"Eh, itu istri dan anak Pak Ilyas kayaknya," celetuk Roby.
Namun Hira yang diajak bicara hanya mampu bergeming.
Terlalu sakit hati, rasa menyayat di dadanya membuat Hira tak mampu berucap. Tenggorokannya serasa tercekat.
'Ya, Arkana sudah menikah dan punya anak,' lirihnya dalam penyesalan.
"Ayo, malah melamun!"
Tin.tin.
"Eh, Pak Reno. Maaf Pak, silakan."
Roby menyilakan bos lamanya untuk melewati jalan.
"Kalian belum pulang? Ini baru mau ambil motor, Pak."
"Udah, ikut mobil saya aja, yuk!"
"Kemana, Pak?"
Pak Reno hanya menatap sekilas karyawan cantiknya terdiam. Heran itulah yang dipikirnya, biasanya ceria dan cerewet tapi ini sebaliknya.
"Masuk aja dulu!"
Roby membukakan pintu belakang untuk Hira sedangkan dirinya di samping Pak Reno.
Hira tak menyadari dirinya berada di mobil bos lamanya. Dia tergelak dan menoleh kanan kiri.
"Astaghfirullah, Bi. Katanya pakai motor, kenapa berganti mobil mewah begini?" ucapnya polos membuat pengemudi terbahak.
"Astaga, Hira. Dari tadi kamu kemana aja. Tumben si cerewet ini jadi pendiam," ledek Pak Reno.
"Hah, Pak Reno?"
"Apa, baru nyadar?" Sang bos sudah mencebik kesal sedangkan Hira hanya mengulum senyum mengurangi rasa malu.
"Kita mau kemana, Pak?"
"Kencan."
"Jangan bercanda, Pak!"
" Saya serius."
"Mana ada kencan bertiga," dengus Hira.
"Jadi, kamu mau kita kencan berdua. Kalau begitu Roby turun sini saja."
"Ishh, Hira tega nih mau ninggalin aku."
"Terserah Pak Reno aja, deh."
Di sinilah mereka bertiga, menikmati makanan restoran berkelas yang jarang-jarang didapatkan Mahira, entah kalau Roby. Sepertinya Roby anak orang kaya yang berpura-pura jadi orang biasa agar Mahira mau berteman baik dengannya.
"Pak Reno, tadi Pak Ilyas seperti dijemput mobil berisi penumpang anak-anak dan perempuan berjilbab."
Deg,
Entah kenapa jantung Hira tiba-tiba berdegup kencang mendengar penuturan Roby.
Kecewa dirasanya yang hilang sementara, kini mencuat kembali. Dia mencoba menikmati makanan di depan mata. Namun kunyahan demi kunyahan tak mampu membuatnya menelan sempurna.
"Oh, itu anak dan istrinya Pak Ilyas."
Uhuk,uhuk.
Hira tersedak makanan yang sedari tadi susah ditelannya membuat wajahnya memerah.
"Kamu tidak apa-apa, Ra?" Roby mencoba menepuk punggung Hira dengan lembut. Namun sang empunya segera mengangkat tangan kiri menghentikan aksi Roby.
Hira tak enak hati manakala Pak Reno mematap tajam perlakuan Roby barusan padanya.
"Minumlah!" Sebuah gelas berisi air putih disodorkan Reno pada Hira yang mencoba tersenyum.
"Ngapain juga kamu tanya-tanya, Bi? Hira jadi tersedak, kan?" Reno kesal dengan kelakuan karyawannya yang membuat Hira tersedak.
"Maaf, Pak. Ini juga mewakili pertanyaan yang membuat penasaran Hira, kok."
Hira sudah melotot tajam ke arah Roby yang seenaknya menjadikan dia umpan. Meski kenyataan rasa ingin tahu Hira pun besar.
"Istrinya cantik dan sholihah. Ilyas sangat mencintainya, terlihat dari kebersamaan mereka yang terkesan harmonis," lanjut Reno. Setidaknya itu yang terlihat dari luar, entah kehidupan di dalamnya siapa yang tahu. Mereka korban perjodohan orang tua.
