Hiruk pikuk kesibukan para pekerja keras sebelum matahari terbit mengalihkan atensi Suryawijaya sepanjang jalan menuju rumah. Ada beribu paradigma 'jalan' yang kelak akan menentukan masa depannya dan keluarganya dalam beberapa hari ke depan.Suryawijaya mengerjapkan mata kantuknya, dan jiwanya yang tidak tentram membuatnya bingung harus menjelaskan pada Nawangsih hasil akhir perjuangannya."Sebagian paru-paru Ayahanda sudah tidak baik, kemungkinan besar harus menjalani terapi pengobatan atau operasi, Ibunda belum tahu pasti, tapi dalam waktu dekat ini Ayahanda harus menjalani general check up setelah kondisinya stabil." ucap Ibunya tadi malam setelah salat tahajud.Suryawijaya sempat menanyakan kenapa paru-parunya bermasalah karena ayahnya tidak pernah sakit parah kecuali batuk berkepanjangan yang sering kali kambuh ketika kelelahan.Rinjani mengendikkan bahu, tetap membicarakan tentangnya."Mas Suryawijaya, jika kamu memang menyukai Keneswari, berhentilah memberi harapan untuk Nawangs
Matahari semakin benderang ketika akhirnya Suryawijaya, Nawangsih dan segerombolan pelayannya yang akan membantu jalannya pesta akbar sampai di pelataran parkir kediaman trah Tirtodiningratan yang bergaya indische yang masuk dalam kategori bangunan bersejarah.Nawangsih memandangi sekeliling dari balik kaca mobil dengan konsentrasi penuh. "Benar, terakhir ke sini rumah ini kurang terawat tapi Mas Surya kelihatan berhasil membuatnya lebih baik, pasti sekarang Romo Adhiwiryo tambah menyukainya terlepas dari kecurigaan yang terjadi." batin Nawangsih lalu tersenyum lebar. "Mas Surya akan menjadi pewaris tahta yang mumpuni nanti, dia berhasil membuktikan kepada Ayahanda.""Kamu tidak turun, cah ayu?" Iwan menyela, sementara Suryawijaya sudah keluar dari mobilnya sendiri. Memisahkan diri untuk menghindari perdebatan ataupun rasa yang kembali menggeliat hebat di relung hatinya."Turun, Mas. Tapi apa rencana hari ini?" tanya Nawangsih, segenap hatinya penasaran sekaligus ingin menyiapkan diri
Nawangsih menerima buku bersampul hitam dari Citra pukul setengah delapan malam setelah kepulangannya dari Tirtodiningratan."Apa ini, Cit?" tanya Nawangsih seraya mencampakkan handuk dari kepalanya. Gadis itu mengibaskan rambutnya yang lembap seraya menyisirnya dengan pelan. Nawangsih nampak segar meski terlihat lelah akibat aktivitas yang mengharuskannya mengganti pakaiannya dengan pakaian biasa milik Keneswari sepanjang mengikuti persiapan yang menguras energinya. Citra meraih handuk Nawangsih yang terdampar di kasur seraya menggantungkannya di palang bambu cendani."Itu pokoknya tentang Mas Suryawijaya, kamu bisa membacanya dan dijamin akurat." jawab Citra seraya meraih bantal Nawangsih dan memeluknya.Citra memejamkan mata walau sepenuhnya masih sadar dengan keadaan di sekitarnya."Ibunda belum menyuruhmu tinggal di sini, Cit?" Nawangsih menaruh buku catatan itu di atas meja rias seolah belum berminat membaca isinya."Orang tuaku belum mengizinkan, Naw. Apalagi serumah sama Mas
Segala rencana untuk saling menghindari satu sama lain termentahkan oleh jalan semesta yang kembali menghubungkan mereka dalam satu ruang yang sama. Nawangsih dan Suryawijaya bertemu di rumah sakit dihadapan orang tua mereka.Rinjani tersenyum hangat seraya ikut duduk di sofa. "Kalian ingin menjaga Ayahanda?" Beliau menatap anaknya bergantian."Tadi Citra memintaku untuk buru-buru ke sini. Apa Ibunda ada acara penting?" tanya Nawangsih panik."Iya." Rinjani mengangguk. "Ibunda harus menggantikan Ayahanda mendatangi rapat di gedung perusahaan pusat, kamu bisa menjaga Ayah? Hanya dua jam. Ibu akan segera kembali secepatnya." janjinya dengan serius.Nawangsih mengangguk, tidak keberatan sama sekali. "Ibunda segera pulang saja untuk siap-siap."Rinjani menatapnya lekat lalu beralih menatap Suryawijaya yang membisu."Bagaimana dengan persiapanmu? Sudah beberapa persen? Maaf Ibu belum bisa melihatnya."Suryawijaya berdehem, matanya mengenali ekspresi wajah sang ibu. Keresahan-keresahan itu m
