Share

Bab 5 Suamiku

Hira mengendap dan memicingkan matanya. Tampak olehnya Ilyas sedang membuka ipadnya di samping sopir.

Tak ada penumpang lain di dalamnya, pasti mereka sedang belanja.

Hira mengurungkan niatnya masuk ke minimarket.

Dia tidak siap bertemu anak istri bos barunya. Gegas Hira membalikkan badan melangkah menjauhi tempat tujuannya.

"Mahira?"

Deg.

'Kenapa dia bisa tahu aku, bukannya tadi lagi fokus dengan ipadnya,' Hira ragu ingin membalikkan badannya.

"Mau kemana?"

Langkah kaki Hira terhenti kembali dan segera membalikkan badannya. Hal yang tidak mungkin untuk dirinya melarikan diri.

"Ar... Eh Pak Ilyas. Maaf, Pak." Hira segera membungkukkan badan sebagai tanda permohonan maaf telah mengabaikan panggilan bos barunya.

"Tadinya saya mau belanja, Pak. Tetapi dompet saya sepertinya ketinggalan," kilahnya membela diri.

Ilyas hanya tersenyum kilat membuat hati Hira menghangat.

'Senyuman itu masih sama, meski hanya sekilas tapi aku bisa merasakan hadirnya. Ups, kenapa mimpiku melambung tinggi,' umpat Hira pada dirinya sendiri.

"Capuccino tiga cup, Mbak! Yang satu cup tolong antarkan ke sopir saya!" seru Ilyas pada penjual minuman di depan mini market.

Dua cup cappucino menemani Hira bercengkerama dengan Ilyas di kursi yang tersedia di depan mini market.

"Terima kasih, Pak."

"Sama-sama," balas Ilyas singkat, padat dan kali ini tanpa senyuman.

"Kamu kemana saja selama ini? Kenapa bisa bekerja di perusahaan keluargaku?"

Hira bisa menangkap mimik penasaran laki-laki di depannya. Wajah teduhnya masih sama, menarik di pandang karena pesona ketampanannya tak berubah. Hira justru melihat Ilyas semakin dewasa, tegas, dan berwibawa. Namun satu kekurangannya, senyum ceria yang dulu terpancar sedikit berkurang entah kenapa Hira tidak tahu itu.

"Aku ikut Mas David ke Jakarta dan diterima kerja di perusahaan yang dipimpin Pak Reno waktu itu."

Wajah Ilyas semakin redup ditangkap indra penglihatan Hira.

'Apa aku salah berucap hingga membuat Pak Ilyas semakin dingin, ya?' guman Hira heran.

"Kamu dan Mas David...?"

Hira segera memotong ucapan Ilyas setelah tahu arah pembicaraan mereka.

"Mas David tinggal bersama Mbak Muna istrinya. Aku hanya menumpang sementara di sana sampai aku bisa mendapatkan tempat tinggal sendiri."

Hira berucap lirih sembari menunduk. Dua tahun tinggal bersama David dan Muna hanyalah keterpaksaan. Dia sedang mengumpulkan uang untuk membeli rumah atau menyewa apartemen.

Pernah sekali Hira tinggal di kontrakan tetapi ujungnya keselamatan dirinya yang tidak dapat terjamin. Alhasil David memaksanya kembali tinggal sementara di rumahnya bersama Muna.

Tak jarang dia mendapat teguran sinis dari ibunda Muna. Tidak baik perempuan yang bukan mahram tinggal bersama ditengah-tengah keluarga kecil yang memang belum dikaruniai anak.

Apalagi ibu mertua David adalah donatur panti asuhan tempat Hira dibesarkan.

"Mas David kerja di mana?" lanjut Ilyas bak petugas yang sedang menginterogasi tersangka.

Mengulik kehidupan Hira merupakan kesenangan tersendiri bagi Ilyas yang terbentang jarak dan waktu sesaat setelah mereka lulus kuliah.

"Mas David mengajar di universitas di kota Jakarta."

"Oya, istri Pak Ilyas orang mana?" Hira menata hatinya memberanikan diri bertanya dengan nada terbata. Tenggorokannya sungguh tidak lega melontarkan kalimat tanya itu.

"Aku menikah dengan orang ...,"

Drrt,drrt

"Maaf, Pak. Saya angkat panggilan dulu."

Ilyas mengangguk sambil meneruskan menyesap cappucinonya yang tersisa setengah.

Dipandangnya langit sore yang sebentar lagi menampakkan senja.

Hatinya entah bagaimana dirasa. Dia sadar sudah memiliki kebahagiaannya tersendiri dengan keluarga kecilnya. Sempat terbesit simpati pada teman lama yang pernah mengisi hari-harinya semasa kuliah.

'Andai saja...,' Ilyas segera memutus pikiran buruknya sesaat, hal yang tak seharusnya dilamunkannya.

"Rumi memangnya kamu di mana? Aku lagi belanja di minimarket dekat kantor. Mau ketemuan sekarang atau besok juga nggak apa-apa?" teriak Hira. Ilyas menangkap seru sekali obrolannya.

"Eh, aku juga lagi di mini market sama anak-anak. Tapi mini market yang sama atau tidak ya?"

Hira menoleh arah pintu masuk mini market menampilkan sosok wanita cantik berjilbab menjuntai di depan dada menggandeng dua malaikat cantik serta meneteng tas kresek di sebelah tangan kanan.

Sepertinya kerepotan sekali tapi Hira tak mampu melangkah karena masih menatap kagum sahabatnya sejak SD hingga SMA yang terihat makin cantik.

Hira justru terkesan dengan Ilyas yang tanpa diminta langsung meraih tas kresek belanjaan.

'Tapi tunggu, kenapa Ilyas membantu Rumi. Apakah aku hanya salah lihat?'

Seketika pikiran Hira berkecamuk. Dunia seakan runtuh bersamaan dengan turunnya hujan.

Semesta seakan turut berduka dengan nasib yang dialaminya. Sahabat karibnya, sahabat suka dukanya ternyata....

Hira tak mampu membayangkan lebih jauh karena bisa dipastikan sebentar lagi air matanya pun akan tumpah.

"Mahira, Rara cantik sahabatku." Rumi memeluk erat tubuh Hira yang mematung, lidahnya pun kelu tak sanggup bersuara.

Gemuruh di dadanya naik satu level saat Ilyas menggendong dua malaikat yang tersenyum padanya tapi urung dibalas dengan senyuman pula.

"Rara, kenalkan ini Ilyas suamiku."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status