Mobil melaju dengan kecepatan sedang seperti yang biasanya Suryawijaya lakukan untuk tetap membuat adiknya nyaman. Namun sambil menyetir, benaknya mengingat, ada tiga aturan yang ditanamkan oleh ibunya jika berada di luar rumah bersama Nawangsih :
1. Jangan bermesraan.2. Menjadi kakak sejati.3. Jangan ke tempat sepi.Hari ini, Suryawijaya melanggar aturan nomer tiga. Dia membawa Nawangsih ke tempat sepi dan angker di malam hari."Ini seru banget, Mas."Nawangsih memutar tubuhnya di bawah pohon rindang, senyumnya terus merekah ketika Suryawijaya membawanya ke taman Kaliurang."Terima kasih, Mas Surya." ucap Nawangsih tulus. Suryawijaya mengangguk, mematik korek api seraya mengisap rokoknya dalam-dalam."Cari tempat, Tania.""Ya." Nawangsih menatap sekeliling. Dan, tanpa banyak kata, mereka berkeliling di bawah rindangnya pepohonan dan sejuknya udara diiringi suara monyet-monyet liar."Berhentilah merokok, Mas. Kamu merusak udara di sini. Sayang tau oksigen murni harus dibarengi dengan asap rokok. Ish..." Nawangsih mengomel sambil mengibaskan tangannya di depan wajah.Suryawijaya refleks membuang rokoknya dengan raut wajah kesal."Ini kenikmatan, Nawang." gerutunya dalam hati seraya duduk di atas bebatuan.Suryawijaya mengeluarkan ponselnya, mencari fitur kamera."Berdirilah di depan air terjun, Nawang. Biar jadi bukti bahwa aku sudah mengajakmu jalan-jalan!"Nawangsih menggeleng cepat, dia menunjuk seekor monyet ekor panjang bertubuh gemuk yang sedang minum di tepi kolam."Tidak berani?" tukas Suryawijaya seraya menepuk batu di sebelahnya. "Duduklah, berikan aku minum yang kamu beli tadi.""Itu lebih baik." Nawangsih meringis dan mendaratkan tubuh di sampingnya sebelum mengeluarkan kantong plastik berisi makanan dan minuman dari dalam tas ranselnya."Mas, apa Ayahanda tidak marah kita pergi berdua?" tanya Nawangsih seraya memberikan botol air mineral untuk Suryawijaya.Suryawijaya meneguknya beberapa kali seraya menggeleng. "Aku juga tidak tahu pasti. Tapi kalaupun Ayahanda marah, aku akan berkata jalan-jalan untuk melihat-lihat monyet. Tidak aneh-aneh, masih menjaga kesopanan dan melakukannya atas titah Ibunda.”Suryawijaya tersenyum. Tapi apakah Kaysan bisa menerima alasan itu? Mengingat belakang ini cukup banyak masalah yang terjadi. Termasuk ketegangan di antara mereka berdua yang belum ada jalan keluarnya.Nawangsih mendesah lelah. "Aku cuma takut Ayahanda dan Mas Surya berdebat lagi." ucapnya sembari membuka keripik, dan kunyahan itu terdengar menggiurkan bagi monyet-monyet liar hingga membuat Nawangsih panik ketika satu persatu monyet-monyet liar itu mendatanginya dengan lincah."Mas Surya." Nawangsih merapatkan tubuhnya di samping Suryawijaya. "Mas..., tolong di usir mereka." katanya panik dan menaruh keripiknya sejauh mungkin dari jangkauan monyet.Suryawijaya tertawa, hanya pada gadis itu dia bisa mengubah sifatnya dari sekaku balok kayu menjadi selunak tahu sutra."Monyet-monyet di sini memang sudah biasa mendapatkan makanan dari wisatawan, Nawangsih. Beberapa kasus yang pernah terjadi mereka juga mengambil dagangan di warung warga. Tidak bagus. Tapi sudah kebiasaan." Suryawijaya meraih kantong