Malam itu Tiara menyampaikan kepada ibunya bahwa pertemuan tadi sore di cafe adalah pertemuannya dengan pemilik cafe dan mulai besok ia sudah bisa bekerja.
Yang membuatnya dirinya sekarang risau adalah bagaimana dengan pinjaman yang harus dibayarkan besok, "Bu bagaimana dengan pinjaman kita sama si Rustam yang harus dibayar besok?""Sudah, kamu tidak perlu risau masalah itu, ibu sudah siapkan uangnya.""Ibu sudah siapkan?, Ibu dapat pinjaman dari mana?" tanya Tiara."Ibu dapat pinjaman dari Bos Ibu di tempat Laundry.""Syukurlah kalau begitu, nanti kalau aku udah gajian, biar aku yang bayar.""Ya sudah kamu kerja aja yang baik, tabung uangmu Ibu masih bisa membayarnya sedikit-sedikit hasil dari ibu jualan kue."Seorang Ibu walaupun itu berat baginya, ia akan selalu berusaha kuat di depan anaknya seakan semua bisa diatasinya dan semua baik-baik saja.Masih pagi buta, Tiara terlihat sudah beres-beres rumah setelah itu membantu membuat adonan kue untuk ibunya. "Tiara sudah, biar ibu yang lanjutkan kamu siap-siap saja dulu, hari ini pertama kamu bekerja kan?, jangan sampai kamu telat," ujar bu Ratri mengingatkan."Masih pagi juga kok bu, masih ada waktu dua jam lebih, jadi masih sempat."Setelah hampir dua jam Tiara membantu ibunya, ia kemudian mempersiapkan diri untuk berangkat ke cafe tempat kerjanya yang baru."Hari ini semoga semuanya bisa berjalan lancar," niat Tiara dalam hati."Ojek bang!""Waduh neng Tiara cantik, pagi-pagi begini mau ke mana?" Ujar abang ojek di pangkalan yang selalu terlihat senang ketika melihat Tiara."Saya mau ke tempat kerja bang!""Ok siap, segera meluncur membawa neng Tiara sampai ke tujuan," Abang ojek memacu motornya membelah suasana kota Lubrica yang masih lengang, belum banyak kendaraan yang berseliweran.Saat tiba di sebuah cafe Tiara memberi instruksi kepada abang ojek yang mengantarnya."Stop bang, di sini aja," ujar Tiara."Neng Tiara kerja di sini?, Nyanyi?" ujar tukang ojek menyerbu dengan pertanyannya."Aduh bang tanya melulu dari tadi, kalau mau tanya-tanya jadi wartawan jangan ngojek, ini duitnya terima kasih ya!" serunya sedikit kesal."Iya neng sama-sama, neng Tiara hati-hati ya.""Iya bang aduh banyak bacot si abang," ucap Tiara dengan cemberut sampai tukang ojek tersenyum-senyum melihatnya.
Tiara melangkah masuk ke halaman cafe, belum banyak karyawan yang datang hanya ada beberapa orang saja yang terlihat membersihkan meja dan kaca ruangan di dalam cafe.
Tiara di luar saja, ia menunggu sampai karyawan yang lain datang, sebagai orang baru ia menunggu yang lain datang namun hingga beberapa menit ia menunggu tidak seorang pun karyawan yang datang."Hah karyawan di sini 'kok pada malas-malas semua ya, jam segini kok masih belum ada yang datang," gerutunya dalam hati.Jam sudah menunjukkan angka delapan tetapi suasana tidak juga berubah masih saja sepi. Tiara yang berada di depan cafe sudah tampak gelisah, ia membuang sedikit rasa jenuhnya dengan mengutak-atik layar ponselnya.Di tengah asyiknya Tiara melihat-lihat ponselnya seorang pemuda dengan penampilan elegan, turun dari mobilnya dan memasuki pelataran depan cafe, di mana Tiara sedang duduk di sana.Dengan penampilan yang mentereng memberi kesan kalau ia adalah seorang pebisnis muda.Tiba di depan Tiara yang tengah sibuk dengan ponselnya sehingga tidak menghiraukan pemuda itu.
"Hei, cafe belum buka jam segini, lebih baik kamu pulang, balik sebentar lagi," ujar pemuda itu kepada Tiara.
Tiara mendongak menatap si pemuda, matanya tajam menyorotnya, "Siapa pria ini ia memang punya wajah yang tampan, sayang ia begitu lancang menyuruhku pulang sepertinya ia tak tahu kalau hari ini aku sudah menjadi karyawan di cafe ini," Gumam Tiara dalam hati.
