Hari ini adalah pertemuan keluarga Aiden dan Selena. Rencananya, mereka akan memberitahukan masalah pertukaran pengantin dimana Selena akan menikah dengan Harry, bukannya William.
Kini mereka tengah berada di sebuah restoran yang sudah direservasi. Ada Aiden, Haira, Harry, William, Ella dan juga kedua orang tua Selena yang sebenarnya sudah mengetahui hal ini.
Sejak mereka datang ke restoran itu, Selena melihat kejanggalan dimana Ella terus bersama William. Setahu dia, Ella harusnya terus bersama dengan Harry. Bahkan kini William dan Ella duduk bersebelahan.
Aiden dan Haira tau bahwa saat ini, Selena sedang bingung. Mereka pun memulai pembicaraan penting malam itu.
"Begini, Selena. Pertemuan kita ini untuk membicarakan tentang pernikahan." Haira tampak ragu menyebutkan pernikahan Selena dan Harry.
"Ya, bibi." Selena terlihat menunggu lanjutan kalimat Haira.
"Sayang, maafkan kami. Karena kesalahan yang tidak disengaja, kau tidak jadi menikah dengan William. Melainkan dengan Harry."
Kalimat Haira sukses membuat kedua mata Selena membulat sempurna. "Apa? Apa ini sebuah lelucon?" Selena masih tidak percaya.
"Tidak sayang. Ini bukan lelucon. Ini serius. Beberapa hari yang lalu, Ayah Ella meninggal dunia. Dan permintaan terakhir nya adalah melihat Ella menikah. Namun karena Harry tidak datang dan kondisi ayah Ella semakin memburuk, maka William menggantikan Harry."
Selena tampak sangat syok. Dari sorot matanya tampak keterkejutan dalam dirinya. Ia menyenderkan tubuhnya ke kursi dengan raut wajah lesu. Seperti hal nya William, sepertinya Selena sudah tertarik dengannya.
"Maafkan kami sayang. Ini bukanlah kesengajaan. Kami tidak punya pilihan karena kami tidak mengetahui keberadaan Harry. Kau sudah tau kan Harry ini sering melupakan hal-hal penting."
'Karena aku tau dia pelupa makanya aku syok, bibi. Bagaimana bisa aku menikah dengan orang sepayah dirinya' Batin Selena.
"Selena." Ibu Selena yang bernama Stefani mencoba menenangkan putrinya.
"Kau harus menerima nya sayang. Kita tidak punya pilihan lain. Kau mau kan?" Ayah Selena yang bernama Feri juga ikut menenangkan. (Di Season 1, Feri adalah wakil Aiden selalu disebut si botak. Namun setelah Feri keluar dan sukses dengan perusahaannya sendiri, mereka menjadi rekan bisnis).
Selena menatap Ella yang sedang menunduk. Tampaknya disini dia yang merasa bersalah karena dirinya menjadi benang pemisah antara dua orang yang telah jodohkan.
"Angkat lah wajahmu. Ini bukan salahmu. Semua atas kehendak Tuhan. Aku turut berduka cita," ucap Selena yang langsung membuat semua orang terkejut.
Ella mengangkat wajahnya. "Terima kasih." Tersenyum.
'Karena ada orang lain yang pantas untuk disalahkan' Batin Selena. Kini ia mengarahkan pandangan nya kepada Harry yang tengah menatap Ella dengan perasaan sedih. Selena bisa melihat bahwa Harry sudah menaruh hati pada Ella. Tapi apa mau dikata, mereka tidak berjodoh karena kesalahan fatal yang Harry lakukan.
Selena mengarahkan padangan ke William yang tampak diam saja dan memasang wajah dingin seperti biasa. Bisa dikatakan, bahwa ia tidak menyukai pertemuan ini.
"Bagaimana sayang?" Haira kembali bertanya pada Selena.
"Aku setuju, bibi. Aku akan menikah dengan Harry."
William yang mendengarnya langsung menatap Selena dengan tatapan tidak percaya. Jadi benar, Selena mau dijodohkan karena harta?
Sementara yang lain tersenyum mendengar jawaban Selena. Mereka pun mulai menentukan tanggal akad nikah. Dan untuk resepsi tetap akan di laksanakan sesuai tanggal. Mereka akan bersanding di pelaminan di hari yang sama. Untungnya undangan belum dipesan. Jadi mereka tidak perlu mengulang untuk mengganti nama kedua pengantin yang ditukar itu.
