Share

Bab 4

"Maaf."

Suara lirih disertai isak tangis itu menyambut Aran yang baru saja menemukan keasadarannya kembali. Laki-laki itu mengangkat kelopak mata perlahan, kemudian menangkap gambaran Auzi yang setengah berbaring di samping Ruan yang tertidur.

"Aku tahu maafku enggak akan pantas dan layak, apalagi cukup. Tapi, maaf, Ruan. Maafin Ma ...."

Aran memutuskan untuk berpura masih tidur. Laki-laki itu tak ingin bangun dan nantinya harus bersikap galak pada Auzi.

Lelaki itu memang marah. Ia amat murka karena setelah delapan tahun pergi dan hilang tanpa kabar, bisa-bisanya Auzi datang begitu saja ke kehidupannya lagi. Menjadi guru di sekolah Ruan dan sekarang, bahkan menjadi tetangganya.

Tidak bersekolah tinggi, bukan berarti Aran bodoh. Semua sikap Auzi ini pasti punya maksud. Dan ia bisa dengan mudah menerka bahwa tujuan Auzi adalah Ruan.

Mau apa dengan Ruan? Apa pentingnya anak mereka itu untuk Auzi sekarang? Kenapa perlu delapan tahun untuk Auzi sadar jika dirinya bersalah dan memang patut memohon maaf seperti yang sekarang dilakukan?

Menguntip dari balik kelopak matanya yang terbuka sedikit, Aran melihat Auzi menciumi kening Ruan. Wajah perempuan itu basah oleh air mata, jelas sekali ada penyesalan di paras gadis yang masih saja cantik di mata Aran itu.

"Semoga Ayah kasih kesempatan sama kita, ya, Ruan? Aku cuma butuh sebulan. Sebulan terakhir bersama kamu, setelahnya, aku janji enggak akan ganggu kehidupan kalian lagi."

Usai mengatakan itu Auzi terlihat beranjak dari kasur sempit itu. Perempuan itu sempat menghampiri sisi kiri tilam, untuk mengusap dahi Aran sejenak, sebelum kemudian meninggalkan kamar.

Aran kemudian membuka mata. Menatapi langit-langit kamar, sklera pria itu memerah. Kenapa? Kenapa Auzi selalu gemar menyakitinya?

Lelaki itu bangkit dari posisi tidur, duduk bersandar ke dinding di belakang. Menyentuh dahi yang terasa sedikit berat, lalu meraba sebuah perban tertempel di sana. Bajunya sudah diganti. Ada bungkusan berisi obat di dekat kasur. Aran yakin, yang merawatnya adalah Auzi.

Menoleh pada sang anak yang sudah lelap di sampingnya, Aran mengusap kepala bocah itu. "Ruan," panggilnya pelan, sedikit gemetar. "Yang tadi itu ... dia ... Ma--"

Bayangan saat Auzi meninggalkan mereka delapan tahun lalu membuat Aran tersedak. Ludahnya terasa pahit.  Dadanya bak dihantam palu besar. Sakit, perih hingga ke mata.

"Dia ... Mama kamu, Nak."

Delapan tahun lalu, baru seminggu setelah Ruan kecil pulang dari rumah sakit akibat menderita diare, dengan teganya Auzi mengemasi barang, kemudian pamit untuk pergi.

Aran ingat, hari itu, tidak sekali pun dilihatnya sang istri menggendong anak mereka. Seperti enggan menyentuh Ruan sedikit pun dan hanya sesekali menatapi dengan sorot yang kosong.

Di sore hari, saat Ruan menangis kencang dan Aran membujuk sang stri untuk menimang anak mereka, Auzi malah datang dengan tas.

"Aku mau pergi. Aku enggak bisa hidup sama kamu lagi."

Dua penggal kalimat dengan nada datar dan tak berperasaan itu menjadi salam pembuka dari perpisahan tersakit itu.

Aran memberi banyak pertanyaan sore itu. Kenapa? Kenapa tiba-tiba? Ingin ke mana Auzi pergi? Namun, tak satu pun jawaban terlontar dari bibir istrinya. Perempuan itu bungkam, diam seribu bahasa.

"Aku mau pergi. Ayahku benar. Aku enggak sanggup hidup susah sama kamu."

Detik usai Auzi mengatakan itu, barulah Aran paham. Tak lain dan tidak bukan, alasan istrinya ingin pergi adalah karena perihal kemewahan, materi semata. Padahal, bukan perempuan itu tidak tahu latar belakang Aran sebelum mereka memutuskan untuk membina rumah tangga.

Kecewa, marah, Aran menelan semua itu bulat-bulat. Demi mempertahankan sang gadis yang begitu dicintai, demi membuat ibu dari anaknya tetap berada di rumah itu, Aran menekan harga diri.

Ketika Auzi bersikeras, dengan tanpa rasa bersalah melewat pintu rumah mereka, Aran mengejar. Pria itu mengadang langkah si istri dengan Ruan masih dalam gendongan.

Dengan segenap hatinya, laki-laki itu menekuk lutut di hadapan Auzi. Mengiba dengan tangis di wajah, diiringi rengekan Ruan. Aran meminta untuk Auzi mengurungkan niat.

