Nawangsih bergeming di depan jendela kamar sembari menatap nanar pemandangan sekeliling. Dia terlihat memikirkan banyak hal. Setangkup resah akan kabar dari keluarga, jati diri yang sudah terungkap dan segudang masalah yang akan ditimbulkan Andrew di kemudian hari. Lelaki itu kini lebih genit padanya.Nawangsih menunduk dan mengembuskan napas lelah, dia sedang tidak punya kegiatan selain hanya menunggu Pandu bangun dari tidurnya yang nyenyak dan lama sekali."Apa besok keluarga Mas Drew juga ikut?" Nawangsih mencebikkan bibir seraya mengeluarkan kebaya satu-satunya dari lemari seraya memandanginya lekat-lekat."Semoga besok bukan hari yang rumit."•••Nawangsih mengaduk-aduk isi piringnya yang berisi mie goreng. Aromanya yang menyebar menghidupkan Pandu yang berada di penghujung tidurnya."Jauh-jauh ke London makannya masih mi, gimana mau menang saingan sama Mbak Kenes kalau begitu." gumamnya sambil mengusap wajah. Pandu beranjak, tertatih-tatih dia mendekati Nawangsih."Sini biar aku
Rumah Doris terasa lebih hangat dan ramai, setidaknya itu yang dirasakan Andrew saat ini, saat di mana taman belakang rumahnya yang slalu sepi di jadikan tempat makan malam dan obrolan tidak santai bersama Pandu dan Ayahnya.Andrew berdiri, rasa penasarannya pada Nawangsih menguat sebelum pembicaraan itu berakhir. Andrew pergi menemui Nawangsih di lantai atas.Nawangsih menatap langit malam, bintang bertebaran di atas sana. Namun entah kenapa hatinya malah gelisah. Kerinduan menjajah dirinya ketika suasana keluarga Dr. Doris mengingatkannya pada rumah. Senyum terkulum Ayahnya, kelembutan Ibunya dan tatapan penuh damba Suryawijaya."Kangen rumah?" Andrew berdiri di samping Nawangsih.Nawangsih tersenyum pedih seraya menunduk. "Orang tuaku sudah wafat semua, jadi keluargaku tinggal keluarga angkat saja. Jadi aku kangen mereka. Ayahku sakit, Ibuku..."Andrew tak kuasa menahan tangannya untuk tidak mengelus punggung Nawangsih sebagai bentuk kepeduliannya."Gue tahu rasanya jauh dari orang
Keceriaan Nawangsih yang di temani Pandu selama tiga Minggu di London dan Eropa harus berakhir hari ini. Gadis itu berat meninggalkan melepaskan kakaknya.Nawangsih cemberut sambil menarik ujung kausnya. "Aku janji besok mau diajak nonton pertandingan bola langsung, Mas. Tapi jangan pulang sekarang. Besok saja setelah pertandingan Manchester united vs Sunderland, ya." rayunya dengan air muka memohon.Pandu terkekeh geli sembari menjentikkan jarinya di punggung tangan Nawangsih."Minggir, rayuanmu tidak mempan sama aku, dik!"Nawangsih melipat kedua tangannya, dia sebal dan sedih dalam satu waktu yang sama. "Kalau gitu Mas jangan datang lagi, Mas cuma bikin kangen rumah, sedangkan aku gak bisa pulang ke rumah sekarang. Aku banyak kerjaan, dan tidak siap menerima kenyataan lagi.""Cie..., sok sibuk." goda Pandu sambil mengepak pakaiannya. "Ikut saja ke Singapura, Ibunda dan Ayahanda pasti lega lihat kamu."Nawangsih menggeleng. "Aku ada ujian besok, Mas. Titip salam saja buat Ibunda dan
Kicau burung terdengar gacor di taman Tirtodiningratan selagi Keneswari menghadap ayahnya dengan raut wajah putus asa. Dia sudah yakin dengan keputusannya. Hari ini. Dia tahu caranya menyudahi rayuan untuk membuat Suryawijaya jatuh cinta sepenuhnya padanya. Keneswari menyerah. Kutukan waktu dan kebersamaan tidak mengubah perasaan Suryawijaya kepadanya. Keneswari tahu serajin apa pun dia mempelajari Suryawijaya, mereka tidak mungkin menyatu dalam keharmonisan rumah tangga sebab slalu ada bayang-bayang Nawangsih yang memiliki kuasa sendiri bagi Suryawijaya."Aku sudah tidak bisa melanjutkan perjodohan ini, Ayah. Aku lelah menjadi pengemis cinta!" adu Keneswari seraya menunduk. Sorot mata tajam Adhiwiryo masih membuatnya takut. Adhiwiryo menyesap kopinya sambil mengernyit. "Ada masalah apa?"Keneswari mengangkat tatapannya. "Ayah sudah tahu masalahnya apa, aku kehilangan harga diri hanya demi dicintai Mas Suryawijaya. Ayah tega melihatku seperti ini?"Adhiwiryo meletakkan cangkirnya den