Suryawijaya beranjak dengan hati yang tercabik-cabik meski pria itu terus menatap Nawangsih dengan bibir yang tertutup rapat tanpa ada satu pun kata yang mampu diucapkan setelahnya. Asa itu mulai memudar digantikan oleh rasa pedih yang mendalam.Tangan Nawangsih terulur untuk melepas gelang couple yang menjadi simbol kepemilikan mereka dari pergelangan tangan Suryawijaya, dia pun juga segera melepas gelang miliknya."Aku tidak suka dengan pikiranku sekarang, Mas Surya." gumam Nawangsih, menimbang-nimbang harus diapakan gelang itu."Buang saja, sudah jelek dan tidak pantas kita gunakan." pungkas Suryawijaya seraya mengacak-acak rambut Nawangsih dengan gemas walau terasa berat. Tapi dia yakin gelang sederhana yang mereka beli di emperan toko Malioboro sewaktu hujan turun akan tergantikan dengan gelang emas."Baik." Nawangsih buru-buru menaruhnya di atas meja, memberi jeda untuk berpikir tentang gagasannya sendiri mengenai gelang itu. "Mas pergi saja kalau ada sesuatu yang penting, aku d
Jamuan makan malam yang diiringi suara gamelan dan lagu alam berakhir dengan senyum cerah di wajah Adhiwiryo, beliau ditemani oleh Keneswari dan Dyah sudah menunggu momen ini. Momen di mana penentuan siapa yang kelak akan mendampingi Sang Pangeran, Suryawijaya.Rinjani yang mendampingi Suryawijaya seorang diri tanpa suami ikut tersenyum. Semua sudah dibicarakan dengan hati dan kesadaran. Baik keresahannya tentang Nawangsih dan rencana kedepannya, Rinjani memahami tanpa ikut campur, tanpa membuka rahasia mereka berdua. Rinjani akan membiarkan semua itu mengalir apa adanya, sesuai jalan semesta dan rahasia kehidupan.Adhiwiryo memberi hormat seraya mengajak tamu kehormatannya untuk menuju ruang pribadi. Ruang yang terlihat seperti meja perundingan itu membuat Suryawijaya cemas. Pasalnya perempuan paling cantik dihidupnya ikut duduk di sana. Nawangsih duduk dengan anggun sambil tersenyum hangat seolah membantah tuduhan yang pernah dilayangkan untuknya, untuk keluarganya dari Keneswari.S
Nawangsih memalingkan wajah, merekam semua kenangannya di rumah lekat-lekat sampai Dendra perlu meraih tangannya."Kamu harus ke bandara sekarang, Tania!" Dendra berkata dengan tegas dan iba. Lelaki itu yang membantunya mengurus semua kelangkaan dokumen hingga tempat tinggalnya selama di London.Nawangsih menghela napas berat, dia mengangguk seraya mengikuti Dendra keluar dari regol menuju pelataran rumah dengan langkah gontai. Hawa dingin membekukan relung hati sejak kakinya resmi meninggalkan rumah."Aku nggak percaya, Mas. Sejak dulu aku gak pernah jauh-jauh dari rumah ini. Tapi sekarang aku melarikan diri dengan sengaja ke tempat yang jauh sekali. Aku takut tapi harus." ucap Nawangsih sebelum masuk ke dalam mobil seolah dia berat hati untuk pergi karena kakinya mengeluarkan akar dan mencengkeram pondasi rumah itu.Dendra tersenyum penuh pemahaman. Sudah jauh-jauh hari dia memberi gagasan tentang keputusannya, dan bilamana sekarang gadis itu benar-benar takut, dia mengerti tapi tak
London, setelah patah hati dan masalah tidur yang berkepanjangan. Nawangsih duduk termenung di atas rumput hijau sembari menikmati matahari musim semi di Green Park dekat istana Buckingham. Nawangsih memejamkan mata. Seminggu sudah dia melewati hari-harinya di London dengan perasaan yang lelah luar biasa. Suryawijaya, masih menjadi atensi paling besar dalam benaknya, sementara raganya masih perlu beradaptasi dengan lingkungan baru. Sekarang dia masih perlu menghafal jalan yang menjadi rute kampus dan sebuah flat sebagai tempatnya tinggal. "Besok aku harus cabut, kamu harusnya sudah berani aku tinggal sendiri, Nia?" Dendra menghenyakkan tubuhnya di samping Nawangsih seraya mengulurkan kopi. Aroma kopi masih mengingatkannya akan Suryawijaya, bertahun-tahun lamanya Nawangsih menyajikan secangkir kopi hitam untuk Suryawijaya dan sekarang, Dendra yang menjadi penampung kopi hitam buatnya selama seminggu.Alangkah senang pria itu. Senang sekali bisa berduaan dengan Nawangsih di London."K