"Aku bakal kerja lebih keras, Zi. Jangan gini. Kasihan aku dan Ruan. Kami butuh kamu. Aku butuh kamu, Ruan butuh mamanya."

Apa yang Auzi lakukan kala itu? Bergeming. Perempuan itu hanya sudi menatap Aran selama dua menit, kemudian dengan mudahnya berpaling muka.

"Zi. Aku janji akan cukupin kebutuhan rumah. Aku akan cari kerjaan yang lebih baik. Jangan pergi, Zi. Aku enggak akan bisa tanpa kamu."

Ribuan bujukan Aran berikan, tetapi hati Auzi sudah menjelma batu. Tak tersentuh apalagi terusik secuil pun oleh tetesan air mata atau raungan milik suami dan anaknya.

Pada akhirnya, di sore yang mulai dihampiri gelap itu, Aran menyaksikkan sendiri sang istri melangkah pergi, meninggalkan rumah sederhana mereka. Dengan langkah cepat, tergesa, seolah baru saja lepas dari tempat yang buruk, bahkan tanpa mau menoleh barang sejenak.

Saat ini, saat Aran kembali mengingat semua itu, hanya kebencian yang menyeruak di hati. Benci yang begitu kuat, hingga mampu membuat sesuatu jatuh dari pelupuk mata.

Aran menepis segala rasa dan emosi yang tak perlu, kecuali amarah dan kebencian. Yang pernah pergi meninggalkannya dengan kejam, pastilah punya maksud tak baik kalau pun kembali lagi seperti yang Auzi lakukan sekarang.

Pria itu menengok ke samping. Ia terperangah kala menyadari bahwa sang anak tidak lagi tidur. "Ruan? Kenapa, Nak?"

Ruan ikut duduk di samping sang ayah. "Ayah habis jatuh lagi?" tanyanya mengenai luka yang Aran bawa pulang hari ini.

Mengangguk, Aran berusaha tersenyum. "Enggak pa-pa ini. Dua hari lagi pasti sembuh."

Ruan mengangguk dalam diam. "Udah Ibuk Auzi obati tadi." Anak itu kemudian terlihat memainkan ujung kuku telunjuk dan jempol. "Ayah ... Ayah enggak suka sama Ibuk Auzi?"

Menangkap ada raut enggan dari ekspresi wajah Ruan, Aran meraih tangan anaknya itu untuk digenggam. Ia balas bertanya, "Ruan suka sama Ma--Ibuk Auzi?"

Laki-laki itu menertawai diri sendiri. Memang, ada anak yang tidak suka pada ibunya sendiri? Ruan saja, meski tidak tahu Auzi adalah perempuan yang melahirkannya, tetap punya semacam ikatan batin, walau sudah terpisah cukup lama. Terbukti, anaknya itu bisa langsung dekat dengan tetangga baru mereka padahal belum beberapa hari kenal.

"Ruan?" panggil Aran sebab anaknya menunduk dan belum memberi jawaban. "Ayah tanya tadi. Ruan suka sama Ibuk Guru itu?"

"Ibuk Auzi tolongin aku waktu ritsleting celana aku rusak. Ibuk Auzi beliin aku seragam, Ayah." Masih sambil memainkan kuku jarinya, Ruan berusaha berani. "Tadi, Ibuk Auzi masak untuk aku, karena katanya nanti sakit perut kalau belum makan dan nungguin Ayah."

Aran mengulum senyum, tetapi juga merasakan perih di hati mendengar itu.

"Tadi, Ibuk Auzi juga bantu aku, beresin rumah kita. Ibuk Auzi cuci piring, nyapu dan ngepel."

"Ruan suka sama Ibuk Guru itu?"

Bocah delapan tahun itu menaikkan pandangan. Menatap Ayahnya takut-takut. "Kalau Ayah enggak suka, aku juga enggak suka."

Hampir jatuh air mata Aran mendengar itu. Perkiraannya benar. Mana ada anak yang tidak suka pada ibunya sendiri? Ia memeluk Ruan erat, mengesampingkan rasa sakit di sekujur tubuh akibat luka dan lebam yang didapat.

"Ayah enggak marah kalau Ruan dekat dan main sama Ibuk Guru tetangga kita. Jadi, enggak usah mikirin Ayah, ya?"

Ruan mendongak, wajahnya mendadak semringah. "Beneran, Ayah? Ayah enggak akan marahin Ibuk Auzi lagi, 'kan?"

Aran mengangguk. "Tapi, mainnya yang wajar, ya? Jangan sampai ngerepotin."

Kepala si anak naik-turun antusias. "Besok, pulang sekolah, aku pulang sama Ibuk Auzi, ya? Enggak usah ikut Ayah ngojek. Aku mau belajar baca, Yah. Tadi dimarahi Ibuk Auzi, karena belum bisa ngeja huruf di buku mewarnai."

Kembali setuju, Aran lanjut mendekap sang anak. Sekalian ia gendong dalam posisi duduk, agar Ruan kembali tidur. Di hening malam itu, ada sesuatu yang kembali mengusik pikirannya.

Sebulan bersama Ruan, kata Auzi? Kenapa? Untuk apa? Mengapa hanya sebulan? Auzi ingin apa dengan sebulan bersama Ruan?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status