Share

Bab 7

Di hari yang panjang dan melelahkan untuk bersikap baik-baik saja, Nawangsih tersenyum ayu di belakang orang tua mereka yang berjalan beriringan.

Disampingnya, Suryawijaya mengangkat dagu tinggi-tinggi, menyatakan ketidaksukaannya terhadap acara penuh makna malam ini. Suryawijaya memang gusar dan marah kepada siapapun karena nasib memperlakukannya dengan tidak adil. Sementara yang ia lakukan sekarang hanya demi kesopanan, martabat dan harga diri.

Suryawijaya akan dengan senang hati mengabdikan diri sebagai baktinya kepada Ayahanda Kaysan dan kerajaan. Namun ia tidak mau dipaksa menikah dengan gadis lain yang tidak ia sukai. Cukup sekali sudah cukup untuk mengikuti acara Royal Highness Tea and Talk yang diadakan ayahnya demi tradisi kolot ini. Tapi baginya, mengalahkan kecerdikan pria yang memakai beskap putih itu adalah urusan harga diri. Perlu taktik yang mumpuni dan uang yang banyak sebelum melakukan pemberontakan yang terencana.

Memasuki ruang tamu yang di peruntukan untuk menampung banyak orang. Gemerlap lampu gantung dan harumnya bunga sedap malam yang bermekaran menyambut kedatangan mereka. Ayahanda Kaysan beramah-tamah dengan tamu agung sebelum duduk di kursi klasik untuk melihat pertunjukan tarian sebagai hiburan

"Di pilih, di pilih!" seloroh Pandu yang berupa bisikan, menggoda Suryawijaya sembari melihat gadis-gadis yang duduk tak jauh dari mereka.

Gadis-gadis yang berjumlah lima orang itu menunduk santun, walau sesekali tatapan mencuri pandang ke arah Suryawijaya yang menjadi primadona kerajaan.

"Apa ada masalah?" Suryawijaya berbicara dengan datar. Duduk tegap penuh wibawa. Tatapannya sejak tadi hanya tertuju pada Nawangsih yang berbaur dengan tamu agung lainnya. Sesekali gadis itu melayani mereka dengan menuangkan teh hangat khas istana, yang wangi dan manis seperti gadis pelayan itu.

"Yang ada tai lalatnya di dekat hidung lumayan, mas!" ucap Pandu, pangeran yang satu ini jelas beda dengan Suryawijaya. Ia suka bercanda.

"Yang pakai kebaya ungu juga ayu, lumayan itu mas, dadanya besar!"

Suryawijaya menoleh, terlihat syok dengan ucapan Pandu yang membicarakan fisik wanita persembahan dari trah keluarga Tirtodiningratan.

"Apa? Aku sudah dewasa, mas! Jangan terus menganggapku sebagai anak kecil!"

"Jaga etika, cukup kamu batin saja untuk perkara seperti itu! Memalukan."

Pandu menepuk-nepuk pundak Suryawijaya saat pelayan kesayangan ayahnya menghaturkan sembah dan memintanya untuk bergabung dengan ndoro bei.

"Semoga beruntung mas!"

Dalam hati Pandu tertawa senang dan bersenandung. "Cintaku ini hanya cinta milik manusia biasaaa!"

•••

Suryawijaya yang begitu enggan dan marah memberi hormat seraya duduk di depan Adhiwiryo Tirtodiningratan.

"Alangkah baiknya gadis-gadis itu dipingit saja lalu menunggu waktu untuk layak diperistri, Romo. Dua diantara mereka masih SMA!" kata Suryawijaya sambil mengusap bibir cangkir.

Pemimpin yang membawa putri-putrinya untuk di persembahkan kepada Suryawijaya mengangkat tatapannya.

Adhiwijoyo meragukan pernyataan Suryawijaya, tapi mau apa dikata, tunduk kepada seorang Pangeran yang akan mewarisi takhta kerajaan adalah harga mati.

"Apakah itu yang Raden inginkan?"

Suryawijaya mengangguk tegas. "Siapapun yang akan mendampingku tidak perlu repot-repot mencariku, cukup menunggu di istana dan belajar menjadi calon pendamping yang baik!"

Suryawijaya menghentakkan cangkirnya hingga memancing Ayahanda Kaysan menajamkan mata sebagai peringatan etika sopan santun dalam jamuan makan malam.

"Pendekatan dulu akan lebih bagus, Romo. Biar akrab!" Adhiwiryo menyarankan dengan amat sabar. "Seluruh putri saya berpendidikan tinggi, terdidik dengan moral bangsa dan agama yang akan patuh dengan Raden!"

Suryawijaya mengerti, ia memperhatikan gadis-gadis yang menikmati jamuan makan malam bersama Ibunda Rinjani dan Nawangsih dengan teliti. Matanya terpaku pada gadis yang Pandu kagumi tadi.

Gadis bertubuh sintal, seksi dan memiliki dagu runcing. Ayu sekali untuk membuat Nawangsih cemburu. Suryawijaya tersenyum samar.

"Siapa nama gadis berkebaya ungu?"

Ayahanda Kaysan menyunggingkan senyum. "Pilihan yang tepat, putraku."

Suryawijaya mendengus tak kentara, tidak tertarik untuk berdebat dengan ayahnya sekarang. Ia hanya ingin cepat-cepat mengakhiri pertemuan Royal Highness Tea and Talk ini karena tujuan acara ini hanya untuk memilih salah satu dari gadis-gadis itu.

