Share

PART 7

Aku masih terjaga karena memikirkan cawan pemberian Elgar saat  terdengar suara berisik di tengah malam. Suara itu sepertinya tak jauh dari tepatku sekarang. Aku lantas mengambil senapan dan berlari ke kebun belakang rumah. Sayup-sayup teriakan seorang gadis muda yang semakin lama semakin jelas. Kurasa berasal dari belakang tembok Glaze.

Kupanggil Emma yang mungkin saja sedang tertidur pulas. Setelah mengetuk pintunya beberapa kali, Ia keluar dengan belati di tangannya. 

“Apa yang terjadi?” tanyanya seraya merapikan rambutnya. 

“Sepertinya ada sesuatu di luar sana. Aku mendengar jeritan gadis muda yang meminta tolong.”

“Bagaimana jika kita mencarinya?” usul Emma.

“Baiklah! Kita ambil tangga saja.”

Kami lantas mengambil tangga kayu dan melompati tembok. Untung saja bagian atasnya tidak dipasang kawat berduri ataupun pecahan kaca sehingga kami bisa melompat dengan mudah. 

Di luar tembok sangat sepi. Hanya ada beberapa obor sebagai penerang jalan. Pandanganku menyisir seluruh sudut perkebunan milik warga hingga terlihat sesosok hitam yang bergerak di ujung belokan. Aku dan Emma berjalan mendekatinya dengan menggenggam erat senjata masing-masing. Setelah lebih dekat, ternyata seekor kuda dengan keretanya.

“Kita periksa kereta itu.” ujarku pada Emma. Ia mengangguk dan kami bergegas memeriksa kereta itu.

Seorang pria yang mungkin saja kusir, tergeletak pingsan di rerumputan. Emma memeriksa pria itu, dan Ia tidak mendapatkan luka serius. Aku mengendap-endap dan membuka pintu kereta dengan hati-hati. Ternyata kereta itu kosong.

Emma mengguncang tubuh pria itu untuk membuatnya sadar. Seketika pria itu membuka matanya dan terlihat panik.

"Siapa kalian?" si pria bertanya dengan wajah ketakutan dan suara gemetar.

"Kami Hunters. Pemburu penyihir dari Glaze. Apa yang terjadi?" ujar Emma.

"Tolong! Tolong!" Ia mengepalkan kedua tangannya. "Seorang wanita menakutkan, sepertinya penyihir, I...Ia melayang ke arah kami dan menyerangku. Penyihir itu membawa Nona, putri majikanku!" jawabnya dengan terbata-bata.

"Apa kau tak salah lihat?" tanyaku.

"Tidak. Aku yakin dia penyihir. Dia membawa nona lalu melayang di antara pepohonan. Aku terkena sihirnya saat berusaha menyelamatkan nona."

"Baiklah! Jika kau bertemu dengan orang-orang seperti kami, laporkan pada mereka." 

Aku dan Emma bergegas mencari gadis itu. Walaupun tak tahu persis kemana perginya, insting kami menuntun untuk berjalan ke selatan. Kemudian terdengar suara jeritan diantara pepohonan. 

Terlihat sosok hitam berkelebat. Aku bersiap menarik pelatuk dan menyisir ke segala penjuru. Suara teriakan itu terdengar kembali. Seorang penyihir berusaha keras untuk melayang dengan membawa gadis muda itu. Rupanya gadis itu terus meronta hingga membuat si penyihir terseok seok. 

Aku lantas menembaknya tepat di punggung, berhati-hati agar tak mengenai si gadis. Sepertinya peluruku berhasil menembus tubuhnya dan membuatnya terjerembab ke tanah.

Gadis muda yang bersamanya mencoba melarikan diri saat Emma hendak menolongnya. Namun di penyihir kembali menyambar si gadis dan berupaya kabur 

Kami mengejarnya. Namun penyihir itu melemparku ke pohon dengan sihirnya dan membuat senapanku terjatuh cukup jauh dariku.

Dari kejauhan terdengar suara peluru yang memberondong ke arahnya. Kingsleigh datang dengan dua orang lainnya. Rupanya penyihir itu berhasil melarikan diri bersama gadis itu. Ia terbang dengan mengeluarkan suara melengking yang memekakkan telinga.

