Nawangsih terdiam sejenak untuk memandangi Suryawijaya, laki-laki itu memiliki rambut lurus dengan potongan model taper fade, alis tebal, hidung bangir dan bibir tipis kehitaman khas seorang perokok aktif. Ia benar-benar mewarisi semua yang dimiliki oleh Ayahanda Kaysan, termasuk mewarisi keangkuhan, kewibawaan dan kesetiaannya kepada seorang wanita.
"Ndomas iseng, aku ngambek."Suryawijaya menggigit cemilan gurih bertekstur lembut dan lunak sembari mengerutkan kening saat Nawangsih hanya berdiri di sebrang meja."Tidak pegal? Atau memang hanya ingin berdiri sambil melihatku seperti itu?" goda Suryawijaya.Ah, Nawangsih menutup wajahnya dengan nampan, salah tingkah.Suryawijaya mempertimbangkan untuk menegur Nawangsih karena membantahnya, namun ia urungkan karena gadis itu menghampirinya seraya duduk dengan keanggunan yang sangat terlatih.Suryawijaya manaruh garpunya, ia menghabiskan kopi terenak di dunia. Tentu dunianya sendiri yang penuh dengan nama Nawangsih seorang.Suryawijaya membersihkan bibirnya dengan tisu. "Apa katakan?" pintanya.Nawangsih menunduk, ia merapikan kebayanya sebelum kembali menatap wajah Suryawijaya. "Ndomas tahu hari ini?""Suasana hati Nawangsih yang buruk menular kepadaku." batin Suryawijaya sembari melepas flashdisk dari port usb laptop."Aku tetap akan menjagamu dengan baik dan menyayangimu dengan sungguh-sungguh, Tania!" janji Suryawijaya.Janji yang tak pernah Nawangsih ragukan hingga sekarang, tapi nanti malam sudah beda lagi ceritanya. Suryawijaya akan memilih satu gadis, atau mungkin dua, atau bahkan lebih.Nawangsih menatapnya dengan ekspresi risau."Tapi jika ndomas menikah nanti, ndomas tidak bisa menyayangi aku lagi dengan sungguh-sungguh. Ndomas akan menyayangi istri dan anak-anak, ndomas. Terus lupa sama aku!""Setidaknya kamu tahu kenapa aku selama ini menolak gadis-gadis yang mendekatiku. Aku menjagamu agar tidak cemburu." tutur Suryawijaya sembari menyandarkan punggungnya dan menghela napas. "Aku slalu menyayangimu dari dulu, Tania. Slalu."Keheningan menyelimuti mereka, sementara Nawangsih merasa tamak dan bersyukur karena Suryawijaya bersedia jomblo untuk menjaganya. Tapi itu pula yang ia lakukan untuk Suryawijaya agar kesehatan hati laki-laki itu tetap terjaga."Terima kasih ndomas, maafkan aku!" kata Nawangsih, menunduk dalam."Ya." Suryawijaya mengangguk sesaat, ia selalu kagum dengan gadis yang mampu berintrospeksi itu."Apa kamu meragukannya?"Nawangsih menggeleng perlahan, ia tak perlu ragu dengan cinta kasih yang Suryawijaya berikan. Tapi lagi-lagi, sabda Ayahanda Kaysan yang berkuasa masih mempan menggolakkan keresahannya."Aku takut, ndomas. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya kalau ndomas menikah dengan wanita lain. Ndomas tahu, aku menunggu!"Suryawijaya memandangi taman di depan pintu yang terbuka. Napasnya tercekat, tapi yang lebih menyayat adalah tatapan gelisah di mata coklat tuanya."Aku tahu kamu menyayangiku, Nawangsih. Anggap saja Ayahanda berusaha memisahkan kita untuk menguji ketulusan cinta kita. Jadi bersabarlah."Suryawijaya menghembuskan napas panjang. "Sudah, mari kita kesampingkan topik sulit ini! Aku pusing!" Suryawijaya menyarankan."Pusing karena apa? Perjodohan