"Mas anda sepertinya salah orang 'deh?, mas aja yang pulang sana, saya karyawan di sini mas," ungkap Tiara."Lah karyawan?, tapi kenapa kamu masih di luar sini lihat teman-teman kamu sudah bekerja semua," jawab pria itu sambil menunjuk kedalam cafe."Kok mas mengatur-atur saya, saya karyawan baru di sini jadi saya belum paham di bagian apa saya bekerja makanya saya masih di sini, ... puass!""Oh mba karyawan baru di sini?" Sambil melempar senyum ke arah Tiara, senyum yang seperti mengejek, ia kemudian berlalu dari hadapan Tiara yang masih saja menunduk menatap kelayar ponselnya.Satu persatu karyawan cafe mulai bermunculan, Tiara berdiri dari tempatnya duduk, ia memperhatikan satu persatu karyawan yang datang."Hai mba, maaf saya mau tanya ruangan pak Erik di mana ya?""Di lantai dua ruangannya di sebelah kiri." "Ok, terima kasih ya mba." Tiara kemudian bergegas ke lantai dua mencari ruangan pak Erik.Tiara berpikir dalam hati, "Sepertinya Erik ini adalah orang penting di cafe ini, sampai pak Gilbert menyuruhku untuk bertemu dia di hari pertama bekerja."Sampai di depan ruangan yang dimaksud Tiara mengetuk pintu kaca ruangan itu, terdengar suara pria menyuruhnya masuk.Tiara perlahan mendorong pintu kaca itu, di dalam ruangan seorang pria sudah berdiri dengan posisi membelakang tempat Tiara berdiri, yang terlihat hanya punggungnya saja ia menghadap ke sebuah lukisan yang terpajang di tembok ruangan.
"Kamu mau apa ke sini?" ucapnya kepada Tiara dengan masih membelakang.
"Maaf pak!, ... saya Tiara, karyawan baru di sini, tapi sebelum saya bekerja pak Gilbert menyuruh saya menghadap bapak," Kata Tiara dengan percaya diri."Orang ini seperti tidak memiliki sopan santun tidak tahu menghargai orang yang diajak berbicara." Pikirnya dalam hati""Kamu yang namanya Tiara!? ... yang akan mengisi live musik 'kan?" "Iya pak, ... saya.""Hehehe, .... tapi kenapa kamu datang sekarang, jadwal kamu itu mulai jam tujuh malam.""Brengsek kenapa juga aku tidak menanyakan itu sebelumnya kepada pak Gilbert," Tiara menggumam lagi"Baik pak, kalau begitu aku permisi pulang, jam tujuh nanti malam saya akan kembali.""Tunggu ...." ujar Erik menahan langkah Tiara, sambil membalikkan badannya.Tiara pun spontan menghentikan langkahnya, seperti dalam adegan sinetron mata mereka saling menatap bersamaan, betapa terkejut Tiara menyadari siapa yang berdiri di hadapannya.
"Bukankah ia pria tampan yang tadi berbicara denganku didepan cafe, ternyata pria itu adalah Erick," Dalam hati TiaraTiara tidak dapat menyembunyikan perasaannya yang berkecamuk pipinya memerah menahan malu di depan Erick.
"Kamu kenapa menunduk?, apa wajahku membuatmu takut?"
"Ttt ... tidak pak saya hanya? ... mata saya kemasukan sesuatu," Kilah Tiara seraya berpura-pura mengucek matanya."Ohh begitu," kata Erick sambil memegang dagunya seperti orang yang sedang berpikir."Sini biar aku bantu bersihkan," ucap Erick bernada sarkastis, dengan mengajukan diri membantu Tiara, padahal ia tahu kalau Tiara hanya merasa tidak nyaman.
"Tidak usah pak, tidak apa-apa kok saya bisa sendiri," ucap Tiara sambil memperbaiki kembali posisi duduknya.
"Baiklah, kamu pulang saja nanti jam tujuh malam kamu kembali lagi kesini.""Saya permisi pak!"
Tanpa banyak bicara lagi ia segera meninggalkan ruangan itu tanpa menoleh sedikitpun kepada Erick, dengan perasaan malu dan sedikit kesal ia meninggalkan cafe itu.