"Aku hanya menanyakan namanya, Ayah."

Adhiwiryo berdecap puas. "Gadis idaman. Namanya Keneswari Syalindri, putri pertama dari istri kedua."

"Lalu siapa yang memiliki andeng-andeng di dekat hidung?" lanjut Suryawijaya.

Ayahanda Kaysan dan Adhiwiryo saling pandang.

"Apa mungkin putraku menginginkan dua putri sekaligus?" Ayahanda Kaysan menyimpulkan.

Suryawijaya menghela napas dengan berat bagai martir seraya memandang marah ayahnya lantas tersenyum misterius.

"Kalau bisa dua kenapa tidak! Bukankah itu cukup bagus untuk membuat Romo Adhiwiryo senang?" Suryawijaya membatin, tidak akan ada dua. Cukup satu wanitaku. Nawangsih.

Adhiwiryo bangkit dengan ekspresi terluka. "Apakah Raden bermaksud untuk mengatakan bahwa saya menjual putriku demi bantuan dari kangmas Kaysan?"

Adhiwiryo berjeda. "Saya tidak mengharapkannya jika Raden memang tidak menginginkan!" urainya tampak muram ketika memberi hormat kepada birokasi tertinggi di istana itu dan Suryawijaya.

Suryawijaya menggeleng cepat-cepat. "Saya hanya mengatakan bahwa itu akan membuat panjenengan senang, bukankah begitu? Harusnya begitu karena keduanya bisa bersanding denganku. Tapi maaf, aku tidak tamak, aku hanya akan memilih salah satunya jika sanggup."

Ganti Ayahanda Kaysan dan Adhiwiryo terperangah. Lebih-lebih Adhiwiryo, ia menyunggingkan senyum dengan terpaksa.

"Baiklah, Raden. Maaf saya terbawa suasana." Adhiwiryo tersenyum sedih.

Suryawijaya bangkit, ia sudah terlalu sabar untuk menghadapi situasi yang kian malam kian kusut dan panas. Hatinya pun tidak tenang manakala Nawangsih terus mencuri perhatiannya dengan tatapan harap-harap cemas.

"Saya akan menunggu kedatangan mereka besok pagi!" Suryawijaya membungkuk hormat seraya berlalu meninggalkan ruang tamu untuk menyendiri di dalam kamar.

•••

Nawangsih mengetuk pintu kamar sang pangeran. Raut wajahnya terlihat lelah. Apalagi, sepanjang acara tadi ia dapat melihat ketegangan di raut wajah Suryawijaya sekaligus hatinya tergerus manakala ia mendengar pujian dari putri-putri Tirtodiningratan untuk Suryawijaya.

Tok, Tok, Tok.

Nawangsih menunggu dengan resah, ia bersikeras ingin tahu apakah ada yang menarik perhatian Suryawijaya karena baginya gadis-gadis tadi mirip bunga-bunga yang sedap di pandang dan memaniskan sudut mata Suryawijaya.

"Ndomas."

Pintu terbuka. Suryawijaya yang masih mengenakan ageman lengkap menaikkan alisnya.

"Acara belum selesai, kenapa kamu ada disini?"

Suryawijaya bersandar di kusen pintu, menatap Nawangsih dengan pandangan bertanya.

"Ndomas kenapa pergi?" Nawangsih ikut bersandar di kusen satunya, ia meninggalkan acara ngeteh itu dengan dalih kebelet BAB sesaat setelah Suryawijaya menghilang dari pandangannya.

"Sudah ada kesepakatan! Jadi untuk apa berlama-lama disana, membosankan."

"Maksudnya, ndomas sudah mengambil keputusan?"

Ekspresi Nawangsih berubah menjadi was-was, posisinya mulai terancam. Ia mulai berpikir untuk mengatur strategi untuk mempertahankan Suryawijaya, tapi boro-boro mengatur strategi baru, ia mecucu dan kecewa saat Suryawijaya mengiyakannya.

"Aku kira, aku singgah. Ternyata aku cuma cadangan!"

Nawangsih berjalan dengan gontai meninggalkan Suryawijaya yang puas menikmati keterperangahan itu.

Nawangsih jelas syok tanpa bisa menyembunyikan lagi ekspresinya.

Sepasang matanya lalu menghangat, sulit rasanya menahan tangis saat semuanya sudah luluh lantak. Nawangsih berhenti di belakang rumah utama, memandangi dari jauh ruang tamu yang masih menyala penuh binar bahagia.

Suryawijaya mengikutinya diam-diam, ia menyaksikan gadis itu menunduk dalam, gadis itu menangis sendiri di antara mereka yang baru menerima kesepakatan ambigu yang ia berikan.

"Maafkan aku, Nawangsih! Seandainya ada pilihan lain. Aku akan memilihnya daripada kehilanganmu." gumam Suryawijaya lirih dalam kegelapan yang menikam keresahan yang tidak dapat di prediksi lagi kapan selesainya.

Komen (6)
goodnovel comment avatar
App Putri Chinar
nawangsih....sabar.itu baru kesepakatan, mudah2an ndomas Surya tidak memilih salah satu diantara putri2 itu
goodnovel comment avatar
Edison Panjaitan STh
saling memaafkan adalah hati yang bersih
goodnovel comment avatar
Elok Fatimah
jadi ikut sedih, lihat nawangsih nangis. aahh, kbur ga bisa, ktmu tmbh perkara....
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status