Share

Bab 6

Nawangsih terdiam sejenak untuk memandangi Suryawijaya, laki-laki itu memiliki rambut lurus dengan potongan model taper fade, alis tebal, hidung bangir dan bibir tipis kehitaman khas seorang perokok aktif. Ia benar-benar mewarisi semua yang dimiliki oleh Ayahanda Kaysan, termasuk mewarisi keangkuhan, kewibawaan dan kesetiaannya kepada seorang wanita.

"Ndomas iseng, aku ngambek."

Suryawijaya menggigit cemilan gurih bertekstur lembut dan lunak sembari mengerutkan kening saat Nawangsih hanya berdiri di sebrang meja.

"Tidak pegal? Atau memang hanya ingin berdiri sambil melihatku seperti itu?" goda Suryawijaya.

Ah, Nawangsih menutup wajahnya dengan nampan, salah tingkah.

Suryawijaya mempertimbangkan untuk menegur Nawangsih karena membantahnya, namun ia urungkan karena gadis itu menghampirinya seraya duduk dengan keanggunan yang sangat terlatih.

Suryawijaya manaruh garpunya, ia menghabiskan kopi terenak di dunia. Tentu dunianya sendiri yang penuh dengan nama Nawangsih seorang.

Suryawijaya membersihkan bibirnya dengan tisu. "Apa katakan?" pintanya.

Nawangsih menunduk, ia merapikan kebayanya sebelum kembali menatap wajah Suryawijaya. "Ndomas tahu hari ini?"

"Suasana hati Nawangsih yang buruk menular kepadaku." batin Suryawijaya sembari melepas flashdisk dari port usb laptop.

"Aku tetap akan menjagamu dengan baik dan menyayangimu dengan sungguh-sungguh, Tania!" janji Suryawijaya.

Janji yang tak pernah Nawangsih ragukan hingga sekarang, tapi nanti malam sudah beda lagi ceritanya. Suryawijaya akan memilih satu gadis, atau mungkin dua, atau bahkan lebih.

Nawangsih menatapnya dengan ekspresi risau.

"Tapi jika ndomas menikah nanti, ndomas tidak bisa menyayangi aku lagi dengan sungguh-sungguh. Ndomas akan menyayangi istri dan anak-anak, ndomas. Terus lupa sama aku!"

"Setidaknya kamu tahu kenapa aku selama ini menolak gadis-gadis yang mendekatiku. Aku menjagamu agar tidak cemburu." tutur Suryawijaya sembari menyandarkan punggungnya dan menghela napas. "Aku slalu menyayangimu dari dulu, Tania. Slalu."

Keheningan menyelimuti mereka, sementara Nawangsih merasa tamak dan bersyukur karena Suryawijaya bersedia jomblo untuk menjaganya. Tapi itu pula yang ia lakukan untuk Suryawijaya agar kesehatan hati laki-laki itu tetap terjaga.

"Terima kasih ndomas, maafkan aku!" kata Nawangsih, menunduk dalam.

"Ya." Suryawijaya mengangguk sesaat, ia selalu kagum dengan gadis yang mampu berintrospeksi itu.

"Apa kamu meragukannya?"

Nawangsih menggeleng perlahan, ia tak perlu ragu dengan cinta kasih yang Suryawijaya berikan. Tapi lagi-lagi, sabda Ayahanda Kaysan yang berkuasa masih mempan menggolakkan keresahannya.

"Aku takut, ndomas. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya kalau ndomas menikah dengan wanita lain. Ndomas tahu, aku menunggu!"

Suryawijaya memandangi taman di depan pintu yang terbuka. Napasnya tercekat, tapi yang lebih menyayat adalah tatapan gelisah di mata coklat tuanya.

"Aku tahu kamu menyayangiku, Nawangsih. Anggap saja Ayahanda berusaha memisahkan kita untuk menguji ketulusan cinta kita. Jadi bersabarlah."

Suryawijaya menghembuskan napas panjang. "Sudah, mari kita kesampingkan topik sulit ini! Aku pusing!" Suryawijaya menyarankan.

"Pusing karena apa? Perjodohan ini atau tesis S2? Apa aku?" sahut Nawangsih.

Suryawijaya menatap si dayang, sedikit tergelitik untuk tertawa saat gadis disampingnya memasang wajah cemberut, penuh harap sekaligus percaya diri. Tapi alih-alih merayu, Suryawijaya justru memasang wajah serius.

"Semuanya, Nawangsih. Aku pusing tujuh keliling, rasanya aku tidak kuat. Bisakah kamu mengurangi bebanku?" tanya Suryawijaya

.

Nawangsih mengangkat sebelah alisnya. "Dengan cara apa, ndomas?" tanya Nawangsih, nadanya sopan dan tenang, tapi matanya tidak, Nawangsih ikut terbawa serius sekaligus gelisah

Dalam hati Suryawijaya tertawa, sementara ia menimbang-nimbang apakah akan mengerjai gadis ini, sekali lagi. Demi apapun, ia suka melihat mata gadis ini dari dekat. Penuh spekulasi.

"Ndomas." panggil Nawangsih.

Suryawijaya berdehem-dehem seraya menelengkan kepalanya menatap Nawangsih.

"Cukup berikan aku senyumanmu, itu sudah cukup membuatku sembuh, Nawang."

Nawangsih berdehem seraya membuang muka, ia tersipu dan saking salah tingkahnya ia malah membereskan piring dan cangkir kopi ke nampan.

