"Oh, kamu, Nak. Apakah sudah mengurus biaya administrasi untuk operasi ayahmu?" tanya Dokter yang mengenali Bagus. Sebab kedua pasien diurus oleh satu dokter yang sama. "Ehm, itu, belum. Maaf, Dok, tadi saya tidak sengaja mendengar ucapan Anda tentang pasien membutuhkan donor ginjal, memangnya pasien tersebut sakit apa?" tanya Bagus memulai percakapan."Tentang itu, si kakek menderita gagal ginjal sehingga membutuhkan pendonor untuk kesembuhan sang pasien," jawab sang dokter. "Oh, begitu. Lalu, efek samping setelah mendonorkan ginjal apakah si pendonor akan sehat saja keadaannya?" tanya Bagus yang pengetahuannya masih minim soal itu. “Ya, sehat. Tapi, pendonor akan terhambat aktivitasnya dan tidak boleh terlalu lelah karena berkurangnya satu ginjal. Harus banyak asupan bergizi dan vitamin. Istirahat juga yang cukup,” jawab Dokter. Bagus meletakkan jari telunjuknya di dagu. Dia berpikir begitu keras. Sangat penuh pertimbangan. Jika dia mendonorkan ginjal tersebut, dia bisa mendapatk
“Baik, Bu,” ucap sopir taksi. Mengendarai kendaraannya ke arah yang dituju penumpang. Hanna dibawa sampai tiba di supermarket. Dia meminta sopir taksi untuk menunggu karena dia berjanji tidak akan lama. Hanna tidak perlu mengambil keranjang karena yang dia beli hanya sedikit. Hanna menuju ke etalase roti lalu mengambil dua bungkus roti tawar tak lupa juga mengambil selai rasa cokelat. Entah kenapa, kaki Hanna membawanya menuju ke etalase yang lain. Akhirnya dia berkeliling supermarket, sekaligus saja dia melepas stres, pikir Hanna. Sampai akhirnya, kedua kaki jenjang itu berhenti di bagian yang menjajakan kapur barus, pembasmi seranga, dan sebagainya. Perhatian Hanna, terpaku ke salah satu benda yang berbentuk botol agak panjang, bungkusnya kuning. Tangan Hanna, terjulur mengambil benda itu tanpa ada rasa ragu sedikit pun. Lalu, dia beringsut menuju kasir. Teringat kalau sang sopir masih menunggu. Terlebih dia sudah berjanji tidak akan lama. Hanna celingak-celinguk, mencari kasir
Bagus meraih kertas tersebut dari tangan sang dokter lalu melihat hasilnya sendiri. Brata pun juga ikut melihat, bergeser lebih dekat dengan Bagus. Sama-sama membaca isi kertas tersebut. Bagus tidak paham istilah-istilah medis, yang dia tahu sendiri akhirnya adalah kalau ginjalnya tidak bisa didonorkan. “Dokter, coba periksa lagi. Pasti ada yang salah.” Bagus mendesak dokter agar dirinya melakukan pemeriksaan kembali. “Hasil itu sudah akurat. Jika dilakukan pemeriksaan kembali, hasilnya akan tetap sama.” Bagus menghela napas panjang. Benar apa yang dikatakan oleh dokter tersebut, Bagus hanya tidak bisa menerima kenyataan saja. Satu tepukan pelan, Bagus terima. Menoleh ke arah kiri, Brata tersenyum getir. “Sudah, mungkin memang itu yang terbaik untuk kita berdua. Tidak perlu bersedih.” Brata menyemangati, nyatanya dia juga merasa sedih sebab nyawa sang kakek sedang di ujung tanduk. “Lalu bagaimana dengan kakek Bapak?” tanya Bagus. Brata menggeleng lemah. “Mungkin akan ada keajaib
Bagus mencerna maksud dari perkataan Hanna. Yang bisa dia simpulkan adalah, Hanna mengajaknya menikah kontrak agar anak hasil hubungannya dengan laki-laki lain, memiliki seorang ayah. Balasannya adalah, Hanna membiayai seluruh pengobatan ayah Bagus sampai sembuh. “Bagaimana? Kamu setuju, kan?” Bagus menipiskan bibirnya. “Bisa-bisanya kamu bertanya seperti itu? Tentu saja aku menolak. Kenapa kamu tidak meminta saja ayah kandungnya untuk bertanggung jawab.” Hanna memasang wajah masam, kala mengingat wajah Robby. “Tidak. Dia adalah lelaki tidak berguna. Dia selingkuh dan mendekati aku hanya karena harta saja. Tentu saja aku tidak mau memiliki pasangan yang seperti itu,” jelas Hanna. “Lalu, apakah aku adalah pria yang tepat? Sementara kita belum saling mengenal. Bagaimana kamu bisa tiba-tiba memilih aku?” tanya Bagus. Hanna tentu saja penuh pertimbangan sebelum menentukan Bagus adalah orangnya. Dia tidak mau sembarangan mencari orang. Hanna tidak kepikiran lelaki lain, hanya Bagus yan
