Share

Bab 03

 

Aletta membuka pintu rumahnya, seketika matanya terbelalak melihat ibunya--Anna yang sudah ada di rumah dan saat ini sedang duduk di sebuah sofa. Aneh! Biasanya Ibunya itu baru akan pulang sekitar pukul delapan malam mengingat dia bekerja sebagai pelayan di salah satu rumah makan.

 

“Ibu!” Aletta langsung berlari cepat menghampiri Anna dan ikut duduk di sebelahnya. Dia terkejut melihat wajah Ibunya yang memucat.

 

“Ibu, ibu kenapa? Ibu sakit, ya?” tanya Aletta cemas. Anna menatap putrinya itu sebentar, lalu menggeleng.

 

“Ibu gak papa,” jawab Anna seraya tersenyum.

 

“Bohong. Jelas-jelas muka Ibu pucat kaya gini. Udah, mending sekarang Ibu istirahat aja. Ayo aku anterin ke kamar!” Aletta meletakkan tasnya di sofa, lalu beralih menuntun Anna masuk ke kamarnya.

 

“Tapi Ibu belum masak? Kamu pasti laper, 'kan?”

 

Aletta menggeleng seraya merebahkan tubuh Ibunya di kasur. “Gak papa, Bu. Aku 'kan bisa masak sendiri. Lagipula, aku juga belum laper, kok. Ibu udah minum obat belum? Aku beli'in, ya.”

 

Anna hanya mengangguk patuh. Kepalanya masih terasa pusing dan tubuhnya terasa lemas semua.

 

“Ibu istirahat aja dulu. Aku mau beli obatnya bentar,” ujar Aletta menyelimuti Anna dengan selimut, lalu beranjak pergi keluar membeli obat.

 

***

 

Malam sudah tiba. Setelah memastikan Anna meminum obatnya dengan benar, Alettapun masuk ke kamarnya sendiri untuk istirahat dan belajar. Namun, fokusnya terpecah saat mengingat kejadian saat di sekolah. Saat Satria dengan teganya mempermalukan Manda di depan umum. Sesaat, Aletta membayangkan jika dirinya ada di posisi gadis itu. Mungkin akan lebih buruk dari yang terjadi pada Manda tadi.

 

Manda mengusap wajahnya kasar. Tangannya lalu terulur mengambil laptop Kanaya yang belum dia kembalikan. Seperti biasa, jika sudah membuka laptop, maka Aletta akan langsung men-stalk akun Satria. Karena kondisi Anna yang sedang tak sehat, Aletta tidak pergi ke kafe hari ini. Dia juga mulai harus sedikit berhemat.

 

“Kamu itu jahat, tidak punya hati, dingin, tapi kenapa aku gak bisa ngilangin perasaan ini, sih?” gumam Aletta frustasi.

 

***

 

Satria berdiri di balkon kamarnya sambil menatap langit. Kosong. Tidak ada bintang satupun di langit itu. Sama seperti perasaannya sekarang.

 

Tidak semua orang di dunia ini yang benar-benar jahat dari lahir dan tanpa sebab. Beberapa diantaranya pasti memiliki alasan tertentu. Ya, Satrialah salah satunya. Dia hanya dibesarkan dan dirawat oleh seorang Ayah. Satria tidak tahu dimana keberadaan Ibunya. Entah dia masih hidup atau sudah tiada, Satria benar-benar tidak tahu. Sang Ayah--Thakur William memang mendidik Satria cukup baik. Setiap hari, dia tidak pernah melupakan tugasnya untuk menyuruh Satria belajar dan akan diberi teguran jika memang putranya itu melewati jalur batas wajar.

 

Sebenarnya Satria sangat ingin tahu di mana Ibunya dan berkali-kali menanyakannya pada Thakur. Namun, sayang beribu sayang ayahnya itu tidak pernah mau membuka mulut secuilpun soal itu. Bukannya memberi tahu Satria, Thakur malah menyuruhnya untuk menganggap Ibunya itu telah tiada.

 

Tok! Tok!

 

“Satria, kamu udah tidur?” tegur Thakur dari luar. Satria terlonjak kaget.

 

“Belum, Pa,” jawab Satria seraya melangkah ke ambang pintu kamar dan membukakan pintu itu. Thakur tersenyum dan mengelus puncak kepala Satria sebentar.

 

“Papa cuma mau bilang kalau besok Papa akan ada pertemuan bisnis di Kanada. Kemungkinan Papa akan tinggal di sana selama seminggu. Kamu gak papa 'kan Papa tinggal?” 

 

Satrua tersenyum, lalu menggeleng. “Gak papa, Pa.”

 

Thakur tersenyum. “Yasudah. Sekarang Papa mau istirahat. Kamu juga jangan kemaleman tidurnya,” peringatnya. 

 

Satria mengangguk ringan dan kembali menutup pintu kamarnya lagi setelah Thakur pergi. Jika dilihat dari luar, kehidupan Satria memang sempurna. Tetapi, yang sebenarnya adalah Satria itu sangat kesepian. Meski Thakur mencurahkan kasih sayangnya tiada tara padanya, tetap saja figur seorang Ibu sangat dia butuhkan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status