.***
Dengan wajah yang tampak tidak bersemangat Tiara duduk di teras rumahnya, ia sedang menunggu ibunya pulang dari pekerjaannya seperti biasa menjajakan kuenya. Tiara kesal dihari pertama bekerja yang ia seharusnya bersemangat namun malah harus mengalami situasi yang kurang mengenakkan. Lagi-lagi semua tidak berjalan mulus seperti apa yang ia harapkan, dalam keadaan hatinya yang berbalut jengkel, di tengah perasaan dongkolnya ponselnya berdering, ada panggilan masuk dari Frida sahabatnya,."Halo cantik kamu lagi dimana sekarang?" "Aku di rumah aja nih, kenapa Frid?" jawab Tiara. "Loh kok di rumah? Kamu sudah mulai kerja di cafe kan hari ini?" ujar Frida merasa heran dengan keberadaan Tiara. "Iya seharusnya begitu tapi aku kesal sama bos pemilik cafe itu aku disuruh pulang katanya, nanti jam tujuh malam baru job aku mulai." Tiara mendengus. "Oh hampir lupa. Iya, Tiara kamu disana 'kan nyanyi mana ada live musik di cafe siang-siang begini."
Di cafe, Tiara tampil dan bernyanyi layaknya sang primadona yang telah ditunggu-tunggu penggemar beratnya. Raut berseri-seri tampak puas terlihat di wajah para tamu cafe yang datang Bukan hanya karna kepiawaiannya dalam bernyanyi, tapi wajah cantik, bentuk tubuh yang indah, serta balutan gaun ketat yang dipakai membuatnya lebih memikat di mata pemandangnya, termasuk Erick si pemilik cafe. Namun, ketertarikannya sepertinya masih disembunyikan. Dia berusaha mengalihkan rasa tertariknya pada gadis itu dan berpura-pura tidak peduli ketika Tiara diberikan pujian oleh beberapa tamu cafe. "Keren 'deh pokoknya kamu malam ini tampil luar biasa sayang," ucap Frida begitu mereka bersiap-siap untuk pulang bersama setelah selesai bernyanyi. "Terima kasih, ya. Kalian semua sudah datang. Semuanya, terima kasih! Sahabat-sahabatku, kalau bukan karena kalian, aku tidak akan tampil dengan baik dan sesemangat ini." Mereka berjalan menuju parkiran cafe tempat mobil Frida berada. "Hebat ... hebat! K
Perlahan, Bu Ratri berjalan menuju kamar Tiara dan membuka pintu kamar anaknya itu. Dia tau kalau Tiara sangat lelah, namun ia harus membangunkannya agar ia bisa menjajakan kuenya. Meskipun hanya berjualan kue, namun itulah pekerjaan yang ia lakukan beberapa tahun terakhir untuk bisa bertahan hidup bersama Tiara. "Tiara bangun, Nak. Ibu mau berangkat. Hei ... ayo bangun," bisik bu Ratri membangunkan Tiara yang masih tengah tertidur pulas. "Hmmm ... Ibu. Aku masih ngantuk karena semalam pulang larut." "Iya. Ibu tau, tapi kamu harus bangun dulu. Ibu mau berjualan." "Sekarang jam berapa Bu?" tanya Tiara sambil mengusap matanya yang sulit untuk terbuka. "Jam delapan. Ayo bangun dan cuci muka kamu dulu. Ibu sudah siapkan sarapan untuk kamu di atas meja." "Hahh ... Oh, Tuhan! Tiara liat muka kamu ... kamu belum membersihkan wajahmu dari semalam. Lihat sisa dandananmu sudah menor seperti itu!" seru Bu Ratri sambil mengusap wajah Tiara
Tiara baru saja menanggalkan baju saat ponselnyatiba-tibaberdering. "Halo, Tiara!" sapa Pak Erick, bosnya segera setelah perempuan itu mengangkat teleponnya. "Iya Pak! Maaf, Pak soal kemarin saya ... " Belum selesai Tiara bicara, Erik menyela, "Besok sore, saya tunggu kamu di lobi hotel merkuri. Kemarin, saya ada urusan yang lain. Jangan lupa dan jangan sampai telat lagi!" imbuhnya singkat lalu menutup panggilan. "Tidak sopan! Haruskah seperti itu jika menjadi orang kaya? Hanya ia yang ingin didengarkan!" Tiara mendengus karena kesal. "Bang, cepat sedikit, dong! Saya buru-buru, 'nih! Abang sekarang kok lelet banget? Biasanya cepat." Tiara terus menyerocos. "Ke hotel Merkuri 'kan mba Tiara?" tanya abang ojek tersebut."Iya, ba