Selagi kedua keluarga tengah berembuk bersama, William memilih pergi ke luar untuk cari angin. Sedangkan Ella terpaksa mendengar rembukan para orang tua tanpa berbicara sepatah katapun sambil menikmati makan malam.
Selena mengajak Harry ke meja lain untuk berbicara.
"Ada hal penting apa?" tanya Harry.
"Aku akan menuliskan semua yang aku sukai dan tidak aku sukai. Berikan buku agenda pribadi mu," pinta Selena.
"Tidak, itu privasi ku." Harry menggeleng.
"Aku tidak punya waktu untuk mengintip semua agenda pentingmu. Percayalah, berikan padaku!" Selena menadahkan tangan ke arah Harry.
Harry pun menyerahkan buku agenda pentingnya kepada Selena. Selena mulai membuka lembar kosong pada buku agenda kecil itu dan mulai menuliskan apa-apa saja yang dia suka dan tidak sukai. Cukup lama Harry menunggu karena tulisan Selena memakan dua lembar halaman.
"Ini, bacalah!" Selena menyerahkan buku agenda tersebut.
Harry mulai membacanya. Semakin lama membaca, keningnya semakin berkerut membaca poin-poin yang Selena tulis. Bukan karena banyak, melainkan karena beberapa diantaranya, tertulis kalimat yang menurutnya aneh. Bayangkan saja, di poin tidak suka, Selena menuliskan bahwa dia tidak suka diajak bercanda, tidak suka diajak bicara lebih dari tiga puluh menit, tidak suka diajak pergi selain urusan pekerjaan, tidak suka melihat Harry tertawa dengan mulut lebar, tidak suka menunggu, tidak suka berbicara hal yang tidak penting, tidak suka mendengar lelucon.
Sedangkan yang ia sukai hanya satu, yaitu tidak melihat semua hal yang tertulis di poin yang tidak ia sukai.
"Baiklah, aku juga akan mengatakan padamu. Aku tidak suka mendengar suara bentakan kemarahan. Jangan menunjuk wajahku dan jangan bertengkar di depan orang tua."
Selena mengangguk mengerti. "Jadi kita sepakat?" tanyanya lagi.
"Deal." Harry mengangguk.
"Oh ya jangan lupakan satu hal." Selena kembali mengingatkan.
"Apa itu?"
"Aku tidak ingin kau sentuh."
"Tapi kita tadi bersentuhan."
"Bukan itu, maksudku melakukan hubungan suami istri."
"Tapi bukanya itu lumrah saja bagi pasangan yang sudah menikah? Beberapa rekan kerjaku melakukan itu bahkan sebelum menikah."
Mata Selena membulat mendengar pernyataan Harry.
"Ya, tapi kita dijodohkan. Tidak ada rasa cinta. Jadi aku tidak mau melakukan nya."
"Bagaimana kalau aku meminta hakku? Bukanya itu kewajiban mu?"
Wajah Selena semakin memerah mendengar ucapan Harry.
"Hahaha, tenanglah. Aku hanya bercanda." Harry tertawa dengan mulut yang cukup lebar.
"Harry, mulutnya."
Harry langsung menutupi mulutnya. "Oh iya maaf." Masih cekikikan dengan mulut yang ditutupi tangan.
"Jangan melakukan hal itu lagi. Kau harus baca lagi buku mu. Aku tidak suka diajak bercanda."
"Siapa yang mengajakmu. Aku mengajak diriku sendiri bercanda."
"Tidak ada yang bercanda dengan dirinya sendiri, kecuali orang gila." Selena mengingatkan.
"Kau benar. Maaf. Ya sudah, ayo kita kembali ke orang tua kita." Harry hendak beranjak dari duduknya namun kalimat Selena mengurungkan niatnya.
"Apa kau menyukai Ella?"
Harry menatap Selena dan tersenyum. "Aku tambah poin masing-masing untuk kita. Yaitu, jangan menanyakan privasi masing-masing."
"Baiklah." Selena mengangguk setuju.
