Share

PART 5

Perjalanan pulangku tak berjalan mulus lantaran harus melewati beberapa tanjakan yang dipenuhi salju tebal. Aku memanjat dengan pelan dan menginjakkan kakiku kuat-kuat ke tanah. Tanganku berpegangan pada rerumputan rimbun yang cukup menyulitkan saat turun, namun sangat membantu saat naik. Setelah merasa cukup lelah karena medan yang sulit, kuputuskan untuk beristirahat sebentar. 

Tiba-tiba terdengar suara berisik dari balik semak. Aku tak menghiraukannya dan kupikir itu hanya suara binatang-binatang liar, walaupun perasaanku berkata sebaliknya. Semakin lama, suara itu semakin jelas terdengar. Kudekati semak itu untuk memeriksanya, tetapi tak ada apapun. Aku bergegas pergi. 

Cornwall berada jauh di utara dan aku harus melewati Windstone untuk sampai ke York. Tapi aku tak ingin melewati tempat itu, jadi aku berencana mengambil rute ke selatan lalu berbelok ke timur. Melewati hutan yang menurutku lebih baik daripada dataran luas Windstone yang begitu dingin dan sepi.

Sejak aku mulai memasuki hutan, terdengar suara-suara berisik yang seolah mengikuti. Aku terus berjalan tanpa menghiraukannya. Sejenak suara itu menghilang, lalu kembali terdengar bahkan jauh lebih keras. Aku yakin itu bukan suara binatang atau hanya desiran angin.

Sepertinya aku punya firasat buruk dan menggenggam senapanku erat-erat. Tiba-tiba seorang  penyihir wanita meluncur ke arahku dengan menaiki sapu terbang. Aku menghindar dan menembakkan pistolku, namun tembakanku selalu meleset. 

Penyihir itu terus terbang dan dapat menghindar dengan begitu gesitnya, sambil terus membalas dengan sihirnya. Sementara aku berusaha keras menghindarinya hingga sihir-sihir itu mengenai pepohonan dan membuat ranting-rantingnya patah. Sialnya satu tembakan terakhir sihir itu berhasil mengenai tubuhku hingga aku terlempar dengan keras ke tanah. 

Aku berusaha bangkit dan mencari cara lain dengan berlari ke timur. Disana terdapat banyak pepohonan berukuran pendek namun memiliki ranting-ranting yang panjang dan kuat. Penyihir itu mengejarku dengan sapunya. Aku mulai berlari diantara pepohonan pendek itu seraya mencari memikirkan teknik untuk menyerangnya.

Sebuah ranting yang cukup panjang melintang di depanku. Secepat kilat aku menunduk dan melempar tubuhku ke depan. Rupanya refleksku cukup bagus. Karena tak siap, penyihir itu tak punya waktu untuk menghindar hingga menabrak ranting dengan keras dan terhempas ke tanah, sementara sapunya terus terbang entah kemana.

Penyihir itu bangkit dan tertawa. Ia terlihat sangat tua, jelek dengan rambut kusut dan gaunnya yang penuh sobekan.

“Kau hanya berburu sendirian? Kenapa kau tak mengajak teman-temanmu?” Ia mengeluarkan tawa melengking khas penyihir.

"Harusnya kau bersyukur karena aku hanya sendirian! Ayo kita lihat sejauh mana kemampuan sihirmu itu!"

Aku menarik pelatuk dan menembakkan peluru ke arahnya. Ia cukup terkejut hanya saja sebutir peluru tak cukup untuk membuat luka yang berarti.

Penyihir itu kembali tertawa dan mengeluarkan sebilah belati yang sangat tajam. Tiba-tiba Ia melompat ke arahku dan mencoba menusukku dengan belatinya. 

Dengan kemampuan refleksku yang cepat, aku berbaring di bawahnya dan terus menahannya dengan senapanku. Ketika belati itu hampir sampai di depan leherku, aku menendangnya sekuat tenaga hingga penyihir itu terjerembab ke tanah. Kupikir sepatu botku yang berat dan tebal cukup berjasa menciptakan tendangan yang mematikan.