Mungkin itu adalah kata-kata terakhir sebelum nyawanya sudah tidak dikandung badan. Namun, ketika dia hendak menusukkan benda tajam itu ke perutnya. Belum apa-apa, dia sudah merintih kesakitan. Hanna memegang perut, gunting yang dia pegang pun jatuh ke lantai. Hanna berlinang air mata, merasakan sakit yang hebat. Kedua kaki tak mampu untuk sekadar menopang tubuh berdiri, Hanna merosot ke lantai. “Tenanglah di dalam. Jangan membuat sakit seperti ini, aku tersiksa.”Hanna seolah sedang berbicara dengan bayinya sambil mengusap perut dengan lembut. Sangat ajaib, rasa sakit itu hilang perlahan. Hanna sendiri bingung, apa yang dia alami. Hanna melirik kembali benda tajam yang tergeletak di lantai. Percobaan bunuh dirinya telah gagal, ketika Hanna ingin mencoba kembali. Tangannya gemetaran dan hatinya tidak mau melakukan hal itu. Hanna urung bunuh diri. Dia merasa tubuhnya sangat lelah. Mencoba bangkit dari posisinya, Hanna beranjak ke kasur. Dia memilih untuk tidur saja supaya pikirannya t
Perutnya terus berbunyi, lapar pun dia tahankan. Sadar kalau diam saja dan meratapi nasib tidak akan mengubah apa pun, Bagus mencoba mengumpulkan semangatnya yang sudah berserak. Dia harus mencari pekerjaan kembali, sama seperti hari-hari kemarin. Dengan harapan, kali ini bisa mendapatkannya. Jalanan aspal, polusi yang menyebar, teriknya sinar mentari, tak menyurutkan Bagus untuk bertarung di ibukota. Setiap langkah yang berpijak, netranya tak lepas melihat ke kiri dan ke kanan. Barang kali ada lowongan pekerjaan. Bangunan pencakar langit, saling berlomba satu sama lain untuk mendapatkan gelar yang paling tinggi. Di sekitaran bangunan-bangunan tersebut, masih ada warung-warung emperan jalan, toko-toko kecil, dan sebagainya. Bagus melangkah ke salah satu toko sembako, berharap ada lowongan di sana. Bagus tidak mencoba untuk melamar ke perusahaan-perusahaan sebab dia hanya tamatan SMA. Tidak ada yang menerimanya saat dia sudah mencoba, dengan berbagai alasan. Dituduh maling, belum ada
Sudah dua kali Bagus mencari pekerjaan, tetapi belum juga dia dapatkan. Menyerah? Tentu saja tidak. Bagus tetap berusaha mencari pekerjaan yang lain. Menyusuri jalanan, Bagus masuk kembali ke salah satu kedai yang cukup besar. Bagus menghampiri seorang lelaki paruh baya yang sedang menunggu di sana. “Permisi, Pak. Apakah di sini ada lowongan pekerjaan?” tanya Bagus. Sang penjaga toko menoleh ke arah Bagus lalu berkata, “Mohon maaf, di sini belum ada lowongan. Kamu bisa mencari tempat yang lain, ya.” Penjaga toko itu bersikap ramah dan lemah lembut menolak. “Saya mohon, Pak. Saya sangat butuh uang untuk membiayai ayah saya yang sedang sakit. Butuh uang yang banyak untuk operasi. Saya membutuhkan pekerjaan agar saya bisa mengumpulkan uang.” Bagus menceritakan kesulitan hidupnya, bukan untuk dikasihani, melainkan agar sang penjaga toko bisa terbuka hatinya.“Maaf, Nak. Belum ada,” jawab sang penjaga toko. Air muka Bagus mendadak murung, tetapi dia tetap memohon kembali. “Saya lihat, d
Silvi pun merasa bersalah dan meminta maaf. Hanna menjelaskan lebih detail tentang surat perjanjian pernikahan kontrak tersebut. Silvi mengangguk pertanda paham. “Setelah kamu selesai membuat surat itu, kembali lagi ke sini dan berikan kepada saya, ya,” ujar Hanna. Semenjak tingggal di kontrakan sederhana, Hanna tidak memiliki ruang kerja pribadi. Sehingga Silvi harus bolak-balik. “Baik, Bu. Saya laksanakan,” balas Silvi patuh. “Tapi, pastikan tidak ada yang tahu soal ini, ya. Bisa kamu menjaga rahasia ini?” tanya Hanna yang dibalas anggukan oleh Silvi. Hanna mengembangkan senyumnya. Selepas kepergian sang sekretaris, Hanna beranjak ke kamar mandi. Dia membersihkan tubuhnya. Hari ini Hanna ingin pergi mencoba menemui Bagus kembali. Meski saat ini, dia tidak tahu di mana keberadaan lelaki itu. Waktu bergulir begitu cepat. Tak terasa sudah pukul 13.00 WIB. Silvi sudah kembali dan dia membawa sebuah map berwarna biru. Hanna menerimanya dan membaca isi surat tersebut. Semua sudah