"Sampai kapan engkau akan terus seperti itu merebahkan tubuhmu seakan engkau sedang letih, seolah kau tidak berdaya bangkitlah engkau dari kemalasanmu."
"Lihatlah keluar Mahasurya yang cerah itu mengejekmu, setiap hari ia membangunkanmu tapi kau seakan tidak peduli."
"Ia mengejekmu bahkan kau tidak pernah berani berjalan di bawah sinarnya."
"Bangunlah sampai kapan kau terus mengutuk nasibmu?"
"Hahh ... ya Tuhan, aku mimpi lagi!?" Tiara menggumam dalam hatinya, mengapa mimpi itu selalu saja datang seakan sudah menjadi teman dalam tidurnya.
Matahari sudah meninggi sinarnya begitu terik, terdengar teriakan ibunya, "Tiara bangun sekarang sudah jam berapa!?" Seketika teriakan ibunya membuat buyar mimpinya dan menghilangkan rasa kantuknya.
"Ayo bantu belikan Ibu minyak goreng ke warung!" Sahut ibu Tiara dari dapur yang masih tengah sibuk menyiapkan hidangan siang untuk mereka.
Tiara meregangkan kedua tangannya membuang rasa malas yang setia menemaninya beberapa tahun belakangan ini.
"Iya Bu tunggu!, aku membereskan kamar dulu," Tak lama Tiara segera berangkat ke warung.
Tiara berjalan menyusuri gang di bawah terik matahar yang seolah membakar wajah mulusnya itu, tubuhnya yang molek 'nan indah melenggang melintasi pangkalan ojek.
"Hai Tiara mau kemana?" Seru para pengemudi ojek, "Hai Bang ini mau kewarung beli pesanan Ibu."
"Gak mau abang antar 'neng?" Tambah mereka lagi, "Gak 'usah bang dekat 'kok disitu," jawab Tiara sambil berlalu dari mata binal pars pria di pangkalan ojek.
Tiara saat ini hanya hidup berdua dengan ibunya, bu Ratri pedagang kue keliling serta menyambi menjadi kuli setrika di laundry milik seorang pengusaha sukses.
Ayahnya sudah tiada, tragedi memilukan lima tahun yang lalu merenggut nyawa ayah dan dua orang kakaknya, saat itu usianya masih dua puluh tahun, Itulah yang membuat mereka hidup kekurangan sekarang ini.
Ibunya seorang yang menopang hidup mereka.
"Bukde beli minyak goreng nya seliter!"
"Itu aja neng, minyak goreng saja?, yang lain?"
"Iya Bukde itu saja 'sih pesanan Ibu di rumah."
"Kamu sekarang kerjanya apa Tiara?" tanya bukde Mayang kepada Tiara.
"Gak ada bukde, ... aku sekarang masih sedang mencari kerja."
"Kamu mau enggak jadi biduan?" tanya bukde Mayang lagi.
"Nyanyi di panggung-panggung maksud bukde?"
"Iya, kamu 'kan pinter 'nyanyi suaramu bagus cantik lagi," Puji bukde Mayang.
"Adik bukde seorang pimpinan organ tunggal dia sedang mencari penyanyi sekarang," Tambah bukde Mayang.
"Bayarannya tiap sekali manggung lumayan loh 'Ra, biar kamu bisa meringankan sedikit beban Ibumu kasihan dia, gimana?"
"Iya aku mau bukde, tapi ...." Tiara terdiam sejenak mengaburkan wajahnya yang tadi antusias.
"Kamu mau ijin dulu ke Ibu kamu itu 'kan yang kau maksud?, iya kalau di ijinkan nanti sore bukde antar kamu ke sana."
Setelah berpamitan Tiara segera berjalan cepat mengambil arah yang berbeda sebuah jalan pintas untuk cepat sampai ke rumah.
Ia tak sabar ingin menyampaikan berita gembira itu kepada Ibunya dan mungkin itu membuat ibunya senang.
Tak hentinya gadis itu tersenyum, binar bahagia terlihat begitu jelas di matanya yang indah, begitu senangnya ia mendapat berita itu dari bukde Mayang si pemilik warung langganannya.
