"Karena kamu ngeyel, Tania! Coba kalau tidak." Suryawijaya menghentikan tawanya. "Kalau tidak kamu pasti tambah ayu." imbuhnya lagi dengan senang.Nawangsih mendengus seraya menghabiskan wedang rondenya, begitu pun Suryawijaya meski matanya terus-terusan memperhatikan wajah Nawangsih.Hanya denganmu aku bisa bercanda.Selesai membayar wedang ronde, mereka masih duduk berdampingan di trotoar jalan. Satu-satunya suara yang terdengar hanyalah kendaraan yang berlalu lalang dengan jarang dan suara malam.Setelah beberapa saat keheningan berjeda pembicaraan mereka. Suryawijaya bangkit seraya menatap sekeliling. Suasana yang sepi dan cenderung remang-remang."Ayo pulang."Nawangsih mengangguk. Mereka kembali menekuri trotoar jalan. Meresapi keheningan sambil terus memikirkan bagaimana besok.Mereka tahu upaya terbaik dalam waktu dekat ini adalah pasrah dan sabar. Namun Suryawijaya tak akan tinggal diam, ia akan mengulur waktu untuk membuat rencana dan menyusun taktik.Dan yang ia bisa mereka
Dengan lekat-lekat Suryawijaya memandangi Nawangsih dari kejauhan. Setelah yakin, gadis itukembali ke kamarnya dengan aman. Ia berbalik, menuju rumah utama dengan perasaan senang akan hal-hal yang membuatnya terus tersenyum selama menapaki tanah dan konblok di bawah cahaya rembulan."Masih menanti restu semesta untuk meminang Nawangsih sambil doa dan laku prihatin!" gumam Suryawijaya, menaruh sendal rumahan ke atas rak seraya menuju kamar mandi.Dalam keheningan yang dingin dan manis, ia dikejutkan dengan suara deheman dari ayahnya yang menunggunya di ruang makan.Suryawijaya menyunggingkan senyum, "Ayahanda belum tidur?" tanyanya tenang, tidak terkejut karena aroma rokok kesukaan ayahnya sudah terendusnya sejak memasuki lorong remang-remang yang menuju dapur dan kamar mandi."Darimana, putraku?" ekspresi Ayahanda kaysan juga tenang karena menghadapi putranya yang satu itu butuh ketenangan yang maskulin."Jalan-jalan diluar rumah, Ayahanda. Apa ada masalah?" Suryawijaya membawa dua ge
"Hampir saja kita dimarahin kalau sampai ndomas berdusta!" sungut Nawangsih panik. Suryawijaya masih bisa tersenyum sebelum senyuman itu surut digantikan dengan raut wajah serius. Pagi ini ia harus menemui Iwan dan jajaran pengikutnya untuk membicarakan taktik yang sudah ia susun semalam, namun di sisi lain ia juga harus menemui Keneswari."Kamu pikir untuk apa berdandan seperti itu? Apa Ayahanda akan tertipu? Kamu ini masih saja, kurang pintar!""Astaga, ndomas!" pekik Nawangsih, "ini hanya antisipasi dadakan untuk mengurangi hukuman, bukan berarti aku tidak pintar. Udah ah, ndomas juga tidak peka, tidak bilang kalau Ayahanda sudah tau kalau semalam kita mencuri kebebasan!" Nawangsih merapikan rambutnya."Jadi tadi malam kalian pergi berdua, Raden, Nawangsih?" sahut eyang Ningrum yang berjalan di belakang mereka.Nawangsih mengangguk pelan. Siap-siap mendengar wejangan panjang dari eyang untuk tidak berlaku liar tanpa aturan."Benar eyang, tapi itu sepenuhnya salahku." ucap Suryawijay
Suryawijaya memalingkan wajah untuk bicara dengan Iwan yang serius menyetir mobil."Ini sebenarnya lucu, mas. Aku yakin, bukan hanya soal perjodohan saja, pasti Ayahanda menyembunyikan sesuatu dariku." ucap Suryawijaya risau.Iwan mengangguk pun dengan serius. Tanpa benar-benar diniatkan, semalam dia menghabiskan beberapa jam hanya untuk berpikir agar apa yang ia pilih tidak salah."Konon katanya, dulu yang saya dengar dari pelayan sepuh yang mengabdi kepada Ayahanda sejak kecil, perjodohan antara beliau dan ibu Nurmalasari gagal dilakukan. Mungkin itulah sebabnya, Raden. Mengapa beliau kembali menginginkan bersatunya kedua belah pihak. Untuk selebihnya saya sungkan menjabarkan."Iwan tersenyum sopan, sementara Nawangsih sedang asyik menikmati petuah bijak dan meriset pekerjaan dengan Ibunda Rinjani, Suryawijaya harus bergelut dengan pikirannya sendiri."Aku sudah biasa menjaga jarak dengan perempuan. Sekarang... aku harus berkunjung ke rumah perempuan yang aku tahu sama sepertiku, suk
