Share

PART 4

Aku menghabiskan malam bersama Elgar dan Kathleen dengan bermain salju di luar. Salah satu hal yang sangat jarang kulakukan sebelumnya. Tapi ini sangat menyenangkan. Bulan bersinar cerah walaupun sedang musim dingin.

Sinarnya memantul di permukaan kolam yang hampir membeku. Suasana begitu tenang, tapi aku tahu disaat bulan bersinar cerah seperti ini, adalah waktu yang sangat tepat bagi para penyihir untuk melakukan ritual. 

Kemudian aku merasa ada sesuatu yang aneh. Terdapat cahaya keunguan di antara awan-awan di langit. Tak salah lagi, itu adalah hasil dari aktivitas para penyihir. Cahaya itu juga terlihat dari permukaan kolam.

Aku tak bisa membiarkan Elgar dan Kathleen terus berada di luar. Tapi aku tak yakin untuk mengajak mereka ke dalam tanpa suatu alasan yang masuk akal. Mungkin saja mereka tak akan mempercayai ucapanku. Tiba-tiba Kathleen melempar salju ke arahku. 

“Jenna! Kulihat kau terus memandangi kolam itu. Apa kau sudah bosan?” tanya Kathleen dengan memegang sebongkah salju. Aku terdiam selama beberapa saat.

“Kathleen, Elgar, sepertinya kita harus segera masuk. Kita tak boleh terus berada di luar.”

“Ada apa Jenna?” tanya Elgar yang sejak tadi sibuk membuat boneka salju.

“Aku adalah pemburu penyihir, dan aku tahu apa yang mereka lakukan.

Sekarang, mereka sedang melakukan sebuah ritual. Kalian bisa melihatnya dari cahaya keunguan di antara awan-awan itu.” jawabku sambil menunjuk ke langit.

“Kita tidak boleh berada di luar, terlalu berbahaya!”

Kathleen dan Elgar setuju denganku untuk kembali ke dalam. Setelah itu Kathleen mengantarku ke kamar tamu yang disediakan untukku.

“Baiklah kami percaya denganmu. Waktunya tidur Jenna, dan ini kamarmu. Anggap saja seperti di rumahmu sendiri, selamat malam!”

“Selamat malam Kathleen.”

Kathleen berlalu. Aku merebahkan tubuh ke kasur yang empuk dan hangat. Tanpa kusadari sudah hampir sehari penuh berada disini. Aku sangat khawatir dengan Emma, kami dikeroyok oleh ratusan burung dan aku meninggalkannya begitu saja. Begitu juga dengan Alden, Kingsleigh, dan Marlon, mungkin saja mereka mencemaskanku saat ini. Tapi aku tak bisa melakukan apapun selain menunggu malam berlalu. Elgar dan Kathleen sangat baik padaku dan aku tak bisa pergi begitu saja.

Ku buka jendela dan kembali melihat semburat keunguan di langit. Rupanya para penyihir itu belum selesai melakukan ritual mereka. Aku curiga hal ini ada hubungannya dengan dua orang penyihir yang dilaporkan oleh Francis, jika dugaanku itu benar, maka kami sungguh berada dalam situasi berbahaya. 

Lalu aku merasa begitu lelah dan tertidur. Di dalam tidurku yang tak terlalu nyenyak aku mimpi bertemu Alden. Tersesat di tengah hutan dan tak tahu jalan, kemudian aku melihat Alden lewat di depanku. Aku memanggilnya dan Ia menoleh, namun tak mengucapkan sepatah kata pun, bahkan Ia kembali berjalan tanpa menghiraukanku. 

Aku mengejarnya seraya memanggil- manggilnya, namun Ia sama sekali tak peduli. Kemudian kami memasuki area berkabut dan tiba-tiba Ia lenyap. Saat itu juga aku terbangun dan turun dari tempat tidur. Aku segera merapikan panah-panahku dan mengambil senapan yang ku gantung di dinding.

Semula aku berniat untuk pergi saat ini juga, namun terdengar suara pintu diketuk. Saaat ku buka pintunya, Elgar telah berdiri di luar.

“Kau belum tidur Jenna?” kemudian Ia melihat ke sekeliling. “Untuk apa kau mengemasi senjatamu?”