"Bu ... Ibu di mana!?" seru Tiara, "Kenapa Tiara? Ibu di sini di dapur."
"Bu aku punya kabar gembira untuk Ibu, tau enggak tadi di warung bukde Mayang Tiara mendapat tawaran pekerjaan," ucapnya menggebu-gebu.
"Kerjaan apa Nak!?" Tanya Bu Ratri penasaran dengan pekerjaan yang di maksud.
"Menjadi biduan bu, kata bukde Mayang penghasilan sekali manggung lumayan 'loh."
"Biar aku bisa membantu Ibu, apalagi sejak bapak tidak ada, ibu sendirian mencari nafkah, membanting-tulang."
"Ibu mengijinkan aku 'kan?" desak Tiara dengan memberi setengah senyumnya.
"Ibu senang mendengar kamu, tapi Tiara tidak 'kah kau lihat sekarang ini biduan itu seperti pekerjaan yang hanya mempertontonkan lekuk tubuh mereka di depan lelaki," terang ibunya, "Kamu masih muda 'Nak, kamu seharusnya kuliah, belajar yang baik, kok malah ingin kerja?"
Menjadi biduan sekarang ini tak ubahnya seperti ajang untuk mengumbar nafsu kepada kaum lelaki yang gila akan hiburan diluaran rumah.
"Tapi Bu, percayalah Tiara bisa menjaga diri, Tiara akan selalu mengingat pesan ibu dan almarhum bapak."
"Ibu cukup doakan aku saja, semoga aku sukses dan bisa membuat Ibu bahagia." Imbuh Tiara meyakinkan ibunya.
"Ibu akan selalu mendoakan kamu Nak." Tiara memeluk Ibunya, pelukan yang erat tidak seperti biasanya, ada rasa yang begitu dalam, mengiba.
Ia tidak tega melihat Ibunya sering menjadi cibiran orang-orang bahkan juga tetangganya.
Karena kehidupan mereka yang serba kekurangan dan hutang yang belum juga bisa mereka lunasi, tidak terasa bulir-bulir air matanya menetes membasahi pipinya yang putih mulus.
Tiara terisak di pelukan Ibunya, seorang Ibu yang sedikit pun tidak pernah mengeluh, ia begitu tegar berdiri berjuang untuk menghidupinya.
"Tapi ... Tiara!, apa kamu bisa bekerja sebagai biduan?"
Setelah tangisnya sedikit reda Tiara bersiap-siap ke rumah bukde Mayang yang berjanji akan mengantarkan Tiara ke rumah adiknya, pimpinan organ tunggal itu. Rambutnya yang sebahu di biarkan saja terurai menambah kesan perempuan banget dalam dirinya, hari itu sudah beranjak sore matahari perlahan menuju ke peraduannya. Tiara dan bukde Mayang baru saja sampai ke rumah adiknya, rumah itu begitu luas di teras samping rumah terlihat begitu banyak peralatan panggung, sound sistem serta beberapa peralatan lainnya terlihat oleh Tiara di sana. "Ayo masuk Tiara." ucap bukde Mayang yang melihat Tiara sedang memperhatikan peralatan musik itu satu-persatu. Di dalam rumah masih banyak juga peralatan panggung yang tersusun rapi, sepertinya adik bukde Mayang adalah pemimpin organ tunggal yang sudah besar dan terkenal. Bukde Mayang mengenalkannya pada Erwin adiknya, pimpinan organ tunggal yang akan menjadi bos Tiara. Dan melihat Tiara, Erwin tak hentinya memandangi wajah gadis cantik itu matanya
