Sepasang mata Suryawijaya menajam. Lagi-lagi berusaha untuk menyabarkan hati ketika Nawangsih justru memunggunginya tanpa sepatah kata setelah meneriakkan nama Citra. "Ndomas kenapa ada disini, malu ih dilihatin terus!" batin Nawangsih, ia menyerukkan wajahnya yang merah padam di bawah guling. Suryawijaya duduk gelisah di kursinya, menarik napas panjang. Ia bukan jengkel dengan Nawangsih, tapi waktu dan tempat tidak mempersilahkannya untuk berlama-lama di kamar gadis itu. "Bangun, perlihatkan wajahmu!" Nawangsih mengangguk lalu mengerjapkan mata."Tapi ndomas merem dulu. Wajahku jelek, kusut, pokoknya ambyar!" Suryawijaya kontan ternganga. Tapi hanya sesaat, setelah itu dia tersenyum samar. Iwan yang menjadi saksi hidup kisah cinta Suryawijaya dan Nawangsih membalikkan badan. "Drama di mulai." Banyak yang ia tahu sejak Nawangsih menginjakkan kaki ke dalam benteng istana. Gadis yang membawa sederet kisah hidup anak kampung yang tidak mujur, gadis ya
Iwan menggeram seraya ingin memukul kepalanya sendiri. Kenapa harus begini, kenapa harus ada mata-mata di sarang penyamun? Toh ini bukan zaman peperangan lagi, yang harus membutuhkan mata-mata di sarang musuh. Ini zaman modern dan penuh toleransi, tapi kenapa harus begini! Iwan membatin sembari menghela napas. Ia mendatangi Citra setelah mendapat wangsit yang membuatnya senang."Puasa mutihan dulu mas, laku tirakat jangan lupa biar afdol, jangan lupa juga ruwatan kalau perlu. Tapi aku ada teman disana, sesama penari juga." ucap Citra santai, tangannya dengan lihai meronce bunga melati untuk menari nanti malam dalam acara pagelaran wayang orang.Iwan menyeringai lebar. "Siapa namanya? Bisa jadi anak buahku itu cah ayu. Wah...." Aih, Citra menggeleng cepat. "Cukup aku aja mas yang jadi anak buahmu, dia gak usah, ribet, lagipula mempercayai orang yang mengabdikan diri kepada Rajanya sendiri kan gawat. Nanti buntutnya panjang, makin runyam. Sudah to, rakyat biasa seperti k
"Raden." Iwan memberi hormat dengan napas yang ngos-ngosan."Bagaimana?" Suryawijaya membuang putung rokoknya ke tanah dan menggilasnya dengan sandal, ia sudah mengira jika Iwan akan segera bertindak sesuai keinginannya. Ada banyak pertanyaan yang ingin ia ajukan kepada Iwan, tapi ia menahan diri saat di lihatnya sang Raja berjalan menuju tempatnya bersantai-santai di taman. Sang Raja ikut bergabung, menikmati bunyi air kolam dan burung hias yang bercicit riang."Bagaimana? Sudah kamu tentukan siapa calon istrimu?" tanya sang Raja.Dengan tenang Suryawijaya mengangguk seraya meminta Iwan agar tetap ditempat. Iwan membungkuk hormat seraya bersila di atas konblok, ia diam saja sambil terus mendengarkan kalimat-kalimat yang ia duga hanya bualan saja dari Suryawijaya dengan khidmat. Sang Raja pun tersenyum samar, sesaat wajahnya terlihat berseri namun juga tersirat dalam sesuatu yang tidak bisa Suryawijaya mengerti. Ayahnya terlihat was-was. "Bagus. Siapa ya
Napas Nawangsih terengah selepas pertunjukan tari selesai. Peluh terlihat membasahi badan keempat penari yang berjalan keluar melewati jalan setapak menuju ruang tata rias."Nyi Mas. Habis beres-beres makan dulu yuk. Aku laper!" ajak Citra sembari melepas pernak-pernik pentas yang melekat di tubuhnya. Nawangsih terlalu lelah menjawab, mengingat banyak kejadian yang ia lalui hari ini. Dan tak dapat ia pungkiri kalau tatapan Suryawijaya tadi menyita atensinya untuk segera pergi ke kamar. "Tidur aja gimana, Cit? Aku capek, mau bobok." Nawangsih meringis, sungguh-sungguh ia lelah, apalagi setelah menari otot-otot kakinya pegal-pegal. "Bilang aja mau video call sama Raden dikamar." tukas Citra, menirukan gaya Nawangsih jika membicarakan Suryawijaya. Nawangsih lagi-lagi hanya meringis sembari terus melepas semua pernak-pernik dan busana menarinya. Citra merapikan pernak-pernik menarinya ke dalam rak kaca dengan bibir cemberut. "Gak asyik ah, padahal aku---!" Citra m
