Suryawijaya menghela napas, membiarkan keheningan membius suasana sebelum dia mengamati Nawangsih sambil menjejalkan tangannya ke dalam saku jaket."Kamu ingin apa, Tania? Kejujuran?" tanya Suryawijaya seraya bergerak memutus jarak.Nawangsih beringsut mundur sampai membentur tembok, wajahnya menjadi was-was, tangannya bahkan menyilang sebagai refleks melindungi diri.Suryawijaya tersenyum sembari mencondongkan tubuh untuk menghirup aroma oriental floral dari tubuh Nawangsih dan yakin gadis itu panik dengan reaksinya sekarang. "Jawab Tania." bisik Suryawijaya.Bulu-bulu halus di lengan Nawangsih meremang. Nawangsih menggeleng samar. "Tidak perlu kejujuran!" jawabnya lalu memalingkan wajah.Suryawijaya berdehem seraya menegakkan tubuh. Dia memang pernah berjanji untuk tidak menceritakan apa pun perihal pendekatannnya dengan Keneswari dan Dyah. Pengembaraan itu membuatnya lebih mengenal banyak tipe perempuan. Entah dari aspek paling dekat di kehidupannya sampai yang melenceng jauh dan m
Nawangsih mendudukkan tubuhnya di jok motor paling belakang, menjaga jarak dari punggung lelaki yang memaksanya untuk membonceng walau dia sudah menolak dan merengek pada Dendra untuk menyelamatkan kuncinya."Hati-hati di jalan, Yang Mulia. Anaknya bisa lompat tiba-tiba. Di jaga." seru Dendra, mengompori Suryawijaya hingga membuatnya perlu menarik tangan Nawangsih dan menaruhnya di pinggangnya. "Pulang dulu, Mas. Titip motor Nawangsih." Dendra mengacungkan jempolnya seraya menyaksikan sepasang sejoli yang nampaknya masih tetap akan bertengkar di rumah karena sepanjang jalan menuju rumah, kecamuk pikiran masih melanda Suryawijaya dan Nawangsih.Lima belas menit kemudian. Motor meliuk ke arah kiri, Suryawijaya menggeber motor dengan kecepatan sedang lantas berhenti di kedai boba yang berdampingan dengan kedai mister burger."Mau rasa apa?" tanya Suryawijaya setelah turun dari motor.Nawangsih mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Menolak menjawab atau bersusah payah ikut turun dari motor.
Langit biru dengan sedikit awan dan bunyi serangga tonggeret menjadi lagu alam saat menyambut kedatangan keluarga Adhiwiryo di ruang tamu keluarga yang telah di susun sedemikian rapi dan bersih.Nawangsih dan Suryawijaya yang kepergok jalan bareng oleh Rinjani kini sudah rapi jali dan bergeming di belakang orang tuanya.Nawangsih berusaha tersenyum lepas saat menyapa Keneswari yang cantik bersinar dan wangi itu, sementara Suryawijaya yang baru tahu jika kunjungan dari keluarga Adhiwiryo terdengar formal menjadi was-was. Dia seolah takut Keneswari menceritakan apa sudah terjadi di antara mereka."Monggo, silahkan duduk." Rinjani mempersilakan sembari tersenyum hangat.Para tetamu memberi hormat seraya duduk di kursi antik yang memiliki meja oval sepanjang tiga meter. Dua jambangan klasik berisi bunga mawar dan sedap malam berada di antara jejeran piring dan mangkok klasik yang berisi makanan rumahan."Silakan di nikmati makan siangnya, sebelum ngobrol-ngobrol." Rinjani mengusap bahu Ibu
Kesehatan Ayahanda Suryawijaya menurun sejak penyakit yang diam-diam menggerogoti tubuhnya setahun lalu kambuh, beliau kini masih berada di ruang perawatan intensif rumah sakit."Ibunda istirahat dulu saja." Suryawijaya menyentuh bahu ibunya seraya bergeming di belakangnya. "Ayahanda saja tidur, tidak perlu ditunggu seperti ini. Nanti Ibu ikut sakit. Aku kepikiran.""Ibunda tidak tenang, Suryawijaya. Kamu dan Adikmu pasti sekarang bingung harus bagaimana. Kalian pasti juga bertengkar.""Sudah, Bun. Jangan memikirkan masalah itu, fokus dengan Ayahanda saja!" Suryawijaya berkata dengan frustasi.Rinjani menggelengkan kepala. Semua ada di kepalanya. Anak, suami, dan keadaan di luar sana yang tidak bisa dia kendalikan."Kamu itu lho, sudah di kasih kesempatan menolak perjodohan kok bisa-bisanya pergi sampai ke Singapura berdua. Apa kamu tidak berpikir akibat dari perbuatanmu itu dapat mengurangi kepercayaan Nawangsih dan ayahmu?"Suryawijaya menundukkan kepalanya. Sore itu banyak perasaan