Monolog panjang dalam sanubari Suryawijaya terus menemani setiap langkah demi langkah menuju kamar orang tuanya setelah mengantar Keneswari pulang dan meninggalkan Iwan di sana agar melindungi Keneswari dari hal-hal yang tidak diinginkan.Keneswari sempat menanyakan kepadanya apanya yang sulit saat menjalani kisah cinta mereka sebelum pergi ke dalam rumah.Suryawijaya menjawab sambil mengusap kepala Keneswari, "Kamu cantik, tapi itu bukan yang saya cari, Kenes. Asmaraku bukan hanya tentang kita saja, tapi seluruh pelajaran IPS. Sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi dan akutansi. Belum lagi tambahannya, politik dan budaya. Saya tahu pasti kamu berat menerima dan menjalaninya. Maka saya ingin melihatmu bebas, kepakkan sayapmu setinggi mungkin."Keneswari memaksa senyumnya seraya menggenggam tangan Suryawijaya. "Lepaskan aku secara perlahan, Mas. Jangan buru-buru pergi."Suryawijaya berjanji. "Saya harap kecantikanmu akan slalu mempermudahmu menemukan cinta sejati. Saya berdoa untukmu."M
Semarak pesta natal menjadi hiburan penuh makna bagi Suryawijaya setelah menginjakkan kaki selama dua hari di London. Kemeriahan dan suka cita itu terasa begitu menghangatkan suasananya yang sepi akan perhatian.Suryawijaya menggenggam secangkir kopi hangat sambil berharap Nawangsih tidak memiliki kekasih, melupakannya atau yang lebih parah seluruh rasa yang pernah diberikan kepadanya lenyap bersama waktu yang berlalu.Suryawijaya menyesap kopinya seraya menghela napas, dia menunduk untuk kembali melihat iring-iringan pawai dari balkon kamar hotelnya."Sudah waktunya aku menemuimu, Tania."Lelaki itu menggunakan jaket tebal dan syal untuk membungkus bagian tubuh dan lehernya agar tidak meriang dalam kesendirian sebelum menyusuri jalanan yang tak jauh dari tempat tinggal Nawangsih.Suryawijaya menyunggingkan senyum, teringat masa kecil Nawangsih yang menyukai Cinderella dan pangeran berkuda putih. Sejenak dia berhenti untuk menerka-nerka apakah itu alasan Nawangsih memilih Inggris menja
Andrew langsung menyalami Suryawijaya dengan senyum senang tanpa melepas Nawangsih untuk menunjukkan bahwa dia sudah menjaganya dengan baik seperti dawuh yang diberikan untuknya walau Suryawijaya sebenarnya tidak tahu itu semua."Saya Andrew, Mas. Teman hidup Tania di London."Nawangsih meringis geli, senang mendengar harapan lelaki yang masih menyalami Suryawijaya dengan percaya diri itu. Pasti sekarang, kakaknya itu sedang ribut dengan pikirannya sendiri."Senang bisa melihat saudara Tania lagi di sini karena dia nggak mau pulang tapi sering merindukan saudara-saudaranya di rumah." Andrew melepas tangannya, lalu menatap Nawangsih."Di peluk dong kakaknya, katanya kangen keluarga."Nawangsih menatap Andrew yang tidak bisa tidak tersenyum manis kepadanya seolah dia ingin menunjukkan kepekaannya terhadap pertemuannya dengan keluarga.Ngapa sih Mas Andrew pakai nyuruh-nyuruh segala? Nggak tahu apa dia itu laki-laki yang aku hindari sampai bisa di depan matamu sekarang? Sebel.Nawangsih t
Nawangsih mengusap wajahnya dengan frustasi. Mandi air hangat tidak melegakan, tidak pula membuatnya tenang. Kecanggungan itu dan pemikiran yang buru-buru membuatnya lupa akan sesuatu."Aku tidak mungkin keluar dengan piyama handuk begini. Bisa-bisa aku dikira cari perhatian lagi!" tukas Nawangsih sambil mendesis dan menghentak-hentakkan kakinya."Ibunda kenapa tidak bilang-bilang Mas Surya datang? Apa Ibu marah? Arghhhh..., Aku lupa tidak mengabari Ibu seminggu ini. Kualat... kualat." katanya lalu... Bruk.Bunyi gedebuk dan suara gaduh benda-benda jatuh membuat Suryawijaya memalingkan wajah dan gegas menuju kamar mandi."Tania..., Tania..." Suryawijaya mengetuk pintu dengan panik. "Kamu kenapa?"Wajah Nawangsih kian padam. Dia menggelengkan kepala sambil mengurut kakinya yang mungkin keseleo."Hidupku tidak akan tenang lagi. Sudah terpeleset, malu lagi. Memang betul Mas Surya itu Asem kecut gulo legi, Mas Surya super nyebelin." serunya dengan kesal.BRAK.Pintu terpentang dengan bring