Share

PART 6

Aku pulang ke rumah dan mengunci pintu kamarku. Cawan perak pemberian Elgar masih tergantung di pinggang. Aku mengeluarkan cawan itu dari kantong dan mendekatkannya ke jendela. Seberkas sinar yang masuk membuat cawan itu berkilauan. Tubuh cawan itu dipenuhi ukiran seperti sulur tanaman yang meliuk-liuk, dengan ukiran utama berbentuk wanita. Elgar hanya memberikannya padaku sebagai kenang-kenangan dan aku juga tak tahu harus menyimpannya dimana. 

Terdengar suara pintu diketuk. “Jenna, Ayahmu ingin bertemu denganmu, maksudku kita. Dia bilang inign menunjukkan sesuatu.” Rupanya dia Alden.

Aku cepat-cepat mengembalikan cawan itu ke kantong dan meyembunyikannya di bawah tempat tidur. Alden telah menungguku di luar.

“Baiklah! Kedengarannya seperti aku belum pernah mengetahui hal itu sebelumnya.”

Kami menuju ke rumah besar tepatnya di ruang kerja Ayah. Chaz dan Ayahku telah menunggu di sana.

“Hai Ayah!” 

“Hai sayang. Mr. Everscott mungkin telah mengatakannya padamu. Aku dan Komandan Egerton ingin memberitahu kalian sesuatu.”

“Kenapa hanya kami?” tanyaku penasaran.

“Ini mengenai suatu hal penting yang tidak harus diketahui semua orang. Tentu saja kami memberitahumu karena kau putri Jenderal Goldwine, dan kau Mr. Everscott, kau adalah sahabat Miss Jennifer. Kurasa kau juga perlu tahu tentang ini.” jawab Chaz. 

“Ikuti aku!”

Chaz dan Ayahku membuka pintu kayu kecil di tepi ruangan. Seperti ruang kerja pada umumnya dengan beberapa buah lemari berisi buku-buku maupun dokumen serta meja dan empat kursi kecil. Bentuknya lebih mirip perpustakaan. Sebuah lukisan minyak bergambar pegunungan yang tingginya seukuran tubuhku tergantung di dinding. Tanpa kuduga, Chaz menggeser lukisan itu yang ternyata adalah sebuah pintu menuju ruangan lain.

Aku memang sering memasuki ruangan ini dan tahu seluruh isinya. Tetapi, lukisan itu kupikir hanya lukisan biasa. Alden tampak takjub saat lukisan besar itu bergeser. Sama sepertiku, ini pertama kali Ia melihat ruang rahasia di dalamnya. Ayahku menyalakan lampu minyak dan menyuruh kami untuk berhati-hati.

Setelah ruangan sedikit terang, aku bisa melihat sebuah tangga besi melingkar yang sudah mulai berkarat dimakan usia. Tangga itu berdecit tiap kami melangkah. Membuatku merasa ngeri apabila tangga besi ini runtuh sewaktu-waktu.

Aku mengamati sekeliling ruangan yang hampir terlihat seperti ruang penyimpanan. Di dekat anak tangga terakhir dipajang sebuah patung burung elang dari emas dengan sayap mengembang serta paruh terbuka. Kemudian di beberapa sudut ruang terdapat tiang-tiang lampu berwarna hitam yang sudah terlihat usang. 

“Aku tidak pernah melihat ruangan ini sebelumnya. Kenapa Ayah baru memberitahuku sekarang?” tanyaku.

“Ini tempat yang sangat rahasia Jenna. Ruangan ini menyimpan berbagai macam benda sihir hasil rampasan perang sejak puluhan tahun lalu.” ujar Ayahku.

“Tapi untuk apa kalian menyimpan benda-benda semacam ini, bukannya lebih baik dimusnahkan saja?” Alden menimpali.

“Tidak mudah menyingkirkan benda-benda berkekuatan sihir, terkadang mereka bisa menimbulkan malapetaka atau kutukan.” jawab Chaz.

“Kau adalah pemburu penyihir yang percaya kutukan!” ujarku sambil tertawa geli.

“Tapi di dalam hatimu kau tidak bisa menyangkalnya kan?” Chaz balik bertanya.