“Kingsleigh!” napasku tersengal-sengal.

"Peluruku hanya membuat luka tak berarti." 

"Ini tak bisa dibiarkan Jenna, kita harus segera menyelamatkan anak itu.” jawab Kingsleigh.

“Tentu saja. Tapi tidak malam ini! Terlalu berbahaya Kingsleigh.” Aku berusaha mencegahnya.

“Baiklah. Kita harus memberitahukan hal ini pada Jenderal Goldwine dan Komandan Egerton. Anak itu harus secepatnya dibebaskan sebelum ada korban selanjutnya.”

Ayah dan Chaz telah menunggu di depan rumah besar saat kami kembali. Mereka cukup terkejut mendengar berita dari kami.

“Selama ini belum pernah ada penyihir yang berani memasuki wilayah kita. Apalagi hingga ke belakang tembok Glaze!"

“Kami telah berusaha sekuat tenaga. Tapi kami gagal. Gerakannya cepat sekali!” Kingsleigh menambahkan “Ini suatu pertanda buruk.”

“Secepatnya kita akan melakukan pencarian. Sekarang kalian kembali saja, beristirahatlah!” ujar Ayah.

Kami kembali ke rumah masing-masing. Aku tak benar-benar bisa tertidur kembali. Hanya duduk di lantai dan menyandarkan kepala ke tempat tidur, menatap ke langit melalui jendela. Tanganku menyenggol sebuah benda di bawah tempat tidur. Ternyata cawan perak pemberian Elgar.

Aku benar-benar seperti orang bodoh saat pertama kali menerima cawan ini darinya, tanpa berpikir sedikitpun bahwa benda ini sangat berbahaya. Penyihir yang menyerangku di hutan, mungkin saja Ia tahu tentang cawan perak yang kubawa sehingga berusaha menyerangku. Tetapi, entahlah...aku mulai takut memikirkannya.

 

***

Setelah peristiwa penculikan tadi malam, kami segera bergerak cepat untuk melakukan pencarian. Pasukanku mendapat bagian untuk melakukan pencarian di Willeth, bekas desa penyihir yang hanya tinggal puing-puing. Desa ini hancur tanpa sisa, dan para penyihir yang selamat melarikan diri entah kemana. 

Aku dan Marlon menyusuri bagian timur Willeth, sementara Emma dan Kingsleigh di bagian barat, dan Alden memeriksa wilayah tengah. Salju di tempat ini tidak lebih tebal dan udara tak lebih dingin ketimbang di Windstone. Namun menyusuri tempat seperti ini sekilas lebih berisiko daripada menyusuri wilayah kosong.

Setelah beberapa saat berkeliling, kami tak menemukan tanda-tanda apapun. Para penyihir itu sepertinya memamg tak pernah kembali lagi ke tempat ini. 

Kami melihat sebuah bangunan yang tampak usang dan dipenuhi jaring laba-laba di teras  dengan atap tertutup salju tebal. Kurasa itu sebuah rumah.

“Marlon apa kau tahu bangunan itu?”

“Entahlah. Sepertinya itu rumah yang tak lagi dihuni.”

“Apa kita perlu memeriksanya?” aku merasa ragu.

“Kurasa perlu. Ayo!”

Kami berjalan dengan hati-hati ke rumah kecil dan misterius itu. Aku sudah siap dengan semua senjataku, senapan, panah, dan belati kecil yang terselip di sepatu. Marlon mendekati pintu yang rantai dengan gembok. Ia memukul rantai berkarat itu dengan pedang hingga putus.

“Kau siap Jenna?”

“Selalu.”

Kami segera masuk ke rumah itu dan memeriksa setiap sisi ruangan. Saat aku mengamati sebuah patung besar, tiba-tiba beberapa ekor tikus besar muncul dan membuatku terkejut setengah mati. Aku yakin, ketika masih dihuni pun rumah ini sangat tidak nyaman dan dipenuhi dengan benda-benda aneh. Terdapat begitu banyak benda khas penyihir. Bahkan beberapa mirip dengan yang ada di ruang penyimpanan rahasia. Seperti sapu, patung-patung aneh, topi, jubah, dan segala tetek bengek  tentang penyihir. 