Tiara kembali menyiapkan semua peralatan riasnya didalam tas yang akan dibawanya saat manggung. Hari itu ia akan mengisi satu acara lagi, biduan baru seperti dirinya belum mendapat banyak Job di bandingkan dengan biduan yang sudah lama atau senior. Penghasilan dan honornya pun juga berbeda, kecuali menemukan penonton sawer. Di antara waktu sela, menunggu giliran naik panggung Tiara tengah asyik mengobrol dengan salah satu biduan di sampingnya. "Mba sudah lama jadi biduan?" Tanya Tiara kepada temannya sesama biduan. Ia mengenakan pakaian yang sangat minim dan terbuka di banding Tiara yang biasa saja, belahan ke dua bukit kembarnya menyembul jelas, membangkitkan birahi siapa saja pria berotak mesum yang melihatnya. "Iya sekitar dua tahun semenjak saya berpisah dengan suami saya." "Maaf ya mba, mba sering dapat sawer dari penonton?" tanya Tiara lagi yang ingin tahu lebih banyak tentang biduan. "Sering 'sih lumayan untuk tambahan honor. kita." "Biduan dengan goyangan yang erotis d
"Tiara dua hari lagi kita ada panggilan manggung diluar kota ya, siapkan perlengkapan kamu kita mungkin akan menginap semalam disana, dua hari lagi aku kabari kembali," ucap Erwin pada Tiara melalui telepon. "Iya bang tapi saya harus ijin dulu ke Ibu saya." "Ibumu pasti mengijinkan kamu, honornya besar Loh." "Orang ini kepedean banget!" Gumam Tiara dalam hati. Sebenarnya hati Tiara tengah bimbang, apakah ia harus menolak tawaran manggung itu atau kah ikut saja, ibunya pasti tidak memberinya ijin, apalagi ia tahu kalau itu di luar kota. Di selimuti kebimbangan Tiara ingin mengabari Dewi perihal job manggung itu, bagaimanapun juga jika Dewi yang sudah dikenalnya ikut dalam job itu ia bisa sedikit lega. "Selamat pagi mba, mba Dewi ikut 'kan job manggung di luar kota itu?""Selamat pagi Tiara.""Saya belum dapat kabar dari Erwin soal job itu, 'kok aku 'gak tahu ya?""Iya Mba katanya sih dua hari lagi, ok ya mba aku mau kasih tahu itu saja ke mba." Tiara menutup panggilan teleponnya.
Tubuh Tiara bergidik mengingat kejadian di panggung malam itu, hampir saja kokohnya bukit kembar miliknya ternodai pria mesum. Tak bisa dibantah dua buah bukit kembar miliknya memang sangat menarik di mata lelaki manapun termasuk pria yang mabuk malam itu. Obrolannya kemarin dengan Mba Dewi akhirnya terjadi padanya, persepsi orang-orang tentang biduan memang tidak sepenuhnya benar tetapi juga tidak salah bahwa mereka menjadi objek mesum pria pencari hiburan dan kenikmatan sesaat. Ditengah rasa jenuh dirumah, panggung biduan menjadi pelampiasan mata yang haus dengan tubuh molek mereka. Tiara yang tengah memikirkan kejadian itu dikejutkan ibunya, "Tiara, dengan kejadian yang kau alami kemarin, apakah tidak sebaiknya kamu berhenti dan mencari pekerjaan lain saja?" "Aku harus bekerja apa Bu, mencari pekerjaan situasi sekarang ini susah." "Malah banyak orang orang yang bekerja di PHK dan tidak dipekerjakan lagi." "Bukankah almarhum Ayah pernah bilang, 'kendatipun terjal kita harus m
Sudah beberapa hari Tiara hanya mengurung diri di rumah, ia memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya bernyanyi. Dikepalanya terus terngiang ucapan bukde Mayang, "kalau menjadi biduan itu repot, apalagi omongan-omongan orang terhadapnya." Dewi entah sudah beberapa hari ini datang berkunjung, sekedar ngobrol bersama dan menghiburnya, Dewi dan Tiara sudah merasa semakin akrab sejak kejadian malam itu, Dewi sangat tahu bagaimana yang dirasakan Tiara sekarang. "Tiara kamu yang sabar ya sayang, mereka itu hanya merasa iri sama kamu, apa kamu 'gak pernah kepikiran untuk kembali bernyanyi?" "Saya masih mau bernyanyi sih, tapi bagaimana saya harus kembali ketempat yang seperti itu mba?, aku merasa tidak cocok di sana, dengan suasana yang seperti itu," ungkap Tiara. "Iya sih, kamu masih muda Tiara perjalanan kamu masih panjang kalau aku sih bisanya hanya bernyanyi saja." "Iya mba, terima kasih sudah begitu perhatian dengan saya." Tiara senang dengan pekerjaannya sebagai biduan tapi ia