Mereka pun kembali ke orang tua mereka. Kasihan juga melihat Ella yang sudah seperti orang bodoh disana. Jelas terlihat dia sangat kikuk berada di situasi itu sendirian.
Tak berselang lama, William pun masuk. "Apa anginnya sudah dapat?" tanya Harry.
"Diamlah." William mendudukkan dirinya di samping Ella yang kini tengah menghembuskan nafas lega.
Sepulang dari restoran, William dan Ella masuk ke kamar masing-masing. Namun, baru beberapa detik William merebahkan tubuhnya ke atas ranjang, sebuah ketukan pintu terdengar. Dengan malas William berjalan ke arah pintu dan melihat siapa yang mengganggunya."Ada apa?" tanyanya dengan wajah datar."Will, apakah AC di kamarku bisa dimatikan dan diganti kipas angin saja?" tanya Ella dengan ragu."Di rumah ini tidak ada benda itu. Bahkan kamar pelayan di rumah ini menggunakan AC juga." William menolak permintaan Ella."Tapi sudah beberapa hari aku tidak tidur dengan nyenyak. Aku selalu kedinginan setiap malam dan malam ini kepalaku terasa sangat pusing karena masuk angin."William memerhatikan wajah Ella yang agak pucat. Pantas saja selama di restoran dia diam saja dan tidak terlihat sehat."Baiklah, tapi besok saja aku belikan kipas anginnya. Jika kau tidak tahan
William sudah pulang dari bekerja. Namun, sepanjang jalan perasaannya tidak enak terus. Bahkan saat sampai di rumah, hatinya semakin tak karuan. Baru saja dia melangkah melewati pintu, aura seram sudah merebak di seluruh ruangan."Pasti ibu belum pulang." William bergumam. Ia menarik nafas panjang lalu mengeluarkannya perlahan. "Bismillahirrahmanirrahim, lindungi aku Ya Allah." Melanjutkan langkah menuju kamar Ella. Ia menapaki anak tangga dengan sekuat hati.Hingga pada saat mencapai ambang pintu kamar Ella, aura menakutkan semakin kuat. Terlihat Haira, ibunya sedang berdiri dengan menyilangkan tangan di dada serta wajah masam."Hai, Bu, kapan datang?" William mencoba berbasa basi meski hatinya kian berkecamuk."Kapan datang atau kapan pulang?" Haira semakin melotot pada William.William menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. "Tidak, Bu, aku senang ibu ke sini." Berjalan
Beberapa minggu telah berlalu. Hari ini adalah hari pernikahan Harry dan Selena. Akad nikah diselenggarakan di gedung Alexan Group milik ayahnya, Aiden. Dan resepsi akan diselenggarakan pada malam harinya bersamaan dengan William dan Ella.Aiden dan Haira benar-benar menjaga ketat Harry malam tadi. Mereka mengurung Harry di kamar agar ia tidak lupa lagi hari pernikahannya. Mereka juga sampai menyuruh pengawal menjaga setiap pintu rumah itu agar Harry tidak keluar.Pernikahan pun segera dimulai. Pernikahan kali ini penuh drama karena Harry harus latihan terus agar pada saat ijab qobul dilakukan, ia tidak salah menyebut nama.Hingga pada akhirnya para saksi dan tamu mengucapkan kata "SAH" sebagai pertanda bahwa pernikahan tersebut telah sah di mata agama dan hukum.Aiden dan Haira mengucapkan syukur atas lancarnya pernikahan Harry dan Selena.Pada malam harinya, resepsi pernikahan
Sesampainya di rumah, Harry dan Selena masuk ke dalam rumah besar milik Harry."Mana kamarku?" tanya Selena yang menguap tiada henti karena sangat mengantuk. Sekarang sudah jam satu dini hari ketika mereka menginjakkan kaki di lantai rumah itu.Harry menepuk dahinya."Kenapa? Apa kau lupa mempersiapkan kamar terpisah untuk kita?" Selena membelalakkan matanya. Ia sudah menduga ini akan terjadi."Iya, aku...lupa."Selena kembali mengusap wajahnya dengan kasar. Ia menarik nafas panjang lalu mengeluarkannya perlahan. "Baiklah, kita lewati saja ini. Aku ingin segera tidur. Dimana kamarmu?""Ada di lantai dua." Harry menunjuk ke atas."Baiklah, hoaaam." Selena segera melangkah menapaki anak tangga satu persatu."Tunggu, sebenarnya kau tidak perlu....""Ssssstttt, aku mengantuk." Selena melanjutkan langk
