Suryawijaya tersenyum sembari mengangguk-angguk kepala menatap lukisan yang terbingkai warna emas. Lukisan yang ia garap dua Minggu sebelum perhelatan akbar trah Tirtodiningratan yang telah membawanya pada satu proses yang tak hanya membangun karya, namun juga membentuk sikap, nilai dan menghargai satu titik masa yang membuatnya lebih memantaskan diri."Mas Surya memanggilku?" tanya Nawangsih dari belakang Suryawijaya.Suryawijaya mengangguk seraya berbalik. Mereka saling tatap, manik mata itu sama-sama tidak berkedip untuk beberapa detik sebelum Nawangsih menunduk sambil tersenyum malu."Mas Surya ada keperluan apa?" tanyanya lagi. Dan untuk kedua kalinya mereka saling bertatapan. Suryawijaya tersenyum lembut.Melihat ekspresinya yang sudah cerah, Nawangsih bisa menyimpulkan keadaannya sekarang.Suryawijaya berbalik tanpa menjawab pertanyaan Nawangsih, dia hanya menunjukkan karyanya. Sebuah lukisan persegi panjang, bertema daur hidup Nawangsih yang berakhir dengan masa tua bersamanya.
Suryawijaya menyeringai lebar. Entah ego yang bicara atau cinta yang bicara, dia enggan menyimpulkan sendiri karena kenyataannya banyak jalan buntu yang harus dia lalui sebelum menjadi putra pewaris tahta yang mumpuni. Sementara bagi Nawangsih, keputusan Suryawijaya untuk mengejar gelar doktor membuatnya yakin ada macam-macam rencana yang tidak lelaki itu bicarakan dengannya.Sekarang, isi kepala Nawangsih berisi dugaan-dugaan. Nawangsih memberengut, dia menyandarkan lukisannya di tembok seraya merenggangkan lengannya yang pegal sebelum mengajak lelaki itu mencuri kesempatan untuk berdebat."Jangan pamer gigi saja, Mas. Katakan sejujurnya!" desak Nawangsih dengan nada memaksa walau kedengarannya tetap saja lucu bagi Suryawijaya.Suryawijaya semakin menyeringai lebar dan terlihat konyol."Aku hanya ingin membuat Mbak Lilah kalah karena dia hanya lulusan S2, sementara aku nanti S3, Tania. Itu rencana awalnya, sementara rencana selanjutnya belum kepikiran." Suryawijaya jujur. Mungkin duga
Keneswari mencubit perut Suryawijaya saking lamanya pria itu terdiam. “Jawab, Kang Mas. Sebel ah, diam terus.”Suryawijaya sempat tersentak dengan kekacauan yang baru saja terjadi. Rasa panas pun menjalar di bagian tubuh yang dicubit Keneswari. "Baik-baik bisa tidak?" ucapnya tanpa emosi. sambil memandangi Keneswari."Habis Kang Mas melamun. Sakit, ya?" Keneswari mengusap bekas cubitannya sambil membalas tatapan Suryawijaya.“Maaf deh, habis gemas. Kamu nggak berubah."Suryawijaya tercengang. Jantungnya seakan-akan nyaris melompat dari tempatnya. Rabaan itu benar-benar bahaya, pelan dan menggoda.Suryawijaya berdehem. "Cukup, oke." ucapnya sambil menahan pergelangan tangan Keneswari. "Kuku panjangmu mirip cakar macan, bahaya." selorohnya untuk mengalihkan pembicaraan."Enak aja Mas bicara. Ini cantik tau, bagus, dibilang mirip cakar macan!" sahut Keneswari sambil memandangi kukunya yang lentik, lancip dan berwarna merah muda. Bibirnya pun mengerucut seolah sebal dengan penuturan Sury
Suryawijaya melangkahkan kakinya lebar-lebar di bawah rimbunan pohon. Mulutnya mengutuki kebodohannya sendiri yang terbius oleh kecantikan Keneswari. Dan mendadak bayangan akan air mata yang bercucuran di wajah Nawangsih membuatnya tersandung, Suryawijaya nyaris nyusruk ke tanah jika dia tidak sigap menyeimbangkan tubuhnya. Suryawijaya membuang napas dan menyugar rambutnya. "Aku tidak membayangkan akan seperti ini akhirnya. Sumpah, tadi seperti bukan aku." batinnya dalam hati. Suryawijaya melanjutkan langkahnya menuju bangunan tempat tinggalnya, dia lebih berhati-hati saat menyadari perbuatannya menyalahi aturan keluarga.Tujuannya hanya, Nawangsih. Namun baru saja dia keluar dari lorong yang tenang dan remang-remang. Suryawijaya dikejutkan dengan munculnya Eyang Ningrum. "Eyang!" gumam Suryawijaya, jantungnya berdetak kencang lalu memandangi pengasuh Nawangsih dengan gugup. Eyang Ningrum mengangguk, paham akan kehadiran Suryawijaya setelah kejadian paling membombardir Nawangsih t