Sepertinya Ia cukup kesakitan karena tendanganku tepat di bagian dadanya. Masih lebih baik daripada sebutir peluru yang mengenai lengannya.

Diantara pepohonan rimbun di sekitarku, terdapat beberapa akar meggantung dan sepertinya cukup kuat untuk berayun. Aku segera memanjat salah satu pohon dengan berpegangan pada tali akar.

Ketika penyihir itu mulai berdiri, aku meluncur menggunakan akar pohon dan menabrakkan penyihir tua itu ke pohon lain yang lebih besar.

Saat itu juga aku menarik belati dan menusuknya tepat di bagian  jantung. Ia menjerit dan seketika tubuhnya berubah menjadi setumpuk abu.

***

Setelah menempuh medan yang berat hingga bertemu penyihir menyebalkan, aku tiba juga di Glaze. Suasana begitu ramai. Beberapa tabib dan pandai besi berkerumun, berlalu lalang seperti sedang membicarakan sesuatu.

Sepertinya suasana di sini sedang kacau tapi aku tak melihat ada pasukan yang berjaga-jaga. Kemudian seseorang memanggilku dari balik kerumunan. 

“Jenna!” aku menoleh.

Kingsleigh memanggilku dari pintu gerbang. Melambaikan tangannya ke arahku dan bergegas menghampiri. Ia memelukku erat.

"Dari mana saja kau? Kami menghawatirkanmu karena tak menemukanmu dimana pun!" tanya Kingsleigh penuh kekhawatiran.

"Ceritanya panjang. Ini karena aku dan Emma diserang ratusan burung gagak akibat ulah penyihir jelek itu!" gerutuku.

"Akan kujelaskan nanti. Pastinya aku baik-baik saja sekarang." jawabku dengan yakin.

"Ayahmu sempat berpikir untuk mencarimu dengan mengirim beberapa orang, tetapi kami mengurungkannya. Emma juga berpikir kau hanya tersesat. Lalu kami putuskan untuk mencarimu jika sampai hari ini kau belum kembali." Kingsleigh mengalungkan lengannya ke bahuku dan kami berjalan menuju rumah besar.

"Aku memang tersesat jauh. Sangat jauh!"

Dia adalah kakak Alden dan kapten reguku. Selama ini Kingsleigh telah mengaggapku seperti saudaranya begitu pun sebaliknya. Sebagai anak tunggal aku merasa senang memiliki teman seperti dia.

Kami sudah mendekati pintu rumah besar saat Kingsleigh menarikku ke tepi untuk bicara sebentar.

“Rupanya ucapan Francis Blake memang benar. Penyihir-penyihir itu berdatangan dan kami terlibat pertempuran dengan mereka. Jumlah mereka tak terlalu banyak, jadi kami berhasil menumpas mereka semua. Beberapa anggota mereka lah yang menyerang kalian. Bedanya tak ada burung-burung gagak."

"Huh...burung-burung sialan itu! Mereka lah yang membuatku jatuh dari lereng."

"Dan the violets itu..."

"Sebaiknya kita tak membahasnya sekarang." 

Aku memotong ucapan Kingsleigh sebelum dia melanjutkannya. Penyihir dengan kemampuan itu memang telah bangkit. Entah salah satu yang tersisa dari pertempuran tiga tahun lalu atau penyihir lain yang baru muncul. Cahaya keunguan yang kulihat dari Cornwall, itu tanda bahwa mereka ada. Tetapi aku tak ingin mengatakannya sekarang.

“Dimana teman-teman yang lain?"

"Mereka baik-baik saja. Emma mendapat beberapa luka setelah diserang kawanan gagak. Beruntung Alden bergerak cepat dan berhasil membunuh si penyihir."

