Share

Bab 6

Aran menghentikan sepeda motornya di depan gerbang sekolah Ruan. Sekarang pukul sebelas, sebentar lagi anaknya itu pasti akan selesai belajar. Aran langsung menjemput setelah sebelumnya mengantarkan pelanggan di daerah dekat sana.

Menunggu beberapa menit, Aran melihat gerbang ditarik terbuka oleh satpam. Tak lama setelahnya bocah-bocah seumuran Ruan berlarian keluar dari sana. Menghampiri orang tua mereka masing-masing sembari berceloteh.

Aran mengembangkan senyum saat mendapati Ruan berjalan melewati pagar. Tak seperti anak lain, putranya itu mengayun langkah tenang saja. Sepertinya ragu apakah dijemput atau tidak.

"Ayah jemput?" tanya anak lelaki itu. Setelah ayahnya mengangguk, ia memamerkan giginya yang rapi, serupa dengan milik Aran.

"Kita beli makan dulu, baru pulang, ya?" Aran memberikan satu helm pada sang anak. Walau kebesaran, setidaknya bisa menjaga sang anak dari bahaya.

Sudah akan memutar gas, Aran tak sengaja melihat Auzi berjalan keluar dari sekolah. Perempuan itu tertatih, karena luka di lutut, oleh-oleh kecelakaan kemarin.

Lelaki itu jadi bimbang. Pulang saja, 'kan? Memang mau apa? Memberi tumpangan pada Auzi? Karena rumah mereka searah? Karena merasa bersalah sudah membuat Auzi ikut kecelakaan? Tidak.

"Ayah. Ibuk Auzi."

Aran menoleh pada sang anak yang berkedip lucu dari balik helm kebesarannya.

"Ibuk Auzi kakinya sakit. Kayaknya jatuh. Kita nggak bisa kasih boncengan, Ayah? Kasihan."

Aran melihat pada si perempuan dengan raut sinis. Ia menggeleng pada permintaan anaknya barusan. "Palingan nanti ada yang jemput. Mobil."

Mendengar ucapan ayahnya, Ruan ingin memastikan. Saat Auzi sudah dekat dengan sepeda motor yang diduki, anak itu bertanya, "Ibuk Auzi dijemput?"

Auzi melirik pada Aran. Sebentar, sebelum ia menatap ke arah lain. Perempuan itu teringat bentakan Aran saat mereka jatuh menbarak trotoar kemarin.

Si perempuan menggeleng. "Ibuk jalan aja, Ruan. Kan dekat."

Ruan menoleh ayahnya. Berkedip penuh arti ke sana.

Mengerti isyarat anaknya, Aran mendesah pelan. "Naik," katanya ada Auzi.

Perempuan itu celingukan ke kanan dan kiri, Aran mengernyitkan dahi. "Naik," ulangnya sedikit menaikkan nada.

Ruan semringah. "Naik Ibuk Auzi. Kita pulang bareng."

Auzi merasa senang sekali mendengar itu. Rasa bahagia tumpah-tumpah di hati, hanya karena ajakan pulang bersama dari anak dan suaminya. Tak menolak, perempuan itu naik.

"Pegangan Ibuk Auzi. Ayah ini jago balap!" Sepeda motor belum jalan, Ruan berteriak saat berucap. Ia terlihat sangat antusias.

Auzi memegangi ujung jaket bawah Aran. Duduk menyamping, mendengar Ruan bicara begitu, ia sedikit ketar-ketir.

"Pegangan yang benar! Aku nggak punya uang untuk ganti rugi kalau kamu jatuh." Aran sengaja memainkan gas. Membuat motornya bersuara nyaring.

Takut-takut, Auzi melingkarkan lengan di perut si lelaki. Jantungnya mulai lari-lari. Perempuan itu yakin jika Aran bisa merasai itu di punggung.

"Pegang sini, Buk!" Ruan meraih tangan Auzi. Membuat lengan gurunya itu memegangi di bahu kecilnya yang duduk di depan sang ayah. Semakin bersemangat anak itu. "Jalan, Ayah! Ini seru!"

***

"Coba tulis. Telur. Gimana tulisannya?"

Pada Ruan yang duduk di depannya, Auzi menyodorkan pensil. Mereka tengah di rumah si bocah. Sekarang pukul enam sore, sembari menunggu telur yang direbus matang, Auzi memulai les privat Ruan.

Sudah kelas dua, Ruan sama sekali tidak bisa mengeja dan membaca. Anak itu kenal huruf, walau terbata, tetapi tidak bisa menyatukan dan membuat kalimat.