Seperti penari klasik kebanyakan yang kerap Iwan temui, paras gadis penari itu ayu khas perempuan Jawa. Iwan terus melihatnya untuk memuaskan rasa penasaran, berusaha membaca gelagatnya. Ia terus mengulur waktu sambil menyatu di tengah pengunjung lainnya. Pura-pura kamuflase, padahal ia terlihat paling sepuh diantara pengunjung cafe lainnya yang rata-rata muda-muda dan fashionable."Pakdhe mana sih?" Raras celingukan dengan wajah kesal karena Iwan yang menjanjikan pertemuan tak kunjung datang, "piye to iki!" Raras yang kian tidak sabar lantas menghubungi Citra.Citra sontak menggeliat kegelian saat benda pipih itu terus bergetar-getar."Mode getar bikin gak tenang." Citra mengendap-endap keluar dari ruang tata rias seraya menerima telepon dari Raras. Sementara Raras mendengar penjelasan Citra, gadis itu terus mengedarkan pandangannya ke segala penjuru untuk mencari profil Iwan."Raden sudah mewanti-wanti agar hati-hati, jadi sekarang apa besok bilangnya!"Belum kelar berpikir dan bergu
"Apa yang kamu bicarakan dengan Nawangsih, mas?" sentak Suryawijaya di depan Iwan yang sudah menunggu momen ini akan terjadi.Iwan cengengesan, menahan gemas seolah melihat Suryawijaya ikut menjadi cacing yang ditaburi garam seperti Nawangsih tadi."Jawab atau saya pecat!" ancam Suryawijaya. Tidak menoleransi lagi karena omongan Iwan yang nyeleneh membuat gadis itu menghindarinya. Apalagi urusan memata-matai Romo Adhiwiryo membuat isi kepalanya semakin penuh dan panas."Kalau saya dipecat lalu siapa yang menjadi kaki tangan Raden?" goda Iwan, memasang wajah tenang sambil menikmati raut wajah Suryawijaya yang kesal."Mas, saya sedang tidak bercanda. Katakan atau istrimu akan tahu rahasiamu!" ucap Suryawijaya, memelototinya dengan galak.Dalam hati Iwan tertawa senang, hanya satu kelemahan Suryawijaya. Nawangsih tak acuh kepadanya hingga Ibunda Rinjani harus turun tangan untuk mengurus kedua anaknya itu agar akur kembali."Saya hanya bilang jika tadi pagi Raden dan Keneswari berduaan di
Nawangsih tercekat sesaat mendengar gagasan dari orang tuanya. Ditatapnya wajah mereka yang kembali menikmati sandiwara itu sambil bergenggaman tangan.Dalam hati Nawangsih langsung memanjatkan doa dengan sungguh-sungguh. "Gusti Murbeng Jagad, kalau ndomas masih ada di undakan tolong turunkan hujan agar dia pindah ke dalam rumah sekarang. Amin."Suryawijaya menengadah menatap langit yang kian gelita di tutupi awan gelap. Sesaat, tanpa menunggu lama geledek terdengar dan rintik-rintik hujan mulai berjatuhan dari langit membasahi wajahnya."Weh, udan salah mongso iki!" gumamnya heran.Nawangsih tersenyum lega. Doanya terkabul secepat itu, seolah membuatnya percaya dengan hal-hal yang tidak pernah ia percaya sebelumnya. "Terima kasih Gusti sudah mendengar doa anak yatim-piatu sepertiku."Nawangsih kembali menikmati pertunjukan wayang sampai selesai, sampai hujan reda dan menyisakan dingin yang mulai merambati kaki telanjangnya."Ibunda, Ayahanda. Nawangsih pamit ke kamar terlebih dahulu."
Nawangsih membawa nampan dengan hati senang, bukan karena ingin bertemu dengan pujaan hati melainkan ingin melihat wajah milik Suryawijaya yang tidak pernah ia lihat sebelumnya."Baru sekali bertingkah langsung masuk angin! Ndomas, ndomas."Langkah kaki Nawangsih otomatis berhenti di balik pintu yang terbuka sedikit. Nawangsih bergeming cukup lama dengan kuping yang mendengarkan baik-baik dari kamar Suryawijaya.Iwan mengedarkan pandang, antara melihat Suryawijaya, pasangan suami istri yang mengomeli anaknya dengan tatapan galak dan gadis lugu nan polos seperti Nawangsih, Dyah. Sampai Iwan menyadari ada bayang-bayang aneh di belakang pintu."Gadis yang beruntung, bahkan aku tidak pernah masuk ke kamar ini meski melabeli adik dan pujaan hati." ratap Nawangsih seraya menyunggingkan senyum saat pintu kamar terbuka."Selamat pagi, ndomas."Suryawijaya tak menjawab. Dia tahu Nawangsih akan semakin marah karena Dyah ada didekatnya.Nawangsih memberi hormat sebelum beringsut mundur ke samping