plastik yang diulurkan Nawangsih."Ayo pulang saja." Nawangsih meminta."Sebentar." Laki-laki itu mengulur waktu dengan menghamburkan keripiknya ke tanah untuk monyet-monyet liar yang semakin lama semakin banyak."Biar kita tidak di kejar."Nawangsih merinding, jemarinya menarik-narik ujung kemeja Suryawijaya agar menghentikan kegiatannya."Mas, ayo." pintanya risau dan Nawangsih nyaris menangis ketika seekor monyet bergeming di sampingnya sambil mengunyah.Suryawijaya meringis. "Astaga, Tania! Mereka tidak menggigit." ucapnya seraya menatap manik mata berair itu. "Kamu cengeng, Nia."Nawangsih mengusap matanya. "Orang takut kok gak boleh nangis! Itu wajar, Mas! Lagian, Mas dulu juga pernah nangis waktu sunat."Suryawijaya mendelik. Sungguh kacau bila gadis ini terus membicarakan masa kecilnya. Lebih-lebih dia malu, sunat kok dibicarakan lagi ketika mereka sudah dewasa, frekuensinya jelas sudah beda. Fungsinya apalagi.Jangan konyol, Nia."Ya sudah ayo pulang, sebentar lagi sore." Suryawijaya beranjak dan Nawangsih gegas memegangi lengannya dengan erat."Jangan jauh-jauh. Monyet-monyet itu masih mengikut kita!"Suryawijaya tertawa lirih. Dia tahu persoalan cinta yang akan dia hadapi akan rumit, iya atau tidak dengan Nawangsih karena persoalan bibit, bebet dan bobot masih menjadi syarat memilih pendamping hidup. Tapi bukan persoalan itu saja yang menjadi pertimbangan Suryawijaya. Masalah weton, konflik internal dan macam-macam masalah yang pernah terjadi akan memanas lagi jika dia dan Nawangsih benar-benar meresmikan hubungan mereka."Aku slalu di sampingmu, Tania." kata Suryawijaya. "Ini akan menyenangkan sampai kita di parkiran."Suryawijaya mengajaknya setengah berlari untuk melewati jalan dan undakan panjang hingga mereka sampai di parkiran.Nawangsih terengah-engah namun senyumnya terlihat merekah.Suryawijaya mengelus pipinya yang lembap."Masuk, kita istirahat sekalian di mobil.”Nawangsih segera menyembunyikan tubuhnya di dalam sana. Menyeka keringatnya seraya menggembungkan pipi."Tidak perlu sok imut. Sudah jangan lihat aku seperti itu."Nawangsih segera menurunkan jendela mobil, membiarkan sisa-sisa udara segar menemaninya selagi mobil melaju ke arah selatan, melintasi jalanan berkelok dan landai yang kanan kirinya terdapat hotel kelas melati sebelum meninggalkan lokasi itu dan berhenti di sebuah rumah makan tempoe doeloe."Mas Bimo bilang mangut lele di sini enak. Kamu mau mencobanya, Tania?""Boleh, kan kita juga sudah di sini. Nggak baik aku menolaknya."Nawangsih meringis seraya menarik sepiring mangut lele yang baru saja di sajikan pelayan."Selamat makan."Di bawah langit sore yang cerah, Nawangsih dan Suryawijaya menikmati makan sore mereka di atas tikar. Sesekali keduanya tersenyum malu, menunduk atau membuang muka ketika tatapan mereka beradu."Mas Surya jangan gitu." seru Nawangsih ketika lelaki itu memelotot.Suryawijaya tersenyum lebar. Bagaimana mungkin dia tidak menyayangi seseorang dari masa kecilnya, apalagi sekarang gadis kecil ingusan itu menjadi gadis cantik yang memiliki dua gigi gingsul yang membuat senyumnya terlihat lucu."Cinta masa kecilku!" Suryawijaya berusaha menahan senyuman yang justru semakin merekah sebab ingatannya tentang kisah cinta mereka."Mas Surya kenapa?" Nawangsih mengernyit.Suryawijaya mengeluarkan rokoknya, matanya mengerling sebelum beranjak. "Sebentar."