ini atau tesis S2? Apa aku?" sahut Nawangsih.Suryawijaya menatap si dayang, sedikit tergelitik untuk tertawa saat gadis disampingnya memasang wajah cemberut, penuh harap sekaligus percaya diri. Tapi alih-alih merayu, Suryawijaya justru memasang wajah serius."Semuanya, Nawangsih. Aku pusing tujuh keliling, rasanya aku tidak kuat. Bisakah kamu mengurangi bebanku?" tanya Suryawijaya.Nawangsih mengangkat sebelah alisnya. "Dengan cara apa, ndomas?" tanya Nawangsih, nadanya sopan dan tenang, tapi matanya tidak, Nawangsih ikut terbawa serius sekaligus gelisahDalam hati Suryawijaya tertawa, sementara ia menimbang-nimbang apakah akan mengerjai gadis ini, sekali lagi. Demi apapun, ia suka melihat mata gadis ini dari dekat. Penuh spekulasi."Ndomas." panggil Nawangsih.Suryawijaya berdehem-dehem seraya menelengkan kepalanya menatap Nawangsih."Cukup berikan aku senyumanmu, itu sudah cukup membuatku sembuh, Nawang."Nawangsih berdehem seraya membuang muka, ia tersipu dan saking salah tingkahnya ia malah membereskan piring dan cangkir kopi ke nampan."Permisi, ndomas.""Hanya sebatas senyuman, apa yang membuatmu malu?"Nawangsih beranjak dengan senyum yang terpaksa. Suryawijaya mengulum senyum, mengikuti Nawangsih keluar dari ruang keluarga."Ke ruangan pribadi, aku tunggu disana!" ujar Suryawijaya di depan ruang makan.Nawangsih mengangguk, ia masuk ke ruangan itu untuk menaruh semua perabot kotor di bak cuci.•••Ruangan pribadi itu terletak di rumah utama, tidak banyak orang di dalam rumah karena jam-jam segini isi keluarganya sibuk di luar rumah."Ndomas." panggil Nawangsih sambil mengetuk pintu dua kali.Suryawijaya membuka pintu, menyuruh Nawangsih masuk setelah memastikan bahwa tidak ada yang melihat keduanya berada di ruangan yang sama, tertutup pula.Siapa bilang? Jelas orang tua mereka tahu kelakuan kedua anaknya yang kerap menghabiskan waktu di ruangan pribadi khusus Suryawijaya. Ruang yang di jadikan studio karya seni sekaligus perpustakaan pribadinya."Mau belajar apa, ndomas?" Nawangsih duduk di atas tikar, mengambil buku yang sempat di baca oleh Suryawijaya tadi saat menunggunya."Melukis.""Melukis?" Nawangsih membeo.Suryawijaya mengeluarkan alat lukisnya dari dalam lemari. "Duduklah yang anggun." perintahnya disertai tangan yang sibuk menata kuas, cat lukis dan kanvas di atas lantai."Tumben melukis? Ndomas sedang gelisah?" Nawangsih membetulkan posisi duduknya, ia meletakkan bukunya seraya mengambil ponsel untuk melihat wajahnya."Gelisah karena nanti malam aku harus bersandiwara di depan banyak orang yang memiliki keangkuhan yang sama sepertiku."Suryawijaya menyeret bangku pendek ke tengah ruangan kemudian meletakkan bokongnya di bangku itu."Dan karena kamu." imbuhnya, menatap Nawangsih untuk mengoreksi posenya."Berikan aku sedikit senyuman, Tania. Rilex."Nawangsih tersenyum lembut seraya membiarkan Suryawijaya memindai dirinya ke dalam kanvas.Lama terdiam dengan posisi yang sama. Nawangsih menguap, tubuhnya pegal-pegal."Ndomas, sudah selesai belum?" tanyanya kesal, nyaris tiga jam ia menatap Suryawijaya yang khidmat menggoreskan pena dan cat di kanvas tanpa mengeluarkan sepatah kata.Suryawijaya yang puas memindai wajah Nawangsih dan lekuk tubuhnya