Begitu banyak cobaan hidup untuk Tiara, belum hilang dari ingatannya bagaimana Erwin memperlakukannya, kini muncul lagi perlakuan yang tidak senonoh pada dirinya.
Percobaan pemerkosaan yang masih menyisakan trauma besar dalam dirinya.
Dewi yang bersamanya saat itu merasa sangat bersalah atas kejadian yang terjadi pada tiara, bagaimanapun ia yang mengajak Tiara ketempat itu, sahabat-sahabatnya pun demikian, menaruh prihatin yang sangat besar kepadanya.
"Tiara kamu sudah mengalami banyak kejadian yang seperti itu, kamu berhenti saja cari pekerjaan yang lain," ucap Frida menasehatinya.
"Gak apa-apa Ra, aku akan coba mencari pekerjaan untukmu," Sambung Frida lagi.
"Sepertinya kamu butuh hiburan Tiara, gimana kalau Minggu depan kita ke puncak bareng anak-anak gimana?"
"Maaf ya Frida, Melisa dan Jenny, aku sudah banyak merepotkan kalian semua."
"Tiara, jangan berkata seperti itu kita sahabat kamu dan akan selalu begitu, selalu ada dan mendukungmu."
Aku ada rencana akhir pekan ini, bagaimana kalau kita naik gunung?, Tiara 'gimana menurut kamu, kamu mau 'kan ke puncak bareng kita semua?" seru Melisa.
"Duh jadi ingat masa-masa kita sekolah dulu, naik gunung bareng," sela Jenny.
"Kita liat nanti aja, aku ijin ke ibu dulu," jawab Tiara dengan wajah terkulai.
"Besok aku tunggu kamu di rumahku ya, ibuku ingin bertemu denganmu, sudah jangan sedih dong Ra!" Tambah Frida.
Tiara lalu memaksa melemparkan senyum kepada sahabat-sahabatnya, ia memang seharusnya tidak boleh lemah seperti ini.
Esoknya Tiara meminta ijin ibunya ke rumah Frida sahabatnya, sebenarnya bu Ratri selama ini selalu percaya Tiara bisa menjaga dirinya tetapi setelah percobaan pemerkosaan yang sudah dua kali itu, bu Ratri khawatir bila Tiara akan keluar rumah.
"Tiara kamu jaga diri baik-baik, ibu khawatir hal-hal seperti itu akan terjadi lagi sama kamu Nak."
"Iya Bu, Tiara sekarang akan lebih berhati-hati lagi ibu harus percaya sama Tiara, saya hanya ke rumah Frida aja tidak lama kok."
Baru saja Tiara pamit ke ibunya dan akan melangkah ke pintu, sebuah mobil sedan mewah memasuki halaman rumahnya, Frida dan mamanya datang.
"Hei kamu Frida!, ada Tante juga, mari silahkan masuk, untung saja kamu cepat padahal tadi aku baru saja mau kerumahmu."
"Kebetulan lewat sini, jadi sekalian mampir lama gak ketemu juga sama ibu kamu," jawab mamanya Frida.
Setelah Frida dan Ibunya masuk ke dalam rumah mereka mengobrol masalah kejadian yang dialami Tiara, "Kasihan kamu Tiara, Frida juga sudah cerita banyak sama Tante."
"Sebaiknya kamu jangan sampai kembali bekerja ditempat seperti itu lagi, iya kan bu?" Tanya mamanya Frida kepada Ibu Tiara yang duduk disamping Tiara.
"Iya sih bu, sebenarnya dari awal saya kurang mendukungnya, tapi anaknya nekat, jadi mau diapalagi?" Jawab bu Ratri pasrah.
"Begini bu ... Tiara!, tante janji akan bantu kamu untuk mencari pekerjaan buat kamu biar kamu bisa membantu meringankan beban ibumu," Imbuh mamanya Tiara.
"Masalahmu kemarin, apa kamu sudah laporkan ke Polisi?" Tanya ibu Frida lagi.
"Sudah Tante, menurut pihak polisi kalau pria yang menyekapku kemarin adalah orang suruhan Erwin."
"Erwin itu siapa Ra?" Tanya Frida penasaran.
"Erwin itu pimpinan organ tunggal mantan bos aku."
"Hah! yang kemarin sempat melecehkan kamu juga, dia sialan banget ya, cowok brengsek seperti itu harusnya diberi pelajaran," Tambah Frida.
Emosinya tersulut mendengar nama Erwin disebut, ia tahu bahwa Erwin lah yang membuat Tiara sampai berhenti bernyanyi.
Menjelang jam tujuh malam baru Frida dan mamanya pamit.
"Ingat ya Tiara, kamu jangan sampai bekerja di tempat itu lagi, kamu seharusnya tidak bekerja sama dengan orang-orang seperti itu," Kata mamanya Tiara setelah mereka berpisah.
"Iya tante, saya tidak akan bekerja sebagai biduan lagi, dan terima kasih Tante sudah datang kemari."