•••"Mas Surya?""Apa?""Apa hubungan kita akan sia-sia?"Suryawijaya mengendikkan bahu. Sekilas dia menatap Nawangsih yang mengerucutkan bibir. Entah berapa lama lagi waktu yang harus dia tunggu untuk menikmati setiap detail wajah Nawangsih dari dekat, tanpa dosa, tanpa merusak citranya sebagai seorang kakak yang harus menjaga sikap dan menghormati perempuan."Tidak akan sia-sia!" Suryawijaya menjawab dalam perjalanan pulang. Sedang Nawangsih nyaris hanya diam. Memikirkan bagaimana nanti jika Kaysan melihat keduanya keluar dari mobil dengan raut wajah bahagia dan menciderai sabdanya.Kini... benaknya berucap kalimat-kalimat keraguan yang meresahkan jiwa saat mobil berhenti di pelataran rumah."Langsung ke kamar, keluarlah nanti saat makan malam!" perintah Suryawijaya setelah mendapati mobil ayahnya sudah berada di garasi."Terima kasih untuk hari ini."Nawangsih mengangkat jari kelingkingnya. "Janji dulu tidak bertengkar terus dengan Ayahanda, aku sedih Mas Surya, aku terus merasa bersalah karena cinta ini."Suryawijaya menghela napas. Bahkan ketika dia mengiyakan, justru air mata mengalir di pipi Nawangsih."Jangan sedih, Nia. Jangan menangis di depanku."Suryawijaya mengulurkan tisu kepadanya."Hapus sendiri air matamu!"Nawangsih mendesis tajam seraya menundukkan kepalanya. "Ini karena kakimu nginjak kakiku, Mas."Suryawijaya segera mengangkat kakinya dan nyengir."Nggak sengaja. Maaf."Nawangsih berkeliling untuk mencari pekerjaan yang bisa dia lakukan setelah melayani Rinjani keesokan harinya."Nawang, sini." Citra melambaikan tangan dari ujung lorong.Nawangsih gegas menghampirinya. "Ada apa, Cit? Mau gosip?" tanyanya dengan nada bercanda seraya mengikutinya pergi ke ruang serbaguna.Citra mengambil gunting bunga dan seember penuh bunga mawar segar agar Nawangsih membantunya menyusun bunga untuk acara nanti malam.Ngeteh ala bangsawan dalam acara formal kekeluargaan."Duduk dulu baru tanya." Citra tersenyum canggung."Ada apa, kenapa wajahmu serius begitu?" Nawangsih heran, tetapi dia meraih gunting bunga seraya mencampakkan daun-daun tua dan durinya.Citra—seorang penari klasik sekaligus pelayan cadangan Ibunya itu membisikkan sesuatu di telinga Nawangsih.Nawangsih refleks menggelengkan kepalanya. "Tidak mungkin, itu tidak mungkin terjadi.""Kabarnya memang begitu, Nawang. Nanti malam akan diadakan jamuan makan malam dengan trah keluarga Tirtodiningratan. Kabarny
Nawangsih terdiam sejenak untuk memandangi Suryawijaya, laki-laki itu memiliki rambut lurus dengan potongan model taper fade, alis tebal, hidung bangir dan bibir tipis kehitaman khas seorang perokok aktif. Ia benar-benar mewarisi semua yang dimiliki oleh Ayahanda Kaysan, termasuk mewarisi keangkuhan, kewibawaan dan kesetiaannya kepada seorang wanita."Ndomas iseng, aku ngambek."Suryawijaya menggigit cemilan gurih bertekstur lembut dan lunak sembari mengerutkan kening saat Nawangsih hanya berdiri di sebrang meja."Tidak pegal? Atau memang hanya ingin berdiri sambil melihatku seperti itu?" goda Suryawijaya.Ah, Nawangsih menutup wajahnya dengan nampan, salah tingkah.Suryawijaya mempertimbangkan untuk menegur Nawangsih karena membantahnya, namun ia urungkan karena gadis itu menghampirinya seraya duduk dengan keanggunan yang sangat terlatih.Suryawijaya manaruh garpunya, ia menghabiskan kopi terenak di dunia. Tentu dunianya sendiri yang penuh dengan nama Nawangsih seorang.Suryawijaya me
