London, setelah patah hati dan masalah tidur yang berkepanjangan. Nawangsih duduk termenung di atas rumput hijau sembari menikmati matahari musim semi di Green Park dekat istana Buckingham. Nawangsih memejamkan mata. Seminggu sudah dia melewati hari-harinya di London dengan perasaan yang lelah luar biasa. Suryawijaya, masih menjadi atensi paling besar dalam benaknya, sementara raganya masih perlu beradaptasi dengan lingkungan baru. Sekarang dia masih perlu menghafal jalan yang menjadi rute kampus dan sebuah flat sebagai tempatnya tinggal. "Besok aku harus cabut, kamu harusnya sudah berani aku tinggal sendiri, Nia?" Dendra menghenyakkan tubuhnya di samping Nawangsih seraya mengulurkan kopi. Aroma kopi masih mengingatkannya akan Suryawijaya, bertahun-tahun lamanya Nawangsih menyajikan secangkir kopi hitam untuk Suryawijaya dan sekarang, Dendra yang menjadi penampung kopi hitam buatnya selama seminggu.Alangkah senang pria itu. Senang sekali bisa berduaan dengan Nawangsih di London."K
Lewat tengah malam, Suryawijaya masih terjaga meski menahan kantuk yang kian mendera. Setumpuk lembaran tugas tesis akhir yang molor dan buanyakkk tetap saja hanya nama Nawangsih yang menyita seluruh jiwanya."Apa benar, semesta bekerja dengan baik? Dimana aku ingin menghindari Keneswari, disaat itu pula aku disibukkan dengan banyak hal." Suryawijaya bergumam, sembari memejamkan mata. "Seandainya kamu disini, Tania. Kamu bisa menggantikan posisi Ibunda dan kita bisa bekerjasama. Itu bagus dan kamu akan mengajakku berdebat dengan gagasanmu yang lucu-lucu dan sensitif."Terbayang Nawangsih, Suryawijaya tersenyum. "Sedang apa kamu hari ini, Nia? Kenapa jauh sekali kamu perginya."•••Nawangsih menguap seraya menutup mukanya dengan bantal, ia memukul-mukul bantal itu dengan racauan di pagi yang cukup dingin baginya."Baru kuliah dua Minggu tugas udah banyak banget. Ibu... bantuin, pengen pulang, kangen lodeh, tempe goreng, kangen bunga sedap malam, kangen minum dawet, hu - hu, Ibu." rengek
Suryawijaya menghembuskan napas pelan. Dia dilanda rasa gugup ketika menduduki kursi kebesaran sang Ayah di ruang rapat. Lelaki itu nampak mencari kenyamanan dari tempat duduknya sembari menatap satu persatu direksi dan senior adat yang bekerja pada perusahaan keluarga besar Adiguna Pangarep.Suryawijaya mengangguk saat orang-orang memberi salam sapa hangat kepadanya sebelum duduk di kursi antik yang mengelilingi meja berbentuk persegi panjang."Ayahanda, aku masih terlalu muda untuk tugas sebesar ini. Kursi ini begitu mempengaruhi jiwaku."Badai kata-kata di kepala Suryawijaya semakin riuh, ribut. Segala sesuatu yang berupa ketidakmampuannya memimpin rapat itu menghantam nyalinya, menurunkan ego dan keangkuhannya. Tangannya basah, napasnya kian tidak tenang, Suryawijaya kehilangan kosa kata.Rinjani tersenyum ramah, beliau beranjak seraya membungkukkan badan di hadapan para rekan, bawahan, dan abdi budaya yang membantunya menggerakkan roda perusahaan dan budaya yang dia harapkan tak l
Nawangsih membiarkan jendela kamarnya terbuka sampai jam sepuluh malam sebab udara panas yang amat menyengat membuatnya lebih suka berada di dekat jendela flat untuk mengerjakan tugas kuliahnya. Tetapi gadis itu terlihat merenung, sedang tatapannya lari entah ke mana. Pertemuannya dengan Tuan Grissham membuatnya ingin menghubungi sang Ayah."Satu jam lagi, Ibunda pasti sudah bangun untuk salat subuh! Aku bisa menunggu sebentar." Nawangsih mencebikkan bibir sambil menatap panorama sekitar, ia menyandarkan kepala di kusen jendela."Di dadaku ada setangkup rindu yang membara, Mas. Kamu apa kabar? Apa kamu masih berkenan menungguku lulus Undergraduate Preparatory Certificate dan baru kuliah lagi? Aku lama di sini, Mas. Lima atau enam tahun lagi aku baru pulang. Apa sabarmu dan penantian kita bisa selama itu?"Nawangsih memutar gelang emas yang melingkari pergelangan tangannya. "Dalam waktu yang begitu lama, pasti banyak yang berubah dari kita berdua. Atau bisa jadi Mas sudah nikah, punya a
