Hira mengendap dan memicingkan matanya. Tampak olehnya Ilyas sedang membuka ipadnya di samping sopir.
Tak ada penumpang lain di dalamnya, pasti mereka sedang belanja.
Hira mengurungkan niatnya masuk ke minimarket.
Dia tidak siap bertemu anak istri bos barunya. Gegas Hira membalikkan badan melangkah menjauhi tempat tujuannya.
"Mahira?"
Deg.
'Kenapa dia bisa tahu aku, bukannya tadi lagi fokus dengan ipadnya,' Hira ragu ingin membalikkan badannya.
"Mau kemana?"
Langkah kaki Hira terhenti kembali dan segera membalikkan badannya. Hal yang tidak mungkin untuk dirinya melarikan diri.
"Ar... Eh Pak Ilyas. Maaf, Pak." Hira segera membungkukkan badan sebagai tanda permohonan maaf telah mengabaikan panggilan bos barunya.
"Tadinya saya mau belanja, Pak. Tetapi dompet saya sepertinya ketinggalan," kilahnya membela diri.
Ilyas hanya tersenyum kilat membuat hati Hira menghangat.
'Senyuman itu masih sama, meski hanya sekilas tapi aku bisa merasakan hadirnya. Ups, kenapa mimpiku melambung tinggi,' umpat Hira pada dirinya sendiri.
"Capuccino tiga cup, Mbak! Yang satu cup tolong antarkan ke sopir saya!" seru Ilyas pada penjual minuman di depan mini market.
Dua cup cappucino menemani Hira bercengkerama dengan Ilyas di kursi yang tersedia di depan mini market.
"Terima kasih, Pak."
"Sama-sama," balas Ilyas singkat, padat dan kali ini tanpa senyuman.
"Kamu kemana saja selama ini? Kenapa bisa bekerja di perusahaan keluargaku?"
Hira bisa menangkap mimik penasaran laki-laki di depannya. Wajah teduhnya masih sama, menarik di pandang karena pesona ketampanannya tak berubah. Hira justru melihat Ilyas semakin dewasa, tegas, dan berwibawa. Namun satu kekurangannya, senyum ceria yang dulu terpancar sedikit berkurang entah kenapa Hira tidak tahu itu.
"Aku ikut Mas David ke Jakarta dan diterima kerja di perusahaan yang dipimpin Pak Reno waktu itu."
Wajah Ilyas semakin redup ditangkap indra penglihatan Hira.
'Apa aku salah berucap hingga membuat Pak Ilyas semakin dingin, ya?' guman Hira heran.
"Kamu dan Mas David...?"
Hira segera memotong ucapan Ilyas setelah tahu arah pembicaraan mereka.
"Mas David tinggal bersama Mbak Muna istrinya. Aku hanya menumpang sementara di sana sampai aku bisa mendapatkan tempat tinggal sendiri."
Hira berucap lirih sembari menunduk. Dua tahun tinggal bersama David dan Muna hanyalah keterpaksaan. Dia sedang mengumpulkan uang untuk membeli rumah atau menyewa apartemen.
Pernah sekali Hira tinggal di kontrakan tetapi ujungnya keselamatan dirinya yang tidak dapat terjamin. Alhasil David memaksanya kembali tinggal sementara di rumahnya bersama Muna.
Tak jarang dia mendapat teguran sinis dari ibunda Muna. Tidak baik perempuan yang bukan mahram tinggal bersama ditengah-tengah keluarga kecil yang memang belum dikaruniai anak.
Apalagi ibu mertua David adalah donatur panti asuhan tempat Hira dibesarkan.
"Mas David kerja di mana?" lanjut Ilyas bak petugas yang sedang menginterogasi tersangka.
Mengulik kehidupan Hira merupakan kesenangan tersendiri bagi Ilyas yang terbentang jarak dan waktu sesaat setelah mereka lulus kuliah.
"Mas David mengajar di universitas di kota Jakarta."
