Share

Bab 3 Sakit Hati

'Arkana...'

Satu kata yang mampu diucapkan Hira dalam hati dengan mulut menganga tak percaya.

'Kenapa harus ketemu dia di sini. Ingin rasanya aku pulang dan bersembunyi di bawah bantal keropi kesayanganku,' batin Hira.

"Hira, kamu kenapa bengong?" seru Pak Reno membuyarkan lamunan Hira.

'Apakah Tuhan sedang menghukumku dengan menghadirkannya kembali di hidupku. Dia tidak tahu kalau aku memendam rasa padanya. Oh sungguh mengenaskan nasibku. Saat hati ini berusaha melupakannya dengan menerima kehadiran orang-orang yang perhatian padaku, justru tiba-tiba dia kembali mengalihkan duniaku.'

Hira masih menerawang dan sesekali mengernyitkan dahi membuat Roby yang sedari tadi fokus padanya pun heran.

"Kamu kenal Pak Ilyas, Ra?" bisik Roby di telinga kanan Hira membuatnya berjengit.

"Ah, tidak, Bi. Mana ada gadis biasa sepertiku bergaul dengan pria tampan dan kaya seperti bos baru kita," kilah Hira.

"Iya juga, Ra. Kamu gaulnya cuma sama aku, sih."

"Aww, sakit, Ra."

"Jangan bercanda, kita lagi meeting serius!" Hira melototi Roby dan mencubit lengannya karena sudah mencandainya.

Meeting sejatinya berlangsung singkat. Namun tidak bagi Hira yang berada satu ruangan dengan masa lalunya. Teman kuliahnya saat sarjana yang selalu hadir di mimpinya dan menghilang tanpa kabar justru kini hadir di depan mata. Satu jam serasa sehari, dinginnya AC yang menyengat kulit tak dirasanya. Udara sejuk pun kian panas menurutnya.

Hira ingin sekali berlari keluar ruangan secepat mungkin.

Lega terasa, Hira menghirup dengan rakus oksigen dan menyudahi pergolakan batinnya yang membuat detak jantungnya tak normal.

'Apakah Arkana masih sendiri? Ah tidak mungkin, pastilah dia sudah berkeluarga dan punya anak. Otakku kenapa berharap yang mustahil, sih,' guman Hira.

"Yuk, Ra. Kembali ke markas!" ajak Roby yang dibalas dengan acungan jempol kanan Hira.

"Eh, sebentar, Bi. Berkasku ada yang ketinggalan di dalam."

Hira melangkah balik masuk ruangan meeting dan pandangannya jatuh pada lembaran putih yang masih tergeletak di meja depan.

Dia segera menghampiri berkasnya dan berniat kembali menyusul Roby.

Belum sampai tangannya meraih berkas itu, sudah ada tangan lain yang menyambarnya.

"Apa kabar, Mahira?"

Jleb,

Hira menelan salivanya, laki-laki masa lalunya ini telah berubah. Keceriaan yang dulu ditunjukkan padanya hilang entah kemana. Kini berganti sikap dingin dan tegas. Panggilan Rara pun berganti menjadi lengkap Mahira.

"Maaf Pak Ilyas, saya permisi dulu." Hira tak mampu menguasai gugupnya. Seandainya dia bertahan dengan menjawab tanya bos barunya pastilah ketahuan sikap canggungnya.

Hira melesat jauh saat Pak Reno mendekati Ilyas.

"Kamu kenal Mahira, Yas?"

"Oh, dia karyawan di sini, Om? Sejak kapan?"

"Sudah dua tahun dia bekerja di sini. Prestasinya bagus, Om suka kinerjanya. Dari sekian karyawan dia menjadi salah satu yang teladan.

"Sepertinya Om mengenal baik gadis itu?"

"Ya begitulah, tapi dia gadis yang sulit ditaklukkan. Banyak karyawan laki-laki yang mendekatinya. Namun hanya satu yang dia percaya."

Kening Ilyas berkerut, ada setitik nyeri di hati mendengar Hira hanya percaya satu laki-laki yang mendekatinya.

"Dia masih single?" tanya Ilyas penasaran.

"Kenapa? Kamu sudah punya Harumi dan dua putri, berniat nambah lagi, huh? Om saja satu belum dapat?"

Ilyas tak mampu menahan tawanya, sedangkan Reno hanya mencebik kesal.

"Jadi, Om ku yang ganteng sedang mengincar gadis muda itu. Semangat berjuang Om."

"Kamu meledekku?"

"Ah tidak." Ilyas segera berlalu meninggalkan Om Reno sebelum kena pukul.

"Mahira Saraswati, aku pikir kamu sudah hidup bahagia bersama David laki-laki kebanggaanmu. Ternyata kamu masih setia dengan menyendiri sampai saat ini."

Deg,

Suara asing tak kasat mata menyapa telinga Hira dan memaksanya berbalik mengikuti arah datangnya.

Hembusan angin dari balkon lantai 7 kantornya menerpa wajah cantiknya yang berpoles make up sederhana.

Rambut panjangnya sebagian tergerai segera dirapikannya dengan tali rambut keropi kesukaannya.

Hira melirik was-was sekitarannya takut manakala ada karyawan memergoki interaksi keduanya.

"Eh, Pak Ilyas mau ke ruang apa? Saya siap mengantar."

Hira berusaha bersikap profesional dengan menghilangkan canggungnya.

"Kamu tidak berubah, selalu dekat dengan keropi."

Senyum terkesan sinis dari bibir Ilyas begitu jelas ditangkap netra Hira. Dia menyesal memakai tali rambut keropi yang masih melingkar di tangan kirinya.

'Astaga, dia masih ingat pernak-pernik kesukaanku. Bahkan dia membahas tentang Mas David. Duh, bagaimana caraku kabur darinya.'

Hira memutar otak cerdasnya berharap ide cemerlang itu muncul secepat kilat.

"Pak Ilyas, ada Pak Reno memanggil," tunjuk Hira ke arah belakang Ilyas hingga bos barunya itu menoleh.

Merasa dibohongi, Ilyas berdecih kesal menoleh kembali ke posisi semula. Namun Hira sudah melesat kabur darinya.

Waktu telah menandakan habis jam kerja, karyawan perusahaan komestik mulai berhamburan di parkiran.

Mobil sport mewah sudah terparkir di lobby menjemput sang empunya yang tak lain adalah bos baru mereka.

"Kamu lihat apa, Ra?"

Hira memicingkan mata fokus pada penumpang di dalam mobil.

Perempuan berjilbab dan dua anak kecil tampak berada di dalamnya.

"Eh, itu istri dan anak Pak Ilyas kayaknya," celetuk Roby.

Namun yang diajak bicara hanya mampu bergeming.

Terlalu sakit hati, rasanya menyayat di dadanya. Hira tak mampu berucap. Tenggorokannya serasa tercekat.

'Ya, Arkana sudah menikah dan punya anak,' lirihnya dalam penyesalan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status