Satu menit yang tak utuh itu mampu membuyarkan kepingan-kepingan yang berusaha Nawangsih kukuhkan. Suara Suryawijaya masih melenakan telinga Nawangsih, dia terngiang 'selamat pagi' di pembaringan saat suasana pagi yang cerah merenggut seluruh semangatnya. "Satu menit dan ambyar seketika." Nawangsih menatap langit-langit kamar yang berupa cor-coran semen dan di cat dengan warna putih.Nawangsih mengangkat tangan kirinya dan melepas gelang emas dari pergelangan tangannya. Dia mengamati gelang itu dengan perasaan campur aduk. "Lho, ada aksara Jawanya." gumamnya saat mengamati ukiran yang ada di bagian dalam gelang itu. Nawangsih bangkit, dia berjalan mendekati jendela seraya menyingkap gorden. Cahaya matahari yang benderang membantunya dalam mengamati ukiran aksara Jawa yang terlihat sekecil semut merah.Nawangsih berusaha menerjemahkannya dengan teliti. Dan puncaknya dia mengulum senyum sembari memasang lagi geleng emas itu ke tangan kirinya. Gelang yang mengikatnya dalam asa fana.'Mi
Nawangsih duduk dengan anggun ketika Andrew mulai mengemudikan mobilnya, membelah udara malam awal musim gugur. Dan lelaki itu tidak lagi terkejut melihat laku Nawangsih seperti itu. Dia sudah sering melihat Nawangsih duduk anggun dan bersikap ramah kepada tamu-tamu yang datang ke kedai kopinya. "Selama Lo di London, Lo pernah ke mana aja? Nyebrang ke Eropa atau ke Manchester yang paling deket?" Andrew menoleh sebentar, rasa penasaran membara di benaknya. Nawangsih mengendikkan bahu. "Aku nggak pernah ke mana-mana, ke sini untuk belajar, bukan untuk piknik!"Andrew mengerti karena dia memang anak ketua himpunan mahasiswa Indonesia dan diberi kepercayaan oleh sang Ayah untuk mengayomi mahasiswa Indonesia selama masa tugasnya di negara itu. Makanya dia senang-seneng saja bertemu dengan banyak orang dari negaranya. Namun baru kali ini, ketertarikannya pada perempuan baru begitu menyala-nyala."Tapi apa Lo cuma mau belajar dan belajar terus? Lo kemarin minta kerja di toko gue juga karena
Anglaras ilining banyu angeli, ananging ora keli. Falsafat dari sunan Kalijaga yang slalu diterpakan oleh kedua orang tuannya masih terus di pegang teguh oleh Suryawijaya dengan sabar, setidaknya satu tahun setelah kepergian Nawangsih tanpa pamit.Lelaki itu mulai dirundung gelisah di bulan-bulan berikutnya. Segala praduga muncul dan mengacaukan konsentrasinya. Mungkin saja, Nawangsih betul-betul sudah melanjutkan hidupnya, melupakannya dan bertemu dengan pangeran berkuda putih. Mungkin saja Nawangsih justru terpuruk dan berdarah-darah karenanya. Mungkin saja...Lamunan Suryawijaya terpenggal dengan kedatangan seorang pria yang menyembunyikan keberadaan Nawangsih begitu rapat. Suryawijaya menatap Pandu dengan tatapan berang."Ayahanda akan terbang ke Singapura untuk pengobatan nanti siang, Mas ikut tidak?" tanya Pandu.Suryawijaya melipat kedua tangannya dengan posisi bersandar, memasang wajah tak acuh untuk saudaranya yang tega menyembunyikan kabar saudaranya sendiri darinya. "Tidak.
Suryawijaya mengerang. Kepalanya terasa berat saat Pandu mengetuk-ngetuk pintu kamarnya."Mas, boleh aku masuk?" izinnya dengan ragu.Suryawijaya membuka pintu kamarnya dengan kesal. Terlihat dengan jelas kekhawatirannya hanya semata-mata belahan jiwanya hilang radar seolah setahun lamanya kuat berpisah sia-sia."Mau apa?" tanya Suryawijaya dengan suara datar."Kami mau berangkat. Mas yakin tetap tidak ingin ikut?" Pandu memastikan. "Aku sedang ingin sendiri." ucap Suryawijaya cepat-cepat, "Bawa Citra dan Bimo untuk menemani kalian. Ajak pula pengawal Ayah dan mintalah penjagaan ketat dari pihak rumah sakit. Ayahanda jangan sampai kenapa-kenapa.""Mas khawatir?" tukas Pandu, "Kalau iya ayo ikut saja, Mas. Kita bisa jaga Ibunda dan Ayahanda bersama-sama." bujuknya lagi dengan tatapan memohon."Tidak bisa, aku sedang tidak bersahabat dengan Ayahanda dan Ibunda!" ucapnya sambil menarik daun pintu."Kenapa?" sahut Pandu sambil menempelkan kaki kanannya di kusen pintu, menghalangi pintu te