"Oya, istri Pak Ilyas orang mana?" Hira menata hatinya memberanikan diri bertanya dengan nada terbata. Tenggorokannya sungguh tidak lega melontarkan kalimat tanya itu.
"Aku menikah dengan orang ...,"
Drrt,drrt
"Maaf, Pak. Saya angkat panggilan dulu."
Ilyas mengangguk sambil meneruskan menyesap cappucinonya yang tersisa setengah.
Dipandangnya langit sore yang sebentar lagi menampakkan senja.
Hatinya entah bagaimana dirasa. Dia sadar sudah memiliki kebahagiaannya tersendiri dengan keluarga kecilnya. Sempat terbesit simpati pada teman lama yang pernah mengisi hari-harinya semasa kuliah.
'Andai saja...,' Ilyas segera memutus pikiran buruknya sesaat, hal yang tak seharusnya dilamunkannya.
"Rumi memangnya kamu di mana? Aku lagi belanja di minimarket dekat kantor. Mau ketemuan sekarang atau besok juga nggak apa-apa?" teriak Hira. Ilyas menangkap seru sekali obrolannya.
"Eh, aku juga lagi di mini market sama anak-anak. Tapi mini market yang sama atau tidak ya?"
Hira menoleh arah pintu masuk mini market menampilkan sosok wanita cantik berjilbab menjuntai di depan dada menggandeng dua malaikat cantik serta meneteng tas kresek di sebelah tangan kanan.
Sepertinya kerepotan sekali tapi Hira tak mampu melangkah karena masih menatap kagum sahabatnya sejak SD hingga SMA yang terihat makin cantik.
Hira justru terkesan dengan Ilyas yang tanpa diminta langsung meraih tas kresek belanjaan.
'Tapi tunggu, kenapa Ilyas membantu Rumi. Apakah aku hanya salah lihat?'
Seketika pikiran Hira berkecamuk. Dunia seakan runtuh bersamaan dengan turunnya hujan.
Semesta seakan turut berduka dengan nasib yang dialaminya. Sahabat karibnya, sahabat suka dukanya ternyata....
Hira tak mampu membayangkan lebih jauh karena bisa dipastikan sebentar lagi air matanya pun akan tumpah.
"Mahira, Rara cantik sahabatku." Rumi memeluk erat tubuh Hira yang mematung, lidahnya pun kelu tak sanggup bersuara.
Gemuruh di dadanya naik satu level saat Ilyas menggendong dua malaikat yang tersenyum padanya tapi urung dibalas dengan senyuman pula.
"Rara, kenalkan ini Ilyas suamiku."
"Mahira, Rara cantik sahabatku." Rumi memeluk erat tubuh Hira yang mematung, lidahnya pun kelu tak sanggup bersuara.Gemuruh di dadanya naik satu level saat Ilyas menggendong dua malaikat yang tersenyum padanya tapi urung dibalas dengan senyuman pula."Rara, kenalkan ini Ilyas suamiku."Bak disambar petir, itulah yang dirasakan Hira saat ini.Demi apa hidupnya kali ini luluh lantak, sahabat tercintanya bersuamikan laki-laki yang sama dalam mimpinya."Benarkah," ucap Hira terbata. Susah payah dirinya menarik nafas panjang mengurangi nyeri di dadanya yang baru saja terasa.Sakit, dadanya seakan tersayat, luka yang dalam tetapi tak berdarah. Dia tidak mungkin memprotes Tuhannya atas apa yang menjadi takdirnya.Memang sudah takdir Harumi menjadi istri seorang Arkana yang namanya selalu tersimpan di hati Hira.Bodohnya Hira yang tidak terlau peduli saat Harumi mengabarinya tentang pernikahan mereka. Pernikahan hasil perjodohan orang