Reno mengedikkan bahunya, sedangkan Hira mendengarkan dengan seksama.
'Arkana dijodohkan oleh orang tuanya?'
Hira mencoba terbang ke masa lalu.
"Ra, apa rencanamu setelah lulus?" tanya Arkana sembari duduk santai di depan ruang sidang skripsi.
"Apa, ya? Kerja dulu baru nikah, kayaknya Ar," jawab Hira ragu.
"Kalau ada yang melamarmu?"
"Hah, siapa? Laki-laki yang dekat denganku hanya Mas David. Tapi nggak mungkin dia tertarik sama aku."
Ucapan Hira menyisakan raut kecewa di wajah Arkana karena hanya nama David yang ada diingatannya.
Di sisi lain Hira mencoba memancing respon Arkana mengenai ucapannya. Namun yang ditunggu tak sesuai ekspektasinya. Keduanya hanya terdiam dan mengalihkan pembicaraan.
"Ra, kenapa malah melamun?" Roby melambaikan tangan di depan Hira yang tersentak kaget bangun dari lamunannya.
"Sepertinya Pak Reno meragukan kebahagiaan Pak Ilyas," celetuk Hira tanpa memikirkan pertanyaan konyolnya.
"Sudahlah, kenapa ngurusin rumah tangga orang. Gimana kalau membahas rencana rumah tangga kita saja!"
"Apa...?" Roby dan Hira berteriak histeris bersamaan.
"Maksud Pak Reno apa?"
"Pak Reno mau mengajak Hira berumah tangga?"
"Haha, kalau Hira mau. Kalian ini memangnya tidak mau berumah tangga? Tentu saja dengan pasangan masing-masing nantinya."
"Owh..." Kedua karyawan Reno hanya ber-oh ria.
Selesai makan, mereka meninggalkan restoran untuk kembali ke kantor karena Reno ada lembur membuat laporan kinerjanya sebelum jabatannya diambil alih Ilyas.
"Kamu mau ikut ke kantor lagi atau gimana, Ra?"
"Saya turun di minimarket depan itu saja, Pak. Mau belanja bulanan, stok di kulkas sudah habis."
Reno menurunkan Hira tepat di depan minimarket kemudian melajukan mobilnya bersama Roby kembali ke kantor karena motor karyawannya masih terparkir di sana.
Saat kaki Hira melangkah, netranya tak asing dengan mobil sport hitam yang terparkir di depan minimarket.
Fix, itu mobil yang ditumpangi Pak Ilyas dan keluarganya.
Hira mengendap dan memicingkan matanya. Tampak olehnya Ilyas sedang membuka ipadnya di samping sopir.
Tak ada penumpang lain di dalamnya, pasti mereka sedang belanja.
Hira mengurungkan niatnya masuk ke minimarket.
Dia tidak siap bertemu anak istri bos barunya. Gegas Hira membalikkan badan melangkah menjauhi tempat tujuannya.
"Mahira?"
Deg.
