Share

Bab 05

 

 

 

Aletta menelan ludah seraya mematut penampilannya sendiri melalui cermin. Hari ini dia sudah bertekad untuk memulai rencananya mengejar cinta Satria. Ragu? Itu pasti ada. Namun, Aletta sudah fikirkan semua resikonya baik-baik. Jika nanti Satria menolaknya, tak apa. Yang pasti Aletta sudah lega jika sudah mengutarakan perasaannya itu pada Aletta.

 

“Semoga berhasil ....” Setelah menguncir rambut panjangnya seperti biasa, Aletta segera mengambil tas seraya berjalan keluar kamar. Dalam rencananya kali ini, Satria berniat tidak akan memberi tahu Kanaya dulu. Dia akan melakukan semuanya sendiri. Buat apa dia bercerita? Toh, kemarin saja Kanaya malah memintanya untuk melupakan Satria.

 

***

 

Langkah Aletta terhenti karena melihat Anna yang tengah menyiapkan sarapan untuknya. 

 

“Loh, Ibu kok keluar kamar? Emang Ibu udah sembuh?” tanya Aletta sembari berjalan mendekati Ibunya tersebut. Anna tersenyum.

 

“Udah dong. Nih, sekarang kamu sarapan dulu, ya. Ibu juga mau siap-siap berangkat kerja.” Setelah menyodorkan sarapan untuk putrinya, Anna beranjak hendak pergi, tapi tiba-tiba kepalanya terasa pusing lagi. Tubuhnya hampir saja oleng jika saja Aletta tidak dengan sigap menahannya.

 

“Ibu itu masih sakit, 'kan? Udah, ya. Mending Ibu gak usah kerja dulu. Ibu istirahat aja di rumah,” saran Aletta dengan ekpresi khawatir.

 

“Kalai Ibu gak kerja, kita mau makan apa, Nak?” tanya balik Anna. Aletta membeku di tempat.

 

Anna tersenyum seraya mengelus rambut putrinya itu dengan lembut.

 

“Ibu gak papa, Sayang. Kamu jangan terlalu khawatir, ya. Nanti begitu Ibu minum obat. Ibu pasti langsung sembuh.”

 

“Tapi–”

 

“Sudah. Kamu jangan banyak protes. Mending, sekarang kamu sarapan, habis itu berangkat sekolah. Ibu mau siap-siap dulu. Oke?” Anna tersenyum meyakinkan putrinya sejenak, lalu melenggang pergi menuju kamarnya.

 

Air mata Aletta menetes tanpa bisa ditahan. “Aku janji akan jadi orang sukses, Bu. Aku akan bawa kehidupan kita jauh lebih baik dari ini,” gumamnya seraya menghapus air matanya sendiri.

 

***

 

Tet ...!

 

Bunyi bel masuk berbunyi nyaring. Semua siswa maupun siswi yang tadinya berada di luar mulai berhamburan masuk ke kelasnya masing-masing. Satria yang yang baru saja dari perpus, juga masuk ke kelasnya sendiri dan duduk santai di kursinya paling depan.

 

“Selamat pagi, Anak-Anak,” sapa Guru Geografi yang baru saja masuk.

 

“Pagi ...,” jawab semua murid kelas XI IPA-1 itu serempak.

 

Satria mulai merogoh ke dalam tasnya mengambil alat-alat tulis yang diperlukan. Tiba-tiba sesuatu terjatuh dibalik salah satu buku tugasnya. Satria menunduk dan mengambil secarik kertas kecil tersebut.

 

‘Dear Satria.’

 

‘Kau seperti bintang yang bersinar terang.'

 

‘Meski hilang ditelan gelapnya malam, sinarmu telah masuk kedalam relung hatiku ....’

 

~Secret Admirer~

 

Satria tertegun. Tak dapat dipungkiri, ada rasa takjub dalam dirinya setelah membaca puisi singkat yang ditulis dengan kaligrafi latin tersebut. Selama ini dia memang sudah sering menerima surat. Kebanyakan dari surat-surat itu berisi kata-kata yang biasa, lebay, dan malah membuat Satria seketika merasa geram. Namun, surat ini berbeda. Meski sajaknya singkat, tetapi arti dan makna si penulis tiap bait sangat terlihat jelas bagi siapapun yang membacanya.

 

Satria menengok kearah teman-temannya di bangku belakang. Sifatnya yang dingin dan cuek membuat Satria tidak begitu tahu seperti apa karakter mereka satu persatu. Dia berdecak karena tidak melihat siapapun yang mencurigakan. Semua murid di sana sedang fokus menulis materi yang diberikan guru tadi.

 

‘Ck, bodo amatlah.’ Satria mencoba tak perduli dan tak mau ambil pusing memikirkan surat ini dan siapa pengirimnya. Semua ini sudah biasa terjadi. Satria benar-benar bosan. Dia lalu meremas surat itu dan menyimpannya di kolong bawah meja dengan asal.

 

***

 

“Nih ....” Aletta mengembalikan laptop yang dia pinjam dari Kanaya dua hari lalu. 

 

“Loh, emang udah selesai makenya? Kalau lo masih mau pinjem, gak papa kok, Al,” ujar Kanaya. Aletta tersenyum, lalu menggeleng.

 

“Gue udah gak pake lagi, kok. Lo bener! Udah seharusnya gue bisa move on dari Satria. Dia terlalu tinggi buat gue raih. Sekarang, gue mau coba lupain dia,” sahut Aletta yang sukses membuat Kanaya terbelalak.

 

“Lo serius?” tanya Kanaya agak ragu. Aletta tersenyum tipis, lalu mengangguk.

