Share

Bab 02

 

 

 

Aletta berjalan di koridor sekolah sambil tengok kanan-kiri, membuat Kanaya yang ikut berjalan sejajar dengan gadis itu jadi heran.

 

“Lo kenapa, sih?” tanyanya.

 

Aletta tak menjawab. Dia sibuk lirik kanan kiri dengan wajah cemas dan tegang.

 

“Dia gak ada, 'kan?” Alih-alih menjawab pertanyaan Kanaya tadi, Aletta malah melontarkan pertanyaan lain. Kanaya memutar bola matanya malas.

 

“Ditanya malah balik nanya. Nyebelin!” Kanaya mempercepat langkahnya dan meninggalkan Aletta sendirian di koridor.

 

"Eh, kok malah ditinggal? Nay, tunggu!” teriak Aletta yang langsung ikut berjalan cepat juga untuk menyusul Kanaya.

 

***

 

Seorang siswi cantik ber-name tag Amanda Falencia berdiri di depan kelas XI IPA-1 dengan senyum mengembang. Postur tubuhnya yang ideal ditambah paras menawan dan merupakan salah satu gadis perfect se-SMA Nirwana, membuatnya banyak di gandrungi para siswa hampir dari semua warga kelas di sekolahan itu.

 

Gadis itu menolehkan pandangannya ke koridor, seketika senyumnya semakin mengembang lebar melihat sosok laki-laki yang dia tunggu sedari tadi sedang berjalan kearahnya. Tidak-tidak! Bukan ke arahnya, tetapi kearah kelasnya sendiri. Dengan langkahnya yang cepat dan penuh percaya diri, dia mendekati sosok lelaki yang mendapat julukan Rajanya SMA Nirwana itu.

 

“Hi, Satria,” sapa Manda seraya tersenyum. Langkah Satria terhenti. Dia menatap datar gadis di depannya itu dengan alis terangkat satu.

 

Manda mengeluarkan sebuah tupperware berwarna biru ke hadapan Satria.

 

“Buat lo. Gue sendiri lho yang bikin. Habisin, ya,” ucapnya masih dengan senyum percaya dirinya. Sontak saja kejadian itu membuat setiap murid yang berlalu lalang secara spontan menghentikan langkahnya masing-masing sambil menganga tak percaya. Mata mereka membulat melihat keberanian Manda memberikan sekotak sarapan kepada Satria. Laki-laki yang memiliki paras sejuta pesona bak artis terkenal, kaya raya, memiliki IQ tinggi dan sangat piawai dalam bidang olahraga dan merupakan ketua kelas di kelas XI IPA-1. Kelas unggulan di SMA Nirwana. Setiap siswa maupun siswi yang berada di dalam kelas itu otomatis terkenal dan akan ditakuti oleh kelas-kelas yang lain. Bisa dibilang kelas unggulan merupakan penguasa kelas di SMA Nirwana ini.

 

“Lo yang bikin?” ulang Satria. Manda mengangguk antusias. Seketika gadis itu terlihat sangat kegirangan saat Satria mengambil kotak makan itu dari tangannya. Ditambah senyuman yang cowok itu lontarkan, membuat Manda seakan ingin melayang.

 

Semua pasang mata yang menyaksikan itu menganga takjub. Belum pernah dia melihat Satria tersenyum selama ini. Apalagi, pada seorang gadis. Mereka memasang mata dan telinga mereka baik-baik. Karena yang mereka tahu, selain dari kelebihan-kelebihannya tadi, Satria punya satu kekurangan. Yaitu tidak punya hati. Dia dingin dan tidak pernah mau perduli pada siapapun. Selama ini, siapapun yang berani mendekatinya pasti akan dicaci habis-habisan. Tapi Manda? Apakah Satria akan sedikit mempertimbangkan mengingat gadis itu juga sama populer sepertinya meskipun perbedaannya sangat jauh.