"Ada apa, Ayah?" tanya William yang penasaran."Ini hadiah untuk pernikahan kalian." Haira menyerahkan dua lembar tiket kepada William dan Ella.William dan Ella saling pandang. William bingung karena itu adalah tiket ke luar negeri. Sementara Ella bingung itu tiket untuk apa."Ayah dan Ibu tidak perlu repot-repot mempersiapkan ini semua.""Ya sudah, ambil. Agar kerepotan kami tidak sia-sia." Haira meletakkan tiket ke tangan William."Besok kalian akan berangkat ke Paris untuk berbulan madu. Persiapkan semua keperluan kalian mulai dari sekarang," ujar Haira."Ba-baik, Bu." William mengangguk pasrah."Besok jangan terlambat. Ibu juga akan meminta Selena untuk mengingatkan Harry agar besok ia tidak lupa.""Apa? Jadi mereka akan pergi bersama kami?" William membelalakkan matanya."Kenapa? Apa kau Keb
William kembali ke kamar hotelnya untuk menemui Ella. Sebelum ia pergi, ia sempat melihat bahwa benda yang seperti kepala berambut hitam yang terombang-ambing di tengah laut adalah sebuah wig entah punya siapa.William telah sampai ke kamar hotel. Ia melihat Ella sedang duduk di sebuah kursi sambil menatap keluar jendela."Ella.""Mandilah, Will, air laut tidak bagus berada lama-lama di tubuhmu." Ella tidak menoleh. Ia masih terus menatap hamparan ombak di lautan."Ella, aku...""Nanti kau bisa sakit jika tidak mengeringkan tubuhmu." Masih tidak menoleh."Aku ingin....""Aku sudah memanggil dokter untuk memeriksa keadaanmu. Mandilah, sebentar lagi dia akan datang." Kali ini Ella menoleh sambil tersenyum.William pergi ke kamar mandi. Ia terus memikirkan reaksi yang diberikan Ella. Senyuman barusan itu bukanlah senyuma
Selena dan Ella tengah asyik memakan hidangan makan malam di restoran hotel. Sesekali Selena terlihat menggerutu tentang kejadian yang baru saja mereka alami. "Memangnya mereka pikir mereka siapa? Seenaknya saja memanfaatkan tampang kembar mereka.""Kenapa kau kesal sekali?" tanya Ella."Bagaimana aku tidak kesal. Tadi itu aku berdansa dengan William dan rasanya sangat tidak nyaman." Selena memotong daging steak dengan kasar hingga menimbulkan suara. Menumpahkan semua rasa kesalnya pada makanan lezat itu."Apa kau menyukai William?" Ella menunggu reaksi di wajah Selena."Awalnya. Aku kira bersama dengan orang yang sama diamnya seperti aku akan membuat hidupku lebih nyaman. Ternyata membosankan. Baru beberapa menit aku berbincang dengannya rasanya sangat tidak nyaman." Selena mengaduk minumannya lalu menikmatinya dengan sedotan."Tapi William masih menyukaimu."
William dan Ella sudah sampai di kamar mereka. Secepat mungkin William menurunkan Ella karena rasanya tangannya hampir patah."Will, apa kau yakin baik-baik saja?" tanya Ella yang melihat William mengibas-ngibaskan kedua tangannya berkali-kali."Tidak, aku hanya ingin meregangkan ototku saja. Ayo makan bersama, aku sangat lapar." William membuka paper bag lalu menatanya di atas meja dengan piring-piring yang tersedia di dalam kamar itu.Ella masih terngiang-ngiang daging steak dua juta yang belum habis tadi. Ia duduk dengan lesu dan memakan makanannya."Apa tidak enak?" tanya William yang heran melihat reaksi Ella."Enak, tapi aku menyayangkan sisa steak tadi. Harusnya kita bungkus saja." Ella memainkan sendok di atas piringnya."Ketahuilah, Ella, sekarang steak itu sudah ada di tempat sampah atau di perut seseorang. Menyesal pun tidak berguna. Steak sudah pe