"Karena kamu ngeyel, Tania! Coba kalau tidak." Suryawijaya menghentikan tawanya. "Kalau tidak kamu pasti tambah ayu." imbuhnya lagi dengan senang.Nawangsih mendengus seraya menghabiskan wedang rondenya, begitu pun Suryawijaya meski matanya terus-terusan memperhatikan wajah Nawangsih.Hanya denganmu aku bisa bercanda.Selesai membayar wedang ronde, mereka masih duduk berdampingan di trotoar jalan. Satu-satunya suara yang terdengar hanyalah kendaraan yang berlalu lalang dengan jarang dan suara malam.Setelah beberapa saat keheningan berjeda pembicaraan mereka. Suryawijaya bangkit seraya menatap sekeliling. Suasana yang sepi dan cenderung remang-remang."Ayo pulang."Nawangsih mengangguk. Mereka kembali menekuri trotoar jalan. Meresapi keheningan sambil terus memikirkan bagaimana besok.Mereka tahu upaya terbaik dalam waktu dekat ini adalah pasrah dan sabar. Namun Suryawijaya tak akan tinggal diam, ia akan mengulur waktu untuk membuat rencana dan menyusun taktik.Dan yang ia bisa mereka
Dengan lekat-lekat Suryawijaya memandangi Nawangsih dari kejauhan. Setelah yakin, gadis itukembali ke kamarnya dengan aman. Ia berbalik, menuju rumah utama dengan perasaan senang akan hal-hal yang membuatnya terus tersenyum selama menapaki tanah dan konblok di bawah cahaya rembulan."Masih menanti restu semesta untuk meminang Nawangsih sambil doa dan laku prihatin!" gumam Suryawijaya, menaruh sendal rumahan ke atas rak seraya menuju kamar mandi.Dalam keheningan yang dingin dan manis, ia dikejutkan dengan suara deheman dari ayahnya yang menunggunya di ruang makan.Suryawijaya menyunggingkan senyum, "Ayahanda belum tidur?" tanyanya tenang, tidak terkejut karena aroma rokok kesukaan ayahnya sudah terendusnya sejak memasuki lorong remang-remang yang menuju dapur dan kamar mandi."Darimana, putraku?" ekspresi Ayahanda kaysan juga tenang karena menghadapi putranya yang satu itu butuh ketenangan yang maskulin."Jalan-jalan diluar rumah, Ayahanda. Apa ada masalah?" Suryawijaya membawa dua ge
"Hampir saja kita dimarahin kalau sampai ndomas berdusta!" sungut Nawangsih panik. Suryawijaya masih bisa tersenyum sebelum senyuman itu surut digantikan dengan raut wajah serius. Pagi ini ia harus menemui Iwan dan jajaran pengikutnya untuk membicarakan taktik yang sudah ia susun semalam, namun di sisi lain ia juga harus menemui Keneswari."Kamu pikir untuk apa berdandan seperti itu? Apa Ayahanda akan tertipu? Kamu ini masih saja, kurang pintar!""Astaga, ndomas!" pekik Nawangsih, "ini hanya antisipasi dadakan untuk mengurangi hukuman, bukan berarti aku tidak pintar. Udah ah, ndomas juga tidak peka, tidak bilang kalau Ayahanda sudah tau kalau semalam kita mencuri kebebasan!" Nawangsih merapikan rambutnya."Jadi tadi malam kalian pergi berdua, Raden, Nawangsih?" sahut eyang Ningrum yang berjalan di belakang mereka.Nawangsih mengangguk pelan. Siap-siap mendengar wejangan panjang dari eyang untuk tidak berlaku liar tanpa aturan."Benar eyang, tapi itu sepenuhnya salahku." ucap Suryawijay
Suryawijaya memalingkan wajah untuk bicara dengan Iwan yang serius menyetir mobil."Ini sebenarnya lucu, mas. Aku yakin, bukan hanya soal perjodohan saja, pasti Ayahanda menyembunyikan sesuatu dariku." ucap Suryawijaya risau.Iwan mengangguk pun dengan serius. Tanpa benar-benar diniatkan, semalam dia menghabiskan beberapa jam hanya untuk berpikir agar apa yang ia pilih tidak salah."Konon katanya, dulu yang saya dengar dari pelayan sepuh yang mengabdi kepada Ayahanda sejak kecil, perjodohan antara beliau dan ibu Nurmalasari gagal dilakukan. Mungkin itulah sebabnya, Raden. Mengapa beliau kembali menginginkan bersatunya kedua belah pihak. Untuk selebihnya saya sungkan menjabarkan."Iwan tersenyum sopan, sementara Nawangsih sedang asyik menikmati petuah bijak dan meriset pekerjaan dengan Ibunda Rinjani, Suryawijaya harus bergelut dengan pikirannya sendiri."Aku sudah biasa menjaga jarak dengan perempuan. Sekarang... aku harus berkunjung ke rumah perempuan yang aku tahu sama sepertiku, suk