 

Satria membuka kotak itu. Tak disangka, cowok itu malah membuang semua makanan yang ada di dalamnya itu ke tong sampah. Manda terbelalak kaget. Sedangkan para murid yang entah sejak kapan semakin ramai berkerumunan itu sama-sama menutup mulut mereka tak percaya.

 

“Kenapa malah lo buang, Sat?” tanya Manda dengan suara bergetar. Keberanian yang tadi sempat berkobar-kobar kini menciut entah kemana.

 

“Kenapa? Bukannya lo pengen makanan ini habis, 'kan?”

 

“Ta–tapi gak dibuang juga.” Manda menunduk. Rasa percaya dirinya yang tadi terpancar perlahan mulai memudar. Matanya mulai memanas. Rasanya dia ingin menangis sekarang juga.

 

Semua yang menyaksikan itu hanya bisa diam tanpa ada yang berani membela Manda. Ya! Selama ini mereka memang sudah banyak mendengar akan sifat Satria yang angkuh dan cuek. Tetapi, hari ini mereka menyaksikan semua itu sendiri. Satria bukan hanya jahat dan dingin, tapi dia juga ... sadis. Bayangkan saja! Gadis secantik dan sepopuler Manda saja dipermalukan seburuk itu olehnya. Bagaimana jika yang memberikan makanan tadi adalah gadis yang biasa-biasa saja?

 

Satria mengembalikan kotak makanan yang tak tersisa sedikitpun makanan itu kembali ke tangan Manda.

 

“Gue peringatin sekali lagi. Sekali enggak, tetep enggak! Jangan mimpi gue bakal luluh sama lo!” kecam Satria datar, lalu beranjak pergi meninggalkan Manda yang tak kuasa menahan air matanya lagi. Gadis itu merasa amat terguncang. Dia sama sekali tak pernah membayangkan kejadiannya akan seperti ini. Satria sukses membuat harga dirinya hancur berkeping-keping.

 

***

 

Tak jauh dari kejadian itu berlangsung, seorang gadis menyaksikan kejadian tadi dengan mulut menganga lebar, Aletta. Dia mengepalkan tangannya erat merasa kesal sekaligus tak menyangka akan sikap Satria yang menurutnya sudah sangat kelewatan. Hati nuraninya tersentuh. Dia merasa kasihan pada Manda. Ingin sekali dia melabrak Satria detik itu juga dan memarahi lelaki itu atau mungkin balas menghinanya karena sudah bertindak sekejam ini. Namun, semua itu berhasil digagalkan oleh Kanaya yang mencekal sebelah tangannya kuat.

 

“Satria udah keterlaluan, Nay. Dia benar-benar jahat. Lo mau gue diem aja kaya gini?” protes Aletta marah, tapi dia berusaha menormalkan suaranya agar tidak menyentak.

 

Kanaya berdecak. “Lo masih suka dia, 'kan? Kalau lo labrak Satria sekarang, kemungkinan Satria bakal benci sama lo. Lo mau image lo turun di depan dia?”

 

Aletta terdiam. Dia ingin menyangkal semua itu, tapi tidak bisa. Aletta masih dan mungkin akan selamanya mencintai Satria. Dia tidak siap jika harus dibenci laki-laki itu.

 

“Tapi–”

 

“Udah. Mending sekarang kita masuk kelas aja. Ayo!” Kanaya langsung menyeret tangan sahabatnya itu untuk pergi dari sana. Selama di perjalanan, Aletta berkali-kali membuang nafas dan memejamkan matanya sejenak. Sekarang dia mempertanyakan kata hatinya sendiri. Apa dia telah salah mencintai orang?

 

***

 

Bel pulang sudah berbunyi sepuluh menit lalu, Aletta berdiri di depan gerbang sekolah menunggu angkutan umum lewat. Sudah hampir setengah jam dia berdiri di sana, tapi angkot belum ada yang datang juga. Aneh! Biasanya jam-jam segini, angkot banyak lalu lalang. Kenapa sekarang tidak ada satupun?

