Share

Bab 7

"Istriku, ibu dari anakku udah enggak ada. Delapan tahun lalu, dia udah mati."

Sumpah demi apa pun, Auzi tak mampu mengenyahkan suara itu dari kepala atau telinga. Perempuan itu terus mendengar suara sarat kebencian Aran itu sepanjang malam, bahkan hingga pagi ini.

Sudah pukul tujuh pagi. Matahari sudah menampakkan diri. Harusnya Auzi sudah bersiap untuk pergi mengajar. Namun, perempuan itu masih terduduk di kasur lipat.

Matanya yang bengkak menatap kosong ke arah pintu, sedangkan air mata terus menetes. Semalam tak cukup untuk meratapi luka hati akibat ucapan Aran.

Bayangan peristiwa delapan tahun lalu muncul di ingatan. Saat Auzi tanpa belas kasihan meninggalkan Aran yang sedang menggendong Ruan. Suaminya itu berlutut, menangis memohon agar ia tak pergi. Namun, apa yang Auzi lakukan?

Kakinya tetap melangkah pergi. Bahkan telinganya seolah tuli mendengar suara tangis Aran dan Ruan hari itu.

Si gadis tersenyum perih dalam tangisnya kini. Agaknya, perasaan jijik yang kemarin Aran suarakan memang pantas diterima.

Perempuan ini merasa dirinya memang menjijikkan. Tak punya belas kasihan. Tak punya hati dan seperti yang Aran katakan, harusnya Auzi memang mati saja.

Terisak dengan dada sesak, Auzi meraih cutter yang tadi sempat diambil dari tas. Perempuan itu keluarkan mata pisau dari sarangnya. Bibirnya tersenyum nanar.

Kalau saja sekarang Aran bisa mendengar, Auzi ingin memohon maaf. Meski itu tak akan pernah bisa mengobati luka hati si lelaki. Sungguh, ia tak pernah berniat mengkhianati cinta mereka apalagi membuat anak dan suaminya terluka dan sengsara.

Auzi merasa bersalah atas apa yang terjadi pada keluarga kecilnya delapan tahun lalu. Sebab keputusan yang ia ambil, si anak terlantar, hidup susah dan Aran membencinya. Namun, meninggalkan Aran adalah satu-satunya cara yang bisa Auzi tempuh kala itu.

Menangis, Auzi mendekatkan besi tajam itu ke pergelangan tangan. Membuat goresan panjang dan dalam di sana, kemudian memejam menikmati pedih yang menjalar.

Pisau tadi jatuh dari tangan kiri Auzi. Perempuan itu merasa cairan mengalir deras dari pergelangan kanan. Ia tersenyum pedih.

Sakit ini, pedih ini, serta ketakutan yang kini dirasa, belum ada apa-apanya dengan penderitaan yang sudah ia berikan pada Aran dan Ruan.

Perlahan tubuh Auzi merasa dingin. Kelopak matanya juga mulai berat. Tangan kanan mulai kebas, ia juga lemas. Saat merasa sudah dekat dengan kematian, pintu kamarnya terbuka. Sosok lelaki yang paling Auzi rindukan muncul di sana.

Aran berdiri cukup lama dengan wajah terkejut di dekat pintu, sebelum akhirnya menghampiri Auzi. Pria itu membuat punggung Auzi bersandar ke dada.

"Kamu gila, Auzi," kata Aran seraya mengikat luka di tangan kanan Auzi dengan kain yang bisa ia temukan.

"Aran," panggil Auzi dengan suara parau.

Gadis itu ingin meronta, tetapi hanya bisa menggeliat pelan kala Aran berusaha membawanya ke dalam gendongan. Tak perlu. Aran tak perlu membawanya ke mana pun. Mati di pelukan lelaki itu adalah keberuntungan.

Mereka berpandangan, Auzi berusaha mengulas senyum di bibirnya yang mulai memucat.

"Tahumu hanya membuatku terluka dan sulit." Mengucapkan itu, Aran merapatkan gigi.

Auzi mengangguk pelan. Dipegangnya wajah Aran dengan tangan kiri.

"Aku tahu ma--maafku enggak akan cukup." Air mata Auzi jatuh semakin banyak.

"Kalau gitu, tutup mulutmu." Aran meremat helai rambut Auzi. Sorot mata pria itu berpadu antara kalut, takut dan juga amarah.

Bahu Auzi bergetar pelan. Perempuan itu tersedu. "Ru-Ruan. A--aku titip Ruan." Matanya mulai terasa berat.

Wajah manis Ruan menjadi hal terakhir yang ingin Auzi ingat. Bagaimana anaknya itu tertawa ketika ia belikan seragam baru kemarin. Itu kenangan paling indah sekaligus paling menyedihkan.