Rumi memegang kedua tangan suaminya untuk menyalurkan kehangatan."Dia itu memendam rasa pada teman kuliahnya, namanya Ar...,"Uhuk,uhuk,Sontak saja Ilyas terbatuk dan dahinya mengernyit, rasa gugup pun menderanya."Kenapa, Mas?""Nggak apa-apa, Nda. Lanjutkan!""Namanya Ar..., Ah siapa ya aku lupa, Mas. Ardi, Arman, Arya, atau Ar... Eh kalau Arkana nggak mungkin ya?"Jleb,Ilyas menelan salivanya, dia telah dibuat salah tingkah oleh istrinya sendiri."Enggaklah, baru juga ketemu tadi di kantor.""Mas jodohin aja kalau ada karyawan masih jomblo di kantor," pinta Rumi sambil menatap Ilyas yang makin tampan dan berwibawa memegang jabatan barunya.Diusapnya rahang tegas suaminya yang berbalas tanda sayang di keningnya."Iya iya, ada Roby masih jomblo kayaknya lagi ndeketin trus Om Reno juga.""Hah, Om Reno. Nggak terlalu tua untuk Hira, Mas? Cariin yang seumuran Mas dong!""Cinta tak mema
"Pak, Pak Ilyas," ujar Hira memperingatkan Ilyas yang semakin mendekatkan wajahnya.Aroma mint tercium oleh Hira hingga membuatnya makin gugup."Terima kasih sudah mengingat namaku, Hira," bisik Ilyas di telinga kiri Hira membuat jantungnya berpacu tak normal.Cklek."Mas Ilyas?""Rumi."Hira berteriak dan memeluk sahabatnya yang tiba-tiba masuk ke ruangan mengagetkannya. Beruntungnya Hira mampu menguasai diri dari rasa gugupnya.Sementara Ilyas jangan ditanya, bos barunya kembali duduk santai di kursi kebesarannya tanpa merasa bersalah."Kalian lagi membahas apa?"Rumi mencoba memecahkan keheningan setelah mendapati keduanya dalam tatapan dingin."Eh ini Pak Ilyas minta laporan pemasaran, Rumi.""Oh, apa laporannya sudah selesai Mas? Aku mau ngobrol sama Hira. Kangen tahu, nggak?""Sudah, Nda."Senyum tersungging di bibir Ilyas. Memancing Hira untuk meliriknya dilakukan Ilyas dengan mengucap
Deg,Jantung Ilyas tiba-tiba berdebar tetapi dia sanggup menguasai kegugupannya."Memangnya kenapa kalau satu kampus? Banyak mahasiswa yang lulus dari jurusan itu nggak cuma Hira saja, kan?""Maksud aku, Mas Ilyas tahu dong siapa laki-laki yang ada di masa lalu Rara.""Bunda nih lucu, ya banyak lah. Laki-laki yang jadi mahasiswa di jurusan pemasaran tidak sedikit. Sudahlah nggak usah membahas laki-laki masa lalu Hira. Biarkan saja dia mengenal laki-laki di masa sekarang.""Iya juga sih, Mas. Lagian aku lihat ada Om Reno yang perhatian sama dia dan juga karyawan bernama Roby. Sepertinya keduanya mencoba mendekati Hira. Semoga Hira mau mebuka hatinya.""Aamiin."Ilyas merasa lega istrinya tidak bertanya lagi tentang dirinya satu kampus dengan Hira.Pertemuannya dengan Hira tidak akan mengubah apapun. Rasa cintanya terhadap sang istri telah mengaburkan hubungan di masa lalunya dengan Hira. Hubungan tanpa status, hanya teman dekat
Muna terisak di dada bidang suaminya. Seketika dia merasa bersalah mengusulkan sesuatu yang tidak disukai suaminya.Percakapan keduanya memancing keingintahuan Hira saat melintasi pintu kamar yang sedikit terbuka."Mas David, Mbak Muna....""Hira...."Ketiganya merasa berada dalam kecanggungan."Hira. Apa benar kamu mau pindah?" David mencoba memecah keheningan."Maaf Mas David, aku mau belajar hidup mandiri. Izinkan aku tinggal di kontrakan ya!"Sebenarnya David berat membiarkan Hira seorang diri tinggal di kontrakan mengingat pengalaman pahit lalu yang membahayakan keselamatannya. Namun kali ini David dan Muna sepakat memberikan kesempatan Hira mengambil keputusannya sendiri. Lagi pula Hira akan menyewa kontrakan di dekat kantornya hanya berapa ratus meter sehingga dia tinggal berjalan kaki berangkat dan pulang kerja."Alhamdulillah Mas David dan Mbak Muna mengizinkanku. Aku akan sering-sering mengunjungi rumah ini kok."
"Maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Namun Allah berkehendak lain. Tolong keluarga dari pasien dikabari untuk mengurus jenazahnya!" ucap duka salah satu dokter yang menangani.Mahira mengangguk lemah, tak pernah dibayangkan sahabat yang ada di saat suka dan duka kini berakhir meregang nyawa oleh sebuah kecelakaan tragis.Suami dari sahabatnya, Ilyas Arkana Wijaya sedang bertarung dengan alat-alat di ruang ICU. Sementara itu, dua anak kembarnya yang cantik dan mungil hanya pingsan dan luka ringan.Dipeluknya erat dua malaikat kecil yang selalu memberikan wajah gemasnya saat Hira pertama bersua Harumi ibunya."Mas David, tolong ke RS sekarang! Hira butuh bantuan," ucapnya disela isakan yang belum reda melalui benda pipih hitam di tangannya.David segera memacu mobil bersama Muna istri yang dinikahinya setahun yang lalu.Laki-laki yang berprofesi sebagai dosen di sebuah universitas ibukota menjadi satu-satunya orang yang menyayangi Hi
"Kamu harus bertanggung jawab atas meninggalnya Rumi, Hira! Satu hal yang harus kamu ingat, aku tidak akan pernah memperlakukanmu selayaknya Rumi. Camkan itu!"Hira bersusah payah menelan salivanya. Dia harus menelan pil pahit perlakuan laki-laki yang sudah resmi menjadi suaminya beberapa jam yang lalu.Kehidupan pernikahan yang akan dijalaninya siap dimulai, bendera perang sudah dikibarkan baru saja oleh sang suami.Malam panjang dilalui Hira dengan melamun dalam keheningan. Tidak ada pembicaraan lebih lanjut setelah kalimat terakhir peringatan Ilyas.Meskipun tidur satu kamar, mereka seperti memiliki dunia sendiri-sendiri. Ilyas sudah berbaring di ranjang dengan deru nafas normal, artinya dia sudah tidur pikir Hira.Langit malam pun tak nampak berhiaskan bulan dan bintang. Hira memikirkan nasib pernikahannya entah mau dibawa ke mana."Rumi, kenapa kamu pergi begitu cepat? Saat aku melihat kebahagiaan ada padamu ternyata Allah lebih menyaya
Sepasang mata menatap tak berkedip dari arah teras kontrakannya.Laki-laki yang berpakaian rapi seperti biasa menghadirkan senyuman untuk Hira kini menatapnya heran.Mau melangkah balik bukanlah solusi untuk Hira karena batang hidungnya sudah kelihatan oleh laki-laki itu.Dia segera memutar otak mencari alasan tepat.'Duh gimana caranya beralasan? Dia satu-satunya orang yang sulit dibohongi.'"Dari mana Hira?""Eh, Roby sepagi ini sudah di sini?""Aku tanya kamu dari mana, kenapa justru tanya balik?"Hira jadi malu sendiri, tidak menjawab justru terburu membuka pintu. Namun Roby tetap tinggal dan duduk di luar.Sudah kebiasaan Hira menerima tamu di luar rumah. Dia tidak mau terkena gosip tak sedap di lingkungan kontrakannya.Apalagi status Hira sekarang sudah mempunyai suami. Tidak mungkin baginya menerima tamu laki-laki di dalam rumah saat tidak ada suaminya.Roby meletakkan bungkusan di meja yang di