Suryawijaya menunggu dengan sabar prosesi pelantikan yang sedang berlangsung. Hampir dua jam waktu melaju, akhirnya harapannya menemui Pandu terwujudkan. Suryawijaya memberi hormat seraya tersenyum penuh arti."Berikan aku kemudahan untuk menemani kehamilan Tania. Dia begitu memintamu memanggilnya adik, adik kecil seperti dulu." kata Suryawijaya dengan natural."Sebulan sebelum ayahanda mangkat, ayahanda berpesan agar saya belajar untuk tegas, Mas. Jadi sekali tidak tetap tidak." Pandu tersenyum, "Aku sedang belajar dari yang mudah-mudah, Mas. Contohnya permintaan Mbakyu."Suryawijaya menarik napas. "Tidak ada yang mudah dalam menuruti keinginan istri yang hamil muda, adik!!!"Suryawijaya menghela napas panjang dan jika keadaan Nawangsih semakin parah, dia benar-benar akan menjadi tulang lunak. Berharap tanpa malu dan tanpa jeda."Lagian tegas menurut Ayahanda bukan begitu, adikku. Ayahanda tegas untuk tetap menjaga semuanya agar tetap tertata dengan baik, bahkan juga untuk memperbaiki
Tetapi, sedikit tenang itu tidak ada dalam kamus besar Suryawijaya. Setelah urusan mual dan mengidam di trimester pertama berangsur-angsur surut dan Pandu memanggil Nawangsih dengan panggilan Adik. Nawangsih kembali bekerja sebagai anggota legislatif dan melupakannya sebab kesibukan menelannya saban hari setelah cuti panjang yang di lakukan."Aku harus lembur lagi hari ini, Mas. Di rumah Pak Abdul, kerjaanku kemarin yang handle dia jadi harus ke rumahnya untuk kroscek dan ngobrol." pamit Nawangsih lewat telepon.Suryawijaya tahu Abdul adalah rekan kerja paling nyaman bagi Nawangsih selama hamil karena wanginya mirip wangi Ayahanda. Tetapi bagi Suryawijaya tentu itu hanya omong kosong. Dia tidak percaya wangi ayahnya yang khas timbul dari tubuh seorang Abdul, pria berusia empat lima tahun."Hidung kamu itu pasti tidak beres, tidak ada wangi yang mengalahkan wangi Ayahanda." katanya dengan intonasi tidak kalem."Aku jemput terus aku antar ke tempat Abdul, kamu nggak usah bonceng dia. Di
Suryawijaya memberanikan diri menatap wajah sang ayah, dalam dadanya ia merasa geram dengan beliau yang masih menolak keras hubungannya dengan Nawangsih. Adik angkatnya."Sifat ningrat dan adiluhung sudah berlaku pada diri Tania sejak ia tinggal di sini, Ayahanda. Dia sudah belajar dan mematuhinya. Ayahanda bahkan sudah melihatnya sendiri. Apalagi yang membuat Ayahanda risau?" desak Suryawijaya dengan tidak sabar.Kaysan menatap putranya dengan tatapan datar tak terbantahkan."Tidak perlu menggurui Ayahanda, anakku. Ayahanda lebih memahami apa sifat adiluhung yang kamu pahami." ucapnya disertai kegagahan saat dia menunjukkan garis darahnya yang tinggi dan makmur.Alis Suryawijaya terangkat ketika jawaban ketus sang ayah masih terdengar alot. Suryawijaya mengembuskan napas sambil menunduk."Baiklah Ayahanda, maafkan Suryawijaya sudah lancang." Ia memberi hormat karena percuma melawan ayahnya dengan kata-kata.Kaysan beranjak, meninggalkan calon penerus yang kerap kali menggunakan nada t
Malam merangkak semakin wening. Suryawijaya menaruh blangkon ke dalam lemari kaca seraya melepas baju kejawennya.Usianya memang belum genap kepala tiga, namun tugasnya sebagai calon penerus usaha keluarga dan abdi budaya sudah berat. Dia kerap mendampingi ayahnya atau mewakili beliau untuk menghadiri acara penting yang berhubungan dengan kenegaraan dan kebudayaan. Namun jika sedang berselisih pendapat dengan beliau, kerap kali dia memilih untuk menepi.Suryawijaya menyelesaikan sepertiga malamnya dengan mengepak pelengkapan pendakian ke dalam tas carrier, ia bertekad untuk mendaki gunung Merbabu setelah menggantikan peran ibunya besok pagi.Selesai mengepak. Suryawijaya merebahkan tubuhnya di ranjang, ia memejamkan mata, namun setiap kali ia menutup mata, ingatan semasa kecil bersama Tania mencuat kembali. Suryawijaya tersenyum, membiarkan dirinya mengenang saat-saat manis itu dalam ingatan.Suara lembut yang malu-malu, tubuh kering kurang gizi dan mata sayu Tania, siapa yang tidak te
"Aku bukan tidak peka, tapi kamu sendiri tahu Ayahanda bagaimana." Suryawijaya menjelaskan ketakutannya setelah mendengar Nawangsih mengomel-omel. "Pakai sabuk pengamannya, biar aman."Nawangsih menarik sudut bibirnya seraya memasang sabuk pengaman dengan kesal. "Mas Surya sih, nggak usah naik gunung. Di rumah aja, ya?" bujuknya dengan nada manis."Lihat nanti. Lagian kamu nggak tau kenapa aku memilih gunung Merbabu, Nia?" goda Suryawijaya sambil menghidupkan mesin mobil.Nawangsih mengendikkan bahu."Itu karena Merbabu adalah Menanti Restu Bapak Ibumu." urai Suryawijaya yang langsung membuat Nawangsih menyunggingkan senyum.•••Perjalanan menuju desa di pinggiran kota membutuhkan waktu dua jam. Mereka keluar dari mobil, di sambut kehebohan warga yang menunggu kedatangan putra Rinjani dengan antusias.Suryawijaya mengangguk ramah sebagai perangai wajib yang umum dilakukan seorang keluarga bangsawan."Selamat pagi semuanya." Suryawijaya menebar senyuman sembari mengatupkan kedua tangann
Mobil melaju dengan kecepatan sedang seperti yang biasanya Suryawijaya lakukan untuk tetap membuat adiknya nyaman. Namun sambil menyetir, benaknya mengingat, ada tiga aturan yang ditanamkan oleh ibunya jika berada di luar rumah bersama Nawangsih :1. Jangan bermesraan.2. Menjadi kakak sejati.3. Jangan ke tempat sepi.Hari ini, Suryawijaya melanggar aturan nomer tiga. Dia membawa Nawangsih ke tempat sepi dan angker di malam hari."Ini seru banget, Mas."Nawangsih memutar tubuhnya di bawah pohon rindang, senyumnya terus merekah ketika Suryawijaya membawanya ke taman Kaliurang."Terima kasih, Mas Surya." ucap Nawangsih tulus. Suryawijaya mengangguk, mematik korek api seraya mengisap rokoknya dalam-dalam."Cari tempat, Tania.""Ya." Nawangsih menatap sekeliling. Dan, tanpa banyak kata, mereka berkeliling di bawah rindangnya pepohonan dan sejuknya udara diiringi suara monyet-monyet liar."Berhentilah merokok, Mas. Kamu merusak udara di sini. Sayang tau oksigen murni harus dibarengi dengan
Nawangsih berkeliling untuk mencari pekerjaan yang bisa dia lakukan setelah melayani Rinjani keesokan harinya."Nawang, sini." Citra melambaikan tangan dari ujung lorong.Nawangsih gegas menghampirinya. "Ada apa, Cit? Mau gosip?" tanyanya dengan nada bercanda seraya mengikutinya pergi ke ruang serbaguna.Citra mengambil gunting bunga dan seember penuh bunga mawar segar agar Nawangsih membantunya menyusun bunga untuk acara nanti malam.Ngeteh ala bangsawan dalam acara formal kekeluargaan."Duduk dulu baru tanya." Citra tersenyum canggung."Ada apa, kenapa wajahmu serius begitu?" Nawangsih heran, tetapi dia meraih gunting bunga seraya mencampakkan daun-daun tua dan durinya.Citra—seorang penari klasik sekaligus pelayan cadangan Ibunya itu membisikkan sesuatu di telinga Nawangsih.Nawangsih refleks menggelengkan kepalanya. "Tidak mungkin, itu tidak mungkin terjadi.""Kabarnya memang begitu, Nawang. Nanti malam akan diadakan jamuan makan malam dengan trah keluarga Tirtodiningratan. Kabarny
Nawangsih terdiam sejenak untuk memandangi Suryawijaya, laki-laki itu memiliki rambut lurus dengan potongan model taper fade, alis tebal, hidung bangir dan bibir tipis kehitaman khas seorang perokok aktif. Ia benar-benar mewarisi semua yang dimiliki oleh Ayahanda Kaysan, termasuk mewarisi keangkuhan, kewibawaan dan kesetiaannya kepada seorang wanita."Ndomas iseng, aku ngambek."Suryawijaya menggigit cemilan gurih bertekstur lembut dan lunak sembari mengerutkan kening saat Nawangsih hanya berdiri di sebrang meja."Tidak pegal? Atau memang hanya ingin berdiri sambil melihatku seperti itu?" goda Suryawijaya.Ah, Nawangsih menutup wajahnya dengan nampan, salah tingkah.Suryawijaya mempertimbangkan untuk menegur Nawangsih karena membantahnya, namun ia urungkan karena gadis itu menghampirinya seraya duduk dengan keanggunan yang sangat terlatih.Suryawijaya manaruh garpunya, ia menghabiskan kopi terenak di dunia. Tentu dunianya sendiri yang penuh dengan nama Nawangsih seorang.Suryawijaya me