Aku hanya mengedikkan bahu. Aku melihat-lihat seisi ruangan, ada begitu banyak benda-benda magis di tempat ini. Mulai dari kuali, tongkat, topi, sapu, patung-patung hewan, hingga senjata seperti pedang dan panah. Alden terlihat penasaran dengan sapu penyihir yang disandarkan ke dinding. Ia mengulurkan tangannya, namun ayahku segera memperingatkanya.

“Jangan menyentuh benda apapun! Kau hanya boleh melihatnya.” ujar ayahku.

“Apakah sapu ini dapat terbang jika aku menyentunya?” tanyanya penasaran.

Chaz mendekati Alden dan memegang erat kedua lengannya. “Kami sudah baik hati memberitahumu tentang hal ini, dan sebagai balasannya jangan melakukan hal-hal ceroboh!”

Alden hanya diam mendengarnya. Ia berjalan menuju koridor sebelah kanan dan aku mengikutinya. Di ujung koridor terdapat sebuah meja kayu besar dengan sebuah harpa emas di atasnya. Walau sudah lama dibiarkan terbengkalai dan berdebu, alat musik itu masih terlihat berkilau dan aku benar-benar tak tahan untuk menyentuhnya. Aku mengulurkan tangan, namun Alden menghadangku. Ia berbalik namun justru Ia sendiri yang melakukannya.

“Alden!”

“Bagaimana Jenna? aku menyentuhnya dan tidak terjadi apa-apa.” Ia mulai menyentuh senar-senarnya dan sepertinya tertarik untuk memetiknya.

“Mungkin akan berbeda jika kau memainkannya.” aku coba memperingatkannya, namun Ia hanya tersenyum dan memainkan harpa itu. Alunan musik yang dihasilkannya begitu merdu dan aku belum pernah mendengar musik seindah itu sebelumnya. Anehnya aku mulai merasa semakin mengantuk padahal tubuhku terasa sangat bugar.

“Hentikan Alden! Musiknya membuatku mengantuk.”

“Apa kau sudah mengantuk sebelum masuk ke ruangan ini?” tanyanya.

“Tidak sama sekali.”

“Berarti harpa ini memiliki kekuatan untuk membuat orang yang mendengarnya tertidur. Kecuali yang memainkannya.”

“Sepertinya begitu, Itulah sebabnya mereka melarang kita menyentuhnya.”

Kemudian pandanganku tertuju pada sebuah cawan perak. Tersimpan di dalam kotak kaca yang menempel pada dinding. Seketika jantungku berdegup cepat seperti kuda pacu. Benda itu mengingatkanku pada cawan perak pemberian Elgar. Aku terus mengamatinya hingga Alden menepuk bahuku.

“Kau takjub dengan cawan itu?” tanya Alden. 

“Emm…iya. Bagus sekali.” Ujarku terbata-bata.

Cawan itu sangat mirip dengan pemberian Elgar. Hanya saja terdapat sedikit perbedaan pada ukirannya. Sebuah lingkaran besar terukir di bagian tengah cawan, seperti menggantikan ukiran wanita di cawan satunya. 

Kutanyakan benda itu pada Chaz saat Ia berjalan mengahampiriku.

"Benda apa itu Chaz? Maksudku cawan itu." Aku bertanya dengan hati-hati. 

Chaz mendekat. Menyilangkan kedua tangannya di dada dan berbicara dengan suara pelan.

"Itu salah satu dari tiga cawan mistis di dunia sihir hitam."

Deg! Jantungku kembali berdegup keras. Dadaku mendadak nyeri. Aku bahkan nyaris ambruk bila tak berpegangan pada tembok.

"Para penyihir memiliki tiga cawan mistis dengan kemampuan berbeda. Satu yang berada disini punya ukiran lingkaran, diartikan sebagai bulan, yang bisa membuat kebal terhadap sihir dan senjata apapun. Penyihir-penyihir itu akan mengisi cawan dengan darah korban dan meminumnya." Chaz menoleh ke arahku, tetapi aku menghindari tatapannya. 

"Bagaimana dengan dua cawan lainnya?" tanyaku.

"Menghilang entah kemana. Cawan ini kami rebut saat pertempuran tiga tahun lalu."

"Lalu apa fungsi cawan lainnya?" aku terus mengggali jawaban dari Chaz. Sejenak Ia tampak heran.

"Kau begitu ingin tahu ya?"Chaz menaikkan salah satu alisnya.     

"Tentu saja kami penasaran. Kenapa tak pernah tahu tentang cawan-cawan itu? Padahal kami juga Hunters.