yang berbalut kebaya dan kain jarik mengangguk."Terima kasih, Tania! Kemarilah."Nawangsih langsung merebahkan tubuhnya di atas tikar. "Akhirnya bisa rebahan!" gumamnya, tak menghiraukan ucapan Suryawijaya.Jakun Suryawijaya bergerak naik-turun. Jantungnya berdebar dengan perasan aneh dan tak karuan saat tubuh cinta pertamanya sudah berkembang sempurna selayaknya perempuan dewasa. Ranum dan mempesona.Suryawijaya membasahi bibirnya sembari memandang hasil karyanya sebelum membubuhkan cap jempol di karyanya."Kemarilah!""Ada apa ndomas, apa hasilnya buruk seperti suasana hati kita?""Lihatlah hasilnya, dan berikan cap jempolmu seperti biasanya."Nawangsih merenggangkan otot-ototnya yang kaku dengan tak anggun sebelum beranjak. Ia memandang lurus hasil lukisan sang pangeran."Apa aku cantik! Benarkah seperti itu?""Benar seperti itu!" Suryawijaya tersenyum. "Ulurkan tanganmu!"Nawangsih mengulurkan tangannya. Suryawijaya menaruh cat berwarna merah hati di telunjuk Nawangsih.Gadis itu lantas mencondongkan tubuhnya untuk menaruh stempel kepemilikan di samping cap jempol milik Suryawijaya."Sudah. Terima kasih ndomas."Suryawijaya jadi mengangguk sewaktu merasakan tangan Nawangsih meremas bahunya."Nikmati saja waktu yang kita punya, Tania. Karena mustahil untuk kita bersama karena akan banyak perkara-perkara yang harus kita hadapi nanti."Nawangsih mengangguk, ia berusaha tersenyum tapi Suryawijaya tahu, mata itu sejak tadi masih menyiratkan keresahan yang tak kunjung reda."Mandilah yang bersih dan dandanlah yang cantik, Tania. Biar aku bisa melihatmu dengan jelas di antara putri persembahan nanti.""Baik, ndomas." Nawangsih memberi hormat, ia keluar untuk membuat secangkir kopi hangat untuk Suryawijaya sebelum luluran dan maskeran.Di hari yang panjang dan melelahkan untuk bersikap baik-baik saja, Nawangsih tersenyum ayu di belakang orang tua mereka yang berjalan beriringan.Disampingnya, Suryawijaya mengangkat dagu tinggi-tinggi, menyatakan ketidaksukaannya terhadap acara penuh makna malam ini. Suryawijaya memang gusar dan marah kepada siapapun karena nasib memperlakukannya dengan tidak adil. Sementara yang ia lakukan sekarang hanya demi kesopanan, martabat dan harga diri.Suryawijaya akan dengan senang hati mengabdikan diri sebagai baktinya kepada Ayahanda Kaysan dan kerajaan. Namun ia tidak mau dipaksa menikah dengan gadis lain yang tidak ia sukai. Cukup sekali sudah cukup untuk mengikuti acara Royal Highness Tea and Talk yang diadakan ayahnya demi tradisi kolot ini. Tapi baginya, mengalahkan kecerdikan pria yang memakai beskap putih itu adalah urusan harga diri. Perlu taktik yang mumpuni dan uang yang banyak sebelum melakukan pemberontakan yang terencana.Memasuki ruang tamu yang di peruntukan untuk menampung