Setelah menyusuri seluruh bagian rumah, kami tak juga mendapatkan pertanda apapun. Selain itu keadaan rumah ini membuatku tak betah berlama-lama di dalamnya.

“Lebih baik kita pergi saja. Tak ada apapun. Lagipula ini hanya bekas bangunan yang sudah lama ditinggalkan.” ujarku pada Marlon.

“Kau benar. Kita pergi saja, tapi kurasa kita tidak bisa meninggalkan rumah ini begitu saja. “

“Apa maksudmu?”

"Begini, rumah ini memang sudah lama ditinggalkan. Tapi Ia masih menyimpan banyak sekali benda-benda mistis. Jadi tak mustahil jika para penyihir itu akan kembali mengambil barang-barang mereka untuk ritual sihir.”

“Ide bagus Marlon! Kita bisa membakar benda-benda mistis itu."

Aku dan Marlon segera mengeluarkan benda-benda mistis dari rumah ini untuk membakarnya hingga tak ada lagi yang tersisa. Kecuali beberapa balok kayu dan tongkat besi.

Asap hitam membumbung tinggi ke langit dan menghasilkan bau menyengat. Kingsleigh, Alden, Emma menemui kami dan mengira hal buruk menimpa kami.

“Kenapa kalian membakarnya? Kukira telah terjadi sesuatu.” Emma terlihat khawatir.

“Tidak apa-apa, hanya mencegah benda-benda sihir itu digunakan lagi.” jawab Marlon.

“Baiklah. Apa kalian menemukan sesuatu yang mencurigakan?” tanya Kingsleigh.

“Tak satupun.” jawabku.

“Kami juga.” tambah Alden

“Sekarang kita masih harus menyelesaikan bagian selatan dan utara. Karena bagian utara lebih luas, jadi aku perlu dua teman.” ujar Kingsleigh.

“Kalau begitu aku dan Marlon ke selatan. Bagaimana Marlon?”

“Tentu, kita ke selatan.”

Setelah menyelesaikan bagian timur, aku dan Marlon menuju bagian utara Willeth. Wilayah ini adalah bagian terluar dari Willeth dan berbatasan langsung dengan hutan. Karena pepohonan di tempat ini lebih rimbun, tumpukan salju jadi tidak terlalu tebal dibandingkan wilayah utara yang lebih terbuka.

Seperti di wilayah timur, disini terdapat banyak puing-puing bangunan dan benda-benda berserakan. Namun tak ada satupun bangunan yang masih berdiri, semuanya telah rata dengan tanah. Rupanya pertempuran tiga tahun lalu memang menghancurkan Willeth secara total.

Lagi-lagi, kami tak menemukan jejak atau pertanda apapun tentang para penyihir. Dugaanku, anak kecil yang malang itu telah dibawa ke suatu tempat yang jauh. Mungkin di pegunungan ataupun tempat rahasia mereka yang baru. Yang jelas tempat ini tak menyimpan apapun selain puing-puing bangunan. 

Bagian utara sebenarnya tak terlalu luas, namun batas antara desa dengan hutan tak terlalu jelas. Tak ada tembok pembatas atau semacamnya. Untuk mempersingkat waktu, aku dan Marlon memutuskan berpencar.

“Marlon, kurasa kita berpencar saja agar lebih cepat.” 

“Baiklah. Jangan sampai keluar dari wilayah ini.” 

“Tapi bagaimana aku bisa tahu batas wilayah desa ini?” aku melihat ke sekeliling.

“Entahlah. Batasnya memang tak jelas, tapi sebagai patokannya kita hitung dari pohon dibelakangmu hingga pohon ke lima belas setelahnya.”

“Baiklah. Aku tak akan pergi terlalu jauh.”

Kami saling berlawanan arah dan aku mulai menyusuri pohon cemara besar tepat di belakangku sebanyak pohon ke-lima belas setelahnya. Suasana di tempat ini begitu sunyi, tak ada suara burung maupun serangga dari atas pohon, hanya suara desiran angin. Suasana yang hampir sama seperti di Windstone. 