"Permisi, ndomas."

"Hanya sebatas senyuman, apa yang membuatmu malu?"

Nawangsih beranjak dengan senyum yang terpaksa. Suryawijaya mengulum senyum, mengikuti Nawangsih keluar dari ruang keluarga.

"Ke ruangan pribadi, aku tunggu disana!" ujar Suryawijaya di depan ruang makan.

Nawangsih mengangguk, ia masuk ke ruangan itu untuk menaruh semua perabot kotor di bak cuci.

•••

Ruangan pribadi itu terletak di rumah utama, tidak banyak orang di dalam rumah karena jam-jam segini isi keluarganya sibuk di luar rumah.

"Ndomas." panggil Nawangsih sambil mengetuk pintu dua kali.

Suryawijaya membuka pintu, menyuruh Nawangsih masuk setelah memastikan bahwa tidak ada yang melihat keduanya berada di ruangan yang sama, tertutup pula.

Siapa bilang? Jelas orang tua mereka tahu kelakuan kedua anaknya yang kerap menghabiskan waktu di ruangan pribadi khusus Suryawijaya. Ruang yang di jadikan studio karya seni sekaligus perpustakaan pribadinya.

"Mau belajar apa, ndomas?" Nawangsih duduk di atas tikar, mengambil buku yang sempat di baca oleh Suryawijaya tadi saat menunggunya.

"Melukis."

"Melukis?" Nawangsih membeo.

Suryawijaya mengeluarkan alat lukisnya dari dalam lemari. "Duduklah yang anggun." perintahnya disertai tangan yang sibuk menata kuas, cat lukis dan kanvas di atas lantai.

"Tumben melukis? Ndomas sedang gelisah?" Nawangsih membetulkan posisi duduknya, ia meletakkan bukunya seraya mengambil ponsel untuk melihat wajahnya.

"Gelisah karena nanti malam aku harus bersandiwara di depan banyak orang yang memiliki keangkuhan yang sama sepertiku."

Suryawijaya menyeret bangku pendek ke tengah ruangan kemudian meletakkan bokongnya di bangku itu.

"Dan karena kamu." imbuhnya, menatap Nawangsih untuk mengoreksi posenya.

"Berikan aku sedikit senyuman, Tania. Rilex."

Nawangsih tersenyum lembut seraya membiarkan Suryawijaya memindai dirinya ke dalam kanvas.

Lama terdiam dengan posisi yang sama. Nawangsih menguap, tubuhnya pegal-pegal.

"Ndomas, sudah selesai belum?" tanyanya kesal, nyaris tiga jam ia menatap Suryawijaya yang khidmat menggoreskan pena dan cat di kanvas tanpa mengeluarkan sepatah kata.

Suryawijaya yang puas memindai wajah Nawangsih dan lekuk tubuhnya yang berbalut kebaya dan kain jarik mengangguk.

"Terima kasih, Tania! Kemarilah."

Nawangsih langsung merebahkan tubuhnya di atas tikar. "Akhirnya bisa rebahan!" gumamnya, tak menghiraukan ucapan Suryawijaya.

Jakun Suryawijaya bergerak naik-turun. Jantungnya berdebar dengan perasan aneh dan tak karuan saat tubuh cinta pertamanya sudah berkembang sempurna selayaknya perempuan dewasa. Ranum dan mempesona.

Suryawijaya membasahi bibirnya sembari memandang hasil karyanya sebelum membubuhkan cap jempol di karyanya.

"Kemarilah!"

"Ada apa ndomas, apa hasilnya buruk seperti suasana hati kita?"

"Lihatlah hasilnya, dan berikan cap jempolmu seperti biasanya."

Nawangsih merenggangkan otot-ototnya yang kaku dengan tak anggun sebelum beranjak. Ia memandang lurus hasil lukisan sang pangeran.

"Apa aku cantik! Benarkah seperti itu?"

"Benar seperti itu!" Suryawijaya tersenyum. "Ulurkan tanganmu!"

Nawangsih mengulurkan tangannya. Suryawijaya menaruh cat berwarna merah hati di telunjuk Nawangsih.

Gadis itu lantas mencondongkan tubuhnya untuk menaruh stempel kepemilikan di samping cap jempol milik Suryawijaya.

"Sudah. Terima kasih ndomas."

Suryawijaya jadi mengangguk sewaktu merasakan tangan Nawangsih meremas bahunya.

"Nikmati saja waktu yang kita punya, Tania. Karena mustahil untuk kita bersama karena akan banyak perkara-perkara yang harus kita hadapi nanti."

Nawangsih mengangguk, ia berusaha tersenyum tapi Suryawijaya tahu, mata itu sejak tadi masih menyiratkan keresahan yang tak kunjung reda.

"Mandilah yang bersih dan dandanlah yang cantik, Tania. Biar aku bisa melihatmu dengan jelas di antara putri persembahan nanti."

"Baik, ndomas." Nawangsih memberi hormat, ia keluar untuk membuat secangkir kopi hangat untuk Suryawijaya sebelum luluran dan maskeran.

Komen (10)
goodnovel comment avatar
Nuel Grace Fun
tanpa kepastian
goodnovel comment avatar
Ismimuji 3
pelan ...berjalan tanpa kepastian....
goodnovel comment avatar
Melati A3
ceritanya lebih berat dr sang bunda ratu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status