Keesokan hari, di dalam kamar, sejak tadi Nawangsih hanya termenung di pinggir dipan sembari memeluk bantal. Dia bingung harus bersikap bagaimana saat calon Suryawijaya nanti datang berkunjung.Bersikap seolah-olah tidak cemburu?Wajahnya sudah terlihat menyiratkan kekecewaan mendalam. Mustahil ia bisa melakukannya, karena baginya untuk tidak cemberut, mecucu, ngedumel, atau sehat walafiat sangat susah karena sejak tadi malam ia sudah kepikiran.Mencoba berlagak utuh?Nawangsih mendesah. Ia beranjak, mencari cara agar ia terlihat baik-baik saja di hadapan semua anggota keluarga apalagi di hadapan Suryawijaya, laki-laki yang menoreh rasa kecewa dibenaknya tadi malam. Nihil, wajahnya sudah carut marut.Pura-pura tidak peduli?Nawangsih mendesah panjang. "Aku kan anak manis."Kesal dengan keadaan dan dirinya sendiri, Nawangsih menghempaskan bokongnya di depan meja rias."Yang penting tetap cantik, berbudi baik dan santun! Itu penting biar Ayahanda tahu betapa aku masih setegar karang, sek
Brak, Brak, Brak. Bunyi itu terus terdengar di bangsal keputren, menjadi kegaduhan langka di senyapnya bangunan itu. "Buka pintunya, Cit! Buka! Tolooong." Nawangsih memukul-mukul pintu kamar dengan lelah, ia kaget saat dirinya di suruh tinggal di kamarnya tanpa alasan yang tidak jelas. Dan yang membuatnya lebih tercengang ia dikunci dari luar oleh Citra. "Citra, tolonggg." ucapnya serak. Tenggorokannya kering, sialnya lagi, ia lupa menaruh cadangan air putih di dalam kamar."Cit, tolong buka pintunya! Aku salah apa sampai di kurung begini? Apa Ayahanda marah? Cit... Tolong jelaskan baik-baik saja, aku bakal mengerti. Jangan begini, Ibunda butuh aku!" Citra yang menjadi kambing hitam tersudut di pojokan dengan rasa bersalah, merasa tidak ada daya untuk melawan Iwan dan titah sang Pangeran. "Duh, Gusti! Piye iki." gumam Citra. Nawangsih mematung, tak ada suara yang menyaut ucapannya. Sekarang kamarnya berubah menjadi penjara cinta yang akan menawanny
Sepasang mata Suryawijaya menajam. Lagi-lagi berusaha untuk menyabarkan hati ketika Nawangsih justru memunggunginya tanpa sepatah kata setelah meneriakkan nama Citra. "Ndomas kenapa ada disini, malu ih dilihatin terus!" batin Nawangsih, ia menyerukkan wajahnya yang merah padam di bawah guling. Suryawijaya duduk gelisah di kursinya, menarik napas panjang. Ia bukan jengkel dengan Nawangsih, tapi waktu dan tempat tidak mempersilahkannya untuk berlama-lama di kamar gadis itu. "Bangun, perlihatkan wajahmu!" Nawangsih mengangguk lalu mengerjapkan mata."Tapi ndomas merem dulu. Wajahku jelek, kusut, pokoknya ambyar!" Suryawijaya kontan ternganga. Tapi hanya sesaat, setelah itu dia tersenyum samar. Iwan yang menjadi saksi hidup kisah cinta Suryawijaya dan Nawangsih membalikkan badan. "Drama di mulai." Banyak yang ia tahu sejak Nawangsih menginjakkan kaki ke dalam benteng istana. Gadis yang membawa sederet kisah hidup anak kampung yang tidak mujur, gadis ya
Iwan menggeram seraya ingin memukul kepalanya sendiri. Kenapa harus begini, kenapa harus ada mata-mata di sarang penyamun? Toh ini bukan zaman peperangan lagi, yang harus membutuhkan mata-mata di sarang musuh. Ini zaman modern dan penuh toleransi, tapi kenapa harus begini! Iwan membatin sembari menghela napas. Ia mendatangi Citra setelah mendapat wangsit yang membuatnya senang."Puasa mutihan dulu mas, laku tirakat jangan lupa biar afdol, jangan lupa juga ruwatan kalau perlu. Tapi aku ada teman disana, sesama penari juga." ucap Citra santai, tangannya dengan lihai meronce bunga melati untuk menari nanti malam dalam acara pagelaran wayang orang.Iwan menyeringai lebar. "Siapa namanya? Bisa jadi anak buahku itu cah ayu. Wah...." Aih, Citra menggeleng cepat. "Cukup aku aja mas yang jadi anak buahmu, dia gak usah, ribet, lagipula mempercayai orang yang mengabdikan diri kepada Rajanya sendiri kan gawat. Nanti buntutnya panjang, makin runyam. Sudah to, rakyat biasa seperti k