Sehabis mengantar mereka pulang tadi, Aran kembali bekerja. Auzi sudah menemani Ruan sejak tadi juga. Mereka bermain di teras depan, sempat mewarnai juga. Setelah mandi, Auzi berniat mengajari anaknya itu membaca, sembari menyiapkan makan malam.

Atas perintah Auzi barusan, Ruan menggeleng pelan. "Aku nggak tahu, Buk. Aku nggak pandai tulis sama baca."

Auzi tersenyum perih. Ia mengusap kepala Ruan. "Mulai sekarang harus belajar, ya? Aku bantu. Sampai kamu bisa baca dan tulis."

Ruan mengangkat wajah. Senyumnya terbit. Ia mengangguk semangat.

Auzi pamit sebentar. Untuk menyelesaikan masakan di dapur. Usai itu, si perempuan kembali ke ruang depan. Mulai menuliskan huruf dan menyebutnya bersama-sama dengan Ruan.

"Ini huruf apa?"

Ruan menatapi tulisan di bukunya agak lama, kemudian menjawab, "Ef?"

Si ibu mengangguk senang. "Kalau ini?" Ia ukir huruf J di samping F.

"Je!"

Tepat setelah Ruan menjawab, Aran muncul di pintu. Pria itu membuka jaket dengan wajah tak senang yang terarah pada Auzi.

"Ayah, aku udah hapal huruf," adu si anak bangga.

Aran mengangguk saja. "Kalau udah siap belajar, guru kamu boleh pulang, Ruan," katanya sambil berlalu menuju dapur.

Air muka Auzi jadi kelabu mendengar itu. Masih saja Aran tak senang melihatnya berada di sekitar anak mereka. Baru saja ia hendak mengajari Ruan lagi, sosok Aran kembali masuk di pandangan.

"Siapa yang masak semua makanan di dapur, Ruan?" Dahi Aran mengernyit, hidungnya berkerut. Mata pria itu menyorot tajam pada satu-satunya perempuan di rumah mereka.

"Ibuk Auzi, Ayah. Ayah kalau udah lapar, makan aja."

Celotehan sederhana Ruan membuat amarah Aran seketika membabi-buta. Pria itu mengepalkan tangan. Napasnya mulai cepat.

"Siapa yang suruh kamu masak?" tanyanya dingin, tetapi mengancam.

Auzi tergamam. Bisa dilihatnya kemarahan di dua mata Aran.

"Siapa yang suruh kamu menyiapkan makanan untuk kami?" Gigi Aran rapat, gemeletak. Mata pria itu tampak memerah sebab terlalu lama menatap Auzi tanpa berkedip.

"A--aku cuma ma--"

"Siapa yang suruh kamu bersikap seolah kamu berhak berkeliaran di rumahku, Auzi? An*ing!"

Pintu menjadi sasaran amukan Aran. Pria itu menendangnya kuat. Setelahnya, giliran tembok yang menjadi samsak. Dua kali pukulan, Aran menoleh berang pada si pembuat onar.

"Pergi! Pergi kamu, Auzi! Kenapa kamu selalu suka bikin orang lain tersiksa, hah?! Apa semua yang kamu lakuin selama ini belum cukup? Aku muak sama kamu, Auzi! Muak!"

Aran meraih bahu Auzi. Memegang sekuat tenaga di sana, lalu berpindah menangkup dua sisi wajah perempuan itu.

"Jangan sembarangan berkeliaran di rumahku." Aran berucap penuh penekanan. Mata Auzi yang memancarkan ketakutan ia tatap lurus-lurus.

"A--aku cuma mau siapkan makanan, Aran." Air mata Auzi tumpah. "Aku nggak mau Ruan kelaparan selagi nunggu kamu." Perempuan itu terisak.

Bibir Aran gemetar, menahan diri. Dicengekeramnya wajah kecil Auzi semakin kuat. Tak peduli pada ringisan kesakitan si gadis yang berbarengan dengan isakan.

"Itu. Bukan. Urusanmu." Aran menekankan tiap kata. "Anak aku kelaparan atau enggak, itu bukan urusan kamu!" Ia berteriak tepat di depan Auzi.

"Aran." Auzi menangis. Dipegangnya dua tangan Aran yang masih menjepit wajah, seolah ingin meremukkan tulang-tulang di sana.

Aran mendekat. Memposisikan bibirnya di dekat telinga Auzi. Bisa ia rasakan tubuh perempuan itu gemetar takut. "Jangan berlagak seolah kamu itu seorang istri. Jangan bersikap selayaknya kamu ibu dari anakku."

Bisikan itu membuat Auzi merasa hancur. Hatinya remuk. Tangisanya makin parah.

"Itu cuma bikin aku makin jijik," bisik Aran lagi. "Istriku, ibu dari anakku udah enggak ada. Delapan tahun lalu, dia udah mati."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status