Chaz menarik napas panjang. "Cawan kedua memiliki ukiran utama berbentuk wanita. Siapapun yang meminum darah dari cawan itu akan kembali menjadi muda sekalipun telah berumur ratusan tahun. Lalu…”

Ia berhenti sejenak, kemudian melanjutkan “Cawan pertama kemungkinan masih ada di tangan mereka. Kau tau apa akibatnya?” Chaz mendekat padaku.

“Para penyihir itu akan kebal terhadap api! Cawan pertama adalah cawan anti api. Jika itu terjadi, kita tidak akan bisa membunuh mereka dengan membakarnya.” Chaz mengalihkan pandangan dan berbalik. Bisa kulihat bahwa dia sedang cemas. Tentu saja, semua Hunters pasti akan panik mendengarya.

Kalau begitu, mengapa Elgar memberikannya padaku? Apakah karena aku seorang Hunters sehingga cawan itu aman dari jangkauan penyihir? tetapi bagaimana cawan yang berbahaya itu bisa berada di tangannya?

Pikiranku berkecamuk. Ribuan pertanyaan berputar-putar di kepala. Sekarang aku tak yakin apakah Elgar bisa dipercaya. Sekarang semua terasa membingungkan.

Sementara Alden terdiam dan mundur beberapa langkah. Wajahnya nampak pucat. Aku tak tahu apa masalahnya. Sepertinya dia menyimpan sesuatu.

“Alden, sebaiknya kita kembali saja.” Aku menarik tangannya menuju tangga besi.

Kulihat ayah telah kembali lebih dulu dan menunggu di ruang kerjanya. Chaz menyusul kami lalu menggeser lukisan kembali hingga menutupi seluruh bagian pintu.

Sekarang lukisan itu terlihat biasa saja seolah hanya ada tembok di belakangnya. Ruangan kerja ayah memang cukup rahasia dan tak sembarang orang bisa memasukinya. Tapi ruang penyimpanan ini, benar-benar disembunyikan dengan cara yang cerdas.

Ruangan kecil di dalam juga berfungsi sebagai perpustakaan. Dua rak kayu besar diletakkan di setiap sisi tembok menghadap ke tengah ruangan. Terdapat buku-buku besar bersampul kulit yang kebanyakan terlihat lusuh akibat debu atau memang karena sudah tua.

Sebuah buku tua bersampul emas dengan ornamen dedaunan terletak di rak buku paling atas. Buku itu terlihat paling tebal dari seluruh buku disana. Aku penasaran dan melihat isinya. Buku ini menjelaskan semua hal tentang penyihir, mulai dari ritual hingga cara bertarung dengan mereka. Mungkin buku ini ditulis oleh para pendahulu kami. 

Tetapi beberapa halaman di bagian belakang membahas tentang ramuan-ramuan dari tumbuhan maupun langkah pengobatan menggunakan mantra sihir. Kurasa lebih mirip dengan ritual penyihir putih.

Aku lantas menutupnya dan mengembalikannya ke rak. Lalu kudengar Alden menanyakan tentang perburuan kemarin.

“Jenderal Goldwine, apa kelanjutan dari perburuan kita kemarin?”

“Aku dan Komandan Egerton telah sepakat menghentikannya untuk sementara waktu. Mengingat banyaknya pemburu yang terluka dan persenjataan kita banyak yang rusak. Bahkan hingga malam pertempuran masih terus terjadi dan itu cukup berbahaya untuk kita.” jawab Ayah.

“Seburuk itukah?” aku cukup terkejut dengan jawaban ayah.

“Kau sendiri tahu Jenna, kau juga bersama mereka kan?”

Aku hanya mengangguk. Tentu saja aku tak tahu bahwa pertempuran berlangsung hingga malam hari dan mengakibatkan banyak kerusakan. Aku telah menghilang di siang hari hanya beberapa jam setelah penerjunan. Setelah itu aku terluka, pingsan, dan menghabiskan waktu di desa Cornwall. Bersenang-senang dengan Kathleen dan Elgar. Tapi aku tak akan mengatakan hal itu pada ayah.

“Aku jadi ingat pertempuran tiga tahun lalu. Ibu meninggal dalam pertempuran itu dan kita luluh lantak. Sedangkan aku, tak akan hidup hingga sekarang jika Alden tak meyelamatkanku!” ujarku, dan mataku mulai berkaca-kaca. Kejadian itu mmebuat kami sangat terpukul.