"Raden." Iwan memberi hormat dengan napas yang ngos-ngosan."Bagaimana?" Suryawijaya membuang putung rokoknya ke tanah dan menggilasnya dengan sandal, ia sudah mengira jika Iwan akan segera bertindak sesuai keinginannya. Ada banyak pertanyaan yang ingin ia ajukan kepada Iwan, tapi ia menahan diri saat di lihatnya sang Raja berjalan menuju tempatnya bersantai-santai di taman. Sang Raja ikut bergabung, menikmati bunyi air kolam dan burung hias yang bercicit riang."Bagaimana? Sudah kamu tentukan siapa calon istrimu?" tanya sang Raja.Dengan tenang Suryawijaya mengangguk seraya meminta Iwan agar tetap ditempat. Iwan membungkuk hormat seraya bersila di atas konblok, ia diam saja sambil terus mendengarkan kalimat-kalimat yang ia duga hanya bualan saja dari Suryawijaya dengan khidmat. Sang Raja pun tersenyum samar, sesaat wajahnya terlihat berseri namun juga tersirat dalam sesuatu yang tidak bisa Suryawijaya mengerti. Ayahnya terlihat was-was. "Bagus. Siapa ya
Napas Nawangsih terengah selepas pertunjukan tari selesai. Peluh terlihat membasahi badan keempat penari yang berjalan keluar melewati jalan setapak menuju ruang tata rias."Nyi Mas. Habis beres-beres makan dulu yuk. Aku laper!" ajak Citra sembari melepas pernak-pernik pentas yang melekat di tubuhnya. Nawangsih terlalu lelah menjawab, mengingat banyak kejadian yang ia lalui hari ini. Dan tak dapat ia pungkiri kalau tatapan Suryawijaya tadi menyita atensinya untuk segera pergi ke kamar. "Tidur aja gimana, Cit? Aku capek, mau bobok." Nawangsih meringis, sungguh-sungguh ia lelah, apalagi setelah menari otot-otot kakinya pegal-pegal. "Bilang aja mau video call sama Raden dikamar." tukas Citra, menirukan gaya Nawangsih jika membicarakan Suryawijaya. Nawangsih lagi-lagi hanya meringis sembari terus melepas semua pernak-pernik dan busana menarinya. Citra merapikan pernak-pernik menarinya ke dalam rak kaca dengan bibir cemberut. "Gak asyik ah, padahal aku---!" Citra m
"Karena kamu ngeyel, Tania! Coba kalau tidak." Suryawijaya menghentikan tawanya. "Kalau tidak kamu pasti tambah ayu." imbuhnya lagi dengan senang.Nawangsih mendengus seraya menghabiskan wedang rondenya, begitu pun Suryawijaya meski matanya terus-terusan memperhatikan wajah Nawangsih.Hanya denganmu aku bisa bercanda.Selesai membayar wedang ronde, mereka masih duduk berdampingan di trotoar jalan. Satu-satunya suara yang terdengar hanyalah kendaraan yang berlalu lalang dengan jarang dan suara malam.Setelah beberapa saat keheningan berjeda pembicaraan mereka. Suryawijaya bangkit seraya menatap sekeliling. Suasana yang sepi dan cenderung remang-remang."Ayo pulang."Nawangsih mengangguk. Mereka kembali menekuri trotoar jalan. Meresapi keheningan sambil terus memikirkan bagaimana besok.Mereka tahu upaya terbaik dalam waktu dekat ini adalah pasrah dan sabar. Namun Suryawijaya tak akan tinggal diam, ia akan mengulur waktu untuk membuat rencana dan menyusun taktik.Dan yang ia bisa mereka