Aku terus berjalan hingga pohon terakhir menurut kesepakatan kami, tapi kurasa wilayah Willeth masih lebih luas dari ini. Aku memandang ke sekeliling, kebanyakan hanyalah pepohonan dan beberapa puing bangunan yang berceceran namun sudah jauh berkurang.

Setelah kurasa cukup, aku berbalik arah untuk menuju ke tempat semula, berjalan pelan akibat tumpukan salju yang lumayan tebal. Tak ada siapapun disini selain diriku. Gesekan antara pepohonan bercampur desiran angin menimbulkan suara yang cukup keras. Namun justru membuat suasana di tempat ini semakin terasa sunyi.

Lama kelamaan suara angin terdengar semakin keras, bahkan aku seperti mendengar sebuah suara secara samar-samar. Aku tak bisa mendengar jelas suara-suara itu, tapi kurasa itu seperti seseorang yang sedang berbicara. 

Suara itu berasal dari utara dan tanpa berpikir panjang aku kembali berbalik arah dan mencari sumber suara itu yang semakin menjauh dan bergerak ke utara. Tanpa menghiraukan apapun, aku terus mengikutinya hingga melewati pohon ke lima belas bahkan ke tiga puluh lebih. Tak hanya berjalan lurus, melainkan berbelok-belok mengikuti kemana pun suara itu pergi. 

Tiba-tiba suara itu menghilang dan suasana hutan kembali tenang. Tak ada desiran angin yang aneh atau suara apapun. Aku sendirian dan kebingunan di tengah hutan belantara yang diselimuti salju. 

Bagus! Sekarang aku tak tahu arah dan lupa jalan kembali. Kemudian aku berpikir untuk menyusuri jejak kakiku hingga ke posisi semula. Tapi anehnya aku tak menemukan satu jejak pun! Padahal sepatu bootku ini cukup untuk membuat jejak dalam yang bisa bertahan hingga berhari-hari. Aku benar-benar tak mengerti. Ini sangat aneh, dan aku berpikir saat ini ada seorang penyihir yang sedang memata-mataiku untuk membuatku tersesat.

“Keluar kau penyihir! Jangan hanya bersembunyi dan mengandalkan sihirmu! Aku tak takut denganmu!” aku berteriak-teriak agar penyihir itu keluar. Tapi tetap saja tak ada apapun yang terjadi.

Sekarang aku kebingungan, sendirian, tak tahu arah, dan tak menemukan petunjuk apapun. “Jennifer tersesat lagi” gerutuku dalam hati.

Akhirnya kuputuskan untuk terus berjalan entah kemana. Aku berharap mengambil arah yang benar, yaitu utara. Setelah berjalan cukup jauh, aku seperti teringat dengan sesuatu. Medan yang kulalui saat ini hampir sama seperti saat aku berlari karena dikejar ratusan burung gagak. Saat itu aku memang tak sempat menghafalkan rute, tetapi masih ada sedikit ingatan tentang tempat ini. 

Aku berjalan beberapa langkah ke depan dan segera terlihat turunan tajam. Tak salah lagi, ini adalah turunan yang membuatku terjatuh hingga tak sadarkan diri. Aku merasakan semangat kembali membuncah dalam diriku. Tentu saja aku akan sampai di desa Cornwall jika turun dan berjalan terus. 

Setelah menuruni banyak tanjakan dan turunan, akhirnya terlihat danau menghampar di depanku. Rupanya danau itu masih membeku dan tetap sama seperti saat aku melewatinya dengan Elgar. Aku bergegas sembari setengah berlari, takut untuk melihat dasar danau yang berwarna biru gelap. Jika lapisan es ini pecah, aku bisa mati karena kedinginan. 

Akhirnya aku berhasil melewati danau itu tanpa memecahkan permukaaannya sedikit pun. Tak jauh dari danau itu terlihat sebuah pemukiman, tak salah lagi, “selamat datang di Cornwall”. Aku segera menuju rumah Elgar yang dipenuhi dengan bunga mawar di sekelilingnya. Asap mengepul dari cerobong, namun rumah ini kelihatan sepi. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status