Bagus melihat keadaan dompetnya, kosong. Sepeser pun tidak ada uang. Di saat-saat sulit begini, ia sampai merogoh saku kemeja dan celana yang dia punya. Harap-harap ada uang yang terselip di sana. Namun, nihil. Dia hanya bisa membuang napas. Pasrah. Pagi sekali Bagus meninggalkan rumah. Semua uang Bagus tidak tersisa, semua sudah diambil Yanto. Bagus pergi ke sebuah perusahaan yang ada dalam kartu nama pemberian seorang lelaki yang dia tolong dari pencuri. Bagus terpaksa memakai kemeja seadanya karena dia tidak memiliki baju yang bagus. Dia mau tak mau harus jalan kaki agar bisa sampai ke sana. Itulah yang bisa Bagus lakukan karena tidak memiliki sepeser pun uang untuk pegangan hari ini. Tidak dapat naik angkutan umum maupun ojek.Bagus menelusuri jalan dengan kedua kakinya. Sangat jauh dan belum pernah dia jamah kawasan tersebut. Kalau tidak segera pergi, dia berasumsi jika telat akan menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Karena sulit baginya mendapat pekerjaan, apalagi ditawari pekerj
Bagus menggeleng. Dia tidak mau memberikannya karena jika tidak ada kartu nama itu, dia tidak bisa datang kembali ke sini. Julio makin emosi. Dia menyuruh kedua security untuk memegang kedua tangan Bagus. Gerakan Bagus tertahan. Dia tidak bisa melawan ketika Julio mulai meraba-raba seluruh saku di pakaiannya. Begitu Julio dapat, ditatapnya kartu nama itu. “Berikan! Itu milik saya!” tegas Bagus. Julio mengabaikan. Dimasukkannya benda tersebut ke dalam sakunya. “Saya tidak mau tau, bagaimana pun caranya, kalian berdua harus mengusir lelaki sampah ini!” Memberikan perintah kepada kedua security. “Baik, Tuan,” balas mereka lalu Julio pun beranjak memasuki perusahaan. Tubuh Bagus tersungkur ke tanah akibat didorong keras oleh mereka berdua. Berbagai kalimat hinaan terlontar untuknya. Dengan lesu, Bagus yang tidak bisa berbuat apa pun, terpaksa harus angkat kaki dari perusahaan tersebut. ***Bagus menelusuri jalan dengan kedua kakinya. Karena tidak ada uang untuk naik angkutan umu
"Baik, Dok," balas Bagus. Mengangguk lesu. Bagus berpikir keras. Malam ini dia harus bisa mendapatkan uang. Bagaimana pun karakter ayahnya yang buruk, Bagus tetap menyayangi. Terlebih hanya Yanto, satu-satunya orang tua yang dia punya. Berlari melibas malam yang gelap, Bagus meninggalkan rumah sakit. Dia mau pulang ke rumah untuk memberitahu tentang ayahnya ke Tyas. Tidak mungkin meninggalkan sang adik sendirian di rumah begitu saja. Sekaligus untuk meminta Tyas menjaga Yanto. Malam ini, dia mau mencari pinjaman uang. Sepatu Bagus benar-benar koyak. Akhirnya, dia melepas dan menenteng sepatu tersebut. Dengan kaki ayamnya, Bagus bisa berlari lebih kencang. Tenaga sudah benar-benar mau habis. Hanya sisa-sisa dan paksaan diri saja. "Tyas, buka pintunya, Dek," ucap Bagus. Setibanya di rumah, dia mengetuk pintu berkali-kali. Tak ada sahutan, sudah pasti Tyas sedang tidur. "Dek, buka pintunya," ucap Bagus lagi. Sedikit berteriak. Kelupaan dia membawa kunci saat pergi tadi. Tyas mendeng
"Oh, kamu, Nak. Apakah sudah mengurus biaya administrasi untuk operasi ayahmu?" tanya Dokter yang mengenali Bagus. Sebab kedua pasien diurus oleh satu dokter yang sama. "Ehm, itu, belum. Maaf, Dok, tadi saya tidak sengaja mendengar ucapan Anda tentang pasien membutuhkan donor ginjal, memangnya pasien tersebut sakit apa?" tanya Bagus memulai percakapan."Tentang itu, si kakek menderita gagal ginjal sehingga membutuhkan pendonor untuk kesembuhan sang pasien," jawab sang dokter. "Oh, begitu. Lalu, efek samping setelah mendonorkan ginjal apakah si pendonor akan sehat saja keadaannya?" tanya Bagus yang pengetahuannya masih minim soal itu. “Ya, sehat. Tapi, pendonor akan terhambat aktivitasnya dan tidak boleh terlalu lelah karena berkurangnya satu ginjal. Harus banyak asupan bergizi dan vitamin. Istirahat juga yang cukup,” jawab Dokter. Bagus meletakkan jari telunjuknya di dagu. Dia berpikir begitu keras. Sangat penuh pertimbangan. Jika dia mendonorkan ginjal tersebut, dia bisa mendapatk