Frida dan mamanya meninggalkan rumah Tiara, ia sudah bisa sedikit bernafas lega karna mamanya Frida sudah berjanji akan mencari pekerjaan untuknya, sekarang ia sisa mempersiapkan dirinya untuk liburan kepuncak bersama Frida, Melisa dan Jenny, sahabat-sahabat yang selalu ada untuk Tiara.
Awan mendung bergelayut menyelimuti kota Lubrica, pertanda sebentar lagi akan turun hujan, pantas saja udara malam tadi begitu panas. Tiara bergegas mengambil beberapa potong pakaian yang sudah dijemurnya tapi hanya separuh kering saja, semua pakaian sudah dirapikan, saatnya Tiara untuk mengerjakan sebagian pekerjaan ibunya, berbelanja bahan kue. Sebelum hujan turun ia pun bergegas ke warung Bukde Mayang, hanya warung itu saja yang terdekat yang menjual bahan kue lebih lengkap dibandingkan warung lain, karna jika harus membeli ke supermarket jaraknya lumayan jauh dan itu mengeluarkan ongkos yang lebih banyak. "Bukde, ini bahan pesanan ibu," ucap Tiara sambil memberikan secarik kertas berisi daftar belanjaan bahan kue. "Tiara kamu dari mana saja kok Bukde baru liat kamu?" "Saya baru dari puncak liburan sama teman-temanku." "Bukan itu maksud Bukde, kamu berhenti nyanyi sudah lama?" tanya bukde Mayang penasaran. "Oh ... Itu Bukde, 'gak juga sih baru aja," jawab Tiara datar, tidak
Tiara resah dengan sisa utang yang harus mereka bayarkan, "Ibu, dari mana ibu mendapatkan uang untuk membayar utang itu?""Sabar nak, ibu akan berusaha mencari pinjaman dulu.""Apa!, ... ibu mau mencari pinjaman lagi untuk membayar utang itu?, bagaimana kita bisa terbebas dari utang bu kalau seperti itu terus.""Jadi, Ibu harus bagaimana Tiara?, sedangkan kamu belum bekerja."Tiara hanya terdiam, hari perjanjian pembayarannya dengan Rustam tersisa tiga hari lagi sedangkan mereka belum mendapatkan uang sedikitpun."Ya tuhan, aku memang tidak berguna, hal seperti ini saja aku tidak bisa membantu ibu," gumam Tiara dalam hati.Ditengah kegalauannya Tiara berniat untuk meminjam uang kepada Erwin mantan bosnya, tapi sebelum ia melaksanakan niatnya Tiara ingin meminta pendapat ibunya terlebih dulu. "Bu, bagaiamana kalau aku minta pinjaman ke Bang Erwin saja?""Jangan Tiara, kamu gak usah berhubungan dengan dia lagi, Ibu tidak mau terjadi hal-hal yang seperti kemarin.""Sudahlah, Ibu yang aka
Malam itu Tiara menyampaikan kepada ibunya bahwa pertemuan tadi sore di cafe adalah pertemuannya dengan pemilik cafe dan mulai besok ia sudah bisa bekerja.Yang membuatnya dirinya sekarang risau adalah bagaimana dengan pinjaman yang harus dibayarkan besok, "Bu bagaimana dengan pinjaman kita sama si Rustam yang harus dibayar besok?""Sudah, kamu tidak perlu risau masalah itu, ibu sudah siapkan uangnya.""Ibu sudah siapkan?, Ibu dapat pinjaman dari mana?" tanya Tiara."Ibu dapat pinjaman dari Bos Ibu di tempat Laundry.""Syukurlah kalau begitu, nanti kalau aku udah gajian, biar aku yang bayar.""Ya sudah kamu kerja aja yang baik, tabung uangmu Ibu masih bisa membayarnya sedikit-sedikit hasil dari ibu jualan kue."Seorang Ibu walaupun itu berat baginya, ia akan selalu berusaha kuat di depan anaknya seakan semua bisa diatasinya dan semua baik-baik saja.Masih pagi buta, Tiara terlihat sudah beres-beres rumah setelah itu membantu membuat adonan kue untuk ibunya. "Tiara sudah, biar ibu yan
Dengan wajah yang tampak tidak bersemangat Tiara duduk di teras rumahnya, ia sedang menunggu ibunya pulang dari pekerjaannya seperti biasa menjajakan kuenya. Tiara kesal dihari pertama bekerja yang ia seharusnya bersemangat namun malah harus mengalami situasi yang kurang mengenakkan. Lagi-lagi semua tidak berjalan mulus seperti apa yang ia harapkan, dalam keadaan hatinya yang berbalut jengkel, di tengah perasaan dongkolnya ponselnya berdering, ada panggilan masuk dari Frida sahabatnya,."Halo cantik kamu lagi dimana sekarang?" "Aku di rumah aja nih, kenapa Frid?" jawab Tiara. "Loh kok di rumah? Kamu sudah mulai kerja di cafe kan hari ini?" ujar Frida merasa heran dengan keberadaan Tiara. "Iya seharusnya begitu tapi aku kesal sama bos pemilik cafe itu aku disuruh pulang katanya, nanti jam tujuh malam baru job aku mulai." Tiara mendengus. "Oh hampir lupa. Iya, Tiara kamu disana 'kan nyanyi mana ada live musik di cafe siang-siang begini."