Nawangsih dan Suryawijaya sama-sama menundukkan kepala ketika pintu ruang inap Ayah mereka terbuka. ‘Aku tidak yakin kedatangan ini bisa membuat keadaan membaik. Aku gugup bertemu ayah.’ batin Nawangsih sebelum menyapa Ayahnya lebih dulu ketimbang Suryawijaya yang lebih banyak diam sepanjang makan malam bersama tadi.Kaysan menatap kehadiran kedua anaknya dengan alis yang terangkat. Pria baya itu masih memakai selang oksigen demi memperlancar proses pernapasannya melambaikan tangannya dengan lemah kepada Nawangsih."Ayahanda." Nawangsih tersenyum simpul seraya duduk di kursi. Wajah pucat yang berada di depannya itu semakin membuat jiwanya terguncang, duka Nawangsih semakin merembes ke mana-mana tak terkecuali pelupuk mata. "Ayahanda belum makan?" tanya Nawangsih setelah melihat makan malam Ayahnya utuh di atas meja."Ayahanda tidak mau makan kalau bukan Ibunda yang menyuapinya." sahut Pandu. "Aku tadi sudah merayu Ayahanda, Ayahanda menolaknya mentah-mentah katanya aku tidak ahli dal
Hiruk pikuk kesibukan para pekerja keras sebelum matahari terbit mengalihkan atensi Suryawijaya sepanjang jalan menuju rumah. Ada beribu paradigma 'jalan' yang kelak akan menentukan masa depannya dan keluarganya dalam beberapa hari ke depan.Suryawijaya mengerjapkan mata kantuknya, dan jiwanya yang tidak tentram membuatnya bingung harus menjelaskan pada Nawangsih hasil akhir perjuangannya."Sebagian paru-paru Ayahanda sudah tidak baik, kemungkinan besar harus menjalani terapi pengobatan atau operasi, Ibunda belum tahu pasti, tapi dalam waktu dekat ini Ayahanda harus menjalani general check up setelah kondisinya stabil." ucap Ibunya tadi malam setelah salat tahajud.Suryawijaya sempat menanyakan kenapa paru-parunya bermasalah karena ayahnya tidak pernah sakit parah kecuali batuk berkepanjangan yang sering kali kambuh ketika kelelahan.Rinjani mengendikkan bahu, tetap membicarakan tentangnya."Mas Suryawijaya, jika kamu memang menyukai Keneswari, berhentilah memberi harapan untuk Nawangs
Matahari semakin benderang ketika akhirnya Suryawijaya, Nawangsih dan segerombolan pelayannya yang akan membantu jalannya pesta akbar sampai di pelataran parkir kediaman trah Tirtodiningratan yang bergaya indische yang masuk dalam kategori bangunan bersejarah.Nawangsih memandangi sekeliling dari balik kaca mobil dengan konsentrasi penuh. "Benar, terakhir ke sini rumah ini kurang terawat tapi Mas Surya kelihatan berhasil membuatnya lebih baik, pasti sekarang Romo Adhiwiryo tambah menyukainya terlepas dari kecurigaan yang terjadi." batin Nawangsih lalu tersenyum lebar. "Mas Surya akan menjadi pewaris tahta yang mumpuni nanti, dia berhasil membuktikan kepada Ayahanda.""Kamu tidak turun, cah ayu?" Iwan menyela, sementara Suryawijaya sudah keluar dari mobilnya sendiri. Memisahkan diri untuk menghindari perdebatan ataupun rasa yang kembali menggeliat hebat di relung hatinya."Turun, Mas. Tapi apa rencana hari ini?" tanya Nawangsih, segenap hatinya penasaran sekaligus ingin menyiapkan diri
Nawangsih menerima buku bersampul hitam dari Citra pukul setengah delapan malam setelah kepulangannya dari Tirtodiningratan."Apa ini, Cit?" tanya Nawangsih seraya mencampakkan handuk dari kepalanya. Gadis itu mengibaskan rambutnya yang lembap seraya menyisirnya dengan pelan. Nawangsih nampak segar meski terlihat lelah akibat aktivitas yang mengharuskannya mengganti pakaiannya dengan pakaian biasa milik Keneswari sepanjang mengikuti persiapan yang menguras energinya. Citra meraih handuk Nawangsih yang terdampar di kasur seraya menggantungkannya di palang bambu cendani."Itu pokoknya tentang Mas Suryawijaya, kamu bisa membacanya dan dijamin akurat." jawab Citra seraya meraih bantal Nawangsih dan memeluknya.Citra memejamkan mata walau sepenuhnya masih sadar dengan keadaan di sekitarnya."Ibunda belum menyuruhmu tinggal di sini, Cit?" Nawangsih menaruh buku catatan itu di atas meja rias seolah belum berminat membaca isinya."Orang tuaku belum mengizinkan, Naw. Apalagi serumah sama Mas