Hira mengendap dan memicingkan matanya. Tampak olehnya Ilyas sedang membuka ipadnya di samping sopir.Tak ada penumpang lain di dalamnya, pasti mereka sedang belanja.Hira mengurungkan niatnya masuk ke minimarket.Dia tidak siap bertemu anak istri bos barunya. Gegas Hira membalikkan badan melangkah menjauhi tempat tujuannya."Mahira?"Deg.'Kenapa dia bisa tahu aku, bukannya tadi lagi fokus dengan ipadnya,' Hira ragu ingin membalikkan badannya."Mau kemana?"Langkah kaki Hira terhenti kembali dan segera membalikkan badannya. Hal yang tidak mungkin untuk dirinya melarikan diri."Ar... Eh Pak Ilyas. Maaf, Pak." Hira segera membungkukkan badan sebagai tanda permohonan maaf telah mengabaikan panggilan bos barunya."Tadinya saya mau belanja, Pak. Tetapi dompet saya sepertinya ketinggalan," kilahnya membela diri.Ilyas hanya tersenyum kilat membuat hati Hira menghangat.'Senyuman itu masih sama, meski hany
"Mahira, Rara cantik sahabatku." Rumi memeluk erat tubuh Hira yang mematung, lidahnya pun kelu tak sanggup bersuara.Gemuruh di dadanya naik satu level saat Ilyas menggendong dua malaikat yang tersenyum padanya tapi urung dibalas dengan senyuman pula."Rara, kenalkan ini Ilyas suamiku."Bak disambar petir, itulah yang dirasakan Hira saat ini.Demi apa hidupnya kali ini luluh lantak, sahabat tercintanya bersuamikan laki-laki yang sama dalam mimpinya."Benarkah," ucap Hira terbata. Susah payah dirinya menarik nafas panjang mengurangi nyeri di dadanya yang baru saja terasa.Sakit, dadanya seakan tersayat, luka yang dalam tetapi tak berdarah. Dia tidak mungkin memprotes Tuhannya atas apa yang menjadi takdirnya.Memang sudah takdir Harumi menjadi istri seorang Arkana yang namanya selalu tersimpan di hati Hira.Bodohnya Hira yang tidak terlau peduli saat Harumi mengabarinya tentang pernikahan mereka. Pernikahan hasil perjodohan orang
Rumi memegang kedua tangan suaminya untuk menyalurkan kehangatan."Dia itu memendam rasa pada teman kuliahnya, namanya Ar...,"Uhuk,uhuk,Sontak saja Ilyas terbatuk dan dahinya mengernyit, rasa gugup pun menderanya."Kenapa, Mas?""Nggak apa-apa, Nda. Lanjutkan!""Namanya Ar..., Ah siapa ya aku lupa, Mas. Ardi, Arman, Arya, atau Ar... Eh kalau Arkana nggak mungkin ya?"Jleb,Ilyas menelan salivanya, dia telah dibuat salah tingkah oleh istrinya sendiri."Enggaklah, baru juga ketemu tadi di kantor.""Mas jodohin aja kalau ada karyawan masih jomblo di kantor," pinta Rumi sambil menatap Ilyas yang makin tampan dan berwibawa memegang jabatan barunya.Diusapnya rahang tegas suaminya yang berbalas tanda sayang di keningnya."Iya iya, ada Roby masih jomblo kayaknya lagi ndeketin trus Om Reno juga.""Hah, Om Reno. Nggak terlalu tua untuk Hira, Mas? Cariin yang seumuran Mas dong!""Cinta tak mema
"Pak, Pak Ilyas," ujar Hira memperingatkan Ilyas yang semakin mendekatkan wajahnya.Aroma mint tercium oleh Hira hingga membuatnya makin gugup."Terima kasih sudah mengingat namaku, Hira," bisik Ilyas di telinga kiri Hira membuat jantungnya berpacu tak normal.Cklek."Mas Ilyas?""Rumi."Hira berteriak dan memeluk sahabatnya yang tiba-tiba masuk ke ruangan mengagetkannya. Beruntungnya Hira mampu menguasai diri dari rasa gugupnya.Sementara Ilyas jangan ditanya, bos barunya kembali duduk santai di kursi kebesarannya tanpa merasa bersalah."Kalian lagi membahas apa?"Rumi mencoba memecahkan keheningan setelah mendapati keduanya dalam tatapan dingin."Eh ini Pak Ilyas minta laporan pemasaran, Rumi.""Oh, apa laporannya sudah selesai Mas? Aku mau ngobrol sama Hira. Kangen tahu, nggak?""Sudah, Nda."Senyum tersungging di bibir Ilyas. Memancing Hira untuk meliriknya dilakukan Ilyas dengan mengucap