Di cafe, Tiara tampil dan bernyanyi layaknya sang primadona yang telah ditunggu-tunggu penggemar beratnya. Raut berseri-seri tampak puas terlihat di wajah para tamu cafe yang datang Bukan hanya karna kepiawaiannya dalam bernyanyi, tapi wajah cantik, bentuk tubuh yang indah, serta balutan gaun ketat yang dipakai membuatnya lebih memikat di mata pemandangnya, termasuk Erick si pemilik cafe. Namun, ketertarikannya sepertinya masih disembunyikan. Dia berusaha mengalihkan rasa tertariknya pada gadis itu dan berpura-pura tidak peduli ketika Tiara diberikan pujian oleh beberapa tamu cafe. "Keren 'deh pokoknya kamu malam ini tampil luar biasa sayang," ucap Frida begitu mereka bersiap-siap untuk pulang bersama setelah selesai bernyanyi. "Terima kasih, ya. Kalian semua sudah datang. Semuanya, terima kasih! Sahabat-sahabatku, kalau bukan karena kalian, aku tidak akan tampil dengan baik dan sesemangat ini." Mereka berjalan menuju parkiran cafe tempat mobil Frida berada. "Hebat ... hebat! K
Perlahan, Bu Ratri berjalan menuju kamar Tiara dan membuka pintu kamar anaknya itu. Dia tau kalau Tiara sangat lelah, namun ia harus membangunkannya agar ia bisa menjajakan kuenya. Meskipun hanya berjualan kue, namun itulah pekerjaan yang ia lakukan beberapa tahun terakhir untuk bisa bertahan hidup bersama Tiara. "Tiara bangun, Nak. Ibu mau berangkat. Hei ... ayo bangun," bisik bu Ratri membangunkan Tiara yang masih tengah tertidur pulas. "Hmmm ... Ibu. Aku masih ngantuk karena semalam pulang larut." "Iya. Ibu tau, tapi kamu harus bangun dulu. Ibu mau berjualan." "Sekarang jam berapa Bu?" tanya Tiara sambil mengusap matanya yang sulit untuk terbuka. "Jam delapan. Ayo bangun dan cuci muka kamu dulu. Ibu sudah siapkan sarapan untuk kamu di atas meja." "Hahh ... Oh, Tuhan! Tiara liat muka kamu ... kamu belum membersihkan wajahmu dari semalam. Lihat sisa dandananmu sudah menor seperti itu!" seru Bu Ratri sambil mengusap wajah Tiara
Tiara baru saja menanggalkan baju saat ponselnyatiba-tibaberdering. "Halo, Tiara!" sapa Pak Erick, bosnya segera setelah perempuan itu mengangkat teleponnya. "Iya Pak! Maaf, Pak soal kemarin saya ... " Belum selesai Tiara bicara, Erik menyela, "Besok sore, saya tunggu kamu di lobi hotel merkuri. Kemarin, saya ada urusan yang lain. Jangan lupa dan jangan sampai telat lagi!" imbuhnya singkat lalu menutup panggilan. "Tidak sopan! Haruskah seperti itu jika menjadi orang kaya? Hanya ia yang ingin didengarkan!" Tiara mendengus karena kesal. "Bang, cepat sedikit, dong! Saya buru-buru, 'nih! Abang sekarang kok lelet banget? Biasanya cepat." Tiara terus menyerocos. "Ke hotel Merkuri 'kan mba Tiara?" tanya abang ojek tersebut."Iya, ba
Erick berdiri memandangi beberapa karyawan yang sedang membersihkan kaca ruangannya. Sesekali, ia terlihat mengerutkan dahinya, seperti sedang memikirkan sesuatu. "Sampai sekarang, ia belum menghubungiku lagi. Sejauh apa ya perkembangannya sekarang?" Erick berkata dalam hati, seperti ada sebuah rencana yang sedang dibuatnya. Matanya kemudian tertuju pada dua karyawan wanita yang sedang beradu mulut. Pria itu ingin tahu apa yang terjadi. Dia kemudian mendatanginya. Akan tetapi, baru saja ia menginjakkan kaki di anak tangga pertama, ia melihat Gilbert sudah ada di sana di tengah-tengah kerumunan karyawan. Segera, Erick memutar badan kembali ke ruangannya. Gilbert datang pagi itu, tidak seperti biasanya yang selalu datang saat malam hari. "Selamat pagi, Pak!" sambut beberapa karyawan sambil membungkuk badan. "Ini ada apa? Masih pagi kok sudah ribut, kenapa?" tanya Gilbert kepada salah seorang supervisor di cafe d'Arts. "Salah satu k