Kami bergegas ke ruang perawatan, sementara Kingsleigh menuju ke aula. Tidak seperti biasanya, ruang perawatan ini cukup penuh dengan banyaknya pemburu yang dirawat. Termasuk Marlon dan Emma.

“Marlon!”

“Jenna! dari mana saja kau?”

“Ceritanya panjang.” Aku duduk dan meletakkan semua senjataku. "Apa lukamu parah?" 

“Banyak yang terluka di antara kami saat berburu kemarin. Rupanya para penyihir mengetahui rencana kita dan mereka balas menyerang. Bahkan lenganku juga terkena sabetan pedang penyihir,” Marlon menunjukkan luka di lengan kirinya.

Sementara, Emma duduk di ranjang dengan balutan perban di lengannya. Wajahnya terlihat kemerahan akibat lebam.

“Emma!” aku memeluknya.

“Jenna!" matanya berbinar melihat kedatanganku. Rasa senang dan khawatir tampak menyelimutinya.

"Aku sangat mencemaskanmu! Saat aku dikeroyok burung-burung itu, Alden berhasil membunuh si penyihir dan menyelamatkanku. Tapi kau menghilang dan kami tak bisa menemukanmu.”

“Saat itu aku berlari menjauh dan terjatuh ke jurang. Um, aku sedikit terluka, tapi aku baik-baik saja. “Dimana Alden?”.

“Entahlah, dia bahkan tak bisa makan dan tidur dengan baik karena memikirkanmu .” jawab Emma.

Aku bergegas mencari Alden dan menuju ke ruangan kami. Tapi tak ada siapapun disana dan ruangannya terlihat berantakan. Kemudian aku teringat tempat yang paling dia sukai, yaitu loteng. Dan benar saja, aku menemukannya sendirian disana.

“Alden!”

Ia menoleh, “Jenna!” Ia memelukku.

“Jenna, dari mana saja kau? Aku mencarimu tapi aku tak menemukanmu dimanapun.” Alden begitu mengkhawatirkanku.

“Aku baik-baik saja. Setelah aku dan Emma diserang oleh ratusan burung gagak, aku berlari dan terjatuh ke jurang. Seorang pria menyelamatkanku dan aku tinggal di rumahnya semalam.”

“Siapa dia?” tanyanya dengan mengangkat sebelah alis.

“Namanya Elgar, dan kakak perempuannya Kathleen. Mereka tinggal di desa yang lumayan jauh di seberang hutan. Mereka mengobati lukaku, memberiku makan dan tempat tidur. Aku diperlakukan dengan sangat baik walaupun kami belum pernah bertemu sebelumnya.” 

Alden menghembuskan napas panjang dan mengalihkan pandangan dariku.

“Sekarang kau memang baik-baik saja, tapi sangat beresiko pergi dengan orang yang belum kau kenal.”

“Aku tahu, tapi kumohon jangan beritahu siapapun. Lupakan saja!”

“Baiklah! Apapun yang terjadi, aku senang kau kembali.” Alden memeluk dan mengayunkan tubuhku lagi.

“Apa Ayahku tahu kalau aku pergi?”

“Dia hanya tahu bahwa kau menghilang. Jika sampai hari ini kau tak kembali, kami akan mencarimu.”

Aku merasa bersalah. Ayah pasti akan sangat khawatir karena aku tak pulang, Mencari orang hilang di malam hari sama saja dengan memburu penyihir. 

“Baiklah Alden, aku ingin pergi ke kamarku.”

"Jenna, kenapa terburu-buru?” tanya Alden seolah tak merelakanku pergi.

“Aku lelah Alden, hanya ingin istirahat sebentar.” aku bergegas ke rumah.

Cawan perak pemberian Elgar masih tersimpan di balik mantelku. Aku tak memberitahu siapapun tentang benda ini dan berniat menyimpannya di kamar. Lagipula itu hanyalah cawan perak biasa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status