Di hari yang panjang dan melelahkan untuk bersikap baik-baik saja, Nawangsih tersenyum ayu di belakang orang tua mereka yang berjalan beriringan.Disampingnya, Suryawijaya mengangkat dagu tinggi-tinggi, menyatakan ketidaksukaannya terhadap acara penuh makna malam ini. Suryawijaya memang gusar dan marah kepada siapapun karena nasib memperlakukannya dengan tidak adil. Sementara yang ia lakukan sekarang hanya demi kesopanan, martabat dan harga diri.Suryawijaya akan dengan senang hati mengabdikan diri sebagai baktinya kepada Ayahanda Kaysan dan kerajaan. Namun ia tidak mau dipaksa menikah dengan gadis lain yang tidak ia sukai. Cukup sekali sudah cukup untuk mengikuti acara Royal Highness Tea and Talk yang diadakan ayahnya demi tradisi kolot ini. Tapi baginya, mengalahkan kecerdikan pria yang memakai beskap putih itu adalah urusan harga diri. Perlu taktik yang mumpuni dan uang yang banyak sebelum melakukan pemberontakan yang terencana.Memasuki ruang tamu yang di peruntukan untuk menampung
Keesokan hari, di dalam kamar, sejak tadi Nawangsih hanya termenung di pinggir dipan sembari memeluk bantal. Dia bingung harus bersikap bagaimana saat calon Suryawijaya nanti datang berkunjung.Bersikap seolah-olah tidak cemburu?Wajahnya sudah terlihat menyiratkan kekecewaan mendalam. Mustahil ia bisa melakukannya, karena baginya untuk tidak cemberut, mecucu, ngedumel, atau sehat walafiat sangat susah karena sejak tadi malam ia sudah kepikiran.Mencoba berlagak utuh?Nawangsih mendesah. Ia beranjak, mencari cara agar ia terlihat baik-baik saja di hadapan semua anggota keluarga apalagi di hadapan Suryawijaya, laki-laki yang menoreh rasa kecewa dibenaknya tadi malam. Nihil, wajahnya sudah carut marut.Pura-pura tidak peduli?Nawangsih mendesah panjang. "Aku kan anak manis."Kesal dengan keadaan dan dirinya sendiri, Nawangsih menghempaskan bokongnya di depan meja rias."Yang penting tetap cantik, berbudi baik dan santun! Itu penting biar Ayahanda tahu betapa aku masih setegar karang, sek
Brak, Brak, Brak. Bunyi itu terus terdengar di bangsal keputren, menjadi kegaduhan langka di senyapnya bangunan itu. "Buka pintunya, Cit! Buka! Tolooong." Nawangsih memukul-mukul pintu kamar dengan lelah, ia kaget saat dirinya di suruh tinggal di kamarnya tanpa alasan yang tidak jelas. Dan yang membuatnya lebih tercengang ia dikunci dari luar oleh Citra. "Citra, tolonggg." ucapnya serak. Tenggorokannya kering, sialnya lagi, ia lupa menaruh cadangan air putih di dalam kamar."Cit, tolong buka pintunya! Aku salah apa sampai di kurung begini? Apa Ayahanda marah? Cit... Tolong jelaskan baik-baik saja, aku bakal mengerti. Jangan begini, Ibunda butuh aku!" Citra yang menjadi kambing hitam tersudut di pojokan dengan rasa bersalah, merasa tidak ada daya untuk melawan Iwan dan titah sang Pangeran. "Duh, Gusti! Piye iki." gumam Citra. Nawangsih mematung, tak ada suara yang menyaut ucapannya. Sekarang kamarnya berubah menjadi penjara cinta yang akan menawanny