Begitu banyak cobaan hidup untuk Tiara, belum hilang dari ingatannya bagaimana Erwin memperlakukannya, kini muncul lagi perlakuan yang tidak senonoh pada dirinya. Percobaan pemerkosaan yang masih menyisakan trauma besar dalam dirinya. Dewi yang bersamanya saat itu merasa sangat bersalah atas kejadian yang terjadi pada tiara, bagaimanapun ia yang mengajak Tiara ketempat itu, sahabat-sahabatnya pun demikian, menaruh prihatin yang sangat besar kepadanya. "Tiara kamu sudah mengalami banyak kejadian yang seperti itu, kamu berhenti saja cari pekerjaan yang lain," ucap Frida menasehatinya. "Gak apa-apa Ra, aku akan coba mencari pekerjaan untukmu," Sambung Frida lagi. "Sepertinya kamu butuh hiburan Tiara, gimana kalau Minggu depan kita ke puncak bareng anak-anak gimana?" "Maaf ya Frida, Melisa dan Jenny, aku sudah banyak merepotkan kalian semua." "Tiara, jangan berkata seperti itu kita sahabat kamu dan akan selalu begitu, selalu ada dan mendukungmu." Aku ada rencana akhir pekan ini, b
Awan mendung bergelayut menyelimuti kota Lubrica, pertanda sebentar lagi akan turun hujan, pantas saja udara malam tadi begitu panas. Tiara bergegas mengambil beberapa potong pakaian yang sudah dijemurnya tapi hanya separuh kering saja, semua pakaian sudah dirapikan, saatnya Tiara untuk mengerjakan sebagian pekerjaan ibunya, berbelanja bahan kue. Sebelum hujan turun ia pun bergegas ke warung Bukde Mayang, hanya warung itu saja yang terdekat yang menjual bahan kue lebih lengkap dibandingkan warung lain, karna jika harus membeli ke supermarket jaraknya lumayan jauh dan itu mengeluarkan ongkos yang lebih banyak. "Bukde, ini bahan pesanan ibu," ucap Tiara sambil memberikan secarik kertas berisi daftar belanjaan bahan kue. "Tiara kamu dari mana saja kok Bukde baru liat kamu?" "Saya baru dari puncak liburan sama teman-temanku." "Bukan itu maksud Bukde, kamu berhenti nyanyi sudah lama?" tanya bukde Mayang penasaran. "Oh ... Itu Bukde, 'gak juga sih baru aja," jawab Tiara datar, tidak
Tiara resah dengan sisa utang yang harus mereka bayarkan, "Ibu, dari mana ibu mendapatkan uang untuk membayar utang itu?""Sabar nak, ibu akan berusaha mencari pinjaman dulu.""Apa!, ... ibu mau mencari pinjaman lagi untuk membayar utang itu?, bagaimana kita bisa terbebas dari utang bu kalau seperti itu terus.""Jadi, Ibu harus bagaimana Tiara?, sedangkan kamu belum bekerja."Tiara hanya terdiam, hari perjanjian pembayarannya dengan Rustam tersisa tiga hari lagi sedangkan mereka belum mendapatkan uang sedikitpun."Ya tuhan, aku memang tidak berguna, hal seperti ini saja aku tidak bisa membantu ibu," gumam Tiara dalam hati.Ditengah kegalauannya Tiara berniat untuk meminjam uang kepada Erwin mantan bosnya, tapi sebelum ia melaksanakan niatnya Tiara ingin meminta pendapat ibunya terlebih dulu. "Bu, bagaiamana kalau aku minta pinjaman ke Bang Erwin saja?""Jangan Tiara, kamu gak usah berhubungan dengan dia lagi, Ibu tidak mau terjadi hal-hal yang seperti kemarin.""Sudahlah, Ibu yang aka