“Baik, Bu,” ucap sopir taksi. Mengendarai kendaraannya ke arah yang dituju penumpang. Hanna dibawa sampai tiba di supermarket. Dia meminta sopir taksi untuk menunggu karena dia berjanji tidak akan lama. Hanna tidak perlu mengambil keranjang karena yang dia beli hanya sedikit. Hanna menuju ke etalase roti lalu mengambil dua bungkus roti tawar tak lupa juga mengambil selai rasa cokelat. Entah kenapa, kaki Hanna membawanya menuju ke etalase yang lain. Akhirnya dia berkeliling supermarket, sekaligus saja dia melepas stres, pikir Hanna. Sampai akhirnya, kedua kaki jenjang itu berhenti di bagian yang menjajakan kapur barus, pembasmi seranga, dan sebagainya. Perhatian Hanna, terpaku ke salah satu benda yang berbentuk botol agak panjang, bungkusnya kuning. Tangan Hanna, terjulur mengambil benda itu tanpa ada rasa ragu sedikit pun. Lalu, dia beringsut menuju kasir. Teringat kalau sang sopir masih menunggu. Terlebih dia sudah berjanji tidak akan lama. Hanna celingak-celinguk, mencari kasir
Bagus meraih kertas tersebut dari tangan sang dokter lalu melihat hasilnya sendiri. Brata pun juga ikut melihat, bergeser lebih dekat dengan Bagus. Sama-sama membaca isi kertas tersebut. Bagus tidak paham istilah-istilah medis, yang dia tahu sendiri akhirnya adalah kalau ginjalnya tidak bisa didonorkan. “Dokter, coba periksa lagi. Pasti ada yang salah.” Bagus mendesak dokter agar dirinya melakukan pemeriksaan kembali. “Hasil itu sudah akurat. Jika dilakukan pemeriksaan kembali, hasilnya akan tetap sama.” Bagus menghela napas panjang. Benar apa yang dikatakan oleh dokter tersebut, Bagus hanya tidak bisa menerima kenyataan saja. Satu tepukan pelan, Bagus terima. Menoleh ke arah kiri, Brata tersenyum getir. “Sudah, mungkin memang itu yang terbaik untuk kita berdua. Tidak perlu bersedih.” Brata menyemangati, nyatanya dia juga merasa sedih sebab nyawa sang kakek sedang di ujung tanduk. “Lalu bagaimana dengan kakek Bapak?” tanya Bagus. Brata menggeleng lemah. “Mungkin akan ada keajaib
Bagus mencerna maksud dari perkataan Hanna. Yang bisa dia simpulkan adalah, Hanna mengajaknya menikah kontrak agar anak hasil hubungannya dengan laki-laki lain, memiliki seorang ayah. Balasannya adalah, Hanna membiayai seluruh pengobatan ayah Bagus sampai sembuh. “Bagaimana? Kamu setuju, kan?” Bagus menipiskan bibirnya. “Bisa-bisanya kamu bertanya seperti itu? Tentu saja aku menolak. Kenapa kamu tidak meminta saja ayah kandungnya untuk bertanggung jawab.” Hanna memasang wajah masam, kala mengingat wajah Robby. “Tidak. Dia adalah lelaki tidak berguna. Dia selingkuh dan mendekati aku hanya karena harta saja. Tentu saja aku tidak mau memiliki pasangan yang seperti itu,” jelas Hanna. “Lalu, apakah aku adalah pria yang tepat? Sementara kita belum saling mengenal. Bagaimana kamu bisa tiba-tiba memilih aku?” tanya Bagus. Hanna tentu saja penuh pertimbangan sebelum menentukan Bagus adalah orangnya. Dia tidak mau sembarangan mencari orang. Hanna tidak kepikiran lelaki lain, hanya Bagus yan
Mungkin itu adalah kata-kata terakhir sebelum nyawanya sudah tidak dikandung badan. Namun, ketika dia hendak menusukkan benda tajam itu ke perutnya. Belum apa-apa, dia sudah merintih kesakitan. Hanna memegang perut, gunting yang dia pegang pun jatuh ke lantai. Hanna berlinang air mata, merasakan sakit yang hebat. Kedua kaki tak mampu untuk sekadar menopang tubuh berdiri, Hanna merosot ke lantai. “Tenanglah di dalam. Jangan membuat sakit seperti ini, aku tersiksa.”Hanna seolah sedang berbicara dengan bayinya sambil mengusap perut dengan lembut. Sangat ajaib, rasa sakit itu hilang perlahan. Hanna sendiri bingung, apa yang dia alami. Hanna melirik kembali benda tajam yang tergeletak di lantai. Percobaan bunuh dirinya telah gagal, ketika Hanna ingin mencoba kembali. Tangannya gemetaran dan hatinya tidak mau melakukan hal itu. Hanna urung bunuh diri. Dia merasa tubuhnya sangat lelah. Mencoba bangkit dari posisinya, Hanna beranjak ke kasur. Dia memilih untuk tidur saja supaya pikirannya t