Sepasang mata Suryawijaya menajam. Lagi-lagi berusaha untuk menyabarkan hati ketika Nawangsih justru memunggunginya tanpa sepatah kata setelah meneriakkan nama Citra. "Ndomas kenapa ada disini, malu ih dilihatin terus!" batin Nawangsih, ia menyerukkan wajahnya yang merah padam di bawah guling. Suryawijaya duduk gelisah di kursinya, menarik napas panjang. Ia bukan jengkel dengan Nawangsih, tapi waktu dan tempat tidak mempersilahkannya untuk berlama-lama di kamar gadis itu. "Bangun, perlihatkan wajahmu!" Nawangsih mengangguk lalu mengerjapkan mata."Tapi ndomas merem dulu. Wajahku jelek, kusut, pokoknya ambyar!" Suryawijaya kontan ternganga. Tapi hanya sesaat, setelah itu dia tersenyum samar. Iwan yang menjadi saksi hidup kisah cinta Suryawijaya dan Nawangsih membalikkan badan. "Drama di mulai." Banyak yang ia tahu sejak Nawangsih menginjakkan kaki ke dalam benteng istana. Gadis yang membawa sederet kisah hidup anak kampung yang tidak mujur, gadis ya
Iwan menggeram seraya ingin memukul kepalanya sendiri. Kenapa harus begini, kenapa harus ada mata-mata di sarang penyamun? Toh ini bukan zaman peperangan lagi, yang harus membutuhkan mata-mata di sarang musuh. Ini zaman modern dan penuh toleransi, tapi kenapa harus begini! Iwan membatin sembari menghela napas. Ia mendatangi Citra setelah mendapat wangsit yang membuatnya senang."Puasa mutihan dulu mas, laku tirakat jangan lupa biar afdol, jangan lupa juga ruwatan kalau perlu. Tapi aku ada teman disana, sesama penari juga." ucap Citra santai, tangannya dengan lihai meronce bunga melati untuk menari nanti malam dalam acara pagelaran wayang orang.Iwan menyeringai lebar. "Siapa namanya? Bisa jadi anak buahku itu cah ayu. Wah...." Aih, Citra menggeleng cepat. "Cukup aku aja mas yang jadi anak buahmu, dia gak usah, ribet, lagipula mempercayai orang yang mengabdikan diri kepada Rajanya sendiri kan gawat. Nanti buntutnya panjang, makin runyam. Sudah to, rakyat biasa seperti k
"Raden." Iwan memberi hormat dengan napas yang ngos-ngosan."Bagaimana?" Suryawijaya membuang putung rokoknya ke tanah dan menggilasnya dengan sandal, ia sudah mengira jika Iwan akan segera bertindak sesuai keinginannya. Ada banyak pertanyaan yang ingin ia ajukan kepada Iwan, tapi ia menahan diri saat di lihatnya sang Raja berjalan menuju tempatnya bersantai-santai di taman. Sang Raja ikut bergabung, menikmati bunyi air kolam dan burung hias yang bercicit riang."Bagaimana? Sudah kamu tentukan siapa calon istrimu?" tanya sang Raja.Dengan tenang Suryawijaya mengangguk seraya meminta Iwan agar tetap ditempat. Iwan membungkuk hormat seraya bersila di atas konblok, ia diam saja sambil terus mendengarkan kalimat-kalimat yang ia duga hanya bualan saja dari Suryawijaya dengan khidmat. Sang Raja pun tersenyum samar, sesaat wajahnya terlihat berseri namun juga tersirat dalam sesuatu yang tidak bisa Suryawijaya mengerti. Ayahnya terlihat was-was. "Bagus. Siapa ya