menggeleng cepat-cepat. "Ibuk--Ibuk enggak maksud gi--gitu, Ruan. I--" 

"Jangan marahi Ayah aku. Jangan jahat sama Ayah!" 

Aran berniat mengakhiri drama ini secepatnya. Terseok, pria itu berjalan untuk meraih lengan Auzi. Diseretnya perempuan itu hingga keluar dari kamar sewa. "Pergi kamu! Jangan berani dekat-dekat sama Ruan, atau aku e---" 

"Aran!" Auzi sigap menyokong tubuh Aran yang hampir jatuh ke ubin teras. "Aran?" panggilnya pada si lelaki yang perlahan menutup mata dan hilang kesadaran. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status