Dendra memperlama durasinya di kamar mandi sambil mengetik pesan untuk Suryawijaya. Sementara, di kamar yang berhiaskan beberapa figur wayang kulit punakawan itu, lelaki yang resah setiap kali mengingat kecerobohannya tadi malam langsung menyambar jaket dan kunci motor."Aku datang, Tania Putri."•••Nawangsih mengerucutkan bibirnya sambil bergeming di depan toilet."Lama banget sih, Mas. Aku juga mau pakai toilet!" teriak Nawangsih sambil menggebrak pintu.Dendra yang asyik ngerokok sambil menunggu sesuatu terperanjat. Keheningan kamar mandi dan gemercik air yang menenangkan sontak buyar gara-gara Nawangsih. Ponselnya bahkan jatuh sampai ke lantai.Dendra mengumpat jengkel sambil memungut ponselnya dan mengelapnya dengan kaus."Sembelit! Bentar." teriak Dendra dengan raut wajah masam. "Paling sebel aku baru enak-enak di ganggu." gerutunya sambil memasang wajah serius. Sesaat kemudian, wajahnya langsung plong los dan semringah. Dendra menyemprotkan parfum ruangan sebelum membuka pintu
Suryawijaya menghela napas, membiarkan keheningan membius suasana sebelum dia mengamati Nawangsih sambil menjejalkan tangannya ke dalam saku jaket."Kamu ingin apa, Tania? Kejujuran?" tanya Suryawijaya seraya bergerak memutus jarak.Nawangsih beringsut mundur sampai membentur tembok, wajahnya menjadi was-was, tangannya bahkan menyilang sebagai refleks melindungi diri.Suryawijaya tersenyum sembari mencondongkan tubuh untuk menghirup aroma oriental floral dari tubuh Nawangsih dan yakin gadis itu panik dengan reaksinya sekarang. "Jawab Tania." bisik Suryawijaya.Bulu-bulu halus di lengan Nawangsih meremang. Nawangsih menggeleng samar. "Tidak perlu kejujuran!" jawabnya lalu memalingkan wajah.Suryawijaya berdehem seraya menegakkan tubuh. Dia memang pernah berjanji untuk tidak menceritakan apa pun perihal pendekatannnya dengan Keneswari dan Dyah. Pengembaraan itu membuatnya lebih mengenal banyak tipe perempuan. Entah dari aspek paling dekat di kehidupannya sampai yang melenceng jauh dan m
Nawangsih mendudukkan tubuhnya di jok motor paling belakang, menjaga jarak dari punggung lelaki yang memaksanya untuk membonceng walau dia sudah menolak dan merengek pada Dendra untuk menyelamatkan kuncinya."Hati-hati di jalan, Yang Mulia. Anaknya bisa lompat tiba-tiba. Di jaga." seru Dendra, mengompori Suryawijaya hingga membuatnya perlu menarik tangan Nawangsih dan menaruhnya di pinggangnya. "Pulang dulu, Mas. Titip motor Nawangsih." Dendra mengacungkan jempolnya seraya menyaksikan sepasang sejoli yang nampaknya masih tetap akan bertengkar di rumah karena sepanjang jalan menuju rumah, kecamuk pikiran masih melanda Suryawijaya dan Nawangsih.Lima belas menit kemudian. Motor meliuk ke arah kiri, Suryawijaya menggeber motor dengan kecepatan sedang lantas berhenti di kedai boba yang berdampingan dengan kedai mister burger."Mau rasa apa?" tanya Suryawijaya setelah turun dari motor.Nawangsih mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Menolak menjawab atau bersusah payah ikut turun dari motor.
Langit biru dengan sedikit awan dan bunyi serangga tonggeret menjadi lagu alam saat menyambut kedatangan keluarga Adhiwiryo di ruang tamu keluarga yang telah di susun sedemikian rapi dan bersih.Nawangsih dan Suryawijaya yang kepergok jalan bareng oleh Rinjani kini sudah rapi jali dan bergeming di belakang orang tuanya.Nawangsih berusaha tersenyum lepas saat menyapa Keneswari yang cantik bersinar dan wangi itu, sementara Suryawijaya yang baru tahu jika kunjungan dari keluarga Adhiwiryo terdengar formal menjadi was-was. Dia seolah takut Keneswari menceritakan apa sudah terjadi di antara mereka."Monggo, silahkan duduk." Rinjani mempersilakan sembari tersenyum hangat.Para tetamu memberi hormat seraya duduk di kursi antik yang memiliki meja oval sepanjang tiga meter. Dua jambangan klasik berisi bunga mawar dan sedap malam berada di antara jejeran piring dan mangkok klasik yang berisi makanan rumahan."Silakan di nikmati makan siangnya, sebelum ngobrol-ngobrol." Rinjani mengusap bahu Ibu