Deg,Jantung Ilyas tiba-tiba berdebar tetapi dia sanggup menguasai kegugupannya."Memangnya kenapa kalau satu kampus? Banyak mahasiswa yang lulus dari jurusan itu nggak cuma Hira saja, kan?""Maksud aku, Mas Ilyas tahu dong siapa laki-laki yang ada di masa lalu Rara.""Bunda nih lucu, ya banyak lah. Laki-laki yang jadi mahasiswa di jurusan pemasaran tidak sedikit. Sudahlah nggak usah membahas laki-laki masa lalu Hira. Biarkan saja dia mengenal laki-laki di masa sekarang.""Iya juga sih, Mas. Lagian aku lihat ada Om Reno yang perhatian sama dia dan juga karyawan bernama Roby. Sepertinya keduanya mencoba mendekati Hira. Semoga Hira mau mebuka hatinya.""Aamiin."Ilyas merasa lega istrinya tidak bertanya lagi tentang dirinya satu kampus dengan Hira.Pertemuannya dengan Hira tidak akan mengubah apapun. Rasa cintanya terhadap sang istri telah mengaburkan hubungan di masa lalunya dengan Hira. Hubungan tanpa status, hanya teman dekat
Muna terisak di dada bidang suaminya. Seketika dia merasa bersalah mengusulkan sesuatu yang tidak disukai suaminya.Percakapan keduanya memancing keingintahuan Hira saat melintasi pintu kamar yang sedikit terbuka."Mas David, Mbak Muna....""Hira...."Ketiganya merasa berada dalam kecanggungan."Hira. Apa benar kamu mau pindah?" David mencoba memecah keheningan."Maaf Mas David, aku mau belajar hidup mandiri. Izinkan aku tinggal di kontrakan ya!"Sebenarnya David berat membiarkan Hira seorang diri tinggal di kontrakan mengingat pengalaman pahit lalu yang membahayakan keselamatannya. Namun kali ini David dan Muna sepakat memberikan kesempatan Hira mengambil keputusannya sendiri. Lagi pula Hira akan menyewa kontrakan di dekat kantornya hanya berapa ratus meter sehingga dia tinggal berjalan kaki berangkat dan pulang kerja."Alhamdulillah Mas David dan Mbak Muna mengizinkanku. Aku akan sering-sering mengunjungi rumah ini kok."
"Maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Namun Allah berkehendak lain. Tolong keluarga dari pasien dikabari untuk mengurus jenazahnya!" ucap duka salah satu dokter yang menangani.Mahira mengangguk lemah, tak pernah dibayangkan sahabat yang ada di saat suka dan duka kini berakhir meregang nyawa oleh sebuah kecelakaan tragis.Suami dari sahabatnya, Ilyas Arkana Wijaya sedang bertarung dengan alat-alat di ruang ICU. Sementara itu, dua anak kembarnya yang cantik dan mungil hanya pingsan dan luka ringan.Dipeluknya erat dua malaikat kecil yang selalu memberikan wajah gemasnya saat Hira pertama bersua Harumi ibunya."Mas David, tolong ke RS sekarang! Hira butuh bantuan," ucapnya disela isakan yang belum reda melalui benda pipih hitam di tangannya.David segera memacu mobil bersama Muna istri yang dinikahinya setahun yang lalu.Laki-laki yang berprofesi sebagai dosen di sebuah universitas ibukota menjadi satu-satunya orang yang menyayangi Hi
"Kamu harus bertanggung jawab atas meninggalnya Rumi, Hira! Satu hal yang harus kamu ingat, aku tidak akan pernah memperlakukanmu selayaknya Rumi. Camkan itu!"Hira bersusah payah menelan salivanya. Dia harus menelan pil pahit perlakuan laki-laki yang sudah resmi menjadi suaminya beberapa jam yang lalu.Kehidupan pernikahan yang akan dijalaninya siap dimulai, bendera perang sudah dikibarkan baru saja oleh sang suami.Malam panjang dilalui Hira dengan melamun dalam keheningan. Tidak ada pembicaraan lebih lanjut setelah kalimat terakhir peringatan Ilyas.Meskipun tidur satu kamar, mereka seperti memiliki dunia sendiri-sendiri. Ilyas sudah berbaring di ranjang dengan deru nafas normal, artinya dia sudah tidur pikir Hira.Langit malam pun tak nampak berhiaskan bulan dan bintang. Hira memikirkan nasib pernikahannya entah mau dibawa ke mana."Rumi, kenapa kamu pergi begitu cepat? Saat aku melihat kebahagiaan ada padamu ternyata Allah lebih menyaya