Perempuan itu menutup mata. Bersiap untuk dijemput. Auzi menyerah pada hidup. Aran sudah menganggapnya mati delapan tahun lalu. Maka mati sekarang pun sudah tak ada arti.

"Auzi!"

Sebuah kehormatan karena di detik terakhirnya, Auzi masih bisa mendengar si pujaan hati menyebut namanya.

"Auzi! Awas saja kalau kamu ingkar janji! Katamu cuma sebulan, 'kan? Kamu ingin sebulan dengan Ruan, 'kan?"

Membuka mata, Auzi merasa tubuhnya melayang dan sedikit terlonjak-lonjak. Tak sadar sedang ada di mana, perempuan itu berusaha membuka mata.

"Sebulan dengan Ruan! Sial! Doni! Doni!"

Dingin makin terasa, Auzi tak mengalah pada kantuk yang mulai tak terlawan. Ia buka kelopak mata untuk bisa melihat wajah Aran.

"Ke rumah sakit! Ke rumah sakit!"

Teriakan Aran membuat kepala Auzi semakin pusing. Saat lelaki itu menunduk dan mereka kembali bertatapan, pandangan Auzi mulai mengabur.

Semua suara mulai tidak jelas. Tubuh Auzi terasa begitu ringan. Lalu ketika ia mulai tak sanggup untuk membuka mata, sebuah suara masuk ke telinga. Disuarakan tepat di samping telinganya.

"Bertahan. Akan kukabulkan sebulanmu bersama Ruan."

***

Bajingan. Sialan. Berengsek. Dasar perempuan setan.

Semua umpatan itu Aran suarakan dalam hati. Setia memasang wajah dingin dan siap meledak, pria itu baru sampai di rumah.

Ruan sudah ke sekolah. Aran menitipkan bocah itu pada salah satu tetangga kos. Sudah lewat tengah hari, dan Aran tak melakukan pekerjaan apa pun sejak pagi, karena harus mengurusi Auzi.

Perempuan jahat itu kembali berulah. Tak puas menjungkirbalikkan dunia Aran delapan tahun lalu, hari ini ibunya Ruan itu kembali membuat Aran sulit.

Menyayat nadi? Ingin mati? Jangan salah paham. Aran tidak peduli pada nyawa Auzi sedikit pun. Asal tidak dilakukan di sini, saat Auzi berada dekat dalam jangkauan Aran.

Bagaimana bisa Aran mengabaikan? Tadi itu, ia melihat dengan mata kepala bagaimana darah menetes deras dari pergelangan kanan Auzi.

Membiarkan saja, pura-pura tidak tahu, tutup kembali pintu kamar kos Auzi, lalu pergi? Aran tak sekeji perempuan itu. Yang tega meninggalkan suami dan anak yang baru sembuh sakit, tanpa penjelasan masuk akal.

Atas dasar kemanusian, Aran menolong gurunya Ruan itu. Ia bawa ke rumah sakit dan biarkan pihak rumah sakit yang menghubungi keluarganya.

Sialan.

Rasa marah Aran masih tak mau pergi. Pria itu ingin sekali menjambak Auzi sekarang juga, karena sudah berani mencoba mati.

Merebahkan punggung ke kursi plastik, Aran menengok ke kanan. Ke rumah kos yang Auzi tempati. Embusan napasnya terasa berat.

Pikiran Aran semakin kusut saja. Dalam hati pria itu kembali memaki ibunya Aran.

Kenapa? Kenapa harus muncul lagi di hadapannya setelah delapan tahun? Kenapa tidak menghilang saja sampai selamanya?

Telanjur masuk ke pikiran, Aran mulai membuat asumsi. Jelas semua ini disengaja Auzi, kecuali tindakan bunuh diri tadi pagi.

Auzi itu anak orang kaya. Ayahnya seorang pebisnis berhasil. Kenapa Auzi memilih pindah dan tinggal di kos-kos-an murah begini?

Seniat itu Auzi untuk bertemu Ruan? Heh! Buat apa? Sudah terlambat. Aran butuh Auzi mengurusi anak mereka itu delapan tahun lalu, bukan sekarang.

"Izinkan aku menghabiskan sebulan saja bersama Ruan. Hanya sebulan."

Pertanyaan mendasar itu muncul di benak Aran lagi. Kenapa sebulan? Untuk apa Auzi begitu ingin menghabiskan 30 hari bersama anak mereka? Kenapa juga hanya sebulan? Seolah setelah sebulan berlalu, Auzi sudah tak di sini lagi.

Di tempatnya duduk, wajah Aran menegang. Sebuah asumsi muncul dan membuat pria itu gugup tanpa sebab.

Auzi hanya butuh 30 hari bersama Ruan? Hanya sebulan? Auzi hanya punya waktu sebulan, begitu? Memang apa yang mengejar perempuan itu?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Siti Sartika
torrrr kok belum up
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status