“Um…” aku terdiam sejenak untuk merangkai kalimat, sesekali kulihat wajahnya yang sangat tenang dengan matanya yang bersinar. Untuk beberapa saat aku berniat untuk mengelak, namun entah bagaimana aku langsung saja mengatakan yang sebenarnya. 

“Aku harus pergi sekarang Elgar, ada banyak hal yang harus kulakukan. Aku yakin keluargaku mencemaskanku.”

“Tidak! Tentu saja aku tak akan membiarkanmu pergi sekarang. Ini masih tengah malam Jenna, diluar sangat berbahaya. Sebaiknya kau harus lebih bersabar untuk menunggu pagi. Aku janji akan membiarkanmu pergi.” Elgar berusaha meyakinkanku.

“Tapi aku tak bisa berlama-lama disini. Aku harus mencari Emma!” aku bersikeras.

“Sudahlah Jenna, temanmu itu pasti telah ditolong oleh yang lain. Kau bilang punya beberapa teman kan?”

Elgar memandangku dengan tajam dan pupil matanya terlihat membesar. Aku menghindari tatapannya dan mengangguk. Ia ada benarnya juga, mungkin saja Alden dan yang lain telah menemukan Emma, itu lebih mungkin karena dia tak lari. Sementara aku sudah terlalu jauh dari tempat semula.

“Baiklah Elgar, kau benar. Aku memang tak berdaya melawan ucapanmu sejak awal!” ujarku sambil membuang napas, semenatar Elgar tertawa. 

“Ucapanku memang sulit dilawan.” Ia terlihat cukup percaya diri. “Jika kau mau, aku bisa menemanimu keluar. Maksudku di sekitar rumah ini.”

“Baiklah.”

Elgar mengajakku ke loteng dan membawa dua cangkir teh panas. Udara di loteng begitu dingin, menusuk hingga ke tulang dan membuatku menggigil.

Aku segera meminum tehku dan anehnya dua tegukan saja sudah cukup membuatku hangat. Bahkan mampu menghangatkan telapak tanganku yang terasa dingin selama berhari-hari. 

“Minuman ini luar biasa! Dengan apa kau membuatnya? Bahkan teh buatan koki terbaik di York tidak seperti ini.” tanyaku penasaran.

“Itu resep turun temurun yang dibuat dari tanaman dan sedikit ketulusan.”

“Ketulusan?” aku terkekeh mendengarnya.

“Baiklah, jika seseorang merasa bahagia  maka energi positif si pembuat akan mengalir dalam masakan yang dibuatnya. 

Kami tertawa bersama. Elgar selalu terlihat tenang dan elegan. Tetapi aku tak menyangka jika dia punya selera humor yang cukup bagus.

“Aku senang bisa menghabiskan waktu berdua denganmu. Dan aku ingin mengenalmu lebih jauh. Yang kutahu tentangmu hanyalah kau seorang pemburu penyihir.” Elgar tersenyum dan memandangku.

“Um…Aku sering menikmati bulan purnama dengan sahabatku. Kami berbaring di rerumputan dan meminum coklat panas.”

“Sahabatmu?”

“Alden. Salah satu dari teman-teman yang kuceritakan. Dia rekan satu timku bersama kakaknya, Kingsleigh. Juga Emma dan Marlon.” Rasanya aku ingin menceritakan beberapa hal tentangku padanya.

“Baiklah. Aku berasal dari klan pemburu penyihir yang bernama Glaze. Aku tersesat saat melakukan misi perburuan. Seorang penyihir telah mengirim ratusan burung gagak untuk mengeroyok Emma dan aku. Kami tak bisa melakukan apapun selain berlari, sialnya aku terjatuh dan pingsan. Kakiku tersandung pangkal pohon dan tanganku terluka saat terjerembab.” ujarku panjang lebar.

“Glaze?” Elgar terkejut mendengarnya.

“Ya, mereka keluargaku. Kenapa, kau mengenal kami?”

“Tidak, tak apa-apa. Maksudku aku memang sering mendengar nama mereka sebagai para pemburu penyihir yang hebat.”

“Tim kami ditugaskan untuk mencari dua orang yang diduga penyihir. Setelah cukup lama, kami tak menemukan apapun. Kami berpencar. tapi aku sendiri pergi entah kemana.” Aku mendesah, “Aku khawatir Chaz justru mengerahkan pasukan untuk mencariku, padahal aku baik-baik saja.”