Erick berdiri memandangi beberapa karyawan yang sedang membersihkan kaca ruangannya. Sesekali, ia terlihat mengerutkan dahinya, seperti sedang memikirkan sesuatu. "Sampai sekarang, ia belum menghubungiku lagi. Sejauh apa ya perkembangannya sekarang?" Erick berkata dalam hati, seperti ada sebuah rencana yang sedang dibuatnya. Matanya kemudian tertuju pada dua karyawan wanita yang sedang beradu mulut. Pria itu ingin tahu apa yang terjadi. Dia kemudian mendatanginya. Akan tetapi, baru saja ia menginjakkan kaki di anak tangga pertama, ia melihat Gilbert sudah ada di sana di tengah-tengah kerumunan karyawan. Segera, Erick memutar badan kembali ke ruangannya. Gilbert datang pagi itu, tidak seperti biasanya yang selalu datang saat malam hari. "Selamat pagi, Pak!" sambut beberapa karyawan sambil membungkuk badan. "Ini ada apa? Masih pagi kok sudah ribut, kenapa?" tanya Gilbert kepada salah seorang supervisor di cafe d'Arts. "Salah satu k
[Mba Tiara, saya mengingatkan mba jangan sampai telat dan datang tepat waktu ke cafe.] Sebuah pesan singkat masuk ke ponselnya. Tiara mencoba menelpon, tapi nomor si pengirim pesan sudah tidak aktif.Tiara semakin penasaran hal apa sebenarnya yang terjadi di cafe. Mengapa seseorang mengirimkan pesan seperti itu padanya?Sebelumnya, Erick mengatakan kalau dirinya saat ini berada di antara dua pemilik cafe itu, tapi ia belum memahami maksudnya.Yang ia tahu, dirinya hanyalah seorang karyawan biasa, bekerja sebagai penyanyi dan mendapat gaji itu saja, Tiara meletakkan ponselnya dan melanjutkan berdandan, Frida sudah menunggunya di depan. Sebentar lagi, mereka akan pergi bersama ke pesta ulang tahun salah satu teman semasa sekolah."Tiara, yuk! Kita harus segera berangkat sekarang. Katanya, kamu mau mampir ke kios dulu?""Tunggu sebentar lagi!" sahut Tiara dari dalam kamar.
"Terima kasih ya sudah datang," ucap Kiky pada Tiara dan Frida."Maaf ya kiky, tadi kita telat datangnya. Soalnya, Tiara menjalankan misi menjadi wartawan dadakan," balas Frida melirik ke arah Tiara.Mereka pun bercengkerama saat pesta tersebut. Namun, sesampainya di mobil, Frida yang masih penasaran mencoba menggali informasi dari Tiara tentang foto pria bersama wanita di dalam pub."Tiara, kamu begitu bersikeras menguntit sampai ke dalam pub dan mengambil foto mereka, untuk apa? Mana fotonya mesum lagi!" kata Frida penasaran."Kamu tahu 'gak? Beberapa hari yang lalu, aku dipanggil Pak Erick ke hotel Merkuri.""Apa ... hotel Merkuri!?" seru Frida dengan matanya yang melotot kaget."Tunggu! Aku belum selesai bicara. Jangan berpikir yang tidak-tidak, ya. Di sana, dia bicara ke aku kalau di cafe ada dua pemilik yang berkuasa, tetapi punya tujuan yang berbeda. Sekarang, aku berada di antara dua pemilik itu.""Kamu me
Di sela-sela penampilannya, Tiara sesekali melirik seorang wanita bertubuh besar yang tengah menontonnya dengan antusias. Tiara di buat penasaran dengan sosok perempuan yang berpostur besar itu. Perempuan itududuk di meja depan dan sangat menikmati penampilannya.Baru kali ini ia di gemari oleh kaum ibu-ibu, hal itu yang menimbulkan rasa penasarannya."Mas, Ibu itu siapa? Kok keliatannya Pak Gilbert sepertinya segan dengan dia?" tanya Tiara kepada seorang karyawan cafe."Itu Nyonya Smith pemilik cafe ini, ibunya pak Erick. Orangnya terkenal baik dan ramah," jawabnya. Tiara hanya mengangguk-anggukan kepala.Selesai manggung, Tiara berjalan menuju toilet untuk berganti pakaian sebelum pulang.Belum sampai ke toilet, muncul Erwin yang tiba-tiba menariknya untuk duduk di dekatnya. "Lepaskan!" ujar Tiara menghempas tangannya dan terduduk di kursi. Suaranya membuat beberapa pengunjung cafe sontak terkejut, termasuk Nyonya Smi