 

“Kalau tahu begini, mending aku ikut Kanaya aja tadi,” gumamnya. Karena kelamaan berdiri, diapun memilih duduk di bangku panjang yang tersedia di sana dan merapihkan sedikit rambut kuncir kudanya yang mulai berantakan.

 

Tak lama kemudian, sebuah sepeda motor tepat berhenti di depan Aletta. Gadis itu mendongak dan seketika matanya terbelalak lebar melihat laki-laki itu.

 

“Kak?”

 

Laki-laki itu melepas helm full face-nya, lalu berjalan cepat menghampiri Aletta. Dengan lancang, dia mencekal sebelah tangan gadis itu, lalu menariknya kencang agar Aletta mau ikut bersamanya.

 

“Lepasin!” sentak Aletta berusaha memberontak, tapi laki-laki itu tetap tak melepas cekalannya. Dia justru malah semakin mengencangkan cengkramannya dan membuat Aletta meringis sakit.

 

“Mau sampai kapan lo ngehindar, hah? Ikut gue!” tegas laki-laki itu menyentak. Aletta menggeleng dengan air mata yang mulai menggenang. Dia sangat ketakutan sekarang. Terakhir kali dia ikut lelaki itu, dirinya hampir dibawa pergi ke luar negri. Untung saja saat itu, Ibunya berhasil menemukannya tepat waktu.

 

“Enggak! Lepasin aku, Kak!” sentak Aletta pada lelaki yang tak lain Kakaknya sendiri. Geraldi. 

 

Geraldi mengeraskan rahangnya. Dia menatap Aletta dengan pelototan tajam.

 

“Lo mau ngebangkang sama Kakak lu sendiri, hah? Oke. Lo dan Nyokap lo itu emang gak ada bedanya. Kalian berdua itu gak tahu terima kasih!” Setelah puas memaki adiknya sendiri, Geraldi kembali ke motornya dan melaju pergi. Detik itu juga, air mata Aletta meluruh. Dadanya sesak mendengar kata-kata kasar yang dilontarkan Kakaknya sendiri.

 

Orang lain mungkin menganggap kakak laki-laki itu sama seperti malaikat pelindungnya. Dia akan siap siaga menjadi pawang disaat adiknya sedang kesusahan, tetapi Aletta berbeda. Dulu, Geraldi memang sangat menyayanginya. Setiap kali di dekatnya, Aletta selalu merasa aman dan terlindungi. Namun, sekarang semuanya berubah. Sejak ayah mereka meninggal karena kecelakaan, ditambah lagi perusahaan mereka bangkrut dan kehidupan mereka jadi jatuh miskin, Geraldi yang tak sepenuhnya bisa menerima kenyataan berubah menjadi laki-laki yang sangat tempramen dan tak perduli pada keluarganya sendiri. Kuliahnya berantakan dan setiap hari kerjaannya hanya keluyuran tidak jelas dan terjebak dalam pergaulan yang tidak wajar. Yap! Geraldi terpengaruh hasutan teman-teman gilanya hanya untuk mendapatkan uang. Bahkan, pernah saat itu Geraldi berniat menjual rumah mereka kepada salah satu temannya hanya karena kalah taruhan.

 

“Tidak, Aletta. Kamu gak boleh nangis. Kamu harus kuat.” Aletta mencoba tersenyum seraya menyeka air matanya dengan kasar. Dia melambaikan tangan, menghentikan angkot yang kebetulan lewat dan langsung menaikinya.

 

Mengingat kembali kehidupannya yang kacau balau, hanya akan membuat hati Aletta kembali terluka dan perih. Beruntungnya, disaat kondisi ekonomi keluarganya yang terbilang sangat miris, Aletta dengan kepintarannya berhasil mendapatkan beasiswa dan berhasil sekolah di SMA Nirwana seperti sekarang. Meskipun Aletta agak kecewa karena tidak bisa masuk kelas unggulan dan sekelas dengan laki-laki idamannya, tetap saja Aletta bersyukur. Hanya dengan memandangi Satria dari jauh saja, itu sudah cukup baginya.

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status