 

“Kalau gitu, gue ke toilet dulu, ya.” Aletta beranjak dari tempat duduknya dan melangkah keluar kelas. Kanaya memperhatikan temannya itu dengan tatapan heran.

 

“Kayak ada yang lo umpetin dari gue, Al.”

 

Dari balik tembok masih di kelas IPS-2, Aletta memperhatikan Kanaya yang di dalam kelasnya itu seperti kaget dengan penuturannya barusan. Aletta memejam matanya sejenak. Dia sebenarnya tak mau membohongi Kanaya seperti ini, tetapi apa boleh buat? Aletta sekarang hanya ingin perasaannya itu diketahui oleh dirinya saja.

 

"Maafin gue, Swara."

 

***

 

‘Dear Satria.’

 

‘Sama seperti salju yang terasa dingin, tetapi banyak yang mendambakannya. Itulah kamu.’

 

‘Wahai Bintangku. Mungkin kau tak tahu siapa aku.’

 

‘Namun, percayalah. Hanya dengan memandangimu, kau mampu getarkan jiwaku.’

 

‘Kita berbeda. Namun, aku akan selalu mengagumimu.’

 

~ Secret Admirer~

 

Dihari kedua, Satria kembali mendapati surat misterius. Sekali lagi, dia mencoba tak perduli dan meremas surat itu dengan raut kesal.

 

“Gak penting banget!” gerutunya menahan emosi.

 

“Sat, ayo kita ke lapangan! Lo gak lupa 'kan hari ada pertandingan futsal sama anak XI IPA-2?” tegur seorang siswa yang merupakan teman Satria di kelas unggulan juga. Namanya Zain. Satria mendongak, lalu mengangguk pelan. Dia melirik kembali kearah surat yang sudah dia remas tadi. Meski demikian, surat itu tidak pernah dibuang Satria. Ya, lelaki itu menyimpannya. Entah itu surat kemarin ataupun hari ini, Satria membawa surat itu pulang ke rumah bersamanya.

 

***

 

“Al, kita ke lapangan, yuk! Satria mau tanding futsal sama anak IPA-2, lho. Yuk!” ajak Kanaya dengan antusias seraya menarik-narik sebelah tangan Aletta agar mau bangun, tapi gadis itu malah melepaskan pegangannya.

 

“Lo aja deh, Nay. Gue males. Lagipula, gue belum selesai makannya, nih,” tolak Aletta. Kanaya melongo. Pertama kalinya Aletta menolak melihat Satria. Ada apa ini? Apa perkataan Aletta kemarin bahwa dirinya ingin melupakan Satria itu benar?

 

“Al, lo kenapa? Tumben banget gak mau mandangin Satria?” Akhirnya Kanaya mengutarakan keheranannya.

 

Aletta yang saat itu mau memasukkan mie ayam ke mulutnya sontak terhenti, lalu melihat kearah Kanaya dengan malas.

 

“Gue 'kan udah bilang mau belajar ngelupain dia, Nay. Aduh, masa lu lupa sih?”

 

Kanaya menggaruk rambutnya yang tak gatal itu karena bingung. Entahlah. Dia hanya merasa heran saja dengan Aletta. Kemarin-kemarin, temannya itu selalu ngeyel jika dikasih saran, eh kenapa sekarang jadi gampang begini buat menghindari Satria?

 

***

 

Pertandingan futsal antar kelas XI IPA-1 dan XI IPA-2 sedang berlangsung. Meski sudah diprediksi siapa pemenangnya, tetap saja Pak Radit selaku guru olahraga di SMA Nirwana melanjutkan pertandingan dari babak pertama sampai babak akhir. Teriakan histeris dari penonton memenuhi area lapangan. Satria. Siapa lagi kalau bukan dia yang jadi pusat perhatian?

 

Satu jam lamanya permainan itu berlangsung. Seperti prediksi dari awal, kelas yang dipimpin Satrialah yang menang. 

 

“Gak ada dalam sejarahnya kelas kita dikalahin kelas lain,” ujar Kevin dengan bangga. Dia, Kevin, dan Zain sedang duduk seraya beristirahat di pinggir lapangan.

 

Zain mengangguk menyetujui. “Bener banget, tuh. Memang dari tahun pertahun, kelas unggulan selalu jadi nomor satu dalam bidang olahraganya.”

 

“He'em. Apalagi, kita punya Satria. Murid kebanggaan SMA Nirwana. Iya gak?” tanya Kevin pada Satria. Yang ditanya hanya memutar malas bola matanya.

 

“Tapi ... masa pas kita maen tadi, yang dipanggil-panggil penonton cuma Satria doang. Padahal, 'kan kita juga ikut andil di situ,” protes Zain.

 

“Ya mau gimana lagi, Zain? Kita mah apa atuh. Emang di sekolahan ini, kebanyakan ceweknya nge-fans tingkat dewa ke Satria,” timpal Kevin.

 

Percakapan Kevin dan Zain barusan sontak membuat Satria terdiam. Dia jadi teringat akan surat yang diterimanya dua hari belakangan ini. Apa mungkin seseorang yang katanya secret admirer-nya itu salah satu dari siswi yang meneriakinya tadi? 

 

“Gue emang harus cari tahu siapa dia,” gumam Satria tiba-tiba.

 

“Hah? Apaan, Sat? Tadi lo ngomong apa?” sahut Kevin yang sempat mendengar Satria berbicara meski samar-samar.

 

“Bukan apa-apa,” jawab Satria singkat seraya berlalu pergi meninggalkan Zain dan Kevin yang melongo melihat kepergiannya.

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status