Share

Bab 7 Ketahuan

Rumi memegang kedua tangan suaminya untuk menyalurkan kehangatan.

"Dia itu memendam rasa pada teman kuliahnya, namanya Ar...,"

Uhuk,uhuk,

Sontak saja Ilyas terbatuk dan dahinya mengernyit, rasa gugup pun menderanya.

"Kenapa, Mas?"

"Nggak apa-apa, Nda. Lanjutkan!"

"Namanya Ar..., Ah siapa ya aku lupa, Mas. Ardi, Arman, Arya, atau Ar... Eh kalau Arkana nggak mungkin ya?"

Jleb,

Ilyas menelan salivanya, dia telah dibuat salah tingkah oleh istrinya sendiri.

"Enggaklah, baru juga ketemu tadi di kantor."

"Mas jodohin aja kalau ada karyawan masih jomblo di kantor," pinta Rumi sambil menatap Ilyas yang makin tampan dan berwibawa memegang jabatan barunya.

Diusapnya rahang tegas suaminya yang berbalas tanda sayang di keningnya.

"Iya iya, ada Roby masih jomblo kayaknya lagi ndeketin trus Om Reno juga."

"Hah, Om Reno. Nggak terlalu tua untuk Hira, Mas? Cariin yang seumuran Mas dong!"

"Cinta tak memandang usia, Nda. Jodoh Allah yang atur, kita hanya wajib berusaha, kan? Setelahnya ya tawakal pada-Nya."

"Iya iya."

***

Mentari pagi menyapa hari dengan sinar terangnya. Namun cerahnya hari tak secerah hati Hira. Langkah kakinya menginjak kantor semakin membuat jantungnya berdetak tak normal.

Entah kenapa Hira merasa semakin canggung bertemu dengan bos barunya.

"Pagi, Ra. Tumben kusut gitu mukanya?" ledek Roby di pelataran parkiran. Mereka berdua berjalan bersisihan menuju lobby kantor.

Hira pun menjawab singkat salam dari Roby.

"Belum sarapan?"

Hira hanya meringis.

Seperti biasa dia memang karyawan yang  disiplin dalam pekerjaan tetapi tidak untuk sarapan.

Roby menyahut lengan Hira yang mengenakan kemeja dilengkapi blazer navy dan rok selutut.

"Mau kemana, Bi?"

"Ke kantin."

Mereka berdua berbalik arah menuju kantin. Saat melewati lobby kembali, mereka berpapasan dengan bos baru.

Hira berusaha menetralkan detak jantungnya. Beberapa kali dia menghirup oksigen di sekitarnya.

"Selamat pagi, Pak Ilyas!"

Roby menyapa sambil membungkukkan badan. Dia menyenggol lengan Hira yang tidak mengikuti perlakuan hormatnya pada bos baru. Hira justru melamun saat memandang Ilyas seperti terhipnotis oleh pesona laki-laki itu.

"Hai, Ra. Awas, jangan sampai terpesona. Pak Ilyas sudah beristri."

Hira memukul lengan Roby karena bicara sembarangan. Kalau sampai karyawan lain mendengar bisa jadi bahan gosip sekantor.

Hira melewati sarapan berdua bersama Roby.

Tindakannya tak luput dari jangkauan netra Ilyas yang mengamati mereka sejak pertemuan di lobby.

"Jeni, tolong panggil kepala divisi pemasaran!"

"Baik, Pak."

Jeni sekretaris Reno selama 5 tahun kini masih setia dengan posisinya meski berganti pimpinan.

Memasuki ruang divisi pemasaran, Jeni menyapa karyawan dan memanggil nama Mahira.

"Ada apa, Bu?"

Gegas Hira melangkahkan kaki mendekati sekretaris yang berusia kepala 3.

"Kamu diminta menghadap Pak Ilyas. Jangan lupa bawa laporan dua bulan ini, ya!"

Melangkahkan kaki menuju ruang yang biasa dikunjunginya saat ditempati Pak Reno, Hira mendadak berhenti.

Dihelanya nafas panjang untuk menetralkan debaran jantungnya.

'Dulu rasanya tak seperti ini, kenapa semua jadi rumit,' batin Hira mengusap wajahnya kasar.

Tok tok,

"Masuk!"

Debaran itu kian meningkat, dinginnya AC tak mampu dirasakan Hira. Suasana ruangan mendadak terasa panas.

Tidak seperti biasa saat Reno menjabat bos, Hira kini tak berani menatap Ilyas bos barunya. Dia hanya menunduk dan sesekali mencuri pandang.

"Ini Pak, laporan pemasarannya. Bulan ini meningkat 20 persen dari bulan lalu."

"Bagus, Mahira. Lalu saran apa yang kamu usulkan untuk progres berikutnya?"

Hira melirik sekilas pada Ilyas yang menatapnya intens. Menunduk kembali adalah satu-satunya cara mengurangi kecanggungannya. Dia berusaha mempertahankan sikap profesionalnya. Hira tak mau terbawa perasaan di depan laki-laki masa lalunya.

"Tim marketing akan menambah konten kreatif untuk media sosial karena menurut analisa kami salah satu faktor peningkatannya di media sosial, Pak."

"Kinerja yang bagus. Saya tunggu laporannya  bulan depan."

"Siap, Pak."

Hira membungkukkan badan tanda pamit lalu berbalik menuju pintu keluar.

"Tunggu!"

Suara denting sepatu makin mendekat dimana posisi Hira masih membelakangi Ilyas.

Deg,

'Kenapa perasaanku tak enak, ada apa lagi bos memanggilku?' guman Hira dalam hati.

"Mahira, kamu tidak sedang berpura-pura lupa, bukan?"

Hira mencoba tenang dan berbalik menghadap bosnya.

"Maksud Pak ilyas apa?" Hira mengernyitkan dahinya.

"Hmm, kamu Mahira Saraswati teman kuliahku, kan? Aku ingin tanya satu hal, apa kamu ingat teman kita yang nama depannya pakai Ar...?"

Hira tampak berpikir terlihat dari arah bola matanya ke atas. Sejujurnya dia heran dengan pertanyaan bosnya.

'Kemana arah pertanyaannya, apa dia mau memojokkanku?'

"Eh, iya. Ada Arya kelas marketing A, Ardi kelas penjualan, dan Arman kelas marketing B, Pak."

"Maksudku teman yang sekelas dengan kita, Hira."

Ilyas melangkah makin dekat mengikis jaraknya dengan posisi berdiri Hira yang semakin canggung dibuatnya.

"Hmm, kelas kita ada Ar..., Arkana," ucap Hira terbata seakan tenggorokannya tercekat lalu membuang mukanya ke samping. Dia tidak mau Ilyas melihat wajahnya yang sudah seperti kepiting rebus.

Senyum tersungging tercipta di bibir Ilyas yang sukses mengerjai Mahira.

"Pak, Pak Ilyas," ujar Hira memperingatkan Ilyas yang semakin mendekatkan wajahnya.

Aroma mint tercium oleh Hira hingga membuatnya makin gugup.

"Terima kasih sudah mengingat namaku, Hira," bisik Ilyas di telinga kiri Hira membuat jantungnya berpacu tak normal.

Cklek.

"Mas Ilyas?"

"Rumi."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status