“Ayah tahu Jenna, ibumu telah melakukan yang terbaik. Ayah berjanji hal itu tidak akan terulang lagi. Kita harus lebih berhati-hati dan yang terpenting kita harus bisa memecahkan rahasia-rahasia mereka.”

“Jadi apa yang harus kita lakukan sekarang?” Alden mengagkat bahu.

“Untuk sementara persiapkan diri kalian dan perbaiki senjata yang rusak. Kami akan segera memikirkannya.” Chaz segera berlalu dari ruang kerja.

Kami keluar dari ruangan ayah dan menuju ke halaman.

“Jenna, apapun yang terjadi aku akan selalu ada di sisimu.” Alden menggenggam erat tanganku.

“Kau memang tak pernah dan tak akan pernah meninggalkanku.” Aku menyandarkan kepalaku di bahunya.

Alden adalah sahabatku sejak kecil. Kami tak terpisahkan, semua hal kami lalui bersama dan aku merasa sangat kesepian saat jauh darinya. Alden bertubuh tinggi dan tegap. Di umurnya yang baru sembilan belas tahun tingginya nyaris mendekati 183 cm, membuatku tampak kecil saat berjalan di sampingnya, padahal dengan tinggi 175 cm aku termasuk cukup tinggi diantara para wanita di Glaze. 

Rambut coklatnya menjuntai hingga ke bawah telinga. Wajahnya terlihat imut seperti remaja enam belas tahunan, walaupun tinggi badannya mengatakan sebaliknya.

“Jenna, aku baru ingat bahwa kemarin kau ditolong oleh seseorang. Sejujurnya aku penasaran siapa orang itu.” ujar Alden seraya duduk di rerumputan.

“Namanya Elgar. Dia menolongku saat aku baru sadar setelah terjatuh dari tebing. Awalnya aku ingin kabur saja, tapi aku benar-benar lemah saat itu. Jadi aku terima saja bantuannya.”

“Apa dia baik?”

“Sangat baik. Dia dan saudarinya, Kathleen, menerimaku di rumah itu seolah kami sudah akrab. Mereka tinggal di desa kecil bernama Cornwall, jauh di ujung utara hutan Greenleaves. Elgar juga memberiku..”

“Memberimu apa?” tanya Alden penuh keingintahuan.

“Teh rasa mint yang belum pernah kurasakan sebelumnya, makanan, pakaian, dan dia juga mengobati lukaku.” Aku hampir saja memberitahunya tentang cawan perak itu.

“Jadi kau terluka? Kenapa kau tak mengatakannya padaku?”

“Kau tak perlu khawatir! Ini hanya luka ringan.” Aku menaikkan lengan baju untuk melihat lukaku kemarin. Tak bisa dipercaya, ternyata luka itu telah mengering dan hanya terlihat sedikit bekas menghitam.

“Syukurlah lukanya sudah sembuh.” Alden tampak lega.

“Alden!” aku memandangnya dan berhenti bicara sejenak, kemudian aku melanjutkan “Aku tak percaya lukanya akan sembuh secepat ini. Kurasa pangkal pohon itu menggores kulitku cukup dalam, dan lenganku mengeluarkan banyak darah!”

“Mungkin lukanya memang tak separah kelihatannya. Darah tak bisa menjamin seberapa parah lukamu Jenna.”

Baiklah, aku mencoba berpikir positif. Mungkin aku memang sudah agak kebal dengan luka-luka semacam ini. Apalagi jika mengingat peristiwa tiga tahun lalu rasanya tak terbayangkan bagaimana kondisiku saat itu. Tetapi, sepertinya pun tak ingat kapan luka mengering dan tiba-tiba saja hanya tinggal bekasnya.

“Kathleen sepertinya memang sangat berbakat dengan hal pengobatan. Kurasa akan sangat bagus jika mereka bergabung dengan Glaze.” ujarku.

“Maksudmu menjadi perawat?”

“Tentu saja. Kapan-kapan aku akan datang lagi ke Cornwall. Kau bisa ikut jika mau,”

Alden melingkarkan lengannya ke bahuku. “Aku akan selalu mengikuti kemana kau pergi.” dia mengatakannya dengan penuh ketulusan. Kami benar-benar dua sejoli yang tak terpisahkan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status