“Chaz Egerton?” ujar Elgar, seolah dia telah mengenal pria itu sebelumnya.

“Ya, kau mengenalnya?” 

“Tentu saja. Aku dan Kathleen adalah penggemar kalian! Walaupun desa kami jauh di dalam hutan, kami tahu apa yang terjadi di luar sana. Dan pemburu penyihir, aku selalu berpikir kalian adalah  para pahlawan hebat!”

Aku tertawa mendengarnya, sepertinya aku tak sehebat yang Ia pikirkan.

“Bagaimana jika kau bergabung bersama kami?” tanyaku.

“Apa? Itu tidak mungkin! Kami hanyalah orang yang tinggal di pedalaman hutan dan hanya mempelajari ilmu pengobatan. Jika aku bergabung, itu hanya akan membuat kalian repot.” 

“Dirimu yang sebenarnya tidak seburuk yang kau pikirkan Elgar!”

“Tetapi aku lebih menikmati kehidupanku sebagai tabib dan orang biasa.”

***

Elgar memang menepati janjinya. Esok paginya aku bersiap-siap untuk pulang dan Ia memberiku sebuah cawan perak dengan ukiran-ukirannya yang indah.

“Kenapa kau memberiknnya padaku? Ini sangat indah dan mungkin saja sangat berharga untukmu.” aku takjub melihat cawan itu. Indah sekali.

“Tentu saja benda itu berharga dan kau pantas memilikinya. Terimalah Jenna, anggap saja itu kenang-kenangan dariku.” Ia tersenyum padaku.

Sejenak aku merasa ragu. Cawan perak itu berbentuk seperti piala dengan 

diameter mulut dan dan alasnya yang lebar kurang lebih sekitar sepuluh centimeter. Terdapat ukiran-ukiran yang indah dan beberapa butir batuan mulia di dindingnya. Kupikir benda ini terlalu berharga untuk diberikan padaku.

"Aku tak bisa menerimanya. Simpan saja benda itu, suatu saat jika kalian membutuhkan uang, kalian bisa menjualnya."

"Kami tak akan pernah menjualnya." raut wajah Elgar berubah dengan begitu cepat seperti tak suka dengan ucapanku.

"Ayolah Jenna, terima saja. Ayahku dulu adalah seorang pandai besi. Dia

punya banyak barang seperti ini termasuk beberapa anak panah yang kau lihat di dinding." ujarnya seraya menunjuk ruangan tempat mereka menyimpan panah-panah itu. Air mukanya kembali tenang seperti sebelumnya.

"Baiklah! Terima kasih. Aku akan menganggapnya sebagai hadiah dari teman." 

Aku melempar senyum seraya memasukkan cawan itu ke kantong serut pemberian Elgar dan menggantungnya di pinggang. Kugunakan mantelku yang panjang untuk menutupinya.

Kemudian Kathleen keluar dari kamar, namun ekspresinya terlihat berbeda dari kemarin. Ia duduk di depanku dan merapikan rambutnya.

“Jadi kau akan pulang?” tanyanya dengan suara datar.

“Benar.” Sebelum aku melanjutkan kalimatku, Ia memotong. “Ke Glaze?”

“Ya. Glaze adalah rumahku. Apa kalian ingin ikut bersamaku? Sekedar melihat-lihat.”Kathleen memandangku dengan tajam.

“Tidak, tentu saja tidak.” Ia tertawa seolah tadi hanya bercanda. Ekspresinya begitu cepat berubah seperti Elgar.

“Baiklah aku pergi. Terima kasih, kalian sangat baik.”

“Hati-hati Jenna.” ujar Elgar.

Aku mulai berjalan meninggalkan desa Cornwall. Elgar sedikit mengejarku saat aku berjalan menuju gerbang desa.

"Jenna...!! Jangan menjualnyaa...!!" suara Elgar menggema di antara pepohonan.

Aku menoleh kemudian mengangguk dan tersenyum ke arahnya. Ia membalasku dengan senyumannya yang hangat seperti saat pertama kali melihatnya. Kami hanya bersama